Silmi Adriman
Faculty of Medicine Universitas Syiah Kuala/Dr. Zainal Abidin General Hospital Banda Aceh

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Penanganan Anestesi pada Operasi Olfactory Groove Meningioma Silmi Adriman; Dewi Yulianti Bisri; Sri Rahardjo; A Himendra Wargahadibrata
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2708.602 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i1.108

Abstract

Angka kejadian Olfactory Groove Meningioma adalah 10–15% dari total meningioma yang terjadi di intrakranial, dimana tumor ini berasal dari basis cranii anterior. Manifestasi klinis berupa penurunan penciuman akibat terjepitnya saraf olfaktori dan apabila tumor cukup besar dan menekan saraf optikus, pasien akan mengalami penurunan penglihatan, bahkan buta. Pada kasus ini dilaporkan seorang wanita berusia 38 tahun, GCS 15 dengan diagnosis olfactory groove meningioma akan dilakukan operasi kraniotomi untuk pengangkatan tumor. Pasien datang dengan keluhan tidak bisa melihat dan tidak bisa mencium bebauan. Hasil CT Scan menunjukkan gambaran hiperdens berbentuk enhancing lesion pada regio frontal. Pasien dilakukan tindakan anestesi umum dengan intubasi. Induksi dengan propofol, fentanyl, lidokain dan vecuronium. Pengelolaan cairan perioperatif dengan ringerfundin, manitol dan furosemid. Pembedahan dilakukan selama 6 jam. Pasca bedah, pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ ICU) selama 2 hari sebelum pindah ruangan. Anesthesia Management for Olfactory Groove Meningioma RemovalOlfactory Groove Meningioma, a type of meningioma is primarily derived from anterior cranial base, manifest in approximatelly 10-15% of meningioma cases. Clinical manifestations include smelling disorder and blurred vision or even cause blindness due to compression of the tumor to the optic nerve. This case reported a 38 years old woman with GCS 15 and diagnosed with olfactory groove meningioma, planned for a craniotomy tumor removal under general anesthesia. She was admitted to hospital due to blurred vision and smelling disorder. Computed Tomography (CT) scan showed a enhancing lesion in the frontal region. Induction of anesthesia was done using propofol, fentanyl, lidocaine and vecuronium. Ringerfundin, manitol and furosemide were used for perioperative fluid management. The surgery was conducted for 6 hours. Patient was managed in the Intensive Care Unit post operatively for 2 days prior to ward transfer
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut Silmi Adriman; Nazaruddin Umar; Marsudi Rasman
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2806.668 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i2.112

Abstract

Data epidemiologi terus menunjukkan peningkatan populasi penduduk berusia lanjut dan berdampak pada peningkatan permintaan layanan kesehatan, termasuk kebutuhan untuk menjalani prosedur pembedahan karena berbagai sebab. Salah satu penyebabnya adalah cedera otak traumatik (COT), termasuk di dalamnya perdarahan epidural, subdural dan intraserebral (epidural, subdural, intracerebral hemorrhage/EDH, SDH, ICH). Pada pasien berusia lanjut, COT bertanggung jawab terhadap lebih dari 80.000 kasus dengan tiga-perempat diantaranya harus menjalani rawat inap setiap tahunnya. Perencanaan penatalaksanaan perioperatif membutuhkan pertimbangkan beberapa hal untuk mencapai tingkat anestesi dan analgesi yang optimal pada pasien berusia lanjut. Seorang laki-laki, 65 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran pasca kecelakaan bermotor. Setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 18 kali/menit, tekanan darah 140/80 mmHg, laju nadi 88 kali/menit. Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi EDH dan kraniektomi evakuasi SDH dan ICH dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi serta geriatri anestesi selama tindakan bedah berlangsung. Perioperative Management of Traumatic Brain Injuryin Elderly Surgical PatientsCurrent epidemiological data showed an increasing number of elderly population, whereas in accordance with an increased demand for health care service, including surgical treatments for elderly. Traumatic brain injury (TBI), such as epidural hemorrhage (EDH), subdural hemorrhage (SDH) and intracerebral hemorrhage (ICH) are among the demanded surgery in elderly. In elderly population, TBI is responsible for more than 80.000 emergency department cases each year; with approximately three-quarters of these cases require further hospitalization. Perioperative management planning requires some considerationsin order to achieve the optimal level of anesthesia and analgesia in the elderly patients. A 65 years old male patient was admitted to the hospital with decreased level of consciousness after motor vehicle traffic injury. During resuscitation, airway was clear, respiratory rate was 18 x/min, blood pressure was 140/80 mmHg, heart rate was 88 x/min. Patient directly underwent an emergency craniotomy evacuation of EDH, SDH and ICH under general anesthesia with continue and comprehensive care of neuroanesthesia and geriatric anesthesia principles.
Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien Spondilitis Tuberkulosis Torakalis dan Tumor Esktramedular (Meningioma Torakalis) T7–11 Silmi Adriman; Dewi Yulianti Bisri; Sri Rahardjo; A Himendra Wargahadibrata
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2662.638 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i2.111

Abstract

Spondilitis tuberkulosis dan tumor spinal merupakan dua dari banyak penyakit yang dapat menyebabkan kompresi dan lesi pada medula spinalis. Gejala klinis muncul sesuai dengan lokasi kompresi atau lesi, seperti kelemahan anggota gerak bawah, gangguan miksi dan gangguan neurologis lainnya. Pada hampir semua kasus, gejala-gejala yang muncul ini menjadi dasar dilakukannya tindakan pembedahan. Pada kasus seperti ini, pemilihan pengaturan posisi pasien saat dilakukan pembedahan, selain untuk mendapatkan akses yang optimal untuk ahli bedah, juga dapat mempengaruhi waktu pulih, morbiditas dan mortalitas. Pada kasus ini dilaporkan laki-laki, 16 tahun, dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) 15, berat badan 50 kg dan hemodinamik stabil, datang dengan keluhan kelemahan pada kedua kaki. Hasil magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan adanya abses pada vertebra torakal 7–8 dan tumor ekstramedular pada vertebra torakal 7-11. Pada pasien dilakukan tindakan laminektomi, pengangkatan tumor, drainase abses dan pemasangan stabilisasi posterior dengan anestesi umum. Tindakan pembedahan dilakukan pada posisi prone. Anesthetic Management of Tuberculous Spondylitis and Extramedullary Tumor (Thoracalis Meningioma) T7–11Tuberculous spondylitis and tumors of the spine are two of many commonly cause of multiple lesions and spinal cord compression. The location of the lesion often determines the clinical manifestation. Mild to severe limb weakness, urinary disturbance and other abnormality due to posterior column compression are the common clinical manifestations. In most cases, these symptoms were used as guidance for surgical treatment. In a case like this, patient’s position during surgery, in addition to gain optimal access for the surgeon, could affect recovery time, morbidity and mortality. This case reported a 16 years old male, with Glasgow Coma Scale (GCS) score 15, bodyweight 50 kgs with stable haemodynamic, admitted to hospital due to paresthesian both legs. Magnetic Resonance Imaging (MRI) revealed paravertebral abscess at vertebral body T7–T8 and coincidencewith extramedullary tumor of the vertebrae T7–T11. Laminectomy, tumor removal, abscess drainage and posterior fixation were performed under general anesthesia. Surgical intervention was done in prone position.