Eri Surahman
Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran Bandung

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Penatalaksanaan Anestesi pada Pasien dengan Sindroma Apert yang Dilakukan Suturektomi Iwan Abdul Rachman; Iwan Fuadi; Eri Surahman
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.332 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol2i2.161

Abstract

Sindroma Apert adalah suatu gangguan genetik yang ditandai dengan penggabungan tulang yang terlalu dini (kraniosinostosis). Penggabungan dini tersebut menghambat pertumbuhan normal tulang dan mempengaruhi pertumbuhan bentuk kepala dan wajah. Penggabungan dini tulang kepala dapat mempengaruhi perkembangan otak bahkan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, dan pada sindroma Apert juga didapatkan penggabungan beberapa jari tangan dan kaki (sindaktili). Seorang anak berusia 2 tahun dengan sindroma Apert. Tanda klinis peningkatan tekanan intrakranial belum didapatkan sehingga operasi dijadwalkan terencana dan pasien dirawat terlebih dahulu di ruangan. Kemungkinan kesulitan untuk intubasi dengan laringoskopi diantisipasi dengan persiapan intubasi menggunakan optik fiber dan trakeostomi. Pasien diberikan premedikasi midazolam 0,5 mg intravena pada saat pasien akan dibawa ke kamar operasi. Dilakukan anestesi umum, induksi menggunakan propofol 30 mg, fentanil 30 μg diberikan 3 menit sebelum intubasi. Fasilitas intubasi dengan vekuronium 2 mg, pemeliharaan anestesi dengan N2O/O2 dan Sevofluran. Vekuronium diberikan 1 mg /jam. Ventilasi kendali menggunakan ETT no. 5,0. Operasi berlangsung selama 6 jam dengan posisi pasien terlentang. Hemodinamik selama operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik berkisar 90-110 mmHg, tekanan darah diastolik 50-70 mmHg, laju nadi (HR) 87-110 x/mnt, SaO2 99-100 %. Setelah operasi berakhir pasien bernafas spontan adekuat dan dilakukan ekstubasi di kamar operasi. Pasca operasi pasien di rawat di PICU hingga hari ke-4 pasien dipindahkan ke ruangan. Gangguan penggabungan tulang kepala yang terlalu dini dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan bentuk kepala, otak dan gangguan pendengaran dan penglihatan. Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Koreksi segera dengan melakukan suturektomi dan dekompresi dapat mencegah kemungkinan-kemungkinan tersebut. Anaesthetic management of patient with Apert syndrome which undergo suturectomy Apert syndrome is a genetic disorder characterized by the premature fusion of certain skull bones (craniosynostosis). This early fusion prevents the skull from growing normally and affects the shape of the head and face. Early fusion of the skull bones also affects the development of the brain and even can increased the intracranial pressure. In apert syndrome there was also fusion of fingers and toes (syndactyly). A 2 years old child with Apert syndrome which undergo suturectomy and decompression. The clinical signs of raised intracranial pressure in this patient has not been obtained yet so the surgery was done as scheduled . Difficulties to perform intubation with direct laryngoscopy were anticipated through the use of fiber optic and preparation of tracheostomy. Patient has been given premedication using midazolam 0,5 mg given intravenously before his admission to the operating room. The surgery is performed with general anesthesia using propofol 30 mg then fentanyl 30mcg, 3 minutes before intubation. Vecuronium 2mg was given to facilitates intubation. Maintenance of anesthesia with Nitroons/O2 sevoflurane and Vecuronium 1mg/hour. Ventilation was controlled by using ETT no 5.0. Patient was in supine position, and it last for 6 hours. There was relatively stable hemodynamics, systolic blood pressure range 90-110 mmHg, diastolic blood pressure 50-70 mmHg, pulse rate 87-110x/minutes, SaO2 99-100%. After the operation, there was adequate spontaneous breathing so extubation was performed in the operating room, then he was referred to PICU. On day 4 patient was moved to the room. Premature fusion of skull bones will cause growth disorders of the head, brain, and hearing and vision impairment. It also can cause increased intracranial pressure. Immediate correction by suturectomy and decompression can prevent this possibility.
Pengelolaan Anestesi pada Anak dengan Hidrosefalus Kenanga Marwan; Eri Surahman; Siti Chasnak Saleh
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2575.002 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol3i1.131

Abstract

Hidrosefalus merupakan suatu kelainan yang sering ditemukan pada anak dimana terjadi dilatasi pada sistem ventrikel otak akibat akumulasi cairan otak dengan berbagai penyebab. Secara klinis, gambaran kenaikan tekanan intrakranial pada anak berbeda sesuai perkembangan usianya. Adanya kenaikan tekanan intrakranial ini memberikan konsekuensi klinis berupa intervensi pembedahan, karena bila tidak bisa berakibat fatal. Beberapa alternatif tindakan yang biasanya dilakukan terutama adalah pemasangan pintasan (shunt) untuk mengalirkan cairan otak keluar, sehingga tekanan intrakranial kembali normal. Manajemen perioperatif anestesi terutama dikhususkan berdasarkan kondisi klinis penderita, pemilihan obat-obat anestesi yang digunakan, pengelolaan jalan napas dan perawatan pascabedah. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi ahli anestesi, karena adanya tekanan intrakranial yang tinggi, kesadaran yang menurun, resiko aspirasi dan bentuk anatomi jalan napas yang berbeda dengan dewasa, sehingga perlu perhatian khusus pada saat mengamankan jalan napas dan pengelolaan anestesi. Anaesthetic Management for Hydrocephalus in ChildrenHydrocephalus is an abnormal condition, often found in children, where there is a dilatation in the brain ventricle system due to the accumulation of cerebrospinal fluid because of many etiologies. Clinical feature demonstrates increasing intracranial pressure in children which is different type at any age. This condition needs an interventional surgery. Usually the neurosurgeon will insert a shunt to drain the cerebrospinal fluid lower the intracranial pressure back to normal values. Anesthetic perioperative management is especially based on the clinical condition of the patient, selected the anesthetic agent, airway management and post-operative care. This has become a challenge for the anesthesiologist, because of increasing intracranial pressure, decreased consciousness status, aspiration risk and different anatomical airway form compared to adults, which require special attention to secure the airway.
Manajemen Neuroanestesi pada Operasi Carotid Endarterectomy: Pasien dengan Riwayat Stroke Berulang Chrismas Gideon Bangun; RR. Sinta Irina; Dewi Yulianti Bisri; Eri Surahman
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 10, No 1 (2021)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2702.836 KB) | DOI: 10.24244/jni.v10i1.323

Abstract

Carotid endarterectomy (CEA) adalah prosedur bedah yang dilakukan untuk memulihkan aliran darah karotis dan mengurangi kejadian stroke embolik dan trombotik. Walaupun merupakan prosedur preventif, CEA membawa risiko komplikasi perioperatif: neurologik dan kardiak. Komplikasi mayor CEA adalah stroke intra dan postoperatif, infark miokard, dan kematian. Untuk mengurangi angka kejadian stroke intraoperatif maka dikembangkan teknologi monitoring intraoperatif salah satunya dengan elektroensefalogram (EEG). Pada kasus ini pasien laki-laki, 62 tahun, dengan riwayat stroke iskemik berulang dan kelemahan tungkai kiri direncanakan untuk CEA dengan anestesi umum. Ahli bedah memutuskan untuk menggunakan shunt secara selektif dengan menilai monitoring EEG saat dilakukan clamping. Akhirnya shunt tidak jadi dilakukan, operasi berjalan selama 6 jam, diwarnai dengan gejolak hemodinamik yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit karotis akibat gangguan baroreseptor. Dengan penanganan anestesi yang cermat selama dan sesudah operasi, operasi berhasil dilakukan, dan hasil postoperasi kekuatan motorik kaki kiri meningkat dari 2 ke 4. Management Neuroanesthesia for Carotid Endarterectomy: Patients with a History of Recurrent StrokeAbstractCarotid endarterectomy (CEA) is a surgical procedure performed to restore carotid blood flow and reduce the incidence of embolic and thrombotic strokes. Although it is a preventive procedure, CEA carries the risk of perioperative complications: neurologic and cardiac. Major complications of CEA are intra and postoperative stroke, myocardial infarction, and death. To reduce the number of intraoperative stroke events, one of them is to develop intraoperative monitoring technology with electroencephalogram (EEG). In this case, a male patient, 62 years old, with statistics of recurrent stroke and left leg weakness was approved for CEA under general anesthesia. Surgeons decide to use shunt selectively by assessing EEG monitoring when clamping. Finally the shunt was not performed, the operation lasted for 6 hours, tinged with hemodynamic shocks that often occur in patients with carotid disease due to baroreceptor disorders. By managing anesthesia meticulously during and after surgery, the operation was successfully performed, and the results of the post on the left leg strengthening motor increased from 2 to 4.