Titiek YULIANTI
Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Pengaruh Inkubasi Bahan Organik yang Diperkaya dengan Mimba Terhadap Keparahan Penyakit Rebah Kecambah Yulianti, Titiek; Suhara, Cece; Hidayah, Nurul
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 4, No 2 (2012): Oktober 2012
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penyakit rebah kecambah yang disebabkan oleh Rhizoctonia solani Kühn merupakan salah satu penyakit me-rugikan pada tanaman kapas. Jamur ini dapat bertahan sebagai saprofit di tanah dengan bahan organik se-bagai sumber energinya, sehingga keberadaan bahan organik terkadang dapat meningkatkan populasi R. solani meskipun aktivitas mikroba di sekitarnya juga meningkat. Namun penambahan bahan organik yang mengan-dung senyawa fungisidal seperti mimba diharapkan mampu menekan populasi R. solani. Penelitian ini ber-tujuan mengevaluasi pengaruh inkubasi bahan organik yang berasal dari pupuk kandang atau serbuk rajungan yang diperkaya dengan mimba terhadap keparahan penyakit rebah kecambah akibat R. solani. Penelitian ini dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat yang disusun berdasarkan rancangan faktorial dalam kelompok dengan tiga ulangan yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama adalah sumber bahan organik yang berasal dari (1) pupuk kandang ayam (PKA) atau (2) sapi (PKS) atau (3) serbuk kulit rajungan (SKR) diperkaya dengan serbuk biji mimba (SBM) dengan perbandingan 3:1. Bahan organik kemudian dicampur dengan tanah berpasir dengan perbandingan 9:1 (b/b), sebagai kontrol adalah tanah ber-pasir tanpa bahan organik. Faktor kedua adalah masa inkubasi bahan organik yang terdiri atas 1, 2, dan 3 bulan. Satu unit perlakuan adalah satu bak plastik berisi 5 kg tanah yang ditanami 25 biji kapas. Inokulasi 5 biji kapas yang terinfestasi R. solani ke dalam tanah dilakukan bersamaan dengan aplikasi bahan organik. Keparahan penyakit rebah kecambah dihitung pada hari ketujuh dan ke-14 setelah tanam dan populasi mikroba di tanah (bakteri, aktinomisetes, dan jamur) dihitung pada 1, 2, dan 3 bulan setelah aplikasi bahan organik. Hasil penelitian menunjukkan inkubasi PKA+SBM atau PKS+SBM selama 2–3 bulan dapat mengu-rangi infeksi R. solani dan kejadian penyakit rebah kecambah pada tanaman kapas yang disebabkan oleh R. solani karena meningkatnya populasi mikroorganisme (jamur, bakteri, dan aktinomisetes). Namun, penam-bahan SKR+SBM baik diinkubasi 1, 2, maupun 3 bulan belum meningkatkan populasi mikroba secara nyata dan tidak dapat mengurangi keparahan penyakit. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin lama masa inkubasi, dekomposisi bahan organik yang berasal dari PKA atau PKS+SBM menjadi lebih sempurna. Kondisi tersebut dapat menekan kejadian penyakit rebah kecambah melalui penekanan populasi R. solani akibat peningkatan populasi mikroba tanah. Dengan demikian, penambahan PKA+SBM atau PKS+SBM dapat digunakan untuk mengendalikan R. solani asalkan sudah diinkubasi 2–3 bulan sebelum ditanami kapas. Damping off caused by Rhizoctonia solani Kühn is an important disease on cotton. The fungus survives as a saprophyte in soil with organic matter as its source of energy. Hence, the presence of organic matter could increase population of R. solani instead of the soil microbial activities in the vicinity. And yet, addition of organic matter with fungicidal activity such as neem was expected decrease population of R. solani. This study aimed to determine the effect of incubation period of some organic matters (farmyard manure or crab shell enriched with neem seed powder) on severity of damping off of cotton caused by R. solani. The organic matter was mixed with sandy soil at 9:1 (w/w). The test was arranged in factorial blocked design with three replicates. The first factor was source of organic matters i.e: (1) chicken manure: neem seed powder (nsp) 3:1; (2) cow manure: (nsp) 3:1; (3) crab shell powder: (nsp) 3:1; and (4) sandy soil without organic matter. The second factor was incubation period of the organic matter before cotton sowing (1, 2, and 3 months). Inoculation of five R. solani infested cotton seeds was done along with incorporation of organic matter. Damping off severity was counted at 7 and 14 days after sowing; population of soil microorganisms (bacteria, actino-mycetes, and fungi) was estimated 0, 1, 2, and 3 months. Incubation chicken manure+nsp or cow manure+ nsp for 2–3 months reduced damping off severity due to R. solani infection since population of microor-ganisms (fungi, bacteria, and actinomycetes) increased. However, addition of crab shell+nsp incubated for 1, 2, or 3 months did not increase population of soil mikrobes significantly and did not reduce disease severity. This result of this study indicated that the more duration period of incubation, the more farmyard manure decomposed hence, damping off severity declined through reduction of population of R. solani due to increasing population of soil microbes. So, addition of farmyard manure could control R. solani as long as it has been incubated for at least 2–3 months before sowing.
Ketahanan Aksesi Plasma Nutfah Tembakau Cerutu terhadap Penyakit Lanas dan Busuk Batang Berlubang Resistance of Tobacco Germplasms Against Black Shank and Hollow Stalk Yulianti, Titiek
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 1, No 1 (2009): April 2009
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh aksesi tembakau cerutu yang tahan terhadap penyakit lanas dise-babkan oleh patogen Phytophthora nicotianae vßdH var. nicotianae Waterhouse dan busuk batang berlu-bang yang disebabkan oleh patogen Erwinia carotovora sebagai sumber genetik pada persilangan untuk me-rakit varietas unggul baru. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kasa dan semi lapangan pada polybag di Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang, mulai bulan Maret sampai dengan De-sember 2008. Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Unit perlaku-an terdiri dari 10 tanaman tembakau cerutu. Parameter pengamatan adalah persentase tanaman sakit. Ino-kulasi Phytophthora nicotianae pada tanaman dilakukan pada 1 bulan setelah tanam dengan cara membuat luka/sayatan pada pangkal batang kemudian diolesi suspensi patogen dan ditutup dengan kapas steril yang dibasahi dengan air steril untuk menjaga kelembapan. Inokulasi E. carotovora dilakukan pada dua minggu setelah tanam (MST) yaitu pada akar yang disayat terlebih dahulu dengan menggunakan pisau cutter seba-gai media masuknya inokulum pada bagian tanaman. Suspensi inokulum yang digunakan 10 ml dengan ke-rapatan 108/ml per polybag. Dari hasil pengujian diperoleh enam aksesi tembakau cerutu tahan terhadap P. nicotianae yaitu: S-2235, S-2272, S-2361, S-2399, S-2400, dan S-2403. Sedangkan aksesi yang tahan ter-hadap E. carotovora adalah: S-2234, S-2236, S-2271, S-2272, S-2298, S-2299, S-2361, S-2399, S-2400, dan S-2401.This study aimed to examine the resistance level of 30 cigar tobacco accessions to Phytophthora nicotianae, the causal agent of black shank, and Erwinia carotovora, the causal agent of hollow stalk. The resistant lines will be used as resistant genetic source in breeding process to construct premium variety (ies). The screen-ing test was conducted in a glass house from March–December 2008 arranging in randomized block design with three replicates. Each unit of tobacco accessions consisted of 10 plants and percentage of wilt/diseased plant assessed to determine the resistant degree. P. nicotianae was inoculated on wounded bottom stem beneath the soil level 1 month after transplanting. Whilst E. carotovora was infested in sterilized soil 10 ml with concentration of 108 per polybag two weeks after tobacco seedlings were transplanted. The root sys-tems were wounded to facilitate the bacterium enter the cells. Results of the test show that 6 of 16 tested accessions were resistant, ie. S-2235, S-2272, S-2361, S-2399, S-2400, and S-2403 to P. nicotianae; and 10 accessions were resistant to E. carotovora ie. S-2234, S-2236, S-2271, S-2272, S-2298, S-2299, S-2361, S-2399, S-2400, and S-2401.
Bahan Organik: Perannya dalam Pengelolaan Kesehatan Tanah dan Pengendalian Patogen Tular Tanah Menuju Pertanian Tembakau Organik Yulianti, Titiek
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 2, No 1 (2010): April 2010
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kompleksnya masalah lingkungan pada usaha tani tembakau akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang kurang bijaksana mendorong keluarnya kebijakan Good Agricultural Practices (GAP) untuk tanaman tembakau yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan tembakau dunia. Salah satu syarat terciptanya GAP adalah pengelolaan tanah dengan benar secara ramah lingkungan dengan menggunakan sumber daya alam yang ada, antara lain dengan penambahan bahan organik ke dalam tanah. Cara tersebut selain meningkat-kan kesuburan tanah dan memperbaiki struktur fisik tanah, juga berfungsi mengembalikan keseimbangan mikrobiologi dalam tanah. Pada kondisi tertentu cara tersebut bahkan mampu mengendalikan penyakit ta-naman, terutama jika agensia hayati ditambahkan ke dalamnya. Makalah ini membahas peran bahan organik dalam memperbaiki fungsi kimia, fisik, dan biologi tanah agar menjadi sehat dan produktif sebagai persiapan menuju usaha tani tembakau yang memenuhi standar GAP dan organik. Environmental problems on tobacco farm created by excessive use of pesticide and inorganic fertilizers has issued Good Agricultural Practices (GAP) sponsored by world tobacco companies. One key factor of the suc-cess of GAP is environmentally friendly soil management through the use of natural resources in the vicinity, such as organic amendment. Soil organic matter enhances soil fertility, improves soil physical properties, and restores soil microbiological equilibrium. It also provides longterm control to soilborne pathogens, especially when a biological control agent is added. This paper discusses the role of organic matter on enhancement chemical, physical, and biological soil properties. This conditions will improve soil health and fertility toward GAP tobacco production and organic tobacco.
Pengaruh Waktu Inokulasi dan Jumlah Inokulum Terhadap Patogenisitas Phytophthora nicotianae pada Bibit Tembakau Hidayah, Nurul; Yulianti, Titiek
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 2, No 2 (2010): Oktober 2010
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Waktu inokulasi yang tepat serta jumlah inokulum yang digunakan merupakan salah satu faktor yang me-nentukan keberhasilan inokulasi buatan yang lazim dilakukan dalam pengujian ketahanan suatu varietas ter-hadap patogen tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu inokulasi dan jumlah inokulum Phytophthora nicotianae yang paling efektif untuk dapat menimbulkan gejala penyakit lanas pada bibit tembakau. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kasa Fitopatologi Balittas, Malang pada bulan Juli Oktober 2006. Metode penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari dua faktor, yaitu umur bibit saat inokulasi (faktor I), terdiri dari tiga tingkat yaitu: 1) bibit berumur 5 minggu setelah se-mai (mss), 2) bibit berumur 6 mss dan 3) bibit berumur 7 mss dan jumlah inokulum (faktor II), terdiri dari 4 tingkat yaitu: 1) tanpa inokulum (kontrol), 2) 1.3502.400 zoospora/bibit, 2) 2.7004.800 zoospora/bibit, dan 4) 5.4009.600 zoospora/bibit. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali. Pengamatan dilaku-kan pada masa inkubasi dan kejadian penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit dipengaruhi oleh umur bibit saat inokulasi. Bibit yang lebih muda mempunyai masa inkubasi lebih cepat yak-ni 4,5 hari dibandingkan dengan bibit yang lebih tua. Kejadian penyakit tertinggi yaitu sebesar 56,9% terjadi pada saat bibit diinokulasi berumur 5 mss dengan jumlah inokulum 1.3502.400 zoospora/bibit. Suitable time of inoculation and inoculum density are factors to determine the success of artificial inoculation to evaluate of resistant level of plant variety to pathogen. The aim of this research was to study the appro-priate time of inoculation and inoculum density of Phytophthora nicotianae, the causal agent of black shank and damping off on tobacco seedling. The research was conducted in Phytopathology laboratory and screen house of IToFCRI Malang from July-October 2006. This research was arranged in complete randomized de-sign which consisted two factors and three replicates. The first factor was comprised of three times of ino-culation, and the second was the density of P. nicotianae inoculum. The parameters observed were incuba-tion period and disease incidence. The result showed that the incubation period was affected by the age of seedling when it was inoculated. The younger seedling was more susceptible than the older one. The high disease incidence (56.9%) was reached when the seedling five weeks old and inoculated by inoculum con-tained of 1,3502,400 zoospores/seedling.
Prospek Pengembangan Kapas Organik di Indonesia Yulianti, Titiek
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 3, No 2 (2011): Oktober 2011
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sistem pertanian organik pada tanaman pangan mulai diminati masyarakat karena produknya lebih sehat dan pengelolaannya memperhatikan lingkungan, siklus biologi, dan keanekaragaman hayati setempat. Kecende-rungan ini merembet ke tanaman nonpangan, seperti kapas yang menggunakan pestisida dan pupuk sintetis sangat besar. Syarat pengembangan kapas organik cukup ketat karena selain larangan menggunakan bahan kimia sintetis, juga pendokumentasian untuk memperoleh sertifikat organik. Meskipun serat kapas organik harganya lebih tinggi, namun produktivitasnya cenderung rendah. Keuntungan yang paling signifikan dalam pengembangan kapas organik adalah perbaikan lingkungan, mulai dari kesuburan lahan, aktivitas mikroba, dan siklus biologi sampai peningkatan keanekaragaman hayati. Pengembangan kapas di Indonesia masih menghadapi masalah rendahnya produktivitas dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri sehingga pengem-bangan kapas organik belum menjadi prioritas meskipun kelestarian biologi dan lingkungan harus tetap di-perhatikan. Oleh karena itu, sistem pertanian input rendah yang berkelanjutan dan ramah lingkungan meru-pakan pilihan yang dapat dikembangkan untuk kapas. People are now paying more interest on healthy products from organic agriculture especially for food crops. Organic agriculture system based on ecological concern which enhances biodiversity, biological cycles of the land. This interest is now moving to nonfood crops, such as cotton that need high concentration of pesticide and fertilizer for its production. Developing organic cotton requires strictly standard and condition, such as no synthetic chemical fertilizers and pesticides, or detail documents to get organic sertificate. Although, price of organic cotton fiber is higher, but its production is lower compared to conventional one. However, there are still significant advantages in developing organic cotton, i.e. environmental improvements: from soil ferti-lities, microbial activities, biological cycles to promoting biodiversity. At the moment, the need of cotton fiber is mainly from import, on the other side organic cotton productivity tends to low. Hence, development of or-ganic cotton is not priority, yet biological and environmental sustainability ask for attention. Another alterna-tive choice which more practicable to develop cotton in Indonesia is a sustainable and ecofriendly with low input agricultural system.
Pemanfaatan Endofit Sebagai Agensia Pengendali Hayati Hama dan Penyakit Tanaman Yulianti, Titiek
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 5, No 1 (2013): April 2013
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Endofit merupakan mikroorganisme (bakteri, jamur, atau aktinomisetes) yang hidup dan berkoloni di dalam jaringan inang tanpa menimbulkan efek negatif, bahkan banyak memberi keuntungan terhadap inangnya. Salah satu keuntungannya adalah sebagai agensia pengendali hayati baik untuk serangga hama maupun pa-togen penyebab penyakit tanaman. Sebagai agensia hayati, endofit dapat mengurangi kerusakan tanaman oleh serangga, nematoda, atau patogen penyebab penyakit melalui induksi ketahanan tanaman. Selain itu endofit juga dapat berfungsi sebagai agensia hayati melalui interaksi antagonis dan kompetisi. Dalam artikel ini akan dibahas kemampuan endofit sebagai agensia hayati serangga hama dan patogen; mekanisme yang berlang-sung; serta aplikasi endofit dalam dunia pertanian, khususnya tanaman perkebunan. Endophytes are recognized as microorganisms (bacteria, fungi, or actinomycetes), living and colonizing within host tissues without causing any harm, but giving many benefits to their host. One of the advantages is their role as biocontrol agents for insect pest or plant pathogen. As biocontol agents, endophytes could re-duce plant damage by insects, nematodes, and pathogens through induction for plant resistant mechanisms. Endophytes can also act as biocontrol agents through antagonistic and competition interactions. This article reviews the ability of endophytes as biocontrol agents for insect pest and plant pathogen, the mechanism, and application of endophytes in agriculture, particularly in estate crops.
PATOGENISITAS Achaea janata GRANULOSIS VIRUS (AjGV) TERHADAP ULAT PEMAKAN DAUN TANAMAN JARAK KEPYAR INDRAYANI, IGAA.; PRABOWO, HERI; YULIANTI, TITIEK
853-8212
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKAchaea janata L. adalah hama penting tanaman jarak kepyar(Ricinus  communis)  yang  hingga  kini  pengendaliannya  masihmenggunakan insektisida kimia secara intensif. Selain tidak efisien,insektisida kimia juga menimbulkan pencemaran lingkungan. Untukmengatasi masalah tersebut, maka perlu cara pengendalian alternatif yangselain efektif dan efisien, juga ramah lingkungan, seperti virus yangdiisolasi dari ulat A. janata (A. janata Granulosis Virus/AjGV). Penelitianpatogenisitas AjGV pada A. janata dilakukan di Laboratorium PatologiSerangga Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) mulaiJanuari - Desember 2012. Perlakuan terdiri atas enam konsentrasi AjGV,yaitu 10 3 , 10 4 , 10 5 , 10 6 , 10 7 , 10 8 occlusion bodies (OB), dan satu kontrol.Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan empat kaliulangan. Ulat A. janata yang digunakan adalah instar II, III, IV, dan Vmasing-masing 90 ekor/perlakuan. Parameter yang diamati adalahmortalitas dan bobot ulat, konsentrasi untuk membunuh 50% ulat (LC 50 ),dan waktu untuk membunuh 50% ulat (LT 50 ). Hasil penelitianmenunjukkan bahwa AjGV patogenik terhadap A. janata, terutama ulatinstar II dan III dengan mortalitas berturut-turut 90 dan 86,7%. LC 50 AjGVpada ulat instar II dan III masing-masing mencapai 1,0 x 10 3 dan 1,2 x 10 3OB/ml, dengan LT 50 kedua instar sekitar 3,4-4,2 hari. Pengaruh infeksiAjGV pada ulat A. janata efektif menurunkan bobot ulat hidup 57,9 dan57,4% masing-masing pada ulat instar II dan III. Hasil penelitian inimengindikasikan bahwa sasaran yang tepat untuk pengendalian ulat A.janata dengan AjGV di lapangan adalah pada saat instar II dan III.Kata kunci: Achaea janata L, patogenisitas, instar, mortalitasABSTRACTAchaea janata L. is an important insect pest of castor plant (Ricinuscommunis L.) that was intensively controlled by chemical insecticidecaused inefficiency and an environmental polution. To solve the problemsit needs an effective, efficient and environmental friendly of alternativecontrol, especially using Granulosis Virus isolated from A. janata larvae(AjGV). Study on pathogenicity of A. janata virus isolate against castorleaf-eater, A. janata L. was conducted at Insect Pathology Laboratory ofIndonesia Sweetener and Fibre Crops Research Institute in Malang fromJanuary to December 2012. The objective of study is to test thepathogenicity of AjGV against A. janata larvae. Treatment consists of sixconcentrations of AjGV, viz. 10 3 , 10 4 , 10 5 , 10 6 , 10 7 , 10 8 OBs/ml and onecontrol. Four instars of larvae, e.g. second, third, fourth, and fifth wereused in this study. Each treatments was arranged in Randomized BlockDesign with four replications. Parameter recorded were mortality andweight of larvae, LC 50 , and LT 50 . Result showed that AjGV was pathogenicto A. janata larvae, mainly on second and third instar in resulting of 90%and 86.7% of mortality, respectively. The LC 50 of AjGV on the second andthird instar was 1.0 x 10 3 and 1.2 x 10 3 OB/ml, respectively and the LT 50was 3.4 and 4.2 days, respectively. Infection of A. janata virus reducedthe weight of both instar up to 57.9% and 57.4%, respectively. This resultindicated that the second and third was the suitable instars of A. janatalarvae for better control of AjGV in field.Key word: Achaea janata L, pathogenicity, instar, mortality
Uji Antagonisme Bacillus cereus terhadap Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii Hidayah, Nurul; Yulianti, Titiek
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 7, No 1 (2015): April 2015
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jamur Rhizoctonia solani dan Sclerotium rolfsii merupakan kelompok jamur steril (tidak menghasilkan spora) tetapi dapat menghasilkan sklerosia sebagai sumber inokulum primer, dan struktur istirahat jamur yang dapat bertahan selama beberapa tahun di dalam tanah saat kondisi lingkungan kurang menguntungkan. Penggunaan fungisida, fumigasi, dan solarisasi tanah telah digunakan untuk mengendalikan kedua jamur tersebut, namun hasil yang diperoleh masih beragam. Pengendalian hayati dengan menggunakan bakteri Bacillus sp. yang merupakan salah satu kelompok agens hayati patogen diketahui memberikan hasil yang baik pada beberapa tanaman. Penelitian yang bertujuan menguji potensi B. cereus dalam menghambat pertumbuhan jamur R. solani dan S. rolfsii secara in vitro dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi Balittas dengan menggunakan metode dual culture pada media potato dextrose agar (PDA). Miselia jamur R. solani dan S. rolfsii masing-masing berumur 5 hari diambil dengan menggunakan cork borer ukuran 0,5 cm ditanam pada media PDA berhadapan dengan B. cereus dengan jarak 3 cm. Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap dan diulang empat kali. Pengamatan dilakukan terhadap persentase penghambatan pertumbuhan jamur oleh Bacillus sp. dan laju pertumbuhan jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus sp. mampu menghambat pertumbuhan miselia R. solani dan S. rolfsii masing-masing sebesar 68,9% dan 33% pada hari ketiga setelah perlakuan. Keberadaan B. cereus dapat memperlambat laju pertumbuhan R. solani (15,5 mm/24 jam), dibandingkan perlakuan kontrol (tanpa B. cereus) sebesar 19,7 mm/24 jam. Hasil ini menunjukkan bahwa B. cereus dapat menghambat pertumbuhan R. solani dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens hayati. Rhizoctonia solani and Sclerotium rolfsii (the causal agents of damping off disease on various hosts) are the group of sterile fungi that cannot produce spores. Nevertheless, they produce sclerotia as primary inocula and resting spores when facing unfavorable condition. Several control methods using chemical fungicides and solarization had been conducted, but the results were still inconsistent. In addition, the use of Bacillus sp. as a biological control agent for several plant diseases had provided successful results. Furthermore, the research aimed to evaluate the potency of B. cereus towards R. solani and S. rolfsii in vitro was carried out in the laboratory of phytopathology using dual culture method on PDA medium. Five days of R. solani and S. rolfsii miselia were plugged and inoculated on PDA medium toward B. cereus. The research was arranged by completely randomized design with four replicates. The percentage of fungal inhibition and fungal growth rate were observed. The result showed that B. cereus exhibited mycelial growth inhibition activity of R. solani and S. rolfsii by 68,9% and 33% three days after treatments, respectively. The result also indicated thatB. cereus has a potential prospect to be developed as a biological control agent because the bacteria could suspend the growth rate of R. solani.
Tingkat Ketahanan 70 aksesi Plasma Nutfah Kenaf terhadap Fusarium oxysporum Schletch Supriyono, .; Yulianti, Titiek
Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri Vol 8, No 2 (2016): Oktober 2016
Publisher : Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (576.401 KB) | DOI: 10.21082/btsm.v8n2.2016.65-73

Abstract

Salah satu penyakit penting yang sangat merugikan tanaman kenaf adalah penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh Fusarium oxysporum Schlecht. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tingkat ketahanan aksesi kenaf terhadap jamur Fusarium oxysporum. Penelitian dilakukan di laboratorium dan rumah kasa Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat, Malang menggunakan rancangan acak lengkap) yang diulang tiga kali. Dalam evaluasi ini digunakan 70 aksesi dan 1 aksesi tahan (BG-52-135) yang digunakan sebagai kontrol. Inokulasi dilakukan pada 7 hari setelah tanam (HST) menggunakan suspensi spora dengan kerapatan105/ml sebanyak 100 ml setiap bak. Pengamatan intensitas serangan dilakukan mulai 10–40 hari setelah inokulasi (HSI) dengan interval pengamatan lima hari. Pengamatan persentase diskolorisasi batang dilakukan sekali pada 50 HSI. Hasil pengujian memperoleh 1 aksesi (FJ/017) sangat tahan dengan intensitas serangan terrendah (0,83%) dan 14 aksesi tahan dengan intensitas serangan <10%, 28 aksesi dengan ketahanan moderat, dan 27 aksesi yang rentan terhadap infeksi F. oxysporum. Aksesisi FJ/017 (aksesi yang sangat tahan) dan 14 aksesi yang tahan: 1064(SUC/012), 1061(SRB/082), 1035(FJ/005), 839(PARC/2709), 955(FJ/003), 842(PARC/2712), 1095(SUC/003), 838(PARC/2708), 957(FJ/ 007), 1065(SUC/023), 1042(CHN/056), 145(BL/118), 1036(FJ/006), dan 778(PARC/2466) dapat digunakan sebagai sumber ketahanan pada perakitan varietas baru. One of the important disease that very detrimental to kenaf is Fusarium wilt caused by Fusarium oxysporum Schlecht. The purpose of this study was to evaluate the response of 70 kenaf germplasms accessions against F. oxysporum. The study was conducted at the Phytopatology Laboratory and screen house of Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute, Malang using completely randomized design with three replicates.  Seventy accessions and one resistant accession as control (1267 (BG-52-135) were used in this study.  Inoculation of Fusarium was done 7 days after sowing (das) by sprinkling 100 ml of spore suspension into the soil.  Observation of disease intensity started at 10–40 days after inoculation (dai) and repeated every five days.  Percentage of stalk discolorization was estimated at 50 dai.  The results showed that accession 1040 (FJ/017) had the lowest disease intensity (0.83%), hence was categorized as a highly resitant accession. Fourteen accessions were categorized as resistant with disease intensity below or equal to 10%; 28 accessions were moderate resistant; and 27 accessions were susceptible.  FJ/017 (the highset resistant accession) and 14 resis-tant accessions (1064(SUC/012), 1061(SRB/082), 1035(FJ/005), 839(PARC/2709), 955(FJ/003), 842(PARC/ 2712), 1095(SUC/003), 838PARC/2708), 957(FJ/007), 1065(SUC/023), 1042(CHN/056), 145(BL/118), 1036 (FJ/006), dan 778(PARC/2466)) could be used as resistant  genetic sources  in developing new varieties.
Biofumigan untuk Pengendalian Patogen Tular Tanah Penyebab Penyakit Tanaman yang Ramah Lingkungan YULIANTI, TITIEK; SUPRIADI, SUPRIADI
Perspektif Vol 7, No 1 (2008): Juni 2008
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (670.322 KB) | DOI: 10.21082/p.v7n1.2008.%p

Abstract

ABSTRAKMetil  bromida  adalah  pestisida  berspektrum  luas untuk   mengendalikan   serangga,   nematoda,   dan patogen,   baik   dalam   tanah   maupun   di   gudang. Senyawa ini sudah dilarang penggunaannya di dunia berdasarkan  kesepakatan  Montreal  Protocol  tahun 2000, bahkan harus dimusnahkan di seluruh dunia pada tahun 2015.  Di beberapa negara maju sudah gencar dilakukan penelitian untuk mencari senyawa biofumigan sebagai alternatif pengganti metil bromida. Tulisan ini menguraikan salah satu sumber biofumigan  yang  cukup  prospektif  dan  cukup  banyak  diteliti, yaitu, glukosinolat (GSL), termasuk beberapa aspek berkaitan dengan biosintesis dan hidrolisis senyawa tersebut dan produk yang dihasilkan, sumber tanaman penghasil   GSL,   pengaruh   biofumigan   terhadap patogen tular tanah dan mikroorganisme lainnya, serta prospek  dan  kendala  pemanfaatan  biofumigan  di Indonesia.  GSL  berasal  dari  tanaman  famili  kubis-kubisan (Brassicaceae).  Ada sekitar 350 genera dan 2500   spesies   famili   Brassicaceae   yang   diketahui mengandung senyawa GSL. GSL merupakan senyawa yang   mengandung   nitrogen   dan   belerang   hasil metabolit sekunder tanaman.  GSL akan dihidrolisis apabila   terjadi   kontak   dengan   enzim   mirosinase, biasanya melalui pelukaan jaringan tanaman.  Hasil hidrolisis adalah beberapa senyawa, baik yang bersifat volatil maupun tidak, misalnya isotiosianat (ITS), ion tiosianat (SCN-),  nitril,  epitionitril,  indolil  alkohol, amin, sianid organik dan oksazolidinetion. Senyawa yang dihasilkan dari proses hidrolisis tergantung pada suhu, pH, dan jenis tanah.  Meskipun sudah banyak bukti  bahwa  senyawa  ITS  mampu  mengendalikan patogen-patogen    tular    tanah,    namun    untuk penerapannya  di  Indonesia  masih  perlu  penelitian supaya diperoleh hasil yang efektif, seperti eksplorasi jenis-jenis Brassicaceae    lokal    sebagai    sumber biofumigan, teknik aplikasi di lapangan (pola tanam, rotasi, tumpangsari,  tanaman penutup tanah), dan faktor-faktor   abiotik   yang   berpengaruh   terhadap biosintesis maupun hidrolisis GSL di dalam tanah.Kata   kunci:   Brassicaceae,   biofumigan,   hidrolisis, sumber   tanaman,   prospek   pengem-bangan di Indonesia ABSTRACTBiofumigant as an environmentally friendly method to control soilborne plant pathogensMethyl bromide (MBr) is a broad spectrum pesticide used to control insects, nematodes, and pathogens both in soils and storages.  Under the Montreal Protocol 2000, MBr has been banned excempted for critical use and it is scheduled to be eliminated completely as of 2015. Several  developed  countries  are  intensively seeking for biofumigants as an alternative substances to substitute MBr. This paper discuses glucosinolate (GSL),   one  of  the  most  prospective  biofumigant, including its biosynthesis, hydrolisis process and their products, effect on soilborne pathogen and other soil microorganisms, as well as its prospect and constrains of  the  development  of  biofumigant  in  agricultural system in Indonesia.  There are about 350 genus and 2500 spesies of Brassicaceae plants known to contain GSLs. The GSLs are secondary metabolites that contain sulfur, nitrogen and a group of glucose.  The GSL is only hydrolysed when it is contacted with myrosinase enzym in the presence of water, commonly occured when plant tissue is damaged.  Various hydrolysis products of volatile and non volatile compounds are known such as isothiocyanates (ITCs), ion thiocyanates (SCN-), nitrile, epithionitrile, indolyl alcohol, amine, organic   cyanide   and   oxazolidinethion.   Type   of hydrolised products depends on soil temperature, pH, and soil types.  Ample evidences support the use of ITCs to control soilborne pathogens and yet to obtain effective control in a large scale application, especially in Indonesia, needs more comprehensive studies, such as exploration of biofumigant sources from indigenous or local species of Brassicaceae, application methods (cropping  system,  rotation,  intercropping,  or  cover crop) and other abiotic factors affecting the hydrolysis process of GSL in soil.Keyword: Brassicaceae, biofumigant, hydrolisis, plant source, prospect, Indonesia.