Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

Public Perception on Historical Landscape of Ethnic Immigrant Heritage in Heritage City of Baubau Syahadat, Ray March; Arifin, Nurhayati H.S.; Arifin, Hadi Susilo
Jurnal Komunitas: Research and Learning in Sociology and Anthropology Vol 6, No 2 (2014): Komunitas, September 2014
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v6i2.3310

Abstract

As a one of the heritage cities in Indonesia, Baubau has many historical heritages which are not only created by local ethnics but also by immigrants. There are three historical landscapes created by the immigrants like China Town by Chinese, Waliabuku by Bugisnese, and Ngkaring-Ngkaring by Balinese. Until now, proper management to preserve the landscapes does not exist and it remains unknown whether this phenomenon is caused by the public perception who think that historical landscapes of immigrants as an unimportant heritage. The objective of this study is to investigate the public perception of historical landscapes that are created by immigrant in Baubau city as an heritage city in Indonesia. The results of survey show that the public regard all historical landscapes must be preserved. However, the landscapes created by the ethnic of Chinese have the lowest degree of public selection as compared to the ethnics of Bali and Bugis. The situation is triggered by the stereotype on the ethnic of Chinese which state that they tend to be more closed and reserved. Sebagai salah satu kota pusaka di Indonesia, Baubau memiliki banyak peninggalan sejarah bukan hanya yang dibentuk oleh etnis lokal, tetapi juga oleh etnis pendatang. Setidaknya terdapat tiga lanskap sejarah yang dibentuk oleh etnis pendatang yaitu lanskap pecinan oleh etnis Tionghoa, lanskap Waliabuku oleh etnis Bugis, dan lanskap Ngkaring-Ngkaring oleh etnis Bali. Sampai saat ini belum ada pengelolaan untuk melestarikan ketiga lanskap tersebut dan belum diketahui apakah fenomena ini dipengaruhi oleh persepsi masyarakat yang merasa lanskap peninggalan etnis pendatang tidaklah penting? Tujuan penelitian ini yaitu mengkaji persepsi masyarakat terhadap lanskap sejarah peninggalan etnis pendatang sebagai aset pusaka Kota Baubau sebagai kota pusaka Indonesia. Hasil yang diperoleh dari survei yang dilakukan, masyarakat umumnya menganggap seluruh lanskap sejarah harus dilestarikan tidak memandang apakah dibentuk oleh etnis lokal atau pendatang. Meskipun demikian, lanskap yang dibentuk oleh etnis Tionghoa memiliki derajat pemilihan paling rendah dari lanskap yang dibentuk etnis Bali dan Bugis. Hal ini disebabkan oleh adanya stereotip akibat karakter etnis Tionghoa yang dianggap masyarakat cenderung tertutup di Kota Baubau.
LANSKAP KOLONIAL KOTA BAUBAU SEBUAH PUSAKA PENINGGALAN MASA KOLONIAL DI SULAWESI TENGGARA Syahadat, Ray March; Arifin, Nurhayati H.S.; Arifin, Hadi Susilo
Paramita: Historical Studies Journal Vol 25, No 2 (2015): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v25i2.5130

Abstract

Baubau is appointed as one of heritage cities in Indonesia because it has many historical inheritances. Although Baubau becomes an autonomous region in 2001, some historical records show that  the city has been existed long time ago and passed some phases. One of those phases is the development era by the Dutch Indies Government.  There are many inheritances from colonial period in the city even it is called as the largest in the Province of Southeast Sulawesi. Unfortunately, there are not many research and inventory by related stakeholders toward the colonial heritages in the city. This research aims to record or to list of current assets and to analyze the landscape characteristics of colonial heritages  located in Baubau. The result shows that there are four historical landscapes which save the colonial heritage objects namely the colonial ladscape and early independence day (51 objects), Palabusa (4 objects), Wakonti (1 object), and Chinatown (5 objects). The character  which constructs of the three landscapes generally consist of buildings, structures, and monuments with art deco style. Baubau ditetapkan menjadi salah satu kota pusaka Indonesia karena menyimpan banyak peninggalan sejarah. Meskipun Baubau menjadi daerah otonom pada tahun 2001 tetapi berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa kota ini telah ada sejak zaman dulu dan telah melalui beberapa fase. Salah satunya ialah masa pembangunan oleh pemerintah Hindia Belanda. Banyak peninggalan zaman kolonial di kota ini bahkan bisa dikatakan yang terbanyak se-Provinsi Sulawesi Tenggara. Sayangnya belum banyak penelitian maupun inventarisasi dari stakeholders terkait terhadap peninggalan kolonial di kota ini. Penelitian ini bertujuan menginventarisasi serta menganalisis karakter lanskap  peninggalan masa kolonial yang berada di Kota Baubau. Hasil yang diperoleh, terdapat empat lanskap sejarah yang menyimpan objek-objek peninggalan zaman kolonial yaitu lanskap kolonial dan awal kemerdekaan (51 objek), Palabusa (4 objek), Wakonti (1 objek), dan pecinan (5 objek). Karakter yang menyusun ketiga lanskap tersebut umumnya berupa bangunan, struktur, dan monumen bergaya art deco. 
NILAI PENTING LANSKAP BUDAYA MINAPADI DESA BUNISARI Wardiningsih, Sitti; Syahadat, Ray March; Ramadha, Bayuanggara Cahya; Putri, Andi Eka Tiara Diana; Putra5, Priambudi Trie
IKRAITH-HUMANIORA Vol 2 No 1 (2018): IKRAITH-HUMANIORA vol 2 Nomor 1 Bulan Maret 2018
Publisher : Universitas Persada Indonesia YAI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.317 KB)

Abstract

Sebagai salah satu bagian lanskap budaya, lanskap pertanian selama ini masih belum banyak mendapatperhatian untuk dikaji maupun didokumentasikan. Banyak lanskap budaya pertanian yang semakin tertekan olehpeningkatan kebutuhan hidup manusia. Padahal lanskap budaya pertanian memiliki kearifan lokal yang takternilai sebagai wujud perkembangan akal manusia dalam mempelajari alam sekitar. Belakangan ini pertanianramah lingkungan seperti sistem pertanian terpadu ramai diperbincangkan. Namun tidak banyak yangmengetahui bahwa sistem tersebut ada yang sudah dijalankan sejak lama oleh komunitas lokal. Misalnya konsepminapadi atau membudidayakan padi sawah dengan ikan. Konsep ini sebetulnya telah lama dipraktikan olehmasyarakat Jawa Barat namun karena kurangnya dokumentasi maka keberadaanya sedikit demi sedikitterlupakan. Salah satu yang masih bertahan yaitu masyarakat desa Bunisari. Meskipun telah terjadi beberapaperubahan prinsip, namun masyarakat masih tetap menjalankannya karena memiliki nilai penting sejarah, ilmupengetahuan, budaya, dan agama. Mengingat hal tersebut maka lanskap budaya minapadi Bunisari memilikipeluang untuk dikembangkan secara kreatif untuk mendukung upaya pelestarian sekaligus meningkatkanekonomi masyarakat lokal.
Public Perception on Historical Landscape of Ethnic Immigrant Heritage in Heritage City of Baubau Syahadat, Ray March; Arifin, Nurhayati H.S.; Arifin, Hadi Susilo
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture Vol 6, No 2 (2014): Komunitas, September 2014
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v6i2.3310

Abstract

As a one of the heritage cities in Indonesia, Baubau has many historical heritages which are not only created by local ethnics but also by immigrants. There are three historical landscapes created by the immigrants like China Town by Chinese, Waliabuku by Bugisnese, and Ngkaring-Ngkaring by Balinese. Until now, proper management to preserve the landscapes does not exist and it remains unknown whether this phenomenon is caused by the public perception who think that historical landscapes of immigrants as an unimportant heritage. The objective of this study is to investigate the public perception of historical landscapes that are created by immigrant in Baubau city as an heritage city in Indonesia. The results of survey show that the public regard all historical landscapes must be preserved. However, the landscapes created by the ethnic of Chinese have the lowest degree of public selection as compared to the ethnics of Bali and Bugis. The situation is triggered by the stereotype on the ethnic of Chinese which state that they tend to be more closed and reserved. Sebagai salah satu kota pusaka di Indonesia, Baubau memiliki banyak peninggalan sejarah bukan hanya yang dibentuk oleh etnis lokal, tetapi juga oleh etnis pendatang. Setidaknya terdapat tiga lanskap sejarah yang dibentuk oleh etnis pendatang yaitu lanskap pecinan oleh etnis Tionghoa, lanskap Waliabuku oleh etnis Bugis, dan lanskap Ngkaring-Ngkaring oleh etnis Bali. Sampai saat ini belum ada pengelolaan untuk melestarikan ketiga lanskap tersebut dan belum diketahui apakah fenomena ini dipengaruhi oleh persepsi masyarakat yang merasa lanskap peninggalan etnis pendatang tidaklah penting? Tujuan penelitian ini yaitu mengkaji persepsi masyarakat terhadap lanskap sejarah peninggalan etnis pendatang sebagai aset pusaka Kota Baubau sebagai kota pusaka Indonesia. Hasil yang diperoleh dari survei yang dilakukan, masyarakat umumnya menganggap seluruh lanskap sejarah harus dilestarikan tidak memandang apakah dibentuk oleh etnis lokal atau pendatang. Meskipun demikian, lanskap yang dibentuk oleh etnis Tionghoa memiliki derajat pemilihan paling rendah dari lanskap yang dibentuk etnis Bali dan Bugis. Hal ini disebabkan oleh adanya stereotip akibat karakter etnis Tionghoa yang dianggap masyarakat cenderung tertutup di Kota Baubau.
The Change of Butonese Cultural Landscape in Negeri Kawa, Molucas Syahadat, Ray March
KOMUNITAS: International Journal of Indonesian Society and Culture Vol 9, No 1 (2017): Komunitas, March 2017
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v9i1.5022

Abstract

As a maritime ethnic, Butonese people migrated to some places. A rather large amount of them are in Province of Maluku, Indonesia. This study aims at investigating Butonese cultural landscape in their new migrant region. Is there any different? If this study also aims to know social interaction among ethnics and how it affects Butonese cultural landscape dynamics. This study took place in Negeri Kawa, western part of Seram Regency, Maluku Province, on November 2015. The method used in the study was a qualitative method with in depth interview by snowball and triangulation technique, observation participation, focus group discussion (FGD), and literature study. The result showed that there is a different between Butonese cultural landscape in Buton and Negeri Kawa. Stereotype, presumption, and prejudice to Butonese people also occur. However, it is not always negative because from those three things, the process of acculturation and adaptation as a form of respect and prevention of Butonese culture can occur in Negeri Kawa.
STREETSCAPE BEAUTIFICATION, PENGGUNAAN PATUNG PADA LANSKAP JALAN DI PROVINSI BALI Wardiningsih, Sitti; Putra, Priambudi Trie; Syahadat, Ray March; Nurisjah, Siti
IKRA-ITH TEKNOLOGI : Jurnal Sains & Teknologi Vol 2 No 2 (2018): IKRA-ITH TEKNOLOGI Vol 2 No 2 Bulan July 2018
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Persada Indonesia YAI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (472.755 KB)

Abstract

ABSTRAKLanskap jalan terdiri dari dua komponen utama yaitu elemen hardscape dan softscape. Salah satuelemen hardscape yang dapat digunakan dalam lanskap jalan adalah patung. Penempatan patung yang tepatdalam penataan lanskap jalan akan dapat memberikan karakter jalan. Patung juga bisa menjadi mercu tandayang menjadi identitas jalan sehingga memberi kesan bagi pengguna jalan. Salah satu daerah di Indonesiayang memiliki lanskap jalan dengan penggunaan patung di dalamnya adalah Provinsi Bali. Sebagai simbolpariwisata Indonesia, Bali memiliki suplai wisata berupa keindahan alam dan atraksi seni budaya. Patungyang digunakan dalam lanskap jalan di Bali mewakili perwujudan ekspresi seni dan budaya serta agamaHindu yang merupakan kepercayaan utama di Provinsi Bali. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisispenggunaan patung pada lanskap jalan di Provinsi Bali. Metode yang digunakan berupa metode studi kasusdan analisis nilai penting. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, danKabupaten Gianyar. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa nilai signifikan dari patung-patung yangada pada lanskap jalan di lokasi penelitian adalah budaya, sains, dan agama.
AQUARIAL TOURISM SEBAGAI KONSEP PENGEMBANGAN PANTAI BONDO DI JEPARA Hestiningsih, Hindun; Putra, Ridwansyah Trisnanda; Thoifur, Dimas Muhammad; Ramadanti, Pitria; Hutapea, Bethesda Angela; Syahadat, Ray March; Putra, Priambudi Trie
IKRA-ITH TEKNOLOGI : Jurnal Sains & Teknologi Vol 2 No 2 (2018): IKRA-ITH TEKNOLOGI Vol 2 No 2 Bulan July 2018
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Persada Indonesia YAI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.839 KB)

Abstract

ABSTRAKIndonesia memiliki potensi lanskap yang melimpah dalam mengembangkan kepariwisataan, baik dikawasan darat maupun laut. Peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, pelestarian budaya lokal, sertapenyadartahuan akan pentingnya menjaga keberlanjutan lingkungan merupakan tujuan utamapengembangan kepariwisataan. Salah satu kawasan yang memiliki potensi tersebut terdapat di kawasanPantai Bondo, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah. Kawasan Pantai Bondo memiliki tipe pantai yangdiapit oleh permukiman nelayan, persawahan, sungai, serta kawasan mangrove. Masyarakat setempatbelum terlalu merasakan manfaat ekonomi maupun lingkungan dari keberadaan pantai tersebut meskipunpantai tersebut telah dikelola. Tujuan dari penelitian ini adalah merencanakan ulang lanskap Pantai Bondoagar tercipta integrasi lanskap wisata yang memadukan darat dan laut. Metode yang digunakan adalahobservasi, wawancara, dan studi literatur. Data selanjutnya diolah menggunakan standar analisis lingkunganakuatik, terestrial, potensi objek dan daya tarik wisata serta ekologi. Hasil penelitian ini berupa (1)penentuan konsep ruang yang dibagi menjadi lima tipe lanskap, (2) perlunya pengembangan atraksi wisata,serta (3) konsep paket wisata.
LANSKAP KOLONIAL KOTA BAUBAU SEBUAH PUSAKA PENINGGALAN MASA KOLONIAL DI SULAWESI TENGGARA Syahadat, Ray March; Arifin, Nurhayati H.S.; Arifin, Hadi Susilo
Paramita: Historical Studies Journal Vol 25, No 2 (2015): PARAMITA
Publisher : History Department, Semarang State University and Historian Society of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/paramita.v25i2.5130

Abstract

Baubau is appointed as one of heritage cities in Indonesia because it has many historical inheritances. Although Baubau becomes an autonomous region in 2001, some historical records show that  the city has been existed long time ago and passed some phases. One of those phases is the development era by the Dutch Indies Government.  There are many inheritances from colonial period in the city even it is called as the largest in the Province of Southeast Sulawesi. Unfortunately, there are not many research and inventory by related stakeholders toward the colonial heritages in the city. This research aims to record or to list of current assets and to analyze the landscape characteristics of colonial heritages  located in Baubau. The result shows that there are four historical landscapes which save the colonial heritage objects namely the colonial ladscape and early independence day (51 objects), Palabusa (4 objects), Wakonti (1 object), and Chinatown (5 objects). The character  which constructs of the three landscapes generally consist of buildings, structures, and monuments with art deco style. Baubau ditetapkan menjadi salah satu kota pusaka Indonesia karena menyimpan banyak peninggalan sejarah. Meskipun Baubau menjadi daerah otonom pada tahun 2001 tetapi berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa kota ini telah ada sejak zaman dulu dan telah melalui beberapa fase. Salah satunya ialah masa pembangunan oleh pemerintah Hindia Belanda. Banyak peninggalan zaman kolonial di kota ini bahkan bisa dikatakan yang terbanyak se-Provinsi Sulawesi Tenggara. Sayangnya belum banyak penelitian maupun inventarisasi dari stakeholders terkait terhadap peninggalan kolonial di kota ini. Penelitian ini bertujuan menginventarisasi serta menganalisis karakter lanskap  peninggalan masa kolonial yang berada di Kota Baubau. Hasil yang diperoleh, terdapat empat lanskap sejarah yang menyimpan objek-objek peninggalan zaman kolonial yaitu lanskap kolonial dan awal kemerdekaan (51 objek), Palabusa (4 objek), Wakonti (1 objek), dan pecinan (5 objek). Karakter yang menyusun ketiga lanskap tersebut umumnya berupa bangunan, struktur, dan monumen bergaya art deco. 
Visual Quality Protection of Ciboer Rice Fields to Maintain the Attraction of Bantar Agung Tourism Village Syahadat, Ray March; Putra, Priambudi Trie; Saleh, Ismail; Patih, Tandri; Sagala, Anendawaty Roito; Thoifur, Dimas Muhammad
AGRARIS: Journal of Agribusiness and Rural Development Research Vol 7, No 1: January-June 2021 (Forthcoming Issue)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/agraris.v7i1.6960

Abstract

Bantar Agung Village in Majalengka Regency, West Java Province, is developing agriculturally-based tourism. The Ciboer Rice Fields area is one of the attractions in the village of Bantar Agung that presents the visual beauty of the rice field landscape. New agrotourism opportunities will be developed in this area. The study has aimed to evaluate the visual quality of the Ciboer Rice Fields and how it would be affected by agrotourism-related changes. Data were analyzed using Kendall’s W test, scenic beauty estimation (SBE), semantic differential (SD), factor analysis, and multidimensional scaling (MDS). It is found that when more objects are added to the Ciboer Rice Fields landscape, the value of beauty is diminished. Village regulations are needed to protect the visual experience of the Ciboer Rice Fields.
The Change of Butonese Cultural Landscape in Negeri Kawa, Molucas Syahadat, Ray March
Komunitas Vol 9, No 1 (2017): March 2017
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/komunitas.v9i1.5022

Abstract

As a maritime ethnic, Butonese people migrated to some places. A rather large amount of them are in Province of Maluku, Indonesia. This study aims at investigating Butonese cultural landscape in their new migrant region. Is there any different? If this study also aims to know social interaction among ethnics and how it affects Butonese cultural landscape dynamics. This study took place in Negeri Kawa, western part of Seram Regency, Maluku Province, on November 2015. The method used in the study was a qualitative method with in depth interview by snowball and triangulation technique, observation participation, focus group discussion (FGD), and literature study. The result showed that there is a different between Butonese cultural landscape in Buton and Negeri Kawa. Stereotype, presumption, and prejudice to Butonese people also occur. However, it is not always negative because from those three things, the process of acculturation and adaptation as a form of respect and prevention of Butonese culture can occur in Negeri Kawa.