Muhammad Ridhwan
Universiti Sultan Zainal Abidin, Terengganu

Published : 1 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 1 Documents
Search

WALI NANGGROE ACEH: PERUBAHAN BUDAYA DAN POLITIK ACEH DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) Muhammad Ridhwan; Yahaya Ibrahim
JURNAL HURRIAH: Jurnal Evaluasi Pendidikan dan Penelitian Vol. 3 No. 2 (2022): Jurnal Hurriah: Jurnal Evaluasi Pendidikan dan Penelitian
Publisher : Yayasan Hurriah, Banda Aceh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5806/jh.v3i2.90

Abstract

English. The purpose of this study is to identify the use of the Wali Nanggroe system during the first Aceh civilization from the application of the Wali Nanggroe system after entering Indonesia. The purpose of this research is to look at the impact of the Wali Nanggroe Law on development and governance in Aceh. This study employed a triangulation strategy to data collecting, including interviews, literature reviews, and questionnaires. The interview data was evaluated using NVIVO 12. The research findings show discrepancies between the current Wali Nanggroe system and the Kingdom of Aceh Darussalam's period. Historically, Wali Nanggroe refers to the supreme ruler who succeeded the Sultan. Furthermore, the Indonesian central government deployed Wali nanggroe in the Aceh conflict. Furthermore, Wali nanggroe has evolved from the Helsinki MoU, a peace treaty between Indonesia and GAM. Wali nanggroe is an institution that links customs and preserves prosperity, justice, and peace; it also performs other tasks as specified in the Aceh Qanun for wali nanggroe institutions nos. 8, 9, and 10. Wali nanggroe are currently part of the Indonesian state system. Wali Nanggroe's presence is meant to reinforce Aceh's identity. The heritage of the Aceh kingdom's sultanate civilisation, which includes customary institutions and Islamic law enforcement organizations, does not imply that the burden for applying Islamic law is primarily the responsibility of government authorities. Bahasa. Artikel ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk membedakan penerapan sistem Wali Nanggroe pada masa peradaban Aceh pertama dengan sistem Wali Nanggroe setelah masuk ke Negara Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh UU Wali Nanggroe terhadap pembangunan dan pemerintahan di Aceh. Untuk pengumpulan data, penelitian ini menggunakan pendekatan triangulasi seperti wawancara, studi pustaka, dan angket. NVIVO 12 digunakan untuk mengevaluasi data wawancara. Temuan penelitian mengungkapkan perbedaan antara sistem Wali Nanggroe saat ini dan zaman Kerajaan Aceh Darussalam. Secara historis, istilah Wali Nanggroe menunjukkan penguasa tertinggi yang menggantikan Sultan. Selanjutnya, Wali nanggroe telah digunakan dalam perang Aceh dari pemerintah pusat Indonesia. Lebih lanjut, Wali nanggroe sekarang adalah organisasi yang lahir dari MoU Helsinki, perjanjian damai antara Indonesia dan GAM. Wali nanggroe adalah lembaga yang menghubungkan adat dan memelihara kemakmuran, keadilan, dan perdamaian; itu juga memiliki fungsi tambahan sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh untuk lembaga wali nanggroe No. 8, 9, dan 10. Wali nanggroe sekarang termasuk ke dalam struktur negara Indonesia. Kehadiran Wali Nanggroe diharapkan dapat membantu memperkuat identitas Aceh. Warisan peradaban kesultanan kerajaan Aceh yang terdiri dari lembaga adat dan lembaga penegak hukum Islam, tidak berarti bahwa tanggung jawab pelaksanaan hukum Islam semata-mata merupakan tugas instansi pemerintah