Adian Husaini
Institut Studi Islam Darussalam Gontor

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

CIVIC EDUCATION AT MUHAMMADIYAH HIGHER EDUCATION: DEVELOPMENT STUDY OF HAND BOOK OF MENUJU KEHIDUPAN YANG DEMOKRATIS DAN BERKEADABAN Suidat, Suidat; Husaini, Adian; Saefuddin, Didin; Mujahidin, Endin
Profetika: Jurnal Studi Islam Vol, 18. No, 1 Juni 2017
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/profetika.v18i1.6295

Abstract

Civic education is one of the basic courses that must be taken by every student at the College. The regulation of the course is based on the mandate contained in the law on the National Education System. Through Civic Education courses, the students can be directed national personality, that is how they love their homeland Indonesia, being a democratic, civilized, tolerant and so on. Muhammadiyah through the Council of Higher Education, Research and Development of Muhammadiyah head quarter published a textbook on Civic Education with the title Civic Education toward a Democratic and Civilized Life. The book became a staple in reference Civic Education Course in Universities of Muhammadiyah (PTM). However when elaborate on the Indonesian ideology or, in the book does not contain the formulation history of state basic ideology which was done by the founding fathers. Also how the role and Islamic thought figures who participated in formulating the state basic ideology be part of the material that was duly presented in the book. It is important that students who study in PTM to know and understand the history and struggle of Islamic figures in formulating the basis of the state and the dynamics that occurred at that time. So that their knowledge is complete and in understanding the Pancasila as the state basic ideology of Indonesia. Ki Bagus had very important role in the Committee for Indonesian Independence (PPKI) experienced of dead lock about the change of first principle of Pancasila, and there was serious debate and dynamic. Likewise, the role and thought of Kasman Singodimedjo was also important on the basis state in both the trial PPKI, as well as in the Constituent Assembly. Perpsektif Kasman about Pancasila based on Islam became important after the implementation of 1945 Constitution and Presidential Decree July 5th 1959. The role of Abdul Kahar Mudzakkir as a witness to the history of the struggle of Muslims cannot be neglected; especially Mudzakkir included in the Committee of Nine which develops the basic state eventually became the Jakarta Charter and accepted unanimously by BPUPKI. Furthermore, in the Constituent Assembly Mudzakkir remain committed to make Islam as the basis of the state, where the Constituent Assembly is the foundation of the momentum of the second volume formulation. The core of the Civics book is how the problem of state ideology especially Pancasila can be described in a comprehensive, complete and not partial. Including the relationship between the Jakarta Charter and the Constitution 1945. Other matters concerning aspects of citizenship is derived and the meaning of ideology or basic state. Therefore, this paper presents the role and thought of Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, and Abdul Kahar Mudzakkir become material development of Civic Education in the book of Civic Education toward a Democratic and Civilized Life.Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata kuliah dasar yang mesti ditempuh oleh setiap mahasiswa dalam studinya di Perguruan Tinggi. Ketentuan adanya mata kuliah ini berdasarkan amanat yang tertuang dalam undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Melalui mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini mahasiswa diarahkan dapat berkepribadian nasional, yaitu bagaimana mereka cinta tanah air Indonesia, bersikap demokratis, beradab, toleran dan lain sebagainya. Muhammadiyah melalui Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) menerbitkan satu buku teks tentang Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) dengan judul Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Buku ini menjadi referensi pokok dalam Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Akan tetapi ketika menguraikan tentang ideologi atau dasar negara Indonesia pada bagian yang membahas tentang “Membangun  Identitas Nasional”, tidak memuat bagaimana sejarah perumusan dasar negara yang dilakukan para founding fathers. Bagaimana pemikiran tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdul Kahar Mudzakkir tidak menjadi bagian dalam materi yang sepatutnya disajikan dalam buku tersebut. Hal ini penting agar mahasiswa mengetahui dan memahami sejarah dan perjuangan tokoh-tokoh Islam dalam merumuskan dasar negara serta dinamika yang terjadi saat itu. Sehingga pengetahuan mereka menjadi utuh dan tidak parsial dalam memahami Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Peran Ki Bagus sangat penting ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengalami deadlock soal perubahan sila pertama dasar negara Indonesia. Demikian juga pemikiran Kasman Singodimedjo tentang dasar negara baik dalam sidang PPKI, maupun dalam sidang Konstituante. Perpsektif Kasman tentang Pancasila yang berbasis pada Islam menjadi penting setelah diberlakukan kembali UUD 1945 dengan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demikian juga pemikiran Abdul Kahar Mudzakkir sebagai saksi sejarah perjuangan umat Islam tidak bisa dilupakan begitu saja, Abdul Kahar Mudzakkir termasuk dalam Panitia Sembilan yang bertugas menyusun dasar negara yang pada akhirnya menjadi Piagam Jakarta. Dalam Sidang Konstituante Mudzakkir tetap komitmen menjadikan Islam sebagai dasar negara, di mana Sidang Konstituante adalah momentum perumusan dasar negara jilid kedua. Inti dari buku PKn adalah bagaimana masalah ideologi negara khususnya Pancasila dapat dijelaskan secara komprehensif, utuh dan tidak parsial. Termasuk hubungan antara Piagam Jakarta dan UUD 1945. Oleh karena itu disertasi ini membahas pemikiran Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdul Kahar Mudzakkir menjadi bahan pengembangan materi Pendidikan Kewarganegaraan dalam buku ajar Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban.  
CIVIC EDUCATION AT MUHAMMADIYAH HIGHER EDUCATION: DEVELOPMENT STUDY OF HAND BOOK OF MENUJU KEHIDUPAN YANG DEMOKRATIS DAN BERKEADABAN Suidat, Suidat; Husaini, Adian; Saefuddin, Didin; Mujahidin, Endin
Profetika Jurnal Studi Islam Vol, 18. No, 1 Juni 2017
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/profetika.v18i1.6296

Abstract

Civic education is one of the basic courses that must be taken by every student at the College. The regulation of the course is based on the mandate contained in the law on the National Education System. Through Civic Education courses, the students can be directed national personality, that is how they love their homeland Indonesia, being a democratic, civilized, tolerant and so on. Muhammadiyah through the Council of Higher Education, Research and Development of Muhammadiyah head quarter published a textbook on Civic Education with the title Civic Education toward a Democratic and Civilized Life. The book became a staple in reference Civic Education Course in Universities of Muhammadiyah (PTM). However when elaborate on the Indonesian ideology or, in the book does not contain the formulation history of state basic ideology which was done by the founding fathers. Also how the role and Islamic thought figures who participated in formulating the state basic ideology be part of the material that was duly presented in the book. It is important that students who study in PTM to know and understand the history and struggle of Islamic figures in formulating the basis of the state and the dynamics that occurred at that time. So that their knowledge is complete and in understanding the Pancasila as the state basic ideology of Indonesia. Ki Bagus had very important role in the Committee for Indonesian Independence (PPKI) experienced of dead lock about the change of first principle of Pancasila, and there was serious debate and dynamic. Likewise, the role and thought of Kasman Singodimedjo was also important on the basis state in both the trial PPKI, as well as in the Constituent Assembly. Perpsektif Kasman about Pancasila based on Islam became important after the implementation of 1945 Constitution and Presidential Decree July 5th 1959. The role of Abdul Kahar Mudzakkir as a witness to the history of the struggle of Muslims cannot be neglected; especially Mudzakkir included in the Committee of Nine which develops the basic state eventually became the Jakarta Charter and accepted unanimously by BPUPKI. Furthermore, in the Constituent Assembly Mudzakkir remain committed to make Islam as the basis of the state, where the Constituent Assembly is the foundation of the momentum of the second volume formulation. The core of the Civics book is how the problem of state ideology especially Pancasila can be described in a comprehensive, complete and not partial. Including the relationship between the Jakarta Charter and the Constitution 1945. Other matters concerning aspects of citizenship is derived and the meaning of ideology or basic state. Therefore, this paper presents the role and thought of Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, and Abdul Kahar Mudzakkir become material development of Civic Education in the book of Civic Education toward a Democratic and Civilized Life.Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata kuliah dasar yang mesti ditempuh oleh setiap mahasiswa dalam studinya di Perguruan Tinggi. Ketentuan adanya mata kuliah ini berdasarkan amanat yang tertuang dalam undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Melalui mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini mahasiswa diarahkan dapat berkepribadian nasional, yaitu bagaimana mereka cinta tanah air Indonesia, bersikap demokratis, beradab, toleran dan lain sebagainya. Muhammadiyah melalui Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PP Muhammadiyah) menerbitkan satu buku teks tentang Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) dengan judul Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban. Buku ini menjadi referensi pokok dalam Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Akan tetapi ketika menguraikan tentang ideologi atau dasar negara Indonesia pada bagian yang membahas tentang “Membangun  Identitas Nasional”, tidak memuat bagaimana sejarah perumusan dasar negara yang dilakukan para founding fathers. Bagaimana pemikiran tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdul Kahar Mudzakkir tidak menjadi bagian dalam materi yang sepatutnya disajikan dalam buku tersebut. Hal ini penting agar mahasiswa mengetahui dan memahami sejarah dan perjuangan tokoh-tokoh Islam dalam merumuskan dasar negara serta dinamika yang terjadi saat itu. Sehingga pengetahuan mereka menjadi utuh dan tidak parsial dalam memahami Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Peran Ki Bagus sangat penting ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengalami deadlock soal perubahan sila pertama dasar negara Indonesia. Demikian juga pemikiran Kasman Singodimedjo tentang dasar negara baik dalam sidang PPKI, maupun dalam sidang Konstituante. Perpsektif Kasman tentang Pancasila yang berbasis pada Islam menjadi penting setelah diberlakukan kembali UUD 1945 dengan lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demikian juga pemikiran Abdul Kahar Mudzakkir sebagai saksi sejarah perjuangan umat Islam tidak bisa dilupakan begitu saja, Abdul Kahar Mudzakkir termasuk dalam Panitia Sembilan yang bertugas menyusun dasar negara yang pada akhirnya menjadi Piagam Jakarta. Dalam Sidang Konstituante Mudzakkir tetap komitmen menjadikan Islam sebagai dasar negara, di mana Sidang Konstituante adalah momentum perumusan dasar negara jilid kedua. Inti dari buku PKn adalah bagaimana masalah ideologi negara khususnya Pancasila dapat dijelaskan secara komprehensif, utuh dan tidak parsial. Termasuk hubungan antara Piagam Jakarta dan UUD 1945. Oleh karena itu disertasi ini membahas pemikiran Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Abdul Kahar Mudzakkir menjadi bahan pengembangan materi Pendidikan Kewarganegaraan dalam buku ajar Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadaban.  
PROBLEMATIKA TAFSIR FEMINIS: Studi Kritis Konsep Kesetaraan Gender Husaini, Adian; Husni, Rahmatul
AL-TAHRIR Vol 15, No 2 (2015): Transformasi Perempuan dalam Masyarakat Islam
Publisher : IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/al-tahrir.v15i2.264

Abstract

Abstract: Gender equality is a discourse that is still warm to be discussed by Muslim feminists. Initiators and supporters of gender equality often questioned about Islamic laws that were considered to be unfair since they had positioned men and women differently such as the obligotary for  adhan (call for prayer), the Friday prayers, the number of goats in aqiqah (welcoming celebretion of child’s birth), and the compulsory of breastfeeding and caring for the child. Through content analysis, this study tried not only to elaborate a number of products of reintepretation based on Qur'anic Hermeneutics version of the female models but also show the history of the ideology of feminism and the inappropriateness of using hermeneutical exegesis. Feminism departed from the ideology of hatred as a form of resistance against the oppression of women that occurred in Western Christian civilization in th past. Hermeneutical exegesis approach also came from an academic Christian tradition that considered Bible text not as a God’s revelation. Both conditions were diametrically opposed to the fact in the Islamic tradition. The text of the Qur’an in Islam, was not a cultural product, but as a revelation of God to human being in the world. Historically,  Islam never surpressed to women, but it placed women in a glorious position. Meanwhile, different roles given to men and women were aimed at getting maximum benefits to the world so that they could work together and complement each other to achieve happiness in the world and the hereafter.الملخص :أصبح موضوع المساواة بين الرجل والمرأة موضوع حديث حارّ بين نساء النسوية المسلمات. قد تتسائل مؤسِّسات المذهب النسوي ومؤيّدوها الشريعة الإسلامية التي – في نظرهن – لم تكن عادلة وتضع الرجل والمرأة في مستوى ومكان غير متواز ، مثل مشروعية الأذان وأداء صلاة الجمعة للرجال وعدد الغنم في العقيقة مختلف بينهما، وتكليف حضانة الأولاد ورعايتهم على النساء. حاولت هذه الدراسة – عن طريق تحليل المضمون ليس فقط دراسة نتائج من إعادة تفسير القرآن بنمط الهرمينيطيقا لدى النساء بل عرضت كذلك تاريخ إيديولوجية النسوية وعدم صحة استخدام التفسير الهرمينيطقي في هذا المجال. اعتمدت النسوية على إيديولوجية الكره والحقد كشكل معارضات على أنواع الظلم تجاه المرأة في المجتمع الغربي المسيحي في القرون الماضية. وأصل التفسير الهرمينيطقي  كذلك من التقاليد الأكاديمية المسيحية المعتبرة أن الإنجيل ليس وحيا يوحي. هذان الشيئان متناقضان بما في الإسلام من أن القرآن ليس انتاجا ثقافيا بل وحي من الله. ليس في الإسلام التاريخ عن ظلم الرأة بل هو وضعها في مرتبة رفيعة. أم تفريق الدور بينهما ليس إلا ليكون كل منهما نافعا في هذه الدنيا ويتعاونان ويتكاملان للحصول على السعادتين في الدنيا والآخرة.Abstrak: Kesetaraan gender merupakan diskursus yang tetap hangat diperbincangkan para feminis muslim. Penggagas dan pendukung kesetaraan gender tidak jarang mempersoalkan hukum Islam yang dianggap kurang adil dan memposisikan laki-laki dan perempuan secara berbeda seperti pembebanan adzan, shalat Jum’at, jumlah kambing saat aqi>qah di satu sisi, dan pembebanan menyusui dan merawat anak di sisi yang lain. Melalui content analysis kajian ini mencoba tidak saja untuk mengelaborasi sejumlah produk reintepretasi al-Qur’an model Hermeneutika versi kaum perempuan tetapi juga menunjukkan sejarah ideologi feminisme serta ketidaktepatan penggunaan tafsir hermeneutika. Feminisme berangkat dari ideologi kebencian sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan perempuan yang terjadi dalam peradaban Barat-Kristen di masa lalu. Metode tafsir Hermeneutika juga berasal dari tradisi akademis Kristen yang menganggap teks Bible bukan sebagai wahyu. Kedua kondisi ini berseberangan secara diametral dengan fakta dalam tradisi Islam. Teks al-Qur’an, dalam Islam, bukanlah produk budaya, melainkan wahyu. Islam tidak memiliki sejarah penindasan terhadap kaum perempuan, bahkan memposisikan perempuan dalam posisi yang mulia. Perbedaan peran yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan ditujukan agar keduanya dapat bermanfaat secara maksimal di dunia, untuk saling bekerja sama dan melengkapi demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.Keywords: kesetaraan, gender, perempuan, feminisme, tafsir, hermeneutik.