Chatarina Umbul Wahyuni
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Religious Leader’s Support toward Individual at Risk ofHIV/AIDS to Attend Voluntary Counselling and Testing Service Imelda Februati Ester Manurung; Chatarina Umbul Wahyuni; Ari Probandari
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol 15, No 2 (2020): Volume 15, Issue 2, May 2020
Publisher : Faculty of Public Health Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.608 KB) | DOI: 10.21109/kesmas.v15i2.3057

Abstract

Religious leader is a figure who is believed to have the gift of healing. A person with illness will follow any advice the religious leader gives for his/her recovery.Based on the phenomenon, religious leader is a potential local figure to give support for individuals at risk of human immunodeficiency virus (HIV) andacquired immune deficiency syndrome (AIDS). This study aimed to determine factors related to religious leader’s support toward individuals at risk of HIV andAIDS to attend voluntary counselling and testing (VCT) service. This study was an observational analytical with cross-sectional design. The population of thisstudy was religious leader in Kupang City. The sample size was 70 people selected through random sampling technique. The data were collected using questionnaire and analyzed using chi-square and multiple logistic regression test. Factors significantly related to the religious leaders supports’ for individuals atrisk of HIV and AIDS to get VCT were knowledge (OR = 9.01; 95% CI = 1.73 - 47.07), servant leadership (OR = 11.67; 95% CI = 2.44 - 55.84, trust (OR =11.55; 95% CI = 2.35 - 56.70) and perception (OR = 6.12; 95% CI = 1.26 - 29.71). Social capital had no significant effect on the religious leader support’s (OR= 1.06; 95% CI = 0.22 - 5.12). It is necessary to improve religious leader’s knowledge of HIV and AIDS.
Pengaruh Jenis Kelamin dan Kebiasaan Merokok terhadap Kadar Timbal Darah Wirsal Hasan; Abdul Rahim Matondang; Alvi Syahrin; Chatarina Umbul Wahyuni
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8 No. 4 November 2013
Publisher : Faculty of Public Health Universitas Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3665.374 KB) | DOI: 10.21109/kesmas.v0i0.394

Abstract

Penarik becak dayung dan becak bermesin, pengatur lalu lintas, pedagang asongan, dan pedagang kaki lima banyak terpapar dengan polusi timbal dari udara ambien yang merupakan ancaman terhadap para pekerja pinggir jalan. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan karakteristik responden dengan kadar timbal dalam darah. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 109 orang terdiri dari 58 orang penarik becak dayung, 30 orang penarik becak bermesin dan 21 orang pedagang kaki lima yang ditarik secara consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara variabel usia, tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik terhadap kadar timbal dalam darah (p>0,05). Rerata kadar timbal dalam darah berbeda bermakna menurut jenis kelamin (p=0,047) dan kebiasaan merokok (p=0,003). Rerata kadar timbal dalam darah berdasarkan jenis pekerjaan, lama bekerja, tingkat pendidikan, tempat beristirahat, lokasi tempat tinggal, kebiasaan minum susu, dan kebiasaan minum alkohol tidak ada perbedaan bermakna. Uji korelasi Pearson dan korelasi Spearman menemukan tidak ada korelasi antara variabel usia dan tekanan darah terhadap kadar timbal dalam darah (p>0,05).Paddle rickshaw puller, motorized rickshaw pullers, traffic police, street vendors and roadside vendors is that many workers are exposed to lead from ambient air pollution. Lead pollution is a threat to roadside workers. This study is observational. The purpose of the study was to determine the association between respondent characteristic with blood lead levels. The 109 samples in this study was the 58 paddle rickshaw puller, 30 motorized rickshaw pullers and 21 hawkers, drawn with consecutive sampling. The results showed that there were no significant correlation between age, blood pressure and blood lead level (p>0.005), there were differences in mean blood lead levels by sex (p = 0.047) and smoking (p = 0.003), there was no difference in mean blood lead levels based on the type of work, length of work, level of education, place of rest, the location shelter, drinking milk, and alcohol drinking habits. Pearson correlation test and Spearman correlation found no correlation between the variables of age, and blood pressure on blood lead levels (p> 0.05).
Active Case Treatment Lebih Cost Effective untuk Pengobatan TB Paru Tahap Awal Ni Ketut Ardani; Thinni Nurul Rochmah; Chatarina Umbul Wahyuni
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.804 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v1i2.36011

Abstract

Background: Estimated one third of world population have been infected with Mycobacterium tuberculosis. Infected per- son will lose 3-4 months work time and will decrease 20%- 30% of income per year. Finding and treating TB patients are the best endeavor to stop TB spreading with a correct inter- vention. Jember Regency is executing Passive Case Treat- ment (PCT), which lung TB patients should come to puskes- mas to take the Tuberculosis Drug (ATD) in a certain day and hour. The method was not effective, proven by the increase of default rate for 3 years: 5.08% in 2007, 5.14% in 2008 and 6.18% in 2009, followed by the decrease of conversion rate for 3 years: 95.26% in 2007, 93.09% in 2008 and 92.08% in 2009. It is raising alertness for increased re-treatment which will lead to MDR, where MDR is clearly affecting TB patients’ quality of life. Afterward, an idea to create an ATD delivery to patients’ homes was executed, it is called Active Case Treat- ment (ACT). Method: This study was a Quasy Experimental Research with a prospective design. Conducted in 16 Puskesmas with default rate more than 5% and conversion rate less than 80% in 2009. Begin in September until November 2010, using total sampling technique. The sample was all lung TB patients who came for treatment in September 2010, with criteria were: new case, 15-50 years of age, did not suffer HIV and Diabe- tes Mellitus, was not malnourished, and was not allergic to ATD. Data collection was done through interview, filling ques- tionnaires and exploring documents. Then followed the calcu- lation of the total cost (direct and indirect cost) and Quality of Life (QoL) of both PCT and ACT. Later, total cost was com- pared to QoL, the lesser amount was considered more cost effective. Result: Research result showed that to increase 1 scale of Quality of Life (QoL) of PCT needed an amount of IDR. 35,295.00, while to increase 1 QoL scale ACT was IDR 14,377.00. ACT was smaller than PCT. Conclution: Conclusion derived from the result was that ACT is more cost effective than PCT. Recommendation to be pre- sented is to endorse lung TB treatment with ACT in Jember Regency particularly in Puskesmas with the same character- istics with this research.Latar belakang: Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi mikrobakterium tuberkulosis. Bila terinfeksi, diperkira- kan akan kehilangan waktu kerja 3-4 bulan dan berkurangnya pendapatan 20-30% pertahun. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penu- laran TB dengan intervensi yang tepat. Pengobatan TB di Kabu- paten Jember dilakukan dengan cara Pasive Case Treatment (PCT), yang mengharuskan pasien datang ke puskesmas untuk mengambil OAT pada hari dan jam yang telah ditentukan. Cara ini ternyata kurang efektif yang ditandai dengan meningkatnya default selama 3 tahun yaitu: 2007= 5.08%, 2008= 5.14% dan 2009= 6.18%, yang diikuti dengan menurunnya conversion rate selama 3 tahun, yaitu; 2007= 95.26%, 2008= 93.09% dan 2009= 92.08%. Hal ini akan meningkatkan kasus re-treatment yang berakibat munculnya MDR (Multidrugs resistance) dan juga akan mempengaruhi kualitas hidup penderita TB. Kemudian muncul ide untuk menciptakan cara penggobatan dengan meng- antar OAT ke rumah penderita yang dilakukan oleh kader kese- hatan, yang diistilahkan dengan Active Case Treatment (ACT). Metode: Penelitian ini merupakan Quasy Experimental Re- search dengan rancangan prospektif. Dilakukan di 16 Puskes- mas di Kabupaten Jember yang memiliki angka default lebih dari 5% dan conversion rate kurang dari 80% pada tahun 2009. Dilakukan pada awal September sampai akhir Nopember 2010. Sampelnya adalah seluruh pasien TB Paru yang berobat pada bulan september 2010 dengan kriteria; kasus baru, usia 15-50 tahun, tidak HIV dan diabetes, tidak malnutrisi, dan tidak alergi terhadap OAT. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuesioner dan penelusuran doku- men. Selanjutnya menghitung biaya total (biaya langsung dan biaya tidak langsung) dan tingkat kualitas hidup penderita TB dari kedua cara pengobatan (PCT dan ACT). Kemudian memban- dingkan antara total cost dengan tingkat kualitas hidup. Angka yang lebih kecil menunjukkan lebih cost effective. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk menaikkan 1 skala Qol dengan cara PCT dibutuhkan dana sebesar Rp. 35,295.00. Sedangkan untuk menaikkan 1 skala Qol dengan cara ACT membutuhkan dana sebesar Rp. 14,377.00. Cara ACT membutuhkan dana lebih kecil dibanding PCT. Kesimpulan: Dari hasil tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan akhir bahwa pengobatan TB paru cara ACT lebih cost effective dibanding dengan pengobatan TB paru cara PCT. Dengan demikian, rekomendasi yang diusulkan adalah memberlakukan pengobatan TB Paru dengan cara ACT di Kabu- paten Jember terutama pada wilayah puskesmas yang memiliki karateristik yang sama dengan penelitian ini. 
Pengaruh Faktor Pajanan Dan Status Gizi Terhadap Kejadian TB Anak Yang Tinggal Serumah Dengan Penderita TB Paru Dewasa Mariatul Fithriasari; Chatarina Umbul Wahyuni
Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada Vol 6 No 1: April
Publisher : LPPMK STIKES Widyagama Husada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (249.276 KB) | DOI: 10.33475/jikmh.v6i1.65

Abstract

Tuberkulosis masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian di dunia. Pada tahun 2015 diestimasikan sekitar 1,2 juta orang meninggal akibat HIV positif dimana 0,4 juta dari kasus tersebut akibat TB. Sejak tahun 2015 Indonesia menempati posisi sebagai negara kedua dengan kasus TB paru terbesar di dunia setelah India. WHO mengestimasikan kasus TB anak di Indonesia mencapai 23.170 kasus pada tahun 2014. Faktor pajanan dan status gizi merupakan faktor utama penularan TB pada anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor pajanan dan status gizi anak terhadap kejadian TB anak yang tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa di Rumah Sakit Paru Surabaya. Penelitian ini menggunakan rancangan kasus kontrol dengan pendekatan observasional analitik. sampel kasus dalam penelitian adalah sebagian anak usia 0-14 tahun yang didiagnosa oleh dokter menderita TB di Rumah Sakit Paru Surabaya serta tinggal serumah dengan pasien TB paru dewasa. Besar sampel kasus sebanyak 20 responden dan sampel kontrol sebanyak 40 responden. Variabel bebas penelitian ini adalah sputum BTA penderita TB paru dewasa, jumlah sumber penularan, lama kontak dan status gizi anak. Analisis pengaruh antara variabel bebas dan tergantung dilakukan dengan menggunakan uji Regresi Logistik. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa faktor yang memengaruhi kejadian TB pada anak adalah sputum BTA penderita TB paru dewasa (OR = 0,273, p=0,032), lama kontak (OR = 0,053, p=0,000), dan status gizi anak (OR= 0,135, p=0,001). Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap terhadap kejadian TB anak yang tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa di Rumah Sakit Paru Surabaya adalah lama kontak dengan penderita TB. Diperlukan deteksi dini untuk memutus rantai penularan infeksi tuberkulosis dengan pemeriksaan kontak serumah sedini mungkin.
Analisis Masalah Pada Bidang Penunjang Medis dan Non Medis di Rumah Sakit Umum Daerah Sumbawa Wiwiek Anindita Afrilyantari; Chatarina Umbul Wahyuni; Hermansyah Hermansyah
Malahayati Nursing Journal Vol 5, No 10 (2023): Volume 5 Nomor 10 2023
Publisher : Universitas Malahayati Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33024/mnj.v5i10.9435

Abstract

ABSTRACT The Medical and Non-Medical Support Field functions to support the implementation of health services at the Sumbawa Regional Public Hospital. The performance results of all installations in this field do not meet the hospital minimum service standard target in 2021. This study aims to analyze problems in the field of medical and non-medical support at Sumbawa Regional Public Hospital in 2022. This study is an observational descriptive study conducted at Sumbawa regional public hospital on 18 July to 5 August 2022. The data comes from the Hospital minimum service standards report and the results of in-depth interviews. Determination of priority problems using the CARL method. To determine the root cause of priority problems using fishbone diagrams and making alternative solutions for these problems. Results: The results of the priority problem analysis score using the Carl method showed that there were no errors in laboratory examination results (144), Leftover food that was not eaten by the patient (54), Timely maintenance of alkes did not reach the target (400), Response time for post-mortem services (16), Complete medical record filling 24 hours after completion of service (36). The root of the problem is double workload, inadequate educational background (Man), digital reports have not been stored and arranged neatly (Materials), reports are not routine, equipment conditions are difficult to detect, communication is not effective, standard operating procedures are not going well. difficult to understand (Method), many tools exceed function age (Machine), culture of neglecting tasks, high service demands (Measurement), workshop not available (Mother Nature). The priority problem is the timely maintenance of medical devices does not reach the target. Training to increase human resource capacity, change communication methods, discipline officers, improve SOPs and seek availability of workshops are some of the ways to overcome the problem of timely maintenance of medical devices. Keywords: Medical Equipment, Maintenance, Hospital    ABSTRAK Bidang Penunjang Medis dan Non Medis berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan kesehatan di RSUD Sumbawa. Hasil kinerja seluruh instalasi di bidang ini belum memenuhi target standar pelayanan minimal rumah sakit pada tahun 2021. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis permasalahan di bidang penunjang medis dan non medis di RSUD Sumbawa tahun 2022. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang dilakukan di RSUD Sumbawa pada tanggal 18 Juli sampai dengan 5 Agustus 2022. Data berasal dari laporan standar pelayanan minimal RS dan hasil wawancara mendalam. Penentuan prioritas masalah menggunakan metode CARL. Untuk menentukan akar penyebab masalah prioritas menggunakan diagram tulang ikan. Hasil skor analisis prioritas masalah dengan metode carl menunjukkan bahwa tidak adanya kesalahan pemeriksaan hasil laboratorium (144), Sisa makanan yang tidak termakan oleh pasien (54), Ketepatan waktu pemeliharaan alkes tidak mencapai target (400), Waktu tanggap pelayanan pemulasaran jenazah (16), Kelengkapan pengisian rekam medik 24 jam setelah selesai pelayanan (36). Akar permasalahannya adalah beban kerja ganda, latar belakang pendidikan yang kurang memadai (Man), laporan digital belum tersimpan dan tersusun rapi (Material), Laporan tidak rutin, kondisi peralatan sulit dideteksi, komunikasi tidak efektif, prosedur operasi standar tidak berjalan dengan baik. sulit dipahami (Method), banyak alat melebihi usia fungsi (Machine), budaya mengabaikan tugas, tuntutan layanan tinggi (Measurement), bengkel tidak tersedia (Mother Nature).  Prioritas masalah adalah ketepatan waktu pemeliharaan alkes tidak mencapai target. Pelatihan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, mengubah cara komunikasi, mendisiplinkan petugas, memperbaiki SOP dan mengupayakan ketersediaan bengkel adalah beberapa cara untuk mengatasi masalah ketepatan waktu pemeliharaan alat kesehatan. Kata Kunci: Peralatan Medis, Pemeliharaan, Rumah Sakit