Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

Response Time, Decision Time, and Delivery Time in Pediatric Emergency Unit of West Java Top Referral Hospital Oktaviani, Ayu Sary; Lukmanul Hakim, Dzulfikar D.; Suwarman, Suwarman
Althea Medical Journal Vol 4, No 3 (2017)
Publisher : Althea Medical Journal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.311 KB)

Abstract

Background: The number of visitors at pediatric emergency unit has increased around 25 million per year. This condition caused overcrowded in these units which would disrupt health care process. Waiting time is one indicator of health care quality. Prolonged waiting times is related to patient’s dissatisfaction and poor outcome. The aim of this study was to identify response time, decision time, and delivery time of Pediatric Emergency Unit in Dr. Hasan Sadikin General Hospital.Methods: This was a descriptive cross sectional study. Data from medical records of pediatric patients who attend Pediatric Emergency Unit, Dr. Hasan Sadikin General Hospital from August to September 2015 were collected. The data included sex, age, day of admission, time of admission, insurance status, triage status, disposition of care, response time, decision time, and delivery time. The collected data were analyzed and presented in percentage and peformed in tables. Results: A total of 201 data were collected during study period. The geometric mean of total waiting time in pediatric emergency department was 346.65 minutes (5 hours 46 minutes). Response time had a geometric mean of 4.07 minutes, meanwhile decision time and delivery time had geometric mean of 46.77 minutes and 181.97 minutes, respectively.Conclusions: Total waiting times of pediatric emergency department exceeds the standard time (4 hours). Meanwhile response time and decision time have already met the standard. 
Perbandingan Efek Lidokain dengan Magnesium Sulfat Intravena terhadap Nilai Numeric Rating Scale dan Kebutuhan Analgesik Pascabedah Kolesistektomi Perlaparoskopi Lewi, Ratu; Suwarman, Suwarman; Sitanggang, Ruli Herman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 4, No 1 (2016)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (387.787 KB) | DOI: 10.15851/jap.v4n1.741

Abstract

Lidokain dan magnesium sulfat mempunyai efek antihiperalgesia yang dapat digunakan sebagai obat tambahan untuk mengurangi nyeri pascaoperasi dan mengurangi kebutuhan analgesik opioid. Tujuan penelitian ini membandingkan efek lidokain dan magnesium sulfat intravena nilai numeric rating scale (NRS) dan kebutuhan analgesik pertolongan. Penelitian eksperimental dengan double blind randomized controlled trial dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari–Maret 2015 terhadap 30 pasien yang menjalani kolesistektomi per laparoskopi. Pasien dikelompokkan menjadi 2. Kelompok lidokain mendapatkan 1 mg/kgBB intravena dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB/jam dan kelompok magnesium sulfat mendapatkan 30 mg/kgBB intravena dilanjutkan dengan 10 mg/kgBB/jam. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan Uji Mann-Whitney, uji-t, dan dianggap bermakna bila p<0,05. Hasil analisis statistik menunjukan bahwa lidokain mengurangi nilai NRS secara bermakna dibanding dengan magnesium sulfat pada jam ke-4 pascaoperasi (p<0,05), dengan kebutuhan analgesik pertolongan fentanil pada kelompok lidokain rata-rata 66,4±15,2 µg dan pada kelompok magnesium sulfat rata-rata 86,0±7,8 µg. Simpulan, lidokain intravena mengurangi NRS pascaoperasi lebih baik dan mengurangi kebutuhan opioid lebih banyak dibanding dengan magnesium sulfat pada pasien operasi kolesistektomi per laparoskopi.Kata kunci: Kebutuhan analgesik opioid, lidokain, magnesium sulfat, nyeri pascaoperasi, numeric rating scale Comparison between the Effect of Intravenous Lidocaine and Magnesium Sulphate on Numeric Rating Scale and Postoperative Analgetic Requirement for Laparoscopic CholecystectomiAbstractPostoperative pain management after laparoscopic cholecystectomy is one measure of successful anesthesia and surgery. Lidocaine and magnesium sulphate have anti-hyperalgesia effects applicable as an additional medication to attenuate postoperative pain and reduce the need for opioid analgesics. A total of 30 of patients aged 18–65 years with ASA physical status I–II who underwent laparoscopic cholecystectomy in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung were included in a double-blind, randomized, controlled clinical trial. Patients were randomly assigned into 2 groups. The L group, treated with 1 mg/kgBW intravenous followed by 1 mg/kgBW/h intravenous, and M group, treated with 30 mg/kgBW intravenous followed by 10 mg/kgBW/h. Data were analyzed using Mann-Whitney Test and t-test, p<0.05 was considered significant. Statistical analysis showed that lidocaine significantly reduced NRS value compared to magnesium sulphate at 4 hours postoperatively (p<0.05), with the average rescue analgesic fentanyl requirement in the lidocaine group and the magnesium sulphate group of 66.4±15.2 mg and 86.0±7.8 g, respectively. In conclusions, intravenous lidocaine administration may reduce the postoperative NRS value and opioid analgetic requirement more than the intravenous magnesium sulphate administration in patients undergoing laparoscopic cholecystectomy.Key words: An opioid analgetic rescue, lidocaine, magnesium sulphate postoperative pain, numeric rating scale DOI: 10.15851/jap.v4n1.741
Perbandingan antara Uji Mallampati Modifikasi dan Mallampati Ekstensi Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi Endotrakeal di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Swasono, Girindro Andi; Suwarman, Suwarman; Kadarsah, Rudi Kurniadi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (732.566 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n3.1168

Abstract

Evaluasi potensi intubasi sulit preoperatif sangat penting. Metode standar untuk menilai potensi intubasi sulit adalah metode Mallampati Modifikasi. Metode Mallampati Ekstensi merupakan metode Mallampati Modifikasi dengan ekstensi titik kranioservikal sehingga derajat bukaan mulut lebih lebar dan saluran napas terlihat lebih baik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ketepatan penilaian Mallampati Ekstensi dibanding dengan Mallampati Modifikasi sebagai prediktor dalam menilai kesulitan intubasi endotrakeal menggunakan laringoskop Macintosh langsung berdasar atas uji Cormack Lehane. Desain penelitian ini adalah observasional analitik dengan metode potong lintang dan uji diagnostik chi square. Hasil penelitian terhadap 382 subjek pada bulan September 2016 hingga bulan Desember 2016 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung didapatkan jenis kelamin perempuan 69,9% dengan median usia 42 tahun. Frekuensi nilai uji Mallampati Ekstensi lebih banyak pada kelas yang lebih rendah dan berbeda secara signifikan dibanding dengan uji Mallampati Modifikasi. Kesesuaian penilaian kelas uji Mallampati Ekstensi dengan Cormack Lehane terdapat pada 318 subjek. Simpulan, uji Mallampati Ekstensi lebih baik daripada uji Mallampati Modifikasi sebagai prediktor menilai kesulitan intubasi endotrakeal menggunakan laringoskop langsung.Comparison between Modified Mallampati Test and Extended Mallampati Test as Predictor of Difficult Endotracheal Intubationat Dr. Hasan Sadikin Hospital BandungPreoperative evaluation of potentially difficult intubation is very important. The standard method for assessing potentially difficult intubation is the Modified Mallampati method. Extended Mallampati method is a Modified Mallampati method with cranioservical extension point that the degree of mouth opening is wider and airway becomes more visible. The purpose of this study was to determine the accuracy of the Extended Mallampati test compared to the Modified Mallampati test as predictors in assessing the difficulty of endotracheal intubation using direct Macintosh laryngoscope based on Cormack Lehane grading. This was a cross-sectional observational analytical study using chi square diagnostic test involving 382 subjects at Dr. Hasan Sadikin Bandung Hospital during the period of September 2016 to December 2016 with 69.9% women and  median age of 42 years. The frequency of the Mallampati Extension test scores was higher in the lower classes, which was significantly different from the results of the Modified Mallampati test. Better appropriateness of the Mallampati Extension test result with Cormack Lehane grading was found in 318 subjects. In conclusion, the Extended Mallampati test is better than Modified Mallampati test when it is used as a predictor in assessing difficult endotracheal intubation using direct laryngoscopy (Cormack Lehane test).  
Perbandingan Intubasi Endotrakea Menggunakan Clip-on Smartphone Camera Videolaryngoscope dengan Laringoskop Macintosh pada Manekin Yadi, Dedi Fitri; Suwarman, Suwarman; Latuconsina, Fariz Wajdi
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 1 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (930.841 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n1.1287

Abstract

Intubasi endotrakea merupakan gold standard dalam manajemen jalan napas. Teknik laringoskopi direk merupakan teknik yang sulit sehingga berpotensi menyebabkan kegagalan khususnya pada orang yang tidak berpengalaman. Tujuan penelitian ini menilai keberhasilan, lama waktu, dan kemudahan intubasi endotrakea pada manekin menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope dibanding dengan laringoskop Macintosh. Penelitian dilakukan menggunakan metode crossover randomized study melibatkan 23 orang mahasiswa kedokteran di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Oktober 2017. Dari penelitian ini didapatkan keberhasilan intubasi endotrakea menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope lebih tinggi (96%) dibandingkan dengan menggunakan laringoskop Macintosh (65%). Lama waktu intubasi endotrakea rata-rata juga terbukti lebih singkat menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope (32 detik) dibanding dengan laringoskop Macintosh (52 detik). Intubasi endotrakea menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope lebih mudah (4) dibanding dengan menggunakan laringoskop Macintosh (6). Ketiga variabel menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,05. Simpulan, penggunaan clip-on smartphone camera video laryngoscope untuk intubasi endotrakea memiliki keberhasilan yang lebih tinggi, lama waktu intubasi endotrakea yang lebih singkat, dan intubasi endotrakea yang lebih mudah dibanding dengan menggunakan laringoskop Macintosh.Kata kunci: Clip-on smartphone camera videolaryngoscope, intubasi  endotrakea, laringoskopi direk, video-laryngoscope 
Perbandingan Ketinggian Bantal 4,5 cm dan 9 cm terhadap Visualisasi Glotis Saat Laringoskopi di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Alam, Mohamad Deny Saeful; Suwarman, Suwarman; Redjeki, Ike Sri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (675.71 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n3.1170

Abstract

Intubasi ialah prosedur baku mempertahankan patensi jalan napas dengan melihat secara langsung glotis melalui alat laringoskop. Visualisasi glotis akan lebih jelas pada saat tindakan laringoskopi langsung pada sniffing position. Ketinggian bantal yang berbeda akan memberikan visualisasi glotis yang berbeda pula. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen kuasi. Jumlah sampel penelitian 30 orang dengan 2 perlakuan berbeda, yaitu bantal dengan ketinggian 4,5 cm dan 9 cm. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara consecutive sampling dengan mengambil setiap subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Subjek penelitian semua pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juli 2015 yang memenuhi kriteria inklusi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemakaian bantal 4,5 cm dibanding dengan bantal 9 cm terhadap nilai visualisasi glotis.  Visualisasi glotis dengan ketinggian bantal yang berbeda pada saat tindakan laringoskopi langsung dinilai menggunakan skala kelas Cormarck–Lehane (CL) dan skor percentage of glotic opening (POGO). Distribusi data dengan uji Shapiro Wilks, nilai p ditentukan menggunakan uji Wilcoxon dan bermakna jika p<0,05. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai skala CL modifikasi kedua bantal berada pada kisaran  skala 1 hingga 2c (p=0,007). Skor  POGO bantal ketinggian 4,5 cm berada pada kisaran  20–100% dengan rata-rata 69,33±21,48%. Bantal ketinggian 9 cm skor POGO berada pada kisaran 30,00–80,00% dengan nilai rata-rata 58,333±15,33% (p=0,001). Simpulan, penggunaan bantal ketinggian 4,5 cm memberikan visualisasi glotis yang lebih baik saat laringoskopi langsung dibanding dengan  bantal ketinggian 9 cm.Comparison of 4.5 cm and 9 cm Pillow Height in Glottis Visualization on Laryngoscopy at Dr. Hasan Sadikin General HospitalIntubation is a standard procedure to maintain patency of the airway by  directly visualizing glottis with a laryngoscope. Visualization of the glottis will be clearer when direct laryngoscopy is performed in sniffing position. Different pillows heights will provide different visualization of the glottis. This study was a quasi-experimental study on 30 subjects who were divided into 2 experimental groups of 4.5 cm and 9 cm pillow heights. Subjects were sampled consecutively according to the inclusion and exclusion criteria. The population was all patients underwent elective surgery with general anesthesia at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung during the period of July 2015. The purpose of this study was to determine the effect of using a pillow height of 4.5 cm when compared to 9 cm pillow height on glottis visualization based on an assessment using Cormarck–Lehane (CL) scale and percentage of glotic opening (POGO) scores. Data distribution was tested by Shapiro Wilks while the p values were determined using Wilcoxon test and was considered meaningful if p<0.05. The results showed that the value of modified CL–class scale for both pillow heights were in the range scale of 1 to 2c (p=0.007). The POGO scores of the 4.5 cm pillow height was in the range of 20–100% with an average percentage of 69.33±21.48%, while the POGO scores of the 9 cm pillow height were in the range of 30.00–80.00% with an average score of 58.333±15.33% (p=0.001). Therefore, the use of 4.5 cm pillow height gives better glottis visualization in direct laryngoscopy compared to the 9 cm pillow height.
Kesesuaian Pengkajian Nyeri Pascaoperasi dan Tidak Lanjutnya dengan Standar Prosedur Operasional Asesmen Nyeri pada Pasien Pediatrik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2016 Tanjung, Iervan Churniawan; Tavianto, Doddy; Suwarman, Suwarman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (805.121 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1347

Abstract

Nyeri bukan hanya persepsi sensorik, tetapi juga emosi, kognitif, dan perubahan perilaku Pengkajian nyeri pada anak dinilai dengan berbagai sistem skoring. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung telah membuat Standar Prosedur Operasional untuk menilai nyeri di ruang perawatan. Penelitian bertujuan mengetahui kesesuaian pengkajian nyeri pascaoperasi dan tindak lanjutnya dengan SPO asesmen nyeri pada pasien pediatrik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2016. Penelitian menggunakan metode deskriptif observasional retrospektif terhadap 158 rekam medis pasien pediatrik yang dirawat pada tahun 2016. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin sejak Februari sampai dengan Maret 2018. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pengkajian nyeri sesuai SPO adalah 150 pasien (94,9%), tidak sesuai SPO 8 pasien (5,1%). Tindak lanjut pengkajian nyeri yang sesuai SPO adalah 138 pasien (87,4%), tidak sesuai SPO 13 pasien (8,2%), dan tidak dilakukan tindak lanjut 7 pasien (4,4%). Evaluasi ulang setelah tindak lanjut pengkajian nyeri sesuai SPO adalah 130 pasien (82%) dan tidak sesuai SPO 28 pasien (18%). Simpulan penelitian ini bahwa pengkajian nyeri pascaoperasi dan tindak lanjutnya sebagian besar sudah sesuai dengan Standar Prosedur Operasional. Kata kunci: Nyeri pascaoperasi, pediatrik, pengkajian nyeriCompliance of Postoperative Pain and Follow Up Assessment with Painful Assessment Standard Operating Procedures in Pediatric Patientsin Dr. Hasan Sadikin Bandung Year 2016Pain does not only involve sensoric perception. It also involves emotional, cognitive, and behavioral changes. Pain assessment inf children is performed using various scoring systems. Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung has developed Standard Operating Procedures to assess pain in treatment rooms. The objective of this study was to determine the compliance of postoperative pain assessment and its follow-up to the SOP on pediatric pain assessment in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2016. This was a retrospective observational descriptive study on 158 medical records of pediatric patients who were treated during the period of 2016. The study was conducted from February to March 2018. It was revealed that pain assessment was assessed in compliance to the SOP in 150 patients (94.9%) while the remaining 8 patients (5.1%) were not assessed according to the SOP. The follow-up of pain assessment was performed in compliance with the SOP in 138 patients (87.4%), Thirteen patients (8.2%) were followed up using procedures that are not in compliance with the SOP while 7 patients (4.4%) were not followed up at all. Reevaluation after pain assessment follow up was performed in compliance with the SOP in 130 patients (82%) while the remaining 28 patients (18%) were reevaluated without using the SOP. It is concluded that most postoperative pain assessments and their follow-up are conducted in compliance with the Standard Operating Procedures.Key words: Postoperative pain, pediatric, pain assessment
Gambaran Penggunaan, Obat, Teknik, dan Permasalahan yang Dihadapi pada Blokade Kaudal di Kota Bandung Tahun 2016 Harsono, Handoyo; Tavianto, Doddy; Suwarman, Suwarman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (822.207 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1487

Abstract

Penanganan nyeri pada pasien anak merupakan tantangan yang cukup besar bagi dokter spesialis anestesi. Blokade kaudal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang mudah dan sangat efektif sebagai analgetik pada anak yang menjalani operasi di bawah umbilikus. Data yang diperoleh dari Inggris dan Irlandia selama bulan April sampai dengan Juni 2008 menunjukkan bahwa penggunaan blokade kaudal masih rendah ( 61% ). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penggunaan, obat, teknik, dan masalah yang dihadapi pada blokade kaudal di Kota Bandung. Penelitian dilakukan selama bulan Maret hingga April 2018. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan  menggunakan kuesioner yang diberikan kepada 70 dokter spesialis anestesi di kota Bandung yang direspons oleh 64 orang (78%) dengan mengembalikan kuesioner. Dari penelitian ini didapatkan dokter spesialis anestesi yang melakukan blokade kaudal pada tahun 2016 sebesar 55%. Blokade kaudal digunakan untuk kombinasi anestesi dan analgesik pascaoperasi pada 62% responden. Teknik yang digunakan dalam blokade kaudal ini adalah blind technique tanpa alat bantu. Obat yang paling sering digunakan adalah bupivakain (91%). Permasalahan yang dihadapi di Kota Bandung yang mengakibatkan rendahnya penggunaan blokade kaudal adalah keterbatasan waktu tindakan (20%) dan ketersediaan obat dan alat (23%).Kata kunci: Blokade kaudal, bupivakain, teknik butaOverview on Usage, Drug, Technique and Problems on Caudal Blockade Procedure in Bandung City on 2016Pediatric pain management in pediatric is a big challenge for anesthesiologists. The caudal blockade is one of the easy and highly effective analgesic approaches for surgical procedure below umbilicus in children. Data from Ireland and United Kingdom show that the application of caudal blockade is relatively low (61%). The aim of this study was to explore the drug, technique, and challenges faced in caudal blockade application in Bandung City. This study was conducted from March to April 2018. This was a descriptive study using a questionnaire distributed to 70 anesthesiologist in Bandung city. The response rate was 77.65% (64 persons). This study found that 59.09% anesthesiologist had performed caudal block during 2016 which was used for anesthesia and post-operative analgesics by 61,54% respondents. Blind technique was used in this procedure without using additional equipment. The most frequently used was bupivacaine (97.44%). The low application of caudal block in Bandung during 2016 was caused by the limited time for the procedure (23.44%) and the availability of drug and equipment (23.44%).Key words: Caudal block, Bupivacaine, Blind technique
Survei Penggunaan, Jenis, Teknik, serta Obat Blok Saraf Perifer di Jawa Barat Tahun 2016 Lestari, Ayu Puji; Suwarman, Suwarman; Prihartono, M. Andy
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (817.911 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1346

Abstract

Blok saraf perifer merupakan salah satu teknik regional anestesi yang memiliki banyak manfaat. Penggunaan blok saraf perifer di Asia, Eropa, Amerika, dan Australia sudah mulai meningkat. Data yang ada saat ini menunjukan bahwa penggunaan, jenis, teknik, dan obat untuk blok saraf perifer di negara lain sangat bervariasi. Di Indonesia khususnya wilayah Jawa Barat belum terdapat data mengenai penggunaan, jenis, teknik, dan obat blok saraf perifer. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penggunaan, jenis, teknik, dan obat yang digunakan untuk blok saraf perifer di Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama bulan Maret 2018. Penelitian bersifat deskriptif dengan  menggunakan kuesioner yang dikirimkan kepada 120 dokter spesialis anestesi di Jawa Barat, 66 melalui  jasa pos dan 54 kuesioner diberikan langsung kepada dokter spesialis anestesi yang bekerja di Bandung. Angka respons yang didapatkan sebesar 51,3%. Dari penelitian ini didapatkan dokter spesialis anestesi yang melakukan blok saraf perifer pada tahun 2016 sebesar 44%, blok ankle sebanyak 56%, blok wrist sebanyak 53%, 71% menggunakan blind technique, serta obat paling banyak digunakan adalah bupivakain sebesar 91%. Permasalahan dokter spesialis anestesi di Jawa Barat yang berkaitan dalam pelaksanaan tindakan blok saraf perifer pada tahun 2016 paling banyak disebabkan dokter anestesi yang tidak familiar dengan tindakan blok saraf perifer sebesar 45%.Kata kunci: Blok saraf perifer, Jawa Barat, surveySurvey on Use, Type, Technique, and Drugs Used for Peripheral Nerve Block in West JavaPeripheral nerve block is a beneficial regional anesthesia technique. The use of peripheral nerve block across Asia, Europe, America and Australia has been increasing. Current data have shown a wide variety in the use, technique, and drugs selected for peripheral nerve block. In Indonesia, especially in West Java, no data available yet on the use, technique and drugs selected for peripheral nerve block. This study aimed to explore the use, technique, and drugs selected for peripheral nerve block in West Java. This was a descriptive study using a questionnaire as data collection tool to collect data on peripheral nerve block done in 2016. One hundred and twenty questionnaires were distributed to anesthesiologists in West Java area with 66 were sent via air mail and 54 were given directly to the anesthesiologists who work in Bandung area during the month of March 2018. The response rate was 51.3%. Result shown that in 2016, 44% anesthesiologists performed peripheral nerve blocks. Of these,56% were ankle block and 53% were wrist block with 71% of the respondents chose to usethe blind technique. The most widely used agent was bupivacaine, which was used in 91% of the procedures. The main challengeof peripheral nerve block implementation in West Java is unfamiliarity with the approach that 45% anesthesiologist are not used to use this technique.Key words: Peripheral nerve block, survey, West Java 
Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015–2016 Ningsih, Diana Fitria; Suwarman, Suwarman; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v7i2.4

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Operasi tumor otak berhubungan erat dengan risiko perdarahan dalam jumlah besar yang dapat menyebabkan anemia. Efek klinis anemia dapat diperbaiki dengan pemberian transfusi darah. Transfusi  diberikan dengan target level Hemoglobin (Hb) antara 9 sampai 10 gr/dL. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kadar Hb dan  hematokrit prabedah dan pascabedah, jumlah perdarahan serta pemberian transfusi darah pada pasien yang menjalani operasi tumor otak di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juni 2015 sampai dengan Juni 2016.Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 126 objek penelitian yang diambil di bagian rekam medis.Hasil dan Simpulan: Penelitian ini memperoleh hasil kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL dan hematokrit prabedah rata-rata sebesar 39,19±3,54%. Kadar Hb pascabedah <9 gr/dL sebanyak 15 pasien, Hb 9–10 gr/dL sebanyak 6 pasien dan Hb >10 gr/dL sebanyak 105 pasien. Hematokrit pascabedah rata-rata sebesar 34,03±6,03%. Jumlah perdarahan  rata-rata sebesar 1159±1032,66cc. Transfusi yang diberikan pada 56 pasien terdiri atas PRC dengan jumlah rata-rata sebesar 365,81±258,70cc,  FFP rata-rata sebesar 425,45±274,78cc dan WB 250cc.Hemoglobin Levels, Blood Loss and Transfusion in Patients Underwent Brain Tumor Surgery at Dr. Hasan Sadikin Bandung General Hospital During 2015–2016Background and Objective: Brain tumor surgery is closely related to the risk of numerous bleeding that can cause the patient to be in an anemic condition. The clinical effects of anemia can be improved by administered blood transfusions. Transfusion can be administered with target Hemoglobin (Hb) level between 9 to 10 gr/dL.The purpose of this study was to describe of preoperative and postoperative levels of Hb and hematocrit, blood loss and how blood transfusion administered in patients undergoing brain tumor surgery at Dr. Hasan Sadikin Bandung during June 2015 to June 2016.Subject and Method: This is a descriptive observational study with retrospective approach  to 126 objects taken at medical records.Result and Conclusion: The average of preoperative Hb level was 13,23±1,350 gr/dL and the average of preoperative hematocrit level was 39,19±3,54%. Number of patients with postoperative Hb level <9 gr/dL were 15 patients, Hb 9-10 gr/dL were 6 patients and Hb>10 gr/dL were 105 patients. The average of postoperative Ht were 34,03±6,032%. The rate of blood loss was 1159±1032,66cc. The rate of transfusions administered to 56 patients was pack red cell 365,81±258,70cc, fresh frozen plasma 425,45±274,78cc and whole blood 250cc.
Inventarisasi Ikan Hias Pantai Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta: Sebuah Kajian Awal Sidharta, Boy Rahardjo; Probosunu, Namastra ; Suwarman, Suwarman
Biota : Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Hayati Vol 16, No 1 (2011): February 2011
Publisher : Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.477 KB) | DOI: 10.24002/biota.v16i1.68

Abstract

Kajian “Inventarisasi Ikan Hias di Pantai Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)” ini diharapkan dapat memberikan data yang lebih akurat dan tepat tentang keberadaan ikan hias di kawasan ini. Kawasan kajian berdasar survei kawasan/lingkungan menetapkan delapan (8) pantai di Kabupaten Gunungkidul sebagai lokasi kajian. Dari delapan pantai tersebut didapat sebanyak 67 jenis ikan hias. Temuan ini seyogianya segera ditindaklanjuti oleh pihak berwenang dalam bentuk penetapan rencana strategis (renstra) yang terkait dengan sumber daya ikan hias, meliputi antara lain: rencana konservasi, pemintakatan (zonasi), pengelolaan, pengembangan, dan pemanfaatan secara berkelanjutan.