Allan Fatchan Gani Wardhana, Allan Fatchan Gani
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Published : 14 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 14 Documents
Search

Problematika Pengaturan Cuti Kampanye Bagi Incumbent Dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia Ghafur, Jamaludin; Wardhana, Allan Fatchan Gani
Jurnal Hukum Novelty Vol 8, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Ahmad Dahlan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (806.877 KB)

Abstract

Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada mewajibkan kepala daerah incumbent untuk cuti jika yang bersangkutan akan mencalonkan kembali pada daerah yang sama. Terhadap aturan tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra, apakah aturan cuti kampanye bagi kepala daerah incumbent layak dipertahankan atau tidak. Setiap peraturan pasti memiliki kelebihan dan kelemahan termasuk peraturan tentang cuti ini terutama jika dikaitkan dengan tujuan dari pilkada itu sendiri. Rumusan masalahnya:, Pertama, Bagaimana pengaturan persyaratan cuti kampanye bagi kepala daerah incumbent dalam UU Nomor 10/2016 ? Kedua, Apa kelebihan dan kelemahan adanya pengaturan persyaratan cuti kampanye bagi kepala daerah incumbent dalam pilkada? Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kasus dan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa pertama pasal 70 ayat (3) UU 10/2016 telah menimbulkan problematika hukum. Kedua, terdapat kelebihan dan kelemahan terhadap aturan cuti kampanye. Salah satu kelebihannya ialah untuk membatasi kekuasaan kepala daerah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, sedangkan salah satu kelemahannya bahwa kewajiban untuk cuti dapat merugikan hak kepala daerah incumbent untuk bekerja menuntaskan amanah rakyat hasil pemilihan langsung serta merugikan rakyat pemilih.
Political Reconstruction of Presidential Threshold Law Judging From the Presidential System and Simplification of Political Parties Wardhana, Allan Fatchan Gani; Ghafur, Jamaludin
Law Research Review Quarterly Vol 4 No 3 (2018): L. Research Rev. Q. (August 2018) "Law and Democracy in General Election: Between
Publisher : Faculty of Law Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/snh.v4i03.26935

Abstract

The requirement of presidential threshold (PT) as regulated in article 222 Act No. 7 Year 2017 about General Election is no longer urgent to be applied in simultaneous general election. The requirement violates against the principles of justice general elections since it ellipse the rights of new political parties to propose candidates of president and vice president. On the other hand, viewing from the presidential system itself, PT requirement in the article 222 Act of General Election has an impairment and needs to reconstruct. This study emphasizes on two issues. First, the urgency to reconstruct political law of PT from the perspectives of presidential system and the simplification of political parties. Second, the concept of PT in the next simultaneous general election. This study results on, first, that in a presidential system, PT is considered as a requirement for the chosen and not a requirement for nominating president and vice president. In presidential systems, the presidential elections do not depend on the results of the legislative elections. Therefore, making the results of the legislative election as a condition for nominating the president and vice president is a violation of the presidential system. Second, PT provisions in terms of nomination requirements should no longer be needed because the purpose of implementing PT is to present a simplification party system and to garner majority support from the parliament against the elected president and vice president will be automatically implemented from the results of simultaneous general elections.
Reformulasi Pengaturan Sistem Kerja Pegawai Pemerintah Kota Yogyakarta Pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Wardhana, Allan Fatchan Gani; Hakiki, Yuniar Riza
Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan Vol 2, No 1 (2021): Maret
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.951 KB) | DOI: 10.18196/jphk.v2i1.10651

Abstract

Pandemi Covid 19 berdampak pada sistem dan manajemen kerja birokrasi. Ada perubahan kultur bekerja birokrasi dengan model WFH dan WFO. Sistem manajemen kinerja ASN selama pelaksanaan WFH dinilai belum efektif karena sistem kontrol yang belum terpusat bahkan sebagian sumber daya instansi dinilai belum siap menerapkan sistem WFH, tidak terkecuali di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Kondisi saat ini, tatanan kebiasaan baru yang sedang diterapkan di lingkungan pemerintah telah memaksa seluruh lini untuk beradaptasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis kondisi pengaturan dan menggagas reformulasi pengaturan sistem kerja birokrasi di Pemerintah Kota Yogyakarta pada masa adaptasi kebiasaan baru. Dengan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dari hasil studi kepustakaan (library research) dan didukung olahan informasi dari hasil survei dan Focus Group Discussion (FGD), penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaturan sistem kerja melalui Peraturan Walikota Kota Yogyakarta Nomor 54 Tahun 2020 tentang Pedoman Tata Kerja Pegawai dalam Tatanan Normal Baru di Pemerintah Kota Yogyakarta mengadopsi 2 (dua) sistem kerja (model blended system), yaitu Work From Office (WFO) sebagai sistem kerja yang dilaksanakan di kantor dan Work From Home (WFH), sehingga guna meraih peluang dalam momentum reformasi birokrasi di masa pandemi, maka penelitian ini memformulasikan kerangka alternatif desain pengaturan sistem kerja WFO yang dikolaborasi dengan WFH sebagai satu kesatuan sistem kerja di Pemerintahan Kota Yogyakarta, yang meliputi penataan metode kerja, penataan jadwal kerja, penataan akses data/dokumen kerja, serta metode pemantauan/pengawasan dan evaluasi kinerja.
Reformulasi Pengaturan Sistem Kerja Pegawai Pemerintah Kota Yogyakarta Pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Wardhana, Allan Fatchan Gani; Hakiki, Yuniar Riza
Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan Vol 2, No 1 (2021): Maret
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.951 KB) | DOI: 10.18196/jphk.v2i1.10651

Abstract

Pandemi Covid 19 berdampak pada sistem dan manajemen kerja birokrasi. Ada perubahan kultur bekerja birokrasi dengan model WFH dan WFO. Sistem manajemen kinerja ASN selama pelaksanaan WFH dinilai belum efektif karena sistem kontrol yang belum terpusat bahkan sebagian sumber daya instansi dinilai belum siap menerapkan sistem WFH, tidak terkecuali di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Kondisi saat ini, tatanan kebiasaan baru yang sedang diterapkan di lingkungan pemerintah telah memaksa seluruh lini untuk beradaptasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis kondisi pengaturan dan menggagas reformulasi pengaturan sistem kerja birokrasi di Pemerintah Kota Yogyakarta pada masa adaptasi kebiasaan baru. Dengan metode penelitian yuridis normatif yang menggunakan data sekunder dari hasil studi kepustakaan (library research) dan didukung olahan informasi dari hasil survei dan Focus Group Discussion (FGD), penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaturan sistem kerja melalui Peraturan Walikota Kota Yogyakarta Nomor 54 Tahun 2020 tentang Pedoman Tata Kerja Pegawai dalam Tatanan Normal Baru di Pemerintah Kota Yogyakarta mengadopsi 2 (dua) sistem kerja (model blended system), yaitu Work From Office (WFO) sebagai sistem kerja yang dilaksanakan di kantor dan Work From Home (WFH), sehingga guna meraih peluang dalam momentum reformasi birokrasi di masa pandemi, maka penelitian ini memformulasikan kerangka alternatif desain pengaturan sistem kerja WFO yang dikolaborasi dengan WFH sebagai satu kesatuan sistem kerja di Pemerintahan Kota Yogyakarta, yang meliputi penataan metode kerja, penataan jadwal kerja, penataan akses data/dokumen kerja, serta metode pemantauan/pengawasan dan evaluasi kinerja.
Problematika Pengaturan Cuti Kampanye Bagi Incumbent Dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia Jamaludin Ghafur; Allan Fatchan Gani Wardhana
Jurnal Hukum Novelty Vol 8, No 1 (2017)
Publisher : Universitas Ahmad Dahlan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (806.877 KB) | DOI: 10.26555/novelty.v8i1.a5522

Abstract

Pasal 70 ayat (3) UU Nomor 10/2016 tentang Pilkada mewajibkan kepala daerah incumbent untuk cuti jika yang bersangkutan akan mencalonkan kembali pada daerah yang sama. Terhadap aturan tersebut kemudian menimbulkan pro dan kontra, apakah aturan cuti kampanye bagi kepala daerah incumbent layak dipertahankan atau tidak. Setiap peraturan pasti memiliki kelebihan dan kelemahan termasuk peraturan tentang cuti ini terutama jika dikaitkan dengan tujuan dari pilkada itu sendiri. Rumusan masalahnya:, Pertama, Bagaimana pengaturan persyaratan cuti kampanye bagi kepala daerah incumbent dalam UU Nomor 10/2016 ? Kedua, Apa kelebihan dan kelemahan adanya pengaturan persyaratan cuti kampanye bagi kepala daerah incumbent dalam pilkada? Penelitian ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan kasus dan pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini menyimpulkan, bahwa pertama pasal 70 ayat (3) UU 10/2016 telah menimbulkan problematika hukum. Kedua, terdapat kelebihan dan kelemahan terhadap aturan cuti kampanye. Salah satu kelebihannya ialah untuk membatasi kekuasaan kepala daerah agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, sedangkan salah satu kelemahannya bahwa kewajiban untuk cuti dapat merugikan hak kepala daerah incumbent untuk bekerja menuntaskan amanah rakyat hasil pemilihan langsung serta merugikan rakyat pemilih.
Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik Allan Fatchan Gani Wardhana; Harry Setyanugraha
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 20 No. 4: Oktober 2013
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol20.iss4.art2

Abstract

Political party and corruption in Indonesia can be allegorized as two sides of a coin, both of which relate closely to each other. Law No. 2 of 2008 in conjunction with Law No. 2 of 2011 on Political Party mentions one of the reasons of the political party dismissal, namely conducting an activity which violates the regulations of law. The proposition to dismiss a political party comes only from the Government. This fact closes the opportunity of other parties like individual or community group to propose a political party dismissal. The problems studied in this research are: First, the reason why an individual or a community group should be given the legal standing in the proposition of the political party dismissal. Second, the relevance of the legal standing provision to an individual or a community group in the proposition of the political party dismissal. Third, what attempt that can be conducted to provide the legal standing for an individual or a community group in the proposition of the political party dismissal. The method used in this research is normative juridical method employing law material approach. The result of the research concludes that: First, the urgency to provide the legal standing for an individual or a community group in the proposition of the political party dismissal to interpret the implementation of the people sovereignty in the law state principle. Second, by the provision of legal standing for an individual or a community group, the citizen monitoring toward the political parties will be more effective. Third, the attempt that can be conducted to provide legal standing for an individual or a community group in the provision of the political party dismissal is by revising the Constitutional Court Law.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi: Studi Terhadap Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 Allan Fatchan Gani Wardhana
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 21 No. 2: April 2014
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol21.iss2.art5

Abstract

After the reform, the amendment of 1945 Constitution of Republic Indonesia, in fact, keeps taking place. The material of 1945 Constitution of Republic Indonesia was amended not only through the formal mechanism of People’s Consultative Assembly conventions, but also through informal mechanism or the mechanism outside the formal context, in this case, through the interpretation of the judges of Constitutional Court. This research studied the problems about: first, did the Act of Constitutonal Court Number 92/PUU-X/2012 amend 1945 Constitution of Republic Indonesia? Second, what were the juridical implications of the Acts of Constitution Assembly? The research method used was normative juridical using case study. The result of the research concluded that first, there was an amendment of 1945 Constitution of Republic Indonesia through the Act of Constitutional Court of Republic Indonesia Case Number 92/PUU-X/2012 regarding the process of the formulation and discussion of draft law on Regional Representative Council (DPD) authority. Second, the Act of Constitutional Court had an implication on the position of DPD which is now equal to House of Representatives and President in suggesting draft law and in formulating Prolegnas, DPD must be involved.
RELASI KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PENETAPAN PEMBATASAN SOSIAL BERSKALA BESAR Allan Fatchan Gani Wardhana; Muhamad Saleh; Ahmad Ilham Wibowo
Literasi Hukum Vol 5, No 1 (2021): Literasi Hukum
Publisher : Universitas Tidar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (277.594 KB)

Abstract

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi pilihan hukum yang dipilih oleh Pemerintah untuk mengatasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Namun, dalam pengaturannya, terdapat ketidaksingkronan corak hubungan pusat dan daerah antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang bersifat sentralistik dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang bersifat desentralistik. Penelitian ini fokus mengkaji 2 (dua) permasalahan, pertama, bagaimana relasi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar?;dan kedua, bagaimana pengaturan penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar ke depan yang sesuai dengan konsep otonomi daerah? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Terdapat 2 (dua) hasil dalam penelitian ini. Pertama, penempatan PSBB sebagai urusan pemerintahan bidang kesehatan menimbulkan masalah pada aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan sistem desentralisasi dan otonomi daerah seperti di Indonesia. Kedua, perlu ada pengaturan terkait penetapan PSBB yang mencerminkan otonomi daerah. Menteri Kesehatan tetap memegang kewenangan menetapkan PSBB. Sedangkan, terdapat dua model Pengusulan PSBB yakni, (1) pengusulan PSBB terhadap penanganan Covid-19 lebih tepat diusulkan oleh Gugus Tugas/Satuan Tugas Daerah yang dipimpin oleh Kepala Daerah namun juga berisi DPRD sehingga mencerminkan keterwakilan unsur-unsur di daerah;dan (2) dalam hal Presiden tidak membentuk Gugus Tugas/Satuan Tugas Daerah, maka pengusulan PSBB dilakukan oleh kepala daerah dengan persetujuan bersama DPRD, setelah berkordinasi dengan Menteri Dalam Negeri
Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 terhadap Independensi Komisi Pemilihan Umum Allan Fatchan Gani Wardhana
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 1 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (164.716 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.1.1-20

Abstract

The General Elections Commission (KPU) is an independent state institution directly regulated in Article 22E of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Its position as an independent state institution affirms that the KPU is not under the influence of the DPR and the government in carrying out its duties and authorities. Article 9 Sub-Article a of Law Number 10 Year 2016 (Regional Head Election Law) stipulates the requirement of the KPU to consult the DPR and the Government in drafting and enacting KPU regulations and technical guidelines for each election stage in forums of hearings whose decisions are binding. The Constitutional Court through Decision Number 92/PUU-XIV/2016 finally canceled the word "binding" it; the existence of the word "binding" is considered contrary to the Constitution and interfere with the independence of the Commission. The research concludes, first, the independence of KPU as an organizer of election is one of the requirements for the realization of free and fair election. Secondly, the juridical implication in Decision 92/PUU-XIV/2016 confirms that the binding word in Article 9 sub-paragraph a of the Regional Head Election Law does not have binding legal force, so that the spirit and independence of KPU as an election organizer can be maintained. Abstrak Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan lembaga negara yang independen yang diatur secara langsung dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945. Posisinya sebagai lembaga negara independen menegaskan bahwa KPU tidak berada di bawah pengaruh DPR dan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pasal 9 huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) mengatur keharusan KPU untuk berkonsultasi dengan DPR dan Pemerintah dalam menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusanya bersifat mengikat. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 92/PUU-XIV/2016 akhirnya membatalkan kata ‘mengikat’ tersebut, karena bertentangan dengan Konstitusi dan mengganggu independensi KPU. Penelitian ini menyimpulkan, pertama, independensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu merupakan salah satu syarat bagi terwujudnya pemilu yang bebas dan adil. Kedua, implikasi yuridis dalam putusan 92/PUU-XIV/2016 menegaskan bahwa kata ‘mengikat’ dalam Pasal 9 huruf a UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga marwah dan independensi KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu dapat terjaga.
Politik Uang Dalam Pemilihan Umum: Kajian Perspektif Demokrasi Dan Islam Allan Fatchan Gani Wardhana
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol 4, No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.369 KB) | DOI: 10.18592/jils.v4i2.4154

Abstract

Tantangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum masih didominasi oleh praktik politik uang. Meski Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum telah mengatur mengenai politik uang termasuk ancaman sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar ketentuan tersebut, faktanya politik uang masih digunakan oleh para kandidat untuk memengaruhi pemilih dalam rangka untuk mendapatkan keuntungan berupa suara. Terdapat satu topik utama dalam penelitian ini yaitu bagaimana demokrasi dan islam memandang fenomena politik uang? Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif menggunakan teknik analisa deskriptif-kualitatif. Adapun hasil penelitian menyimpulkan bahwa politik uang merupakan tindakan yang dapat merusak demokrasi dan dalam pandangan Islam, politik uang merupakan risywah atau suap.