Claim Missing Document
Check
Articles

THE ROLE OF PLATELETS SCD40L TO ATHEROGENESIS (Peran sCD40L Trombosit terhadap Aterogenesis) Kurniawan, Liong Boy
INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY Vol 22, No 3 (2016)
Publisher : Indonesian Association of Clinical Pathologist and Medical laboratory

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24293/ijcpml.v22i3.1247

Abstract

Peran CD40 dan CD40L terhadap maturasi dan diferensiasi sel limfosit telah diteliti sebelumnya. CD40L diekspresikan oleh berbagaisel lainnya seperti: makrofag, sel dendritik, neutrofil dan endotelial. Trombosit juga dapat mengekspresikan CD40L dan dapat dilepaskandalam bentuk terlarut yaitu sCD40L. Telaahan ini bertujuan untuk mengetahui peran sCD4-0L yang dihasilkan oleh trombosit padaaterogenesis lewat penjelasan. sCD40L dapat menyebabkan gangguan fungsi endotel, pelepasan ROS, peningkatan aktivitas ICAM,VCAM dan MMP, aktivasi trombosit dan destabilisasi plak melalui interaksi dengan berbagai molekul lain seperti OxLDL. Aterogenesisdapat dipicu melalui interaksi sCD40L. Berbagai penemuan di bidang Farmakologi dan segi lain perlu dikaji untuk menghambat sCD40Ldalam aterogenesis. Penelitian lebih lanjut dan mendalam masih diperlukan untuk membuktikan peran sCD40L sebagai petanda peramalkejadian aterogenesis.
POLA KUMAN AEROB DAN KEPEKAAN ANTIMIKROBA PADA ULKUS KAKI DIABETIK Kurniawan, Liong Boy; Esa, Tenri; Sennang, Nurhayana
INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY Vol 18, No 1 (2011)
Publisher : Indonesian Association of Clinical Pathologist and Medical laboratory

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24293/ijcpml.v18i1.357

Abstract

Diabetic foot ulcer is a common complication of diabetic disease which causes morbidity and foot amputation. One major pathogenesis is infection. Microbes which infect are varied. The use of inappropriate antimicrobials can or may cause drugs resistance. Data of microbes pattern and sensitivity test is important and may guide the clinician in giving the initial therapy. The aim of this retrospective study was to know the characteristics, microbial pattern, and the sensitivity to antimicrobial drugs of 31 diabetic foot ulcer patients who were hospitalized at Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar in the period of January 2009 until June 2010. The study results showed the age mean was 54.06±12.4 years old, and the onset of diabetes mellitus was 7.62±5.77 years. The common microbes were gram negative bacteria (73.52%) including Enterobacter agglomerans, Proteus mirabilis and Klebsiella pneumonia, while the most common gram positive microbe was Streptococcus sp. Gram positive microbes were sensitive to meropenem, ceforoxim and amoxilin, while Gram negative microbes were sensitive to meropenem. Based on this study, the researchers concluded that the most common microbes which infect the feet were gram negative microbes. Gram positive microbes were still sensitive to meropenem, ceforoxim and amoxilin. Gram negative microbes were sensitive to meropenem.
HUBUNGAN KADAR TRANSAMINASE TERHADAP MORTALITAS DAN LAMA PERAWATAN PASIEN INFARK MIOKARD Boy Kurniawan, Liong
Jurnal Kedokteran YARSI Vol 20, No 1 (2012): JANUARI - APRIL 2012
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.147 KB) | DOI: 10.33476/jky.v20i1.156

Abstract

Infark miokard ditandai dengan pelepasan enzim-enzim yang terdapat pada selotot jantung yang mengalami nekrosis maupun petanda-petanda spesifikjantung lainnya. Enzim-enzim yang dilepaskan termasuk juga enzimtransaminase yaitu serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) danserum glutamic pyruvic transaminase (SGPT). Kedua enzim tersebut tidakspesifik jantung tetapi meningkat kadarnya pada infark miokard. Penelitian inidilakukan untuk mengetahui hubungan kadar enzim transaminase terhadapmortalitas dan lama perawatan pasien infark miokard. Penelitian ini merupakanstudi retrospektif dengan mengambil data sekunder dari rekam medik 72 pasieninfark miokard yang dirawat di Intensive Cardiac Care Unit Rumah Sakit dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Juli 2010 hingga Juni 2011. Sampeldibagi menjadi dua kelompok yaitu pasien infark miokard yang survive selamaperawatan dan yang meninggal selama perawatan. Rerata kadar SGOT padapasien infark miokard yang survive maupun yang meninggal selama perawatanberturut-turut  80,87+79,13 U/l dan 243,82+401,78 U/l, Uji Mann-Whitneymenunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p=0,019). Reratakadar SGPT pada pasien infark miokard yang survive maupun yang meninggalselama perawatan berturut-turut 45,02+45,53 U/l dan 178,30+375,45 U/l, UjiMann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antarakeduanya (p=0,065). Pada pasien yang survive, Uji Korelasi Spearman?smenunjukkan kadar SGOT dan SGPT berkorelasi positif terhadap lamanyarawat inap, masing-masing dengan nilai p=0,006, r=0,389 dan p=0,019,r=0,335. Pada pasien yang meninggal selama perawatan, Uji KorelasiSpearman?s menunjukkan kadar SGOT dan SGPT tidak berkorelasi terhadaplamanya rawat inap, masing-masing dengan nilai p=0,209, r=-0,267 danp=0,506, r=-0,146). Kadar SGOT lebih tinggi pada pasien yang meninggaldibandingkan dengan pasien survive, tetapi kadar SGPT tidak berbedabermakna antara keduanya. Pada pasien yang survive, semakin tinggi kadarSGOT dan SGPT semakin lama masa rawat inap pasien tersebut.Dipresentasikan dalam presentasi oral pada Pertemuan Ilmiah Berkala XVIIFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, 27-29 Januari 2012.Infark miokard ditandai dengan pelepasan enzim-enzim yang terdapat pada selotot jantung yang mengalami nekrosis maupun petanda-petanda spesifikjantung lainnya. Enzim-enzim yang dilepaskan termasuk juga enzimtransaminase yaitu serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) danserum glutamic pyruvic transaminase (SGPT). Kedua enzim tersebut tidakspesifik jantung tetapi meningkat kadarnya pada infark miokard. Penelitian inidilakukan untuk mengetahui hubungan kadar enzim transaminase terhadapmortalitas dan lama perawatan pasien infark miokard. Penelitian ini merupakanstudi retrospektif dengan mengambil data sekunder dari rekam medik 72 pasieninfark miokard yang dirawat di Intensive Cardiac Care Unit Rumah Sakit dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar periode Juli 2010 hingga Juni 2011. Sampeldibagi menjadi dua kelompok yaitu pasien infark miokard yang survive selamaperawatan dan yang meninggal selama perawatan. Rerata kadar SGOT padapasien infark miokard yang survive maupun yang meninggal selama perawatanberturut-turut  80,87+79,13 U/l dan 243,82+401,78 U/l, Uji Mann-Whitneymenunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p=0,019). Reratakadar SGPT pada pasien infark miokard yang survive maupun yang meninggalselama perawatan berturut-turut 45,02+45,53 U/l dan 178,30+375,45 U/l, UjiMann-Whitney menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antarakeduanya (p=0,065). Pada pasien yang survive, Uji Korelasi Spearman?smenunjukkan kadar SGOT dan SGPT berkorelasi positif terhadap lamanyarawat inap, masing-masing dengan nilai p=0,006, r=0,389 dan p=0,019,r=0,335. Pada pasien yang meninggal selama perawatan, Uji KorelasiSpearman?s menunjukkan kadar SGOT dan SGPT tidak berkorelasi terhadaplamanya rawat inap, masing-masing dengan nilai p=0,209, r=-0,267 danp=0,506, r=-0,146). Kadar SGOT lebih tinggi pada pasien yang meninggaldibandingkan dengan pasien survive, tetapi kadar SGPT tidak berbedabermakna antara keduanya. Pada pasien yang survive, semakin tinggi kadarSGOT dan SGPT semakin lama masa rawat inap pasien tersebut.Dipresentasikan dalam presentasi oral pada Pertemuan Ilmiah Berkala XVIIFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, 27-29 Januari 2012.
Body mass index as the most influential factor of high-sensitivity C-reactive protein in non-diabetic adults Mulyamin, Winda; Kurniawan, Liong Boy; Adnan, Endy; Widaningsih, Yuyun; Idris, Irfan; Santoso, Arif; Yustisia, Ika
Universa Medicina Vol. 40 No. 1 (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18051/UnivMed.2021.v40.22-28

Abstract

BACKGROUNDHigh-sensitivity C-reactive protein (hsCRP) has been widely accepted as a predictor of future cardiovascular risk that reflects a microinflammatory state. Obesity linked to microinflammation increases the prevalence of metabolic disorders and cardiovascular diseases. This study aimed to determine the association between several obesity indices namely body mass index (BMI), waist circumference (WC), body fat percentage (fat), and visceral fat (VF) with hsCRP in non-diabetic adults. METHODSThis was a cross-sectional study performed on 80 non-diabetic adults with ages ranging from 20-40 years. The obesity indices BMI, WC, body fat percentage, and VF were measured. We then measured the hsCRP levels using an immunoturbidimetric method. Simple and multiple linear regression tests were used to analyze the association between obesity indices and hsCRP levels. RESULTSMean of log BMI, log WC, and log VF was 1.41 ± 0.08 kg/m2, 1.93 ± 0.06 cm, and 0.95 ± 0.27 units, respectively. Simple linear regression tests showed that log BMI (â=3.506; p<0.001), log WC (â=3.672; p<0.001), log VF (â=0.833; p<0.001), and log systolic blood pressure (â=3.739; p=0.024) had a significant positive correlation with log hsCRP levels. Further multiple linear regression test showed that log BMI (â=3.772; Beta=0.674; p<0.001) had the greater effect on log hsCRP levels compared to other indices. CONCLUSIONS    BMI had a greater influence on hsCRP levels compared to other obesity indices in non-diabetic adults. Body mass index can be used as a better index in predicting hsCRP levels compared to other indices.
Analisis Kadar Interleukin-18 (Il-18) Serum dan Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) Pada Obesitas Sentral dan Non Obesitas Sentral Pratiwi, Chika; Widaningsih, Yuyun; Kurniawan, Liong Boy
Poltekita : Jurnal Ilmu Kesehatan Vol. 15 No. 2 (2021): August
Publisher : Poltekkes Kemenkes Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33860/jik.v15i2.451

Abstract

Interleukin-18 adalah proinflmasi dihasilkan di glomerulus, meningkat pada keadaan sindrom metabolik diawali dengan obesitas, diekskresikan setelah cedera iskemik ginjal. IL-18 merupakan biomarker untuk mendiagnosis kerusakan ginjal akut. Laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah salah satu biomarker untuk menilai fungsi ginjal. Tujuan menganalisis kadar IL-18 dan LFG pada obesitas dan non obesitas sentral. Penelitian cross sectional, Sampel terdiri atas 40 subjek obesitas sentral dan 33 subjek non obesitas sentral. Kadar IL-18 serum diperiksa dengan kit human IL-18 dengan metode ELISA dan kreatinin serum menggunakan alat Clinical Chemistry Analyzer ABX Pentra. Hasil penelitian tidak terdapat perbedaan bermakna terhadap kadar Interleukin-18 antara kelompok obesitas sentral dan non obesitas sentral (p=0,576) sedangkan nilai LFG pada subjek obesitas sentral memiliki nilai rerata yang lebih tinggi yaitu 103,17 ml/min/1,73m2 dibandingkan dengan subjek non obesitas sentral yaitu 96,47 ml/min/1,73m2 dan secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada nilai LFG subyek laki-laki dengan obesitas sentral dan non obesitas sentral (p=0,207). Pada analisis ini tidak ditemukan korelasi antara kadar IL-18 dan GFR pada kelompok obesitas dan non obesitas sentral (r=-0.047 p=0,695).
Analisis Kaitan Jumlah Trombosit dengan Mortalitas Pasien Infark Miokard Akut selama Perawatan Kurniawan, Liong Boy; Bahrun, Uleng; Arif, Mansyur; ER, Darmawaty
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 9 (2014): Diabetes Mellitus
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (112.615 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i9.1102

Abstract

Latar belakang Trombosit berperan dalam aterotrombosis dengan menghasilkan enzim yang dapat mendegradasi matriks sehingga plak aterosklerosis mudah ruptur. Ruptur plak akan menyebabkan adhesi, aktivasi dan agregasi trombosit sehingga membentuk trombus yang dapat mematikan sel otot jantung. Jumlah trombosit diduga berkaitan dengan mortalitas pasien infark miokard akut. Tujuan Untuk mengetahui jumlah trombosit pasien infark miokard akut saat masuk rumah sakit dan menilai kaitannya dengan mortalitas pasien selama perawatan di rumah sakit. Metode Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan analisis potong silang, menggunakan data sekunder rekam medik 81 pasien infark miokard akut yang dirawat di Unit Perawatan Jantung Intensif Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar periode Juli 2010 hingga Juni 2011. Jumlah trombosit yang diteliti adalah jumlah trombosit saat pasien masuk rumah sakit. Uji statistik dengan Uji T dan Mann Whitney. Hasil Rerata jumlah trombosit penderita infark miokard akut yang survive dan meninggal selama perawatan adalah 245,02+69,58/µL dan 259,18+111,17/µL (p=0,543). Tidak ditemukan hubungan antara tingkat mortalitas dengan jumlah trombosit secara keseluruhan (p=0,433). Pasien dengan trombositosis memiliki risiko mortalitas 4,27 kali dibandingkan dengan jumlah trombosit normal (p=0,256, 95%IK 0,368-49,676) sedangkan pasien dengan trombositopenia memiliki risiko mortalitas 1,71 kali dibandingkan dengan pasien dengan jumlah trombosit normal (p=0,471, 95%IK 0,418-6,993). Simpulan Tidak ditemukan perbedaan bermakna jumlah trombosit pasien yang survive dan yang meninggal selama perawatan, tetapi ditemukan kecenderungan peningkatan mortalitas pada pasien infark miokard akut dengan trombositosis dan trombositopenia dibandingkan dengan pasien dengan jumlah trombosit normal.Background Platelet has important role in atherothrombosis by producing enzymes which may degrade matrix leading to plaque rupture. Rupture of plaques induces platelet adhesion, activation and aggregation forming thrombus which can cause myocardial infarction. Platelet counts are thought to correlate with mortality of acute myocardial infarction patients. Objective To observe platelet counts at admission among acute myocardial patients and to evaluate its influence to in-hospital mortality. Method A retrospective study with cross sectional approach was performed using secondary data from 81 acute myocardial infarction patients hospitalized in Intensive Cardiac Care Unit of dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital Makassar from June 2010 to July 2011. Platelet counts at admission were analyzed and statistical analysis was performed using T and Mann Whitney Tests. Results The mean platelet counts at admission in the in-hospital survived and non survived acute myocardial infarction patients were 245.02+69.58/µL and 259.18+111.17/µL respectively (p=0,543). No correlation found between mortality rate and overall platelet count (p=0.433). Patients with thrombocytemia had 4.27 times mortality rate compared to normal platelet counts patients (p=0.256, 95% CI =0.368-49.676) while thrombocytopenia patients had 1.71 times mortality rate compared to those with normal platelet counts (p=0.471, 95% CI =0.418-6.993). Conclusion No significant difference of platelet counts at admission in the in-hospital survived and non survived acute myocardial infarction patients; patients with thrombocytemia and thrombocytopenia had tendency of higher mortality compared to patients with normal platelet counts. 
Skrining, Diagnosis dan Aspek Klinis Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase (G6PD) Kurniawan, Liong Boy
Cermin Dunia Kedokteran Vol 41, No 11 (2014): Infeksi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (575.615 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v41i11.1067

Abstract

Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzimopati terkait kromosom X yang paling umum diderita manusia. Kelainan ini mempunyai prevalensi tinggi terutama di daerah endemis malaria termasuk Asia Tenggara seperti di Indonesia. Penderita defisiensi G6PD umumnya tidak menunjukkan gejala sampai terpapar berbagai obat pengoksidasi, menderita penyakit infeksi maupun ingesti kacang fava yang menyebabkan anemia hemolitik dan ikterus. Skrining dan diagnosis defisiensi G6PD terutama ditujukan pada neonatus untuk mencegah morbiditas dan mortalitas, dapat dilakukan dengan beberapa metode.Glucose-6-fosfat dehydrogenase (G6PD) deficiency is the most common X-linked chromosome enzymopathy in human. This disorder has high prevalence especially in malaria endemic area in Southeast Asia including Indonesia. Most G6PD deficient patients have no symptoms until exposed to oxidizing drugs, infections or after fava beans ingestion which may cause hemolytic anemia and jaundice. Several methods of screening and diagnosis of G6PD mostly for neonates can be performed to avoid morbidity and mortality.
Patofisiologi, Skrining dan Diagnosis Laboratorium Diabetes Melitus Gestasional Kurniawan, Liong Boy
Cermin Dunia Kedokteran Vol 43, No 11 (2016): Kesehatan Ibu - Anak
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (113.57 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v43i11.884

Abstract

Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah gangguan toleransi glukosa yang pertama kali ditemukan pada saat kehamilan. Prevalensi DMG 7% hingga 11,6% di seluruh dunia dengan insidens lebih tinggi pada turunan Asia dan kepulauan Pasifik, insidens meningkat seiring meningkatnya kasus obesitas. Mayoritas penderita DMG mengalami disfungsi sel β akibat resistensi insulin kronik sebelum kehamilan, biasanya karena obesitas. Gangguan postreseptor pensinyalan insulin diduga sebagai penyebab DMG. Skrining dan diagnosis DMG dilakukan pada usia kehamilan 24-28 minggu dengan metode one-step atau two-step strategy. Penegakan diagnosis dan penatalaksaan DMG penting untuk mengurangi komplikasi maternal dan janin.Gestational diabetes mellitus is glucose intolerance found initially in pregnancy. Prevalence of gestational diabetes mellitus varies from 7% to 11.6% across the world with higher incidence in Asia and Pacific island, the incidence increases along with increase of obesity incidence. Majority of gestational diabetes mellitus patients have β cell dysfunction as the result of chronic insulin resistance developing before pregnancy, mostly due to obesity. Some studies reported post receptor disorder in insulin signaling as major finding in gestational diabetes mellitus. Screening and diagnosis between 24 and 28 weeks of gestational age are needed to confirm diagnosis using one-step or two-step strategy. Diagnosis and treatment are needed to reduce maternal and fetal complications.
Pengaruh Jumlah Leukosit terhadap Mortalitas Pasien Infark Miokard Akut selama Perawatan Kurniawan, Liong Boy; Bahrun, Uleng; Arif, Mansyur; ER, Darmawaty
Cermin Dunia Kedokteran Vol 42, No 10 (2015): Neurologi
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.963 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v42i10.953

Abstract

Latar belakang: Patogenesis infark miokard akut melibatkan proses inflamasi sistemik, intraplak, ataupun miokardium. Neutrofil menginfiltrasi plak koroner dan miokardium yang mengalami infark serta memediasi terjadinya kerusakan jaringan melalui pelepasan enzim pendegradasi matriks dan spesies oksigen reaktif. Leukosit yang berperan dalam patogenesis infark miokard diduga berkaitan dengan mortalitas pasien infark miokard akut. Tujuan: Mengetahui kaitan jumlah leukosit, persentase neutrofil, limfosit, dan rasio neutrofil limfosit terhadap mortalitas pasien selama perawatan di rumah sakit. Metode: Studi retrospektif dengan menggunakan data sekunder dari rekam medik 64 pasien infark miokard akut yang dirawat di Unit Perawatan Jantung Intensif Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar, periode Juli 2010 hingga Juni 2011. Dilakukan analisis pada jumlah leukosit, neutrofil, limfosit, dan rasio neutrofil limfosit yang diperoleh dari data hasil tes laboratorium saat pasien masuk rumah sakit. Uji statistik dilakukan dengan uji T, Mann Whitney, dan chi square. Hasil: Rerata jumlah leukosit, persentase neutrofil, limfosit, dan rasio neutrofil limfosit pada penderita infark miokard akut yang survive dan meninggal selama perawatan berturut-turut adalah 11.920+3.610/µL vs 14.410+3.090/µL (p=0,009), 73,98+11,16 vs 76,04+9,74 (p=0,647), 17,29+9,03 vs 15,00+7,00 (p=0,379), dan 5,97+3,90 vs 6,80+4,72 (p=0,403). Pasien dengan leukositosis memiliki risiko mortalitas 10,71 kali dibandingkan dengan jumlah leukosit normal (p=0,009; 95% interval kepercayaan (IK) 1,307 s/d 87,846). Simpulan: Rerata jumlah leukosit pada pasien infark miokard akut yang meninggal selama perawatan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang survive. Pasien dengan leukositosis memiliki risiko mortalitas selama perawatan lebih tinggi dibandingkan pasien dengan jumlah leukosit normal.Background: Pathogenesis of acute myocardial infarction involves systemic, intraplaque, and myocardial inflammatory processes. Neutrophils infiltrated coronary plaque and infarcted myocardium, also mediate tissue damage through release of matrix degradation enzymes and reactive oxygen species. Leukocyte is suspected to be related to mortality in acute myocardial infarction patients. Objective: To investigate the relationship of leukocyte count, neutrophils and lymphocyte percentages, also neutrophils and lymphocyte ratio with in-hospital mortality of acute myocardial infarction patients. Method: A retrospective study with using secondary data from medical record of 64 acute myocardial infarction patients hospitalized in Intensive Cardiac Care Unit of Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar, from June 2010 to July 2011. Admission leukocyte count, percentages of neutrophils and lymphocyte, and neutrophils lymphocyte ratio were analyzed statistically using T, Mann Whitney, and chi square tests. Results: The mean of leukocyte count at-admission, percentages of neutrophils and lymphocyte, and neutrophil : lymphocyte ratio in survived and non survived acute myocardial infarction patients were 11920+3610/µL vs 14410+3090/µL (p=0.009), 73.98+11.16 vs 76.04+9.74 (p=0.647), 17.29+9.03 vs 15.00+7.00 (p=0.379), and 5.97+3.90 vs 6.80+4.72 (p=0.403) respectively. Patients with leukocytosis had 10.71 times mortality rate compared to patients with normal counts (p=0.009; 95% CI =1.307-87.846). Conclusion: Leukocyte count in non-survivors was significantly higher than in survivors. Patients with leukocytosis had higher mortality risk compared with normal count patients.
Peran Anti Mullerian Hormone pada Penilaian Kapasitas Reproduksi Wanita Kurniawan, Liong Boy
Cermin Dunia Kedokteran Vol 44, No 5 (2017): Gastrointestinal
Publisher : PT. Kalbe Farma Tbk.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (361.639 KB) | DOI: 10.55175/cdk.v44i5.795

Abstract

Unit fungsional ovarium pada manusia adalah folikel ovarium. Jumlah folikel pada pool folikel primordial merupakan faktor penentu penting lamanya usia reproduksi pada wanita. Kadar Anti Mullerian Hormone (AMH) serum secara esensial merefleksikan cadangan folikuler ovarium dan menjadi tidak terdeteksi pada saat menopause. Variasi kadar AMH sepanjang siklus menstruasi tidak berbeda signifikan sehingga pemeriksaan dapat dilakukan kapan saja. Pemeriksaan AMH plasma pada wanita subur digunakan untuk menilai cadangan ovarium dan dapat digunakan sebagai tes skrining status fertilitas wanita yang ingin memiliki anak pada usia di atas 35 tahun.Ovarian follicle is the functional unit of ovaries. The quantity of follicles in primordial follicle pool is important determinant of woman’s reproduction capacity. The serum Anti Mullerian Hormone (AMH) level essentially reflects ovarian follicular reserve capacity and become undetectable after menopause. AMH level does not vary significantly during menstruation cycle. AMH level in fertile woman refers to ovarian reserve capacity and can be used to measure fertility status of women above 35 years old who want to become pregnant.