Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Uji Efek Analgesik Ekstrak Daun Makutadewa (Phaleria Macrocarpa) pada Mencit Yenni, Yusuf; Yuliastuti, .; Regina, Sumastuti
bionature Vol 14, No 1 (2013): April
Publisher : Fakultas MIPA UNM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.117 KB) | DOI: 10.35580/bionature.v14i1.1440

Abstract

Nyeri merupakan gejala yang paling sering membawa pasien pencari pengobatan ke dokter. Daun Makutadewa diperkirakan memiliki efek analgesik sebagai penghilang nyeri,  namun belum pernah dilakukan penelitian ilmiah mengenai efek tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek analgesik ekstrak daun Makutadewa pada mencit. 36 mencit dibagi ke dalam 6 kelompok. Kelompok I diberikan akuades, kelompok II diberikan suspensi aspirin dalam 5 % pvp, kelompok III diberikan pvp 5%, kelompok IV, V, dan  VI masing-masing diberikan ekstrak daun Makutadewa berturut-turut 0.1 g, 0.2 g, and 0.4 g serbuk/20 g BB mencit. Induksi nyeri dilakukan dengan menyuntikkan asam asetat intra peritoneal  0.3 mg/gram BB, 30 menit setelah mencit diberikan perlakuan oral. Refleks geliat sebagai respon nyeri dihitung setiap 5 menit selama 30 menit segera setelah induksi nyeri. Jumlah refleks geliat kemudian dianalisis statistik dengan one way anove (α = 0.05) untuk mengetahui apakah ekstrak daun Makutadewa dapat menurunkan nyeri secara signifikan dibanding akuades. Hasil pengamatan menunjukkan jumlah reflek geliat dalam 30 menit berkurang secara bermakna pada kelompok ekstrak daun Makutadewa. Perbandingan dua kelompok menunjukkan jumlah refleks geliat berbeda bermakna pada kelompok IV dan VI dibanding akuades. Disimpulkan bahwa ekstrak daun Makutadewa dengan dosis 0.1 g and 0.4 g serbuk/20 g mencit memiliki efek analgesik dibanding akuades.
Infeksi Cacing Kremi pada Penderita HIV Positif di Makassar Yusuf, Yenni
bionature Vol 16, No 1 (2015): April
Publisher : Fakultas MIPA UNM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.225 KB) | DOI: 10.35580/bionature.v16i1.1570

Abstract

Infeksi cacing kremi (Enterobius vermicularis) merupakan salah satu infeksi cacing yang banyak terjadi di seluruh dunia. Prevalensi tinggi ditemukan pada anak, populasi panti, homoseksual, dan keluarga penderita. Pada penelitian ini dilakukan skrining infeksi cacing kremi pada penderita HIV di Makassar, baik yang sedang dirawat di RS Wahidin Sudirohusodo, maupun yang berada di komunitas. Sebanyak 50 sampel tinja penderita diperiksa dengan menggunakan menggunakan metode apusan tinja tebal Kato Katz. Ditemukan satu sampel yang positif mengandung telur cacing E vermicularis dari sampel tinja penderita anak perempuan berusia 9 tahun. Dengan demikian, tingkat kejadian infeksi cacing kremi pada penderita HIV di Makassar sebesar 2 %.
Penggunaan Bakteri Bacillus spp untuk Pengendalian Jentik Nyamuk Anopheles spp Yusuf, Yenni
bionature Vol 10, No 2 (2009): Oktober
Publisher : Fakultas MIPA UNM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (95.464 KB) | DOI: 10.35580/bionature.v10i2.1367

Abstract

Based on the high incidence and fatality of malaria, a comprehensive management to control the disease, including Anopheles larval control to remove the transmission path, is urgently required. Chemical insecticides used for this purpose is claimed to be less environmentally safe and potentially increase the mosquito resistance.  Thus, there is a need to use alternative insecticide. Some studies found that Bacillus sphaericus dan Bacillus thuringiensis israeli could effectively kill Anopheles larvae and has a low potency to increase resistency. Besides that, it is environmentally safe and does not affect non-target organisms. Therefore, the use of Bacillus spp as larvicides could be undertaken in malaria control programme especially in endemic areas.
Faktor Resiko Munculnya Plasmodium spp. Resisten di Kecamatan Tapalang, Sulawesi Barat Yusuf, Yenni
bionature Vol 15, No 1 (2014): April
Publisher : Fakultas MIPA UNM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (42.328 KB) | DOI: 10.35580/bionature.v15i1.1547

Abstract

Resistensi obat anti-malaria harus diantisipasi secara dini karena belum ada obat yang dapat menggantikan terapi lini pertama terkini, Artemisinin based combination therapy (ACT). Karena itu organisasi kesehatan dunia WHO menetapkan beberapa langkah untuk menghindari atau mengatasi munculnya parasit Plasmodium yang resisten terhadap obat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan resiko timbulnya resistensi parasit di daerah endemik malaria di Kecamatan Tapalang, Sulawesi Barat. Delapan pasien positif malaria menjalani pengobatan dengan artesunat-amodiakuin (AS-AQ) selama 3 hari. Pasien di follow up selama masa pengobatan untuk melihat atau menanyakan efek samping obat yang dialami yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien terhadap prosedur pengobatan. Efek samping yang terbanyak adalah mual (50%), muntah (37.5%), lemas (25%) dan sakit kepala (25%). Selain itu dilakukan wawancara terhadap petugas kesehatan mengenai cara pemberian  AS-AQ. Dari wawancara diketahui bahwa AS-AQ biasanya diberikan dalam dosis terbagi dalam sehari, sehingga berpotensi menyebabkan dosis obat yang kurang optimal. Adanya potensi kurangnya kepatuhan pengobatan akibat efek samping obat yang mengganggu dan dosis obat yang kurang optimal merupakan faktor resiko resistensi terhadap ACT.
Bukti Munculnya Malaria Resisten Artemisinin di Asia Yenni, Yusuf
bionature Vol 14, No 2 (2013): Oktober
Publisher : Fakultas MIPA UNM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (604.153 KB) | DOI: 10.35580/bionature.v14i2.1459

Abstract

Penggunaan Artemisinin based combination therapy (ACT) sebagai terapi lini pertama malaria berperan dalam keberhasilan program eliminasi malaria secara global. Karena itu, munculnya parasit resisten artemisinin di daerah Thailand-Cambodia di Asia Tenggara seperti dilaporkan oleh beberapa penelitian mendapatkan banyak perhatian karena belum tersedianya obat lain yang se-efektif ACT. Artikel ini menelaah penelitian-penelitian tersebut, yang digunakan sebagai rujukan dalam laporan malaria WHO. Kriteria terapi berupa respons adekuat secara klinis dan parasitologis atau Adequate clinical and parasitological response (ACPR) yang kurang dari 90 % dan pemanjangan klirens parasit menjadi indikator resistensi dalam penelitian tersebut. Meskipun demikian, setiap penelitian tersebut memiliki beberapa kondisi yang dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian, misalnya tingkat  loss-to-follow-up yang lebih tinggi pada kelompok dengan kegagalan terapi yang lebih besar, densitas parasit yang lebih besar, atau tidak tersedianya data mengenai densitas parasit awal tersebut. Dengan demikian, kegagalan terapi yang terjadi belum tentu menunjukkan penurunan respons terapi yang sesungguhnya. Kesimpulannya, belum jelas apakah parasit yang resisten artemisinin telah benaar-benar muncul di daerah tersebut.
Evaluasi Rasio Netrofil Limfosit (RNL) untuk diagnosis COVID-19 pada Pasien di RS Tadjuddin Chalid, Makassar, Indonesia Yusuf, Yenni; Nurisyah, Sitti; Hasyim, Ammar Abdurrahman; Amru, Khaeriah; Kadir, Atifatul Qalbi; Mutia, Azizah Nurul; Zuhair, Muhammad Naufal; Paramita, Kartika
bionature Vol 22, No 2 (2021): Oktober
Publisher : Fakultas MIPA UNM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35580/bionature.v22i2.27644

Abstract

Abstract. The neutrophil lymphocyte ratio (NLR) is one of the variables related to the severity of COVID-19 disease. Therefore, we evaluated the value of NLR in COVID-19 patients and its relation to the symptoms and severity of COVID-19 at Tadjuddin Chalid Hospital, Makassar. We recruited patients visiting Tadjuddin Chalid Hospital Makassar who were willing to take part in the study in April to August 2021. Demographic, clinical and laboratory data were recorded through interviews and medical records. The severity of the disease is classified according to the guidelines from the association of Indonesian pulmonary doctors, Indonesian internal medicine doctors, Indonesian pediatricians, anesthesiologists and intensive care doctors, and the Indonesian cardiologist association. NLR data was obtained by calculating the ratio between neutrophil levels and lymphocyte levels in the blood. A total of 130 patients took part in the study, between 19-72 years old. There were 77 subjects (59.2%) with mild symptoms, 28 (21.6%) with moderate symptoms, and 25 (19.2%) with severe symptoms. There were 89 subjects with NLR <3.5 (68.5%) and 41 (10.8%) with NLR > 3.5. NLR values in patients with severe and moderate disease were significantly different from NLR in patients with mild disease (p =0.0002 dan p<0.0001, respectively). However, no significant difference was found in NLR between patients who neither have cough nor fever with those who had one or both of those symptoms. The presence of clinical or radiological symptoms of pneumonia accompanied by an NLR > 3.5 can be used as an indicator for a suspected moderate or severe COVID-19 diagnosis.Keywords: COVID-19, neutrophil lymphocyte ratio (NLR), pneumonia, disease severity, diagnostic tool
ANTI-MALARIAL DRUG RESISTANCE Yenni Yusuf
Majalah Kedokteran Andalas Vol 37, No 1 (2014): Published in May 2014
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (236.897 KB) | DOI: 10.22338/mka.v37.i1.p64-69.2014

Abstract

AbstrakTujuan studi ini adalah untuk menjelaskan mekanisme resistensi parasit malaria danusaha-usaha yang dapat dilakukan untuk menghadapi munculnya strain parasit yangresisten terhadap artemisinin. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan. ResistensiP.falciparum terhadap obat-obat anti malaria disebabkan oleh perubahan spontan yangterjadi pada beberapa gen seperti P.falciparum multi drug resistance1 (Pfmdr1), P.falciparumchloroquine transporter (Pfcrt), P.falciparum dihydropteroate synthase (Pfdhps), P.falciparumdihydrofolate reductase (Pfdhfr), and P.falciparum multidrug resistance-associated proteins(Pfmrp). Penyebaran resistensi tersebut dipengaruhi oleh tingkat transmisi di sebuah wilayah.WHO telah menjalankan usaha untuk menanggulangi penyebaran resistensi tersebut misalnyadengan merekomendasikan penghentian monoterapi artemisinin, dan pemberian anti malariasetelah konfirmasi laboratorium. Selain itu, perlu adanya penggunaan obat kombinasi, produksirejimen dosis tetap, dan pengembangan obat anti malaria baru. Kesimpulan dari hasil studiini ialah munculnya malaria resisten terhadap artemisinin akan menghambat usaha eradikasimalaria karena itu diperlukan usaha-usaha untuk menanggulanginya.AbstractThe objective of this study was to describe the development of anti-malarial drug resistanceof the parasites and the efforts taken to contain the emergence of artemisinin resistant malaria.This was a literature study. The development of resistance to anti-malarial drugs are due tospontaneous changes in certain genes such as of P.falciparum multi drug resistance1 (Pfmdr1),P.falciparum chloroquine resistance transporter (Pfcrt), P.falciparum dihydropteroate synthase(Pfdhps), P.falciparum dihydrofolate reductase (Pfdhfr), and P.falciparum multidrug resistanceassociatedproteins (Pfmrp). The spread of the resistance depends on the transmission ratewithin each area. WHO has established a global plan to contain the spread of this resistance,such as recommendation to withdraw artemisinin-based monotherapies and administrationof treatment after laboratory confirmation. In addition, administration of anti-malarial drugcombination, production of fixed dose regimen and development of new drugs are necessary.The Conclusion is emergence of artemisinin resistant malaria will threaten malaria eradicationthus some efforts are necessarily needed to contain it.Afiliasi penulis: Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin
Tinjauan Molekuler dan Epidemiologi Mutasi pada Virus SARS-CoV-2 Hartono Hartono; Yenni Yusuf
bionature Vol 22, No 1 (2021): April
Publisher : Fakultas MIPA UNM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35580/bionature.v22i1.22379

Abstract

Abstract. The SARS-CoV-2 virus which is the cause of the COVID-19 pandemic since the end of 2019 has undergone many mutations that gave rise to several variants of concern (VOC) with higher transmission, virulence, and ability to evade the immune system than the initial variant (wild-type). Until now, there are four variants included in the VOC of the virus, namely alpha, beta, gamma and delta variants. The increased transmission and virulence of these VOCs were associated with mutational changes in the spike protein, which is the structure of the virus that plays a role in binding to host cells. In this article, we conduct a literature review on VOCs from the SARS-CoV-2 virus related to mutations that occur and their impact on the viral binding process. To gain an understanding of the impact of mutations in these variants, we also reviewed the structure of the spike protein and the process of viral entry into host cells. Keywords: viral mutation, variants of concern (VOC), COVID-19, SARS-CoV-2.