Adang Muhammad Gugun, Adang Muhammad
Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Published : 17 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

Hubungan Angka Neutrofil dengan Mortalitas Infark Miokard Akut Utami, Mugi Restiana; Gugun, Adang Muhammad
Jurnal Mutiara Medika Vol 12, No 1 (2012)
Publisher : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Infark Miokard Akut (IMA) adalah kondisi otot jantung yang tidak mendapatkan cukup darah dan oksigen. Jaringan yang mengalami infark dapat menimbulkan reaksi peradangan pada daerah perbatasan antara infark dengan jaringan hidup. Neutrofil dengan cepat memasuki daerah yang mati dan mulai melakukan penghancuran. Neutrofilia merupakan petanda inflamasi pada kejadian koroner akut dan mempunyai nilai prognostik. Belum ada penelitian yang spesifik pada angka neutrofil sebagai prediktor mortalitas infark miokard akut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan angka neutrofil dengan mortalitas IMA. Jenis penelitian analitik observasional dengan desain studi kasus kontrol dengan menggunakan rekam medis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dikelompokkan menjadi kelompok meninggal dan kelompok yang masih hidup. Didapatkan 146 sampel yang dibagi menjadi 2 kelompok, 38 orang dalam kelompok yang meninggal dan 108 orang untuk kelompok yang masih hidup. Hasil analisis dengan chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kelompok yang meninggal maupun yang masih hidup dengan nilai OR 1,476 (95% CI 0,65-3,22; p=0,368), sehingga dapat disimpulkan bahwa angka netrofil tidak berhubungan dengan mortalitas IMA.Acute Myocardial Infarction (AMI) is an insufficiency of oxygen and blood in myocard. Infarction can induce inflammation reaction in borderline area of infarct and health tissue. Neutrophil enter to infarct area immediately and destroy. Neutrophilia is inflammation marker in acute coroner syndrome and have prognostic value. There is no a specific research about neutrophil as predictor of mortality of acute myocardial infarction. The objective research is to ascertain the relationship between neutrophil counts following acute myocardial infarction during hospitalization. An observational analytical research was done on AMI patients were hospitalized in the PKU Muhammadiyah Yogyakarta Hospital with case control design using medical records. Subject who fulfilled inclusion and exclusion criteria were divided into 2 groups, death group and live group. There were 146 samples which were divided into 2 groups, 38 patients in death group and 108 patients in live group. Chi square test showed that there is no significance statistically between death group and live group with OR 1,44 (95% CI 0,65-3,22; p=0,368). Neutrophil count does not related with mortality of AMI.
Hiperhomosisteinemia dan Faktor Risiko Kelainan Vaskuler Gugun, Adang Muhammad
Jurnal Mutiara Medika Vol 8, No 2 (2008)
Publisher : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Homocysteine is a sulfhydryl-containing amino acid derived from the essential amino acid methionine, which is abundant in animal sources of protein. Raised plasma homocysteine (tHcY) concentrations are caused by genetic mutations, vitamin dificiencies, renal and ather diseases, numerous drugs and increasing age. Raised tHcY concentrations are associated with laboratory evidence of atherothrombotic. In experimental studies, homocysteine causes oxidative stress, damages endothelium, and enhances thrombogenicity. Epidemiological studies have shown that too much homocysteine in the blood (plasma) is related to a higher risk of coronary heart disease, stroke and peripheral vascular disease. Supplementation of folic acid with vitamin B6 and Bn combination can be lowering homocysteine. There is currently insufficient evidence to recommend routine screening and treatment of high tHcy concentrations with folic acid and other vitamins to prevent atherothrombotic vascular disease. There is the discordance between the epidemiology of homocysteine and the results of the clinical trials.Homosistein adalah asam amino sulfhydril, merupakan senyawa antara yang terbentuk dalam metabolisme asam amino esensial metionin, banyak berasal dari protein hewani. Peningkatan homosistein disebabkan oleh mutasi genetik, defisiensi vitamin, penyakit ginjal dan penyakit lain, obat-obatan dan peningkatan usia. Peningkatan kadar homosistein menyebabkan aterotrombosis. Homosistein menyebakan stress oksidatif, kerusakan endotel (disfungsi endotel) dan memacu trombosis. Studiepidemiologimemperlihatkan peningkatan homosistein plasma beihubungan dengan kejadian penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit pembuluh darah perifer. Pemberian suplemen asam folat dengan kombinasi vitamin B6 danvitaminB12 menurunkan kadar homosistein. Buktiyang kuat untuk memberikan asam folat atau vitamin lainnya secara rutin maupun dalam terapi untuk pencegahan penyakit aterotrombosis belum didapatkan. Terdapat ketidaksesuaian antara studi epidemiologi dan clinical trial.
Korelasi Gambaran Ultrasonografi Hepar dengan Kadar Alkali Fosfatase Pasien Klinis Hepatitis Sakinah, Herti; Gugun, Adang Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 13, No 1 (2013)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v13i1.1049

Abstract

Hepatitis adalah penyakit peradangan atau infeksi hati, dengan penyebab virus, bakteri, jamur, parasit dari obat-obatan. Pemeriksaan penunjang diagnostik hepatitis adalah tes fungsi hati, salah satunya adalah alkali fosfatase, yaitu enzim yang berhubungan dengan penanda adanya penyumbatan pada kantung empedu (kolestasis) dan sensitif untuk mendeteksi beragam jenis penyakit parenkim hati. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dilakukan untuk mendeteksi adanya kelainan organ seperti gambaran ekhostruktur, ukuran, permukaan hepar dan vesika felea. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara gambaran USG hepar dengan kadar alkali fosfatase pada pasien klinis hepatitis. Jenis penelitian ini observasional analitik dengan desain cross sectional, menggunakan data rekam medis. Data penelitian berjumlah 35. Analisis data menggunakan uji Spearman dan uji Lambda. Hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi antara kadar alkali fosfatase dengan gambaran USG hepar yang meliputi: ekhostruktur (r=0,094, p=0,590), ukuran (r=0,333, p=0,050) dan permukaan hepar (r=0,324, p=0 ,057), vesika felea (r=0,615, p=0 ,001). Disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi yang bermakna antara gambaran ekhostruktur, permukaan, dan ukuran hepar dengan kadar alkali fosfatase, tapi terdapat korelasi yang bermakna antara gambaran vesika felea dengan kadar alkali fosfatase pada pasien klinis hepatitis. Hepatitis is the inflammation or infection of the liver. The causes viruses, bacteria, fungi, parasites and drugs. Additional examination a diagnostic of hepatitis are liver function test, such as Alkaline Phosphatase, Alkaline Phosphatase is an enzyme associated with markers of the blockage of the gallbladder (cholestasis) and sensitive for the detection of various types of liver parenchymal disease. Ultrasonography (USG) is to see a imaging ekhostruktur, size, surface liver and vesica felea. The aim of research to know the correlation between liver ultrasound imaging with Alkaline Phosphatase level in clinical hepatitis patient. This study was observational analytic cross-sectional design, using medical records. Research data 35. The analyzes were conducted using Spearmen test and Lambda test. The results showed a correlation between levels Alkaline Phosphatase with an ultrasound image of the liver  include: echostructure (r= 0.094, p= 0.590), size (r= 0.333, p= 0.050) and the surface of the liver (r= 0.324, p= 0.057), vesica felea (r= 0.615, p= 0.001). It can concluded that there was no significant correlation between the image echostruktur, surface, and the size of the liver with levels of Alkaline Phosphatase, but there is a significant correlation between the vesica fellea features with Alkaline Phosphatase levels in patients with clinical hepatitis.
Prevalensi Seropositif IgM/IgG Toksoplasma pada Wanita Pranikah dan Tinjauan Faktor Risiko Kepemilikan Kucing Sari, Bernadeta Renny Yulianti; Gugun, Adang Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 14, No 1 (2014)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v14i1.2379

Abstract

Toksoplasmosis merupakan suatu penyakit infeksi parasit yang dapat dijumpai hampir di seluruh dunia karena berbagai faktor seperti usia, kebiasaan, gizi, kontak dengan kucing dan konsumsi daging kurang matang. Wanita pranikah memiliki risiko terinfeksi toksoplasma yang berdampak pada kelainan selama kehamilan, kecacatan atau kematian janin. Toksoplasma yang terdeteksi sebelum kehamilan bisa segera diobati sehingga mencegah penularan ke fetus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi seropositif IgM/IgG Toksoplasma pada populasi wanita pranikah dan hubungan kepemilikan kucing dengan prevalensi seropositif IgM/IgG Toksoplasma. Penelitian ini merupakan penelitian obser- vasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian ini adalah wanita pranikah di Kabupaten Bantul berjumlah 90 orang. Data diambil dari hasil kuesioner dilanjutkan pengambilan sampel serum untuk pemeriksaan IgM/IgG anti toksoplasma dengan ELISA. Data dianalisis dengan Fisher test. Hasil menunjukkan 55,6% seropositif Toksoplasma. Ditinjau dari faktor risiko, dari 11 orang berisiko positif memelihara kucing, dan 7 (63,6%) diantaranya seropositif Toksoplasma. Hasil uji Fisher test menun¬jukkan nilai exact test 0,405 ( 0,05) dan CI: 0,716-1,909. Disimpulkan bahwa tidak ada hubungan anta¬ra faktor risiko kepemilikan kucing dengan seropositif IgM/IgG Toksoplasma pada wanita pranikah di Bantul. Toxoplasmosis is a parasitic infection disease that can be found almost all over the world with various factors such as age, habits, nutrition, contact with cats and consumption of undercooked meat. Premarital women have a risk of infection with Toxoplasma that affects the abnormalities during preg¬nancy, disability or death of the fetus. Toxoplasma infection that detected before pregnancy can be treated immediately to prevent transmission to the fetus. This study aims to know the relation between the prevalence of seropositive IgM/IgG Toxoplasma among premarital female population and the rela¬tion between having cats and prevalence of IgM/IgG seropositive toxoplasma. This research is an ana¬lytic observational with the cross sectional approach. Subjects are premarital women that living in Bantul regency amounted 90 sample. The data is taken from questionnaire and serum examined by ELISA to check the IgM/IgG anti Toxoplasma. The data analyzed by Fisher test. The result showed there are 55,6% seropositive IgM/IgG toxoplasma The evaluation of contact with cats risk factor show that 63,6% of 11 respondence are positive having cats. contact with cat risk factor, from 11 women that have positive risk factor, 7 of them have toxoplasma Seropositive (63,6%). Data analysis using Fisher test, show that exact test value 0,405 ( 0,05) and CI: 0,716-1,909. It is concluded that no correlation between contact with cat risk factor with the IgM/IgG Seropositive of Toxoplasma on premarital women in Bantul.
Pengetahuan dan Penggunaan Asam Folat Wanita Umur Reproduktif Gugun, Adang Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 1, No 2 (2001)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v1i2.1898

Abstract

Neural Tube defects (NTDs), termasuk spina bifida dan anencephali merupakan malformasi serius yang terjadi pada saat perkembangan janin selama hari ke 17-30 sesudah konsepsi. Konsumsi suplemen yang berisi asam folat dapat mengurangi kejadian NTDs 50-70 %.Dari laporan “The 1998 behavioral risk factor Surveillance System (BRFSS)” mengenai pengetahuan asam folat dan penggunaan multivitamin pada wanita usia reproduktif di Michigan:Telah dilakukan survey pada 739 wanita usia reproduktif (18-44 tahun) mengenai pengetahuan dan penggunaan asam folat. Usia, ras, pendidikan, status pernikahan, status berat badan, perokok, dan konsumsi sayur/buah diidentifikasi menjadi variabel perhatian dan termasuk dalam analisis multivariabelPengetahuan tentang asam folat dibatasi pada jawaban mengenai alasan rekomendasi para ahli pada penggunaan asam folat, yaitu pencegahan cacat kelahiran.Dari seluruh wanita 30% memiliki pengetahuan tentang penggunaan asam folat. Prevalensi tertinggi pada wanita lulusan sarjana (42,2%), umur 25-29 (39,8%), perokok (37,0%), menikah (35,8%), konsumsi sayur/buah (34,9%) non obesitas (31,9%), Kulit putih (31,5%). Analisa multi variabel menunjukkan bahwa wanita yang berpendidikan tinggi, perokok dan yang tidak menikah secara statistik kurang bermakna dibandingkan masing-masing kelompok pembanding terhadap pengetahuan yang benar mengenai asam folat. Wanita usia 18-29 tahun secara statistik lebih bermakna.Penggunaan multivitamin dibatasi untuk sedikitnya sekali sehari mengkonsumsi multivitamin atau suplemen asam folat. Dari survey menunjukkan bahwa 42,4% wanita mengkonsumsi suplemen asam folat tiap harinya. Penggunaan multivitamin meningkat sesuai umur, dari umur 18-24 tahun 33,1% hingga 41,8% untuk wanita umur 40-44 tahun. Prevalensi wanita yang menggunakan multivitamin paling tinggi berturut turut:Konsumsi sayur/buah (54,9%), lulusan sarjana (49,9%), umur 35-39 tahun (49,6%), perokok (47,4%) menikah (46%) non overweigth (44.5%) dan kulit putih (44,2%).Analisa multivariabel menunjukkan bahwa kelompok berikut secara statistik kurang bermakna dibanding masing-masing kelompok pembanding terhadap penggunaan multivitamin: wanita umur 18-24 tahun, berpendidikan rendah, sedikit konsumsi sayur/buah dan wanita dengan obesitas.Disarankan upaya multi strategis dalam meningkatkan intake dan penggunaan asam folat, baik melalui program pendidikan maupun fortifikasi makanan.
Faktor Risiko Lekosituria pada Wanita Usia Reproduksi Gugun, Adang Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 7, No 2 (s) (2007): Oktober
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v7i2 (s).1666

Abstract

The purpose of this research to know the leucocyturia prevalence and its risk factors in reproduction age women. This is an analytic-observational with case-control design, performed in Kraton, Bambang Lipuro, Bantul District, Daerah Istimewa Yogyakarta. The subject are28 women in reproduction age who has leucocyturia (dipstick test) and the control are 54 women with negative leucocyturia. The risk factors of leucocyturia obtain from questionnaire. Relation between the risk factors and leucocyturia analyzed with univariat test. The result showed that leucocyturia prevalence in reproductive age women is 28%. Contact sexual risk factor was significantly relation with leucocyturia (odd ratio : 3,0 (CI 95%: 1,1-7,7; p=0,02) but perineal hygiene pre-coitus wasn’t significant (odd ratio : 0,135 (CI 95%: 0,03 - 0,53; p=0,002).Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko lekosituria pada wanita usia reproduksi. Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan rancangan case-control di Dusun Kraton, Bambang Lipuro, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta. Subyek penelitian adalah 28 orang wanita usia reproduksi yang mengalami lekosituria (uji dipstick) tanpa kelainan non infeksi dan 54 orang kontrol wanita usia reproduksi lekosituria negatif.. Data faktor risiko lekosituria digali melalui kuesioner. Analisis hubungan faktor risiko dengan lekosituria menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi lekosituria sebesar 28%. Faktor risiko sering kontak seksual bermakna dengan rasio odds sebesar 3,0 (CI 95%: 1,1-7,7; p=0,02). Kebersihan perineal pre- koitus bermakna dengan rasio odds sebesar 0,135 (CI 95%: 0,03 - 0,53; p=0,002). Faktor arah cebok, penggunaan AKDR, riwayat leukorea dan riwayat kateterisasi tidak bermakna (p 0,05).
Prevalensi Seropositif IgM/IgG Cytomegalovirus pada Populasi Wanita Pra-nikah dengan Riwayat Konsumsi Makan Lesehan Gugun, Adang Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 12, No 2 (2012)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v12i2.1024

Abstract

Infeksi Cytomegalovirus ( CMV) dapat menyebabkan abortus pada ibu hamil, pertumbuhan janin terhambat, cacat bawaan serta membawa permasalahan infertilitas. Transmisi CMV dapat terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung, kontak seksual, transfusi darah, transplantasi organ atau hal–hal yang berhubungan dengan riwayat kontak erat dengan sekret, saliva dan urin. Makan di warung lesehan semakin banyak diminati oleh orang dewasa muda. Pencucian alat makan yang kurang bersih bisa menularkan infeksi CMV. Oleh karena itu, hubungan antara riwayat konsumsi makan lesehan dengan prevalensi CMV pada wanita pra-nikah perlu diteliti. Desain penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, untuk mencari hubungan antara prevalensi seropositif IgM/IgG CMV pada wanita pra-nikah di Kabupaten Bantul dengan riwayat konsumsi makan lesehan. Subyek penelitian berjumlah 90, seluruh subyek mengisi kuesioner dan diambil serumnya kemudian dites ELISA untuk mengetahui keberadaan IgM/IgG anti CMV dalam serum. Data dianalisis dengan uji chi-square. Hasil penelitian menunjukkan 72 dari 90 subyek (80%) positif terinfeksi CMV. Empat puluh dua subyek penelitian yang memiliki faktor risiko riwayat konsumsi makan lesehan, didapatkan sebanyak 33 subyek (78.57%) positif terinfeksi CMV. Hasil uji chi-square menunjukkan p 0.05; Risiko Prevalensi sebesar 0.967; (IK; 95% : 0.785-1.191). Disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara faktor risiko riwayat konsumsi makan lesehan terhadap prevalensi seropositif IgM/IgG CMV pada populasi wanita pra-nikah. Cytomegalovirus (CMV) infection can cause abortion in pregnant women, Intra Uterine Growth Retardation (IUGR), congenital defects and bring the issue of infertility. CMV transmission can occur through direct or indirect contact, sexual contact, blood transfusions, organ transplantation or other matters relating to the history of close contact with secret, saliva and urine. Eating at stalls street food demand by a growing number of young adults. but keep in mind hygiene. Washing eating utensils that are less clean can transmit CMV infection. Therefore, the relationship between a history of consumption street food with the prevalence of CMV infection on premarital women need to be investigated. The study design was observational analytic with cross sectional, to find the relationship between the prevalence of seropositive IgM/IgG CMV in premarital women in Bantul district with a history of eating street food consumption. Research subjects numbered 90, all subjects were asked to fill out questionnaires and retrieved for later in the test serum by ELISA method to determine the presence of IgM/IgG anti-CMV in the serum. The data analysis with chisquare test. The result showed that: Seventy two of all subjects (80%) infected with CMV positive. Fourty two subjects who have risk factor history of consumption lesehan food, obtained a total of 33 subjects (78.57%) infected with CMV positive. Chi-Square test results showed no correlation between risk factor history of eating street food consumption with the prevalence of seropositive IgM/IgG CMV in pre-marital women population (p 0.05; PR 0.967; 95% CI 0.785-1.191).
Efek Pemberian Madu terhadap Kadar Leukosit Urin pada Wanita Usia Subur Apriansyah, Medi; Gugun, Adang Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 9, No 1 (s) (2009)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v9i1 (s).1619

Abstract

There are predisposition factors to develop into urinary tract infection in women with sex active. The leukosuria or piuria is one of the major sign for suspecting infection in the urinary tract. Honey is a sweet liquid which distribute by bees and produce from nectar. Honey contains antibacteria substance which can cure superficial injury and infection diseases. One of the function of honey is perservatif and high osmolality so bacteria has difficulty to life. This study aims to determine the effect of honey for decreasing urine leukocyte in fertile age women. The design of this study is experimental clinical test with pretest-posttest group control. Subject of research is fertile age women with leukosuria. Material form of the morning urine with urine stick special leukocyte test and honey. Measurements conducted in place intake of urine. Research was the subject of 28people. The provision of honey made in the test group of 3 tablespoon perday. Both group (test and control) were given equal treatment with white water to drink as much as 6 glasses a day. There are 15 person (100%) who get honey therapy which has decreasing value of leukosuria. For people who get control, there are 9 person (70%) who has decreasing of leukosuria value, 2 person (15%) with a fixed rate leukosuria same as before, and 2 person (15%) has increasing of leukosuria. The results of this research is found that honey is effective of to decrease leukosuria in fertile age women.Pada wanita dengan seksualitas yang aktif terdapat faktor predisposisi untuk berkembang menjadi Infeksi Saluran Kemih (ISK). Adanya leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk penting terhadap dugaan adanya ISK. Zat anti bakteri yang terkandung dalam madu baik untuk mengobati luka luar dan penyakit infeksi. Salah satu sifat madu adalah bersifat mengawetkan dan memiliki osmolalitas tinggi sehingga bakteri sulit untuk hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian madu terhadap penurunan kadar leukosit urin pada wanita usia subur. Penelitian ini menggunakan desain eksperimental uji klinik dengan rancangan pretes posttes kontrol grup. Subyek penelitian adalah wanita usia subur dengan peningkatan kadar leukosit urin. Bahan berupa urin pagi yang dilakukan uji stik urin khusus leukosit dan madu. Pengukuran dilakukan di tempat pengambilan urin. Subyek penelitian berjumlah 28 orang. Pemberian madu dilakukan pada kelompok uji sebanyak 3 sendok makan perhari. Kedua kelompok (uji dan kontrol) diberi perlakuan sama dengan minum air putih sebanyak 6 gelas sehari. Kelompok uji madu yang mengalami penurunan kadar lekosit urin sebanyak 100% (15 orang), sedangkan kelompok kontrol didapatkan penurunan kadar leukosit urin sebanyak 70% (9 orang), kadar leukosit urin tetap sama seperti sebelumnya sebanyak 15% (2 orang), dan terjadi peningkatan kadar leukosit urin sebanyak 15% (2 orang). Disimpulkan bahwa pemberian madu memiliki efektifitas terhadap penurunan kadar leukosit urin wanita usia subur.
Pengaruh Bekam (Al Hijamah) terhadap Kadar Kolesterol LDL pada Pria Dewasa Normal Fahmy, Alfian; Gugun, Adang Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 8, No 2 (s) (2008): Oktober
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v8i2 (s).1635

Abstract

Cupping is an Arabian traditional method of treatment in which a jar is attached to the skin surface to cause local congestion through the negative pressure created. Cupping is a therapeutic process of removing unclean blood from the body. Blood letting has been a recommended method to reduce serum lipoprotein concentrations. There are many testimony which cupping can affects a large group of blood related disorders. The aim of this research is to investigate the effect of cupping on LDL cholesterol. Reduction in LDL cholesterol, is a preventive approach against atherosclerosis. In a quasi experimental with pre test and post test, 30 men, 20-24 year old, without chronic disease, no history of hyperlipidemia and also not anti-hyperlipidemic drug consumption, were admitted. All of subjects were treated with cupping in one time. To know the serum concentrations of lipids we collect the blood from cubiti at the time of cupping and an hour after that. The data were analyzed using pair t- test.and pearson correlation. A significant LDL cholesterol increase (P 0.0000) was found in almost subjects. There was strong positive correlation between LDL cholesterol pre and an hour post cupping (r= 0.987). Cupping will increase the number of LDL cholesterol an hour after treatment.Bekam adalah metode pengobatan tradisional Arab dengan melekatkan tabung pada permukaan kulit yang menyebabkan kongesti lokal melalui tekanan negatif. Bekam adalah proses terapeutik dari tubuh untuk mengeluarkan darah kotor. Membiarkan darah keluar telah menjadi metode yang dianjurkan untuk mengurangi konsentrasi lipoprotein serum. Ada banyak testimoni bahwa bekam dapat menyembuhkan sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan darah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan efek bekam terhadap kolesterol LDL. Penurunan kolesterol LDL dapat mencegah aterosklerosis. Penelitian ini bersifat eksperimental kuasi dengan model pre dan post test. Subyek sebanyak 30 orang berumur 20-24 tahun tanpa penyakit kronis, tidak ada sejarah hiperlipidemia atau mengkonsumsi obat anti-hiperlipidemia, dan telah menyetujui. Semua subyek diperlakukan sama pada satu waktu. Untuk mengetahui konsentrasi lipid serum, darah diambil dari vena cubiti pada awal bekam dan satu jam setelahnya. Data dianalisis menggunakan korelasi pearson pasangan dan t-test.  Terdapat peningkatan kolesterol LDL yang signifikan (p=0,000) pada hampir semua subyek. Ada korelasi positif yang kuat antara LDL sebelum dan satu jam setelah bekam (R=0.987). Disimpulkan bahwa bekam meningkatkan jumlah kolesterol LDL satu jam setelah perawatan.
Profil Protein pada Gelandangan Penderita Psikotik Endang, -; Suwarso, -; Gugun, Adang Muhammad
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 2, No 2 (2002)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v2i2.1506

Abstract

Psychotic homeless people with nutrition deficiency and low hygiene- sanitation of lifestyle, have high risk for malnutrition and exposure to the infectious and toxic agents. To identify the nutrition status which is demonstrated by the total protein and albumine level; the intensity of exposure of infectious and toxic agents demonstrated by humoral immunity respon of gamma globuline; and the con-dition being exposed by infectious and toxic agents demonstrated by acute phase of globuline alpha-1, alpha-2, beta globuline. This research conducted was an analytic-descriptive cross sectional research on the protein profile of 31 psychotic homeless people who were clinically healthy at random. The method used was helene-titan gel serum pro-tein electrophoresis with agarose gel. The results of electrophoresis were total protein, albumine, globuline (alpha-1 globuline, alpha-2 globuline, beta globuline, gamma globuline). From February until May 2001, 31 psychotic homeless people who were clinically healthy in Yogyakarta were enrolled in the research randomly. They were adult (100%), males 25 (80,6%) and females 6 (19,4%). The results showed that psychotic homeless people with hypoalbuminemia ( 3,5 gr/dl) were 4 (12,9%); with hyperalpha-1 globuline ( 0,5 gr/dl) was not found; with hyperalpha-2 globuline ( 0,8 gr/dl) 3 (9,7%)); with hyperbeta globuline ( 1,3 gr/dl) was not found; with hypergamma globuline ( 1,6 gr/dl) 16 (51,6%); hyperalbuminemia (4,7 gr/dl) 1 (3,2%); hypoalpha-1 globuline ( 0,2 gr/dl) 1 (3,2%); hypoalpha-2 globuline ( 0,5 gr/dl) 7 (22,6%); hypobeta globu¬lin ( 0,7 gr/dl) 2 (6,4%) and hypogamma globulin ( 0,8 gr/dl) was not found. In this research hypergamma globulinemia was the most frequent protein de¬tected; the increase of acute phase protein was relatively small and hypoalbumin¬emia was minimally found. Hypergamma globulin was caused by a condition of active immunity response to antigenic stimulation (the same boostering antigen).Psychotic homeless people with nutrition deficiency and low hygiene- sanitation of lifestyle, have high risk for malnutrition and exposure to the infectious and toxic agents. To identify the nutrition status which is demonstrated by the total protein and albumine level; the intensity of exposure of infectious and toxic agents demonstrated by humoral immunity respon of gamma globuline; and the con-dition being exposed by infectious and toxic agents demonstrated by acute phase of globuline alpha-1, alpha-2, beta globuline. This research conducted was an analytic-descriptive cross sectional research on the protein profile of 31 psychotic homeless people who were clinically healthy at random. The method used was helene-titan gel serum pro-tein electrophoresis with agarose gel. The results of electrophoresis were total protein, albumine, globuline (alpha-1 globuline, alpha-2 globuline, beta globuline, gamma globuline). From February until May 2001, 31 psychotic homeless people who were clinically healthy in Yogyakarta were enrolled in the research randomly. They were adult (100%), males 25 (80,6%) and females 6 (19,4%). The results showed that psychotic homeless people with hypoalbuminemia ( 3,5 gr/dl) were 4 (12,9%); with hyperalpha-1 globuline ( 0,5 gr/dl) was not found; with hyperalpha-2 globuline ( 0,8 gr/dl) 3 (9,7%)); with hyperbeta globuline ( 1,3 gr/dl) was not found; with hypergamma globuline ( 1,6 gr/dl) 16 (51,6%); hyperalbuminemia (4,7 gr/dl) 1 (3,2%); hypoalpha-1 globuline ( 0,2 gr/dl) 1 (3,2%); hypoalpha-2 globuline ( 0,5 gr/dl) 7 (22,6%); hypobeta globu¬lin ( 0,7 gr/dl) 2 (6,4%) and hypogamma globulin ( 0,8 gr/dl) was not found. In this research hypergamma globulinemia was the most frequent protein de¬tected; the increase of acute phase protein was relatively small and hypoalbumin¬emia was minimally found. Hypergamma globulin was caused by a condition of active immunity response to antigenic stimulation (the same boostering antigen).Perubahan-perubahan sosial yang berlangsung cepat sebagai akibat dari modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Tidak semua orang mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi, sehingga perubahan-perubahan tersebut dapat menimbulkan ketegangan atau stress pada dirinya yang akhirnya akan menimbulkan suatu gangguan jiwa. Kesehatan jiwa menurut kedokteran adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Seseorang dikatakan sakit apabila ia tidak lagi mampu berfungsi secara wajar dalam kehidupan sehari-harinya, di rumah, disekolah, di tempat kerja atau di lingkungan sosialnya. Meskipun demikian, gangguan jiwa tidak dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung. Dewasa ini, terutama di kota-kota besar, banyak terdapat penderita psikotik yang bergelandangan. Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena berbagai hal, antara lain tidak memiliki keluarga yang mampu mengurusnya dengan baik, melarikan diri dari rumah atau pusat rehabilitasi gangguan jiwa, dibuang oleh pihak keluarga karena perasaan malu, dan sebagainya. Gelandangan psikotik adalah seseorang yang berkeliaran atau bergelandangan di tempat umum yang diperkirakan oleh karena terganggu jiwanya atau psikotik dan dianggap mengganggu ketertiban atau keamanan lingkungan. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya penderita psikotik ini melakukan apa saja yang dianggap benar olehnya, antara lain makan dari sisa-sisa makanan yang berhasil diperolehnya baik di pinggiran atau bahkan di tempat sampah, hidup di alam bebas tanpa perlindungan seperti tidur di jalanan, berpakaian seadanya bahkan ada beberapa diantara mereka tidak berpakaian, hidup di lingkungan dengan higiene dan sanitasi yang buruk, dan lain-lain. Dikarenakan gaya hidup penderita psikotik yang sangat ekstrim dibandingkan dengan manusia normal, menimbulkan pertanyaan bagaimanakah status nutrisi dan status kesehatan pada penderita psikotik ini. Pada penelitian ini akan dianalisis fragmen-fragmen protein yang terkandung dalam serum penderita psikotik gelandangan. Protein serum merupakan campuran yang amat kompleks yang mencakup glikoprotein dan berbagai tipe lipoprotein. Pemisahan masing-masing protein dari campuran yang kompleks ini digunakan metode serum protein elektroforesis. Elektroforesis adalah istilah yang dipakai untuk memisahkan protein berdasarkan kecepatan geraknya bila satu aliran elektris melalui cairan berprotein dalam medium pendukung. Kecepatan gerak dipengaruhi oleh besarnya, konfigurasi dan muatan elektris pada molekul.