PENDAHULUAN Dakwah merupakan suatu keharusan dalam rangka pengembangan agama Islam. Aktivitas dakwah yang maju akan membawa pengaruh bagi terhadap kemajuan agama. Sebaliknya, aktivitas dakwah yang lesu akan berakibat pada kemunduran agama. Karena adanya hubungan timbal balik seperti itu, maka dapat dimengerti jika agama Islam meletakkan kewajiban dakwah di atas pundak setiap pemeluknya. Sebagai agama dakwah, Islam melahirkan nilai dan panduan moral yang tidak hanya melulu menganjurkan penganutnya menyampaikan kebenaran ajaran Islam dengan ajakan lisan atau mulut semata, tetapi juga harus dibuktikan dengan tindakan dan perbuatan nyata (amal saleh) yang berintikan “keteladanan”. Sebagai kitab dan sumber dakwah, Alquran dan Alsunnah–menekankan kepada kaum Muslim agar memiliki integritas diri, keserasian dan keseimbangan antara berbicara dan bekerja, berkhutbah dan beramal, mengajak dan merangkul sesama manusia untuk menciptakan prestasi kerja (bukan prestise) yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia dan lingkungannya, lahir dan batin.[1] Berbagai etnis/suku bangsa di Indonesia memiliki budaya adat istiadatnya masing-masing, yang dalam pelaksanaan berada dan dikendalikan oleh lembaga-lembaga adat sesuai dengan kewenangan lingkungannya, seperti nagari di Minangkabau, huta di Tapanuli, subak di Bali, desa di Jawa dan gampong di Aceh.[2] Masyarakat Aceh dikenal sebagai sebuah masyarakat yang memiliki adat dan budaya yang mengandung nilai dan kearifan yang sangat komprehensif. Dikatakan demikian, karena kehidupan masyarakat Aceh seakan tidak lepas dari norma adat dan kearifan budaya lokal (local wisdom) yang diwariskan secara turun-temurun. Tatanan adat dan budaya Aceh ini merangkum hampir semua aspek kehidupan masyarakat Aceh, bahkan sejak dulu adat Aceh ini sudah melembaga dalam masyarakat dengan wilayah kerja yang sangat sistematis mulai dari tingkat gampong, mukim dan sagoe.[3] Dalil historis membuktikan bahwa budaya masyarakat Aceh identik dengan budaya Islam – yang merupakan perwujudan iman dan amal saleh. Budaya Aceh berbasis Syariat Islam karena penjelmaan iman dan amal salih dalam kehidupan masyarakatnya. Dengan demikian, segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan masyarakat dalam interaksi sosial, idealnya diformat dan berwujud sesuai dengan Syariaat Islam yang berlaku di Aceh. Pada dasarnya, hubungan dakwah Islam dengan masyarakat gampong di Aceh saling mengisi dan melengkapi. Kalau dicermati dengan seksama, dari dahulu sampai sekarang, masyarakat gampong adalah masyarakat yang paling antusias dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan dakwah Islam, walaupun dalam cara dan pendekatan yang khas tradisional. Dalam kesempatan ini, penulis akan mengkaji tentang strategi dakwah bagi masyarakat gampong. PEMBAHASAN Makna Dakwah dalam Perspektif Islam Penggunaan kata “dakwah” dalam masyarakat Islam, terutama di Indonesia, adalah sesuatu yang tidak asing. Arti dari kata ‘dakwah” yang dimaksudkan adalah “seruan” dan “ajakan.” Kalau kata diberi arti “seruan,”[4] maka yang dimaksudkan adalah seruan kepada Islam atau seruan Islam. Demikian juga halnya kalau diberi arti “ajakan” maka yang dimaksud adalah ajakan kepada Islam atau ajakan Islam. Islam sebagai agama di sebut agama dakwah, maksudnya adalah agama yang disebarluaskan dengan cara damai tidak lewat kekerasan.[5] Secara terminologi dakwah itu dapat diartikan sebagai sisi positif dari ajakan untuk menuju keselamatan dunia akhirat. Sedangkan menurut istilah para ulama memberikan takrif (definisi) yang bermacam-macam, antara lain: Syeikh Ali Makhfudh dalam kitabnya Hidayatullah Mursyidin, mengatakan dakwah adalah “mendorong manusia untuk berbuat kebajikan dan mengikuti petunjuk (agama), menyeru mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan munkar agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.”[6]Syeikh Muhammad Khidr Husain dalam bukunya Aldakwah ila al Ishlah mengatakan, dakwah adalah upaya untuk memotivasi orang agar berbuat baik dan mengikuti jalan petunjuk, dan melakukan amr makruf nahi munkar dengan tujuan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.[7] HSM. Nasruddin Latif mendefinisikan dakwah: “Setiap usaha aktivitas dengan tulisan maupun tulisan yang bersifat yang menyeru, mengajak, memanggil manusia manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah swt. Sesuai dengan garis-garis akidah dan syariat serta akhlak islaminya.[8] Dari uraian di atas, secara holistik dan integral harus dipahami bahwa dakwah merupakan tugas kerisalahan, yang menuntut setiap priadi muslim untuk ikut berperan. Tugas ini termasuk persoalan penting dalam Islam, sebagai upaya agar umat manusia masuk ke dalam jalan Allah (sistem Islam) secara menyeluruh (kaffah). Tiga serangkai upaya tersebut–dengan lisan tulisan, maupun dengan perbuatan nyata (aksi sosial)–sebagai ikhtiar muslim dalam membumikan ajaran Islam menjadi kenyataan dalam kehidupan pribadi (syakhsyiah), keluarga (usrah), masyarakat (jamaah). Sehingga semua segi bidang kehidupan dapat diwujudkan menjadi suatu tatanan kehidupan yang islami. Tatanan yang diindikasikan Alquran dan Assunnah merupakan syarat tegaknya ikhtiar realisasi Islam – amar maruf nahi munkar. Untuk mewujudkan hal itu maka aspek organisasi dan manajerial merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kegiatan dakwah. Masyarakat Gampong Gampong adalah suatu kawasan (teritorial) kelompok penduduk masyarakat yang berbatasan dengan gampong lain, memiliki pemerintahan sendiri, memiliki tatanan aturan, ada kepengurusan dan kekayaan sendiri. Perangkat gampong terdiri dari : keuchik, imeum meunasah, tuha peut dan tuha lapan (sekarang ditambah sekretaris/ khatib). Gampong yang wilayah teritorial kelompok penduduk yang berbatasan adalah kesatuan masyarakat hukum terkecil, sebagai organisasi pemerintahan terendah, langsung di bawah Mukim dan menempati wilayah tertentu.[9] Gampong juga merupakan persekutuan masyarakat hukum adat yang mirip dengan negara kecil.[10] Gampong dipimpin oleh “keuchik” sebagai ketua adat dalam “masyarakat gampong”, yang dipilih oleh rakyatnya sendiri secara langsung. A. Hasjmy menjelaskan bahwa gampong dinamakan juga dengan “meunasah”. Untuk satu gampong diangkat seorang keuchik dengan sebuah staf pembantu yang bernama “tuha peut dan seorang imam rawatib”.[11] Suatu hal yang menarik dalam sistem kepemimpinan adat gampong di Aceh adalah penataan sistem pemerintahan masyarakatnya, di mana keuchik memegang kekuasaan berlandaskan: “mono trias function” yaitu kemanunggalan kekuasaan keuchik dalam tiga fungsi kekuasaan, eksekutif, legeslatif dan yudikatif. Meskipun keuchik memiliki kemanunggalan kekuasaan, namun keuchik juga bisa sangat demokratis, karena dalam menjalankan tugasnya selalu diharuskan bermusyawarah dengan pembantunya (imeum meunasah, tuha peut, dan tuha lapan).[12] Oleh karena itu, lembaga adat gampong sangat sesuai apabila disebut sebagai pageu gampong (pilar-pilar demokratisasi desa) dan menjadi perekat dalam mewujudkan kesatuan, kerja sama, kedamaian, kerukunan, ketenteraman dan kenyamanan bagi penerapan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Kendatipun demikian, yang penting untuk dicamkan, kehidupan masyarakat adat, dapat berkembang dan meluas, bahkan menipis dan menghilang tergantung pada dinamika kehidupan masyarakat dan kemampuannya dalam mendayagunakan adat istiadatnya itu sesuai perkembangan sosio budaya dan ilmu pengeahuan dan teknologi. Sekarang ini, era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemajuan di bidang informasi dan komunikasi, di samping membawa banyak perubahan positif berupa kemudahan dan kecepatan dalam mengatasi masalah, tetapi juga membawa dampak negatif yang dapat merusak tatanan kehidupan keluarga dan sosial kemasyarakatan dalam masyarakat gampong. Dalam hal ini, diperlukan kesadaran ekstra dari masyarakat gampong untuk mewaspadai berbagai unsur negatif dari dampak negatif kemajuan era globalisasi. Strategi Dakwah bagi Masyarakat Gampong Secara bahasa, strategi memiliki arti, ilmu siasat perang; muslihat untuk mencapai sesuatu.[13] Dalam kajian dakwah, strategi dapat dimaknai sebagai kiat-kiat atau langkah-langkah yang sangat menentukan tujuan dakwah dapat diraih secara sukses dan gemilang, dengan kata lain, capaian dakwah memberi kebahagiaan bagi manusia, baik lahir maupun batin, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut penulis, strategi dakwah dapat dibagi ke dalam dua kategori; pertama, katagori nilai atau sumber inspirasi. Kedua, kategori operasional atau aktualisasi. Strategi dakwah berdasarkan kategori nilai atau inspirasi dapat ditemukan dalam surat Alnahal/16: 125 sebagai berikut: “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Alnahal/16: 125). Ayat tersebut mengandung tiga inspirasi sebagai upaya strategis dalam penyampaian dakwah; yaitu dengan hikmah, pengajaran yang baik dan berdebat atau berdiskusi dengan cara yang terbaik. Berkaitan dengan penerapan strategi tersebut, sasaran dakwah dapat dibagi kepada tiga golongan,[14] yaitu: Golongan cendekiawan, yaitu golongan yang cinta kepada kebenaran dan dapat berpikir secara kritis. Golongan ini harus didakwahkan dengan cara bi alhikmah, yaitu dengan alasan, dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh akal mereka.Golongan masyarakat awam, yaitu golongan masyarakat kebanyakan. Mereka belum mampu berpikir secara kritis dan mendalam serta belum mampu menangkap makna yang lebih jauh. Golongan ini harus didakwahkan dengan cara memberi pengajaran yang baik, yaitu dengan anjuran dan didikan yang mudah mereka pahami.Golongan yang tingkat kecerdasannya berada antara kaum cendekiawan dan awam, atau golongan pertengahan. Mereka harus didakwahkan dengan dialog, diskusi dan bertukar pikiran (mujadalah). Tiga golongan di atas diakui keberadaannya dalam masyarakat Aceh dengan berbagai segmen dan latar belakang sosial. Menghadapi bermacam-macam model masyarakat tersebut diperlukan pendekatan dan metode yang tidak sembarangan. Adapun strategi dakwah dalam kategori operasional dan aktualisasi dalam menyampaikan visi dan misi dakwah Islam bagi masyarakat gampong sebenarnya sangat sederhana, di antara beberapa strategi dakwah yang perlu direalisasikan adalah sebagai berikut:[15] Pendekatan Personal Pendekatan dengan cara ini terjadi dengan cara individual, yaitu antara dai dan madu langsung bertatap muka sehingga materi yang disampaikan langsung diterima dan biasanya reaksi yang ditimbulkan oleh madu akan langsung diketahui. Pendekatan dakwah seperti ini pernah dilakukan pada zaman Rasulullah ketika berdakwah secara rahasia.[16] Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan di zaman era modern seperti sekarang ini pendekatan personal harus tetap dilakukan karena mad’u terdiri dari berbagai karakteristik. Di sinilah letak elastisitas pendekatan dakwah. Pendekatan Pendidikan Pendekatan masa Nabi, dakwah lewat pendidikan dilakukan beriringan dengan masuknya Islam kepada kalangan para sahabat.[17] Begitu juga pada zaman sekarang ini, kita dapat melihat pendekatan pendidikan teraplikasi dalam lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, madrasah, perguruan tinggi, universitas dan yayasan-yayasan pendidikan yang bercorak Islam yang di dalamnya terdapat studi integratif antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu umum. Pendekatan Diskusi Pendekatan diskusi pada era sekarang sering dilakukan lewat berbagai diskusi keagamaan, dai sebagai nara sumber sedangkan mad’u berperan sebagai audience. Tujuan dari diskusi ini adalah membahas dan menemukan pemecahan semua problematika yang ada kaitannya dengan dakwah sehigga apa yang menjadi permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya. Pendekatan Misi Maksud dari pendekatan misi adalah pengiriman tenaga para dai ke daerah-daerah di luar tempat domisli.[18] Kita bisa mencermati untuk masa sekarang ini ada banyak organisasi yang bergerak di bidang dakwah mengirimkan dai mereka untuk disebar luaskan ke daerah-daerah yang minim para dainya, dan di samping itu daerah yang menjadi tujuan adalah biasanya kurang memahami ajaran-ajaran Islam yang prinsipil. Pendekatan dakwah kultural Pendekatan dakwah kultural adalah usaha-usaha dakwah Islam yang dirintis dan dikembangkan dengan melakukan interaksi dan adaptasi terhadap budaya dan adat istiadat yang telah lama hidup, tumbuh dan berkembang dalam suatu wilayah dan daerah tertentu. Dalam bahasa dakwah dikenal dengan “usaha menyampaikan dakwah dengan bahasa kaumnya” atau “berdakwah sesuai dengan kemampuan daya tangkap masyarakat setempat” (khatibin nas ala qadri uqulihim). Pelajaran berharga dari suksesnya eksistensi dan bertahannya Islam di Aceh adalah karena kedatangan dakwah Islam ke Aceh tidak merusak dan menghancurkan budaya lokal yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh, tetapi justeru menggunakan instrumen adat, budaya dan tradisi Aceh untuk menyampaikan universalitas ajaran Islam. Sehingga sampai saat ini antara adat dan agama Islam menjadi “organ” yang saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pendekatan dakwah struktural Pendekatan dakwah struktural adalah dakwah Islam yang dikembangkan melalui kemitraan dengan para pemimpin (keuchik, tuha peut, tuha lapan) yang memiliki kewenangan dalam mengatur dan mengendalikan persoalan umat pada tingkat gampong. Karena kecenderungan umat atau masyarakat adalah mengikuti agama yang dianut oleh para pemimpin atau penguasanya. Dalam bahasa Islam, apabila kamu melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tangan (kekuasaan), apabila kamu tidak mampu, maka rubahlah dengan lisan (ceramah dan khutbah), dan apabila kamu tidak mampu maka gunakan hati untuk berdoa (agar kemungkaran itu segera sirna), dan itulah selemah-lemah iman. Dalam sejarahnya, salah satu faktor yang menyebabkan agama Islam berhasil berkembang pesat di Aceh karena kemampuan dan kecerdikan para dai memikat hati para sultan sehingga mereka memilih Islam atas dasar pilihan sadar dan kebebasan, bukan karena tekanan, paksaan dan peperangan. Pendekatan dakwah bi alhal (tindakan dan kerja nyata) Pendekatan dakwah bi al-hal adalah dakwah yang dilakukan dengan seruan, panggilan dan ajakan dengan aksi, tindakan dan perbuatan nyata yang sesuai dengan keadaan manusia.[19] Karena merupakan aksi atau tindakan nyata maka dakwah bi al-hal lebih mengarah pada tindakan menggerakkan (“aksi menggerakkan” madu) sehingga dakwah ini lebih berorientasi pada pengembangan masyarakat. Usaha pengembangan masyarakat Islam memiliki bidang garapan yang luas. Meliputi pengembangan pendidikan, ekonomi dan sosial masyarakat. Pengembangan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa pendidikan harus diupayakan untuk menghidupkan masyarakat Aceh yang maju, efisien, mandiri, terbuka dan berorientasi ke masa depan yang lebih berkualitas. Dalam bidang ekonomi, pengembangannya dilakukan dengan peningkatan minat usaha dan etos kerja yang tinggi serta menghidupkan dan mengoptimalisasi ekonomi umat. Sementara pengembangan sosial kemasyarakatan dilakukan dalam kerangka merespons problem sosial yang timbul karena dampak modernisasi dan globalisasi, seperti masalah pengangguran, tenaga kerja, kemiskinan, penegakan hukum, HAM dan pemberdayaan perempuan. Dari beraneka ragam pendekatan dakwah Islam di atas diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik bagi pembinaan sumber daya manusia masyarakat gampong. Dan inilah yang penulis maksud dengan pendekatan integratif – memadukan berbagai pendekatan yang multi bidang lalu disesuaikan dengan situasi dan kondisi masalah dan tantangan aktual yang dihadapi oleh masyarakat gampong. Sekarang ini, masyarakat di mana pun menghadapi berbagai permasalahan yang serba kompleks. Oleh karena itu, strategi pendekatan dakwah pun tidak harus melalui satu pendekatan semata, tetapi dengan menggunakan berbagai pendekatan yang dapat mengatasi kompleksitas yang dihadapi masyarakat gampong. PENUTUP Setiap Muslim diharapkan mengambil bagian dalam rangka pelaksanaan dakwah, yakni, mengajak manusia ke jalan Allah untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ajakan tersebut dapat mengambil wujul yang formal atau tindakan-tindakan yang membawa kemaslahatan dan patut diteladani. Kedua macam ajakan tersebut sering dibedakan dengan istilah dakwah bi allisan dan dakwah bi alhal. Dengan demikian setiap Muslim berpeluang untuk memberikan andilnya dalam pelaksanaan dakwah menurut kemampuan dan bidangnya masing-masing, terutama bagi masyarakat gampong di seluruh Aceh. DAFTAR PUSTAKA A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, tt.). Badruzzaman Ismail, Eksposa Majelis Adat Aceh Provinsi NAD, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007). Badruzzaman Ismail, Membangun Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat dan Budaya, (Banda Aceh: Majlis Adat Aceh, 2007). Ibnu Sa’ad, Al-Thabaqat al-Kubra, Beirut: Dar el –Fikr, 1980. M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Surakarta: Yayasan Kesejahteraan, 1984). Mohammad Irham, “Titik Temu FKPM dan Dakwah Islam”, dalam M. Jamil Yusuf dkk, (Ed), Polmas dan HAM Dengan Pendekatan Dakwah dan Adat Budaya Aceh, (Banda Aceh: Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry bekerja sama dengan Polda NAD, 2009). Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, diterjemahkan dari Hayat Muhammad, oleh Ali Audah, (Jakarta: Tintamas, 1984). Muhammad Husein, Adat Aceh, (Daerah Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970). Nasruddin Latif, Teori dan Praktik dakwah Islamiyah, (Jakarta: Firma Dara, tt). Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994). Syekh Ali Mahfudz, Hidayat al-Mursyidin ila Thuruq al-Wa’zi wa al-Khitabat (h) (Beirut: Dar al-Ma’arif, tt.). T.M. Juned, “Adat dalam Perspektif Perdebatan dan Praktek Hukum”, dalam buku Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, CSSP, 2005). Yunan Yusuf, Dakwah bi al-Hal, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2. 2001. Lihat juga, Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung: Pustaka, 1987). [1]Renungkan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” (Q.S. Al-Shaff/61: 2-3). Dan hayati juga firman-Nya, “Demi Masa, sesungguhnya manusia selalu berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh, saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan diiringi dengan kesabaran. (Q.S. Alashar: 103: 1-3) [2]Badruzzaman Ismail, Membangun Keistimewaan Aceh dari Sisi Adat dan Budaya, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007), hal. 6. [3]Lembaga adat yang berkembang dalam masyarakat Aceh memang dibangun berdasarkan adat dan agama Islam, sehingga antara adat istiadat dengan hukum tidak pernah bertentangan. Selebihnya masing-masing unsur memiliki rujukannya masing-masing sebagaimana yang termaktub dalam hadih maja, “Adat bak Po Teumereuhom hukum bak Syiah Kuala, qanun bak Putro Phang reusam bak Laksamana”. Artinya: adat diurus oleh Po Teumereuhom (Raja) atau Sultan, hukum diputuskan oleh Ulama (Syiah Kuala), qanun diurus oleh permaisuri raja (Puteri Pahang), sedangkan tata cara kehidupan dikelola oleh Panglima (Laksamana/Bentara). Muhammad Husein, Adat Aceh, (Daerah Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970), hal. 1. [4] Apabila dilihat arti kata “dakwah” atau “da’a” pada terjemahan Alquran, paling tdaj ada sepuluh padanannya. Pertama dalam arti “menyeru” dapat dilihat dalam Q.S.3:104, kedua “memanggil” dalam Q.S. 30: 25, ketiga, “doa” dalam Q.S. 2: 186, keempat, “dakwa” dalam Q.S. 19: 91, kelima, “harap” dalam Q.S. 25: 13, keenam, “meminta” dalam Q.S. 47: 37, ketujuh, “keluhan” dalam Q.S. 7: 5 kedelapan, “mengadu” dalam Q.S. 54: 10, Kesembilan, “menyembah” dalam Q.S. 72: 18, kesepuluh, “berteriak” dalam Q.S. 84: 11. Perbedaan pendapat itu dapat dimaklumi karena perbedaan konteks arti dan kata yang mendampingi yang membuatnya satu idiom (arti tersendiri), juga hal itu berkaitan dengan maksud ayat. Dengan demikian. dapat dimengerti bahwa seseorang yang akan melakukan penerjemahan terhadap Alquran, apabila bertemu dengan kata doa, dengan segala bentuk perubahannya, tidak bisa memahaminya dengan arti kata dalam “kamus” saja. [5] Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, diterjemahkan dari Hayat Muhammad, oleh Ali Audah, (Jakarta: Tintamas, 1984), hlm. 217 [6] Syekh Ali Mahfudz, Hidayat Almursyidin ila Thuruq Alwazi wa Alkhitabat (h) (Beirut: Dar Almaarif, tt.), hlm. 17 [7] Ad-Dakwah ila al-Ishlah, hlm. 7 [8] Nasruddin Latif, Teori dan Praktik dakwah Islamiyah, (Jakarta: Firma Dara, tt), hlm. 11 [9]Badruzzaman Ismail, Eksposa Majelis Adat Aceh Provinsi NAD, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2007), hal. 44-45. [10] T. M. Juned, “Adat dalam Perspektif Perdebatan dan Praktek Hukum”, dalam buku Menuju Revitalisasi Hukum dan Adat Aceh, (Banda Aceh: Yayasan Rumpun Bambu, CSSP, 2005), hal. 35. [11]A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, tt.), hal. 80. [12]Badruzzaman, Eksposa Majelis.., hal. 45. [13]Pius A. Partanto dan M. Dahlan Albarry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hal. 727. [14] M. Natsir, Fiqhud Dakwah, (Surakarta: Yayasan Kesejahteraan, 1984), hlm. 165. [15]Mohammad Irham, “Titik Temu FKPM dan Dakwah Islam”, dalam M. Jamil Yusuf dkk, (Ed), Polmas dan HAM Dengan Pendekatan Dakwah dan Adat Budaya Aceh, (Banda Aceh: Fakultas Dakwah IAIN Arraniry bekerja sama dengan Polda NAD, 2009), hal. 76-79. [16]Pendekatan personal dilakukan Nabi sejak turunnya wahyu pertama kepada orang-orang terdekatnya secara rahasia. Pendekatan model ini dilakukan agar tidak menimbulkan guncangan reaksioner di kalangan masyarakat Quraisy mengingat saat itu mereka masih berpegang teguh pada kepercayaan animisme warisan leluhur mereka. Dakwah dengan cara ini berlangsung selama tiga tahun. Dan di antara yang beriman pada saat itu adalah: Khadijah Bt. Khuwailid, Ali Ibn Abi Thalib, Zaid Ibn Haritsah, Abu Bakar Asshiddiq, Utsman Ibn Affan, Zubair bn. Alarqam dan sebagainya. Hal ini tercantum dalam Ibnu Saad, Althabaqat Alkubra, Beirut: Dar Elfikr, 1980, hal. 199. [17]Kegiatan ini dilakukan dari rumah ke rumah, maka rumah sahabat al-Arqam Abi Arqam dijadikan sebagai tempat pertama penyampaian dakwah Islam secara berkelompok, selain itu ada tempat lainnya, yaitu di antaranya Assuffah, Dar Alqurra dan Kuffah. [18]Pendekatan misi ini pernah dirintis Nabi di Makkah, tapi belum berhasil, kemudian dikembangkan di Madinah dengan hasil yang maksimal. Pendekatan serupa pula dilakukan secara besar-besaran pada zaman sahabat khususnya pemeintahan Umar Ibn Khattab r.a. contoh-contoh dakwah melalui pendekatan misi ini antara lain misi dakwah ke Yatsrib, Najed, Najran, Makkah dan sebagainya. [19]Yunan Yusuf, Dakwah bi al-Hal, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. 3. No. 2. 2001. Lihat juga, Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 24.