Hernadi Affandi
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Problematika Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat Affandi, Hernadi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7234.02 KB)

Abstract

AbstrakTulisan ini bertujuan mencari akar permasalahan dan upaya yang harus dilakukan untuk memperkuat fungsi legislatif DPD yang dianggap masih lemah dibandingkan dengan fungsi legislatif DPR. Salah satu akar penyebab masalah tersebut adalah keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan. Hal itu membawa konsekuensi terhadap kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang. Akibatnya, DPD berada di bawah hegemoni DPR dalam pembentukan undang-undang. Semua itu berawal dari ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan terbatas kepada DPD dan memberikan kewenangan yang amat besar kepada DPR dalam pembentukan undang-undang. Ketentuan tersebut kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akibat ketidakseimbangan fungsi legislasi tersebut, terjadi dominasi DPR dalam pembentukan undang-undang bahkan DPR bertindak sebagai pemegang kekuasaan utama dalam pembentukan undang-undang sehingga DPD selalu berada di bawah bayang-bayang DPR.Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, fungsi legislasi, kekuasaan legislatif, pembentukan undang-undang. The Legislative Functions of the Regional Representative Council (DPD) within the Predominance of the Peoples Representative Council (DPR): Some Problems and IssuesAbstractThis paper seeks to find the root of the problem along with the solution related to the legislative function of the DPD, which is considered weak when compared to the legislative function of the DPR. One of the root causes of these problems is related to the existence of the DPD in the constitutional structure, which brings a consequence to the authority of the DPD in the formation of legislation. As a result, the DPD is under the hegemony of the DPR in law-making process. All of them, starting from the provisions of the Constitution of 1945 which authorized restrictions to the DPD while giving more sizable power to the DPR in law-making process. The provision was then further regulated into the Act No. 27 of 2009 regarding the MPR, DPR, DPD, and DPRD; and the Act No. 12 of 2011 regarding the Formation of Legislation. Due to the imbalance domination of the legislative function of the DPR in law making, in addition to the DPR acting as the main power in the formation of legislation, the DPD have always been in the shadow of the DPR.Keywords: Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, legislative function, law making, legislative power.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a8
Kontekstualitas Makna "Bersamaan Kedudukan" di Dalam Hukum dan Pemerintahan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Affandi, Hernadi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (628.64 KB)

Abstract

Rumusan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 masih menyisakan perbedaan pandangan dalam memaknai frasa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”. Apakah frasa tersebut mengandung prinsip ‘persamaan kedudukan di depan hukum’ atau dalam konteks yang berbeda. Pembahasan pasal tersebut dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ternyata tidak terlalu signifikan dalam menjelaskan makna pasal. Tulisan ini akan menyoroti kontekstualisasi makna “bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan” menurut UUD 1945 yang akan difokuskan kepada tiga aspek, yaitu: pertama, latar belakang perumusan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dalam sidang BPUPKI dan PPKI; kedua, makna bersamaan kedudukan di dalam hukum menurut UUD 1945; dan ketiga, hubungan antara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan bersamaan kedudukan di dalam pemerintahan. Terhadap tiga hal tersebut Penulis berpendapat, pertama, perancang UUD tidak mau mengikuti pemikiran barat yang mengedepankan kebebasan dan sifat individualisme. Kedua, bersamaan kedudukan di dalam hukum menempatkan semua warga negara ke dalam kelompok atau golongan yang sama, tanpa pembedaan atas dasar apa pun seperti suku, agama, ras, dan antar-golongan. Ketiga semua warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengelola negara sepanjang memenuhi persyaratan objektif.Contextualization The Meaning of “Equality Before the Law and Government” according to the 1945 Constitution  AbstractThe formulation of Article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution is still causing different perspectives on the meaning of the phrase "all citizens have equality before the law and in government"; whether the article contains the principle of equality before the law or not. The Committee for Preparatory Work for Indonesia Independence/BPUPKI and Preparatory Committee for Indonesian Independence/PPKI sessions already gave their views and discussed all aspects related to the substance of the 1945 Constitution, however they were not deemed significant enough. This article will discusses 3 main aspects: reviewing at the background of the formulation of Article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution in BPUPKI and PPKI sessions; reviewing the equality before the law and government status under the 1945 Constitution; and reviewing the relationship between equality before the law and equality before the government. The Author concludes that first, the 1945 Constitution drafter did not want to follow western idea which highlight Freedom and individualism; second, equality before the law places all citizens in the same status without differentiating race, religion, or class; and third, all citizens have the right to administer the state as long as they fulfill the objective requirement. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n1.a2 
Political Rights of Civil Servants in Indonesia Affandi, Hernadi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2499.029 KB)

Abstract

AbstractThis paper highlights the regulation of political rights of civil servants (PNS) in Indonesia based on the 1945 Indonesian Constitution. Political rights are part of human rights that shall be guarded and protected by the State in the form of legislation ranging from constitution to its implementing regulations. The presence of regulation is substantial for safeguarding the existence and implementing political rights possessed by citizens, including civil servants. However, in practice there are restrictions by the lawmaker towards the political rights of the civil servants in Indonesia. In this regard, this paper attempts to highlight two issues: first, the position of civil servants in Indonesia in the 1945 Indonesian Constitution; second, the regulation of the political rights of civil servants in the implementing regulations of the 1945 Indonesian Constitution.Keywords: political rights, human rights, civil servants, 1945 Indonesian Constitution, implementing regulation. Pengaturan Hak Politik Pegawai Negeri Sipil di IndonesiaAbstrakTulisan ini menyoroti pengaturan hak Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Hak politik merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang harus dijaga dan dilindungi negara dalam bentuk pengaturan perundang-undangan mulai dari undang-undang dasar sampai dengan peraturan perundang-undangan pelaksananya. Kehadiran peraturan perundangundangan tersebut menjadi penting agar keberadaan maupun pelaksanaan hak politik yang dimiliki warga negara, termasuk PNS, dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam praktiknya, terdapat pembatasan yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap hak politik PNS di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba menyoroti dua persoalan: pertama, kedudukan PNS di Indonesia dalam UUD 1945; kedua, pengaturan hak politik PNS dalam peraturan perundang-undangan pelaksana UUD 1945.Kata Kunci: hak politik, hak asasi manusia, pegawai negeri sipil, UUD 1945, peraturan perundang-undangan. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n3.a6
An Endless Struggle of Fighting Discrimination in the Name of Human Rights Protection Hernadi Affandi; Tarsisius Murwadji
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 7, No 2 (2020): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The Incident of George Floyd’s death reminds people of the peril of discrimination that still exists within the American society. The incident has triggered worldwide reactions from people who feel sympathy for the victim and reject racism. To eliminate racial discrimination, every modern society needs to remove any negative paradigm towards intergroup relation. In the context of the United States, the American Government has the responsibility to protect the rights of citizens from any forms of discrimination. That includes racial discrimination. In addition, people have to be reminiscent of the danger of racial discrimination in the modern era. The danger has the ability to disturb human rights protection. This study revealed history, criteria, and impacts of discrimination within the scope of human rights protection.Memerangi Diskriminasi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia: Perjuangan Tiada Akhir Abstrak                                            Insiden George Floyd seakan mengingatkan kembali bahaya diskriminasi yang masih ada di masyarakat AS. Kejadian itu memunculkan reaksi dari orang-orang yang turut bersimpati dan menolak rasialisme dari seluruh belahan dunia. Masyarakat modern semestinya sudah mengubah pandangannya yang negatif terhadap kelompok lain, sehingga tidak terjadi diskriminasi rasial. Oleh karena itu, pemerintah AS memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak warga negaranya dari segala bentuk diskriminasi termasuk diskriminasi rasial. Di samping itu, masyarakat perlu diingatkan kembali tentang bahaya diskriminasi rasial di era modern yang dapat mengganggu perlindungan hak asasi manusia. Tulisan ini akan menyoroti tentang sejarah, tolak-ukur, dan akibat diskriminasi terhadap perlindungan hak asasi manusia.Kata kunci: afro-amerika, diskriminasi-rasial, hak asasi manusia.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v7n2.a4
Problematika Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah dalam Hegemoni Dewan Perwakilan Rakyat Hernadi Affandi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 1 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7234.02 KB)

Abstract

AbstrakTulisan ini bertujuan mencari akar permasalahan dan upaya yang harus dilakukan untuk memperkuat fungsi legislatif DPD yang dianggap masih lemah dibandingkan dengan fungsi legislatif DPR. Salah satu akar penyebab masalah tersebut adalah keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaraan. Hal itu membawa konsekuensi terhadap kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang. Akibatnya, DPD berada di bawah hegemoni DPR dalam pembentukan undang-undang. Semua itu berawal dari ketentuan UUD 1945 yang memberikan kewenangan terbatas kepada DPD dan memberikan kewenangan yang amat besar kepada DPR dalam pembentukan undang-undang. Ketentuan tersebut kemudian dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akibat ketidakseimbangan fungsi legislasi tersebut, terjadi dominasi DPR dalam pembentukan undang-undang bahkan DPR bertindak sebagai pemegang kekuasaan utama dalam pembentukan undang-undang sehingga DPD selalu berada di bawah bayang-bayang DPR.Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, fungsi legislasi, kekuasaan legislatif, pembentukan undang-undang. The Legislative Functions of the Regional Representative Council (DPD) within the Predominance of the People's Representative Council (DPR): Some Problems and IssuesAbstractThis paper seeks to find the root of the problem along with the solution related to the legislative function of the DPD, which is considered weak when compared to the legislative function of the DPR. One of the root causes of these problems is related to the existence of the DPD in the constitutional structure, which brings a consequence to the authority of the DPD in the formation of legislation. As a result, the DPD is under the hegemony of the DPR in law-making process. All of them, starting from the provisions of the Constitution of 1945 which authorized restrictions to the DPD while giving more sizable power to the DPR in law-making process. The provision was then further regulated into the Act No. 27 of 2009 regarding the MPR, DPR, DPD, and DPRD; and the Act No. 12 of 2011 regarding the Formation of Legislation. Due to the imbalance domination of the legislative function of the DPR in law making, in addition to the DPR acting as the main power in the formation of legislation, the DPD have always been in the shadow of the DPR.Keywords: Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat, legislative function, law making, legislative power.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n1.a8
Political Rights of Civil Servants in Indonesia Hernadi Affandi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 1, No 3 (2014): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2499.029 KB)

Abstract

AbstractThis paper highlights the regulation of political rights of civil servants (PNS) in Indonesia based on the 1945 Indonesian Constitution. Political rights are part of human rights that shall be guarded and protected by the State in the form of legislation ranging from constitution to its implementing regulations. The presence of regulation is substantial for safeguarding the existence and implementing political rights possessed by citizens, including civil servants. However, in practice there are restrictions by the lawmaker towards the political rights of the civil servants in Indonesia. In this regard, this paper attempts to highlight two issues: first, the position of civil servants in Indonesia in the 1945 Indonesian Constitution; second, the regulation of the political rights of civil servants in the implementing regulations of the 1945 Indonesian Constitution.Keywords: political rights, human rights, civil servants, 1945 Indonesian Constitution, implementing regulation. Pengaturan Hak Politik Pegawai Negeri Sipil di IndonesiaAbstrakTulisan ini menyoroti pengaturan hak Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). Hak politik merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang harus dijaga dan dilindungi negara dalam bentuk pengaturan perundang-undangan mulai dari undang-undang dasar sampai dengan peraturan perundang-undangan pelaksananya. Kehadiran peraturan perundangundangan tersebut menjadi penting agar keberadaan maupun pelaksanaan hak politik yang dimiliki warga negara, termasuk PNS, dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam praktiknya, terdapat pembatasan yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang terhadap hak politik PNS di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini mencoba menyoroti dua persoalan: pertama, kedudukan PNS di Indonesia dalam UUD 1945; kedua, pengaturan hak politik PNS dalam peraturan perundang-undangan pelaksana UUD 1945.Kata Kunci: hak politik, hak asasi manusia, pegawai negeri sipil, UUD 1945, peraturan perundang-undangan. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v1n3.a6
Kontekstualitas Makna "Bersamaan Kedudukan" di Dalam Hukum dan Pemerintahan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Hernadi Affandi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 4, No 1 (2017): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (628.64 KB)

Abstract

Rumusan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 masih menyisakan perbedaan pandangan dalam memaknai frasa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”. Apakah frasa tersebut mengandung prinsip ‘persamaan kedudukan di depan hukum’ atau dalam konteks yang berbeda. Pembahasan pasal tersebut dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ternyata tidak terlalu signifikan dalam menjelaskan makna pasal. Tulisan ini akan menyoroti kontekstualisasi makna “bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan” menurut UUD 1945 yang akan difokuskan kepada tiga aspek, yaitu: pertama, latar belakang perumusan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dalam sidang BPUPKI dan PPKI; kedua, makna bersamaan kedudukan di dalam hukum menurut UUD 1945; dan ketiga, hubungan antara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan bersamaan kedudukan di dalam pemerintahan. Terhadap tiga hal tersebut Penulis berpendapat, pertama, perancang UUD tidak mau mengikuti pemikiran barat yang mengedepankan kebebasan dan sifat individualisme. Kedua, bersamaan kedudukan di dalam hukum menempatkan semua warga negara ke dalam kelompok atau golongan yang sama, tanpa pembedaan atas dasar apa pun seperti suku, agama, ras, dan antar-golongan. Ketiga semua warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk mengelola negara sepanjang memenuhi persyaratan objektif.Contextualization The Meaning of “Equality Before the Law and Government” according to the 1945 Constitution  AbstractThe formulation of Article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution is still causing different perspectives on the meaning of the phrase "all citizens have equality before the law and in government"; whether the article contains the principle of equality before the law or not. The Committee for Preparatory Work for Indonesia Independence/BPUPKI and Preparatory Committee for Indonesian Independence/PPKI sessions already gave their views and discussed all aspects related to the substance of the 1945 Constitution, however they were not deemed significant enough. This article will discusses 3 main aspects: reviewing at the background of the formulation of Article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution in BPUPKI and PPKI sessions; reviewing the equality before the law and government status under the 1945 Constitution; and reviewing the relationship between equality before the law and equality before the government. The Author concludes that first, the 1945 Constitution drafter did not want to follow western idea which highlight Freedom and individualism; second, equality before the law places all citizens in the same status without differentiating race, religion, or class; and third, all citizens have the right to administer the state as long as they fulfill the objective requirement. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v4n1.a2 
Larangan Pemakaian Cadar Di Kampus Dalam Perspektif Prinsip Persamaan Kedudukan di depan Hukum Haris Kurnia Anjasmana; Hernadi Affandi
Nagari Law Review Vol 3 No 1 (2019): Nagari Law Review (NALREV)
Publisher : Faculty of Law, Andalas University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (447.421 KB) | DOI: 10.25077/nalrev.v.3.i.1.p.89-103.2019

Abstract

The prohibition on the use of veils in some campuses raises the pros and cons in the community, coupled with the many khilafiyah debates regarding the law on the use of veils. The identification of the problem in this article is first how the law of the use of veils in Islam, secondly whether the prohibition on the use of veils on campus violates the principle of equality before the law. The method used is juridical normative with comparative approach method and conceptual approach. The writing specifications used are descriptive analytical. The results of this paper are Basically, the use of legal veils is permissible. Related to the ban on the use of veils on several campuses, the authors argue that it is okay to keep the good name of the campus and avoid abuse of veils from all forms of radicalism, intolerance, or fraud in the lecture process. But before the ban was put into effect, it should first be with discussion and even research involving the entire academic community related to the positive or negative veil on campus by using data and reference sources that can be trusted scientifically and academically and also pay attention to the values that live in society.
Prospek Kewenangan MPR dalam Menetapkan Kembali Ketetapan MPR yang Bersifat Mengatur Hernadi Affandi
Jurnal Hukum Positum Vol. 1 No. 1 (2016): JURNAL HUKUM POSITUM
Publisher : Prodi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1653.603 KB) | DOI: 10.35706/positum.v1i1.526

Abstract

Tulisan ini akan memfokuskan pada beberapa aspek, yaitu keberadaan MPR dan Ketetapan MPR dalam sistem hukum; tinjauan tentang materi muatan Tap MPR masa lalu; dan prospek kewenangan MPR dalam mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengatur. Pemberian kembali kewenangan kepada MPR untuk mengeluarkan produk hukum MPR yang bersifat mengatur tidaklah mudah. Karena pemberian kewenangan tersebut akan berkaitan dengan status dan kedudukan MPR. Dengan status dan kedudukan seperti saat ini, MPR tampaknya tidak mungkin diberi kewenangan seperti sebelum perubahan UUD 1945 karena MPR bukan lagi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan lembaga negara tertinggi.
Tanggung Jawab Negara dalam Pemenuhan Hak atas Pendidikan menurut Undang-undang Dasar Tahun1945 Hernadi Affandi
Jurnal Hukum Positum Vol. 1 No. 2 (2017): JURNAL HUKUM POSITUM
Publisher : Prodi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1752.527 KB) | DOI: 10.35706/positum.v1i2.848

Abstract

UUD 1945 sudah mengamanatkan bahwa pemenuhan hak atas pendidikan sebagai tanggung jawab negara. Artinya, secara normatif negara semestinya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam pemenuhan hak atas pendidikan. Selain itu, semestinya setiap warga negara Indonesia juga sudah mendapatkan jaminan dalam memperoleh pendidikan. Namun demikian, amanat tersebut dirasakan masih belum dilaksanakan dengan baik dan sesuai harapan. Dalam usia UUD 1945 yang sudah mencapai lebih dari tujuh puluh tahun dirasakan perlu adanya evaluasi khususnya dalam pemenuhan hak atas pendidikan di Indonesia. Evaluasi tersebut antara lain terhadap pengaturan hak atas pendidikan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan pelaksana, makna tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan, dan implementasi pemenuhan hak atas pendidikan. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini akan membahas ketiga isu tersebut, yaitu: pertama, pengaturan masalah hak atas pendidikan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan pelaksana; kedua, makna tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan menurut UUD 1945; ketiga, implementasi tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pendidikan menurut UUD 1945.