Hadirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, membawa dampak yang sangat besar kepada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, karena mengkategorikan KPK ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Hal ini bahkan dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-XVII/2019, sehingga kedudukan KPK telah bergeser dari ide awal pembentukannya. Penelitian ini ingin meneliti permasalahan tersebut, dengan menggunakan metode penelitian hukum normative (legal research). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pasca berlakunya UU No. 19 Tahun 2019 dan dikuatkan oleh Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019, kedudukan KPK sudah bukan lagi sebagai lembaga negara independen. Hal ini tercermin dari 3 (tiga) hal, yakni dimasukkannya KPK ke dalam rumpun eksekutif, status kepegawainnya sebagai ASN, dan dimungkinkannya komisioner KPK berasal dari lembaga penegak hukum lainnya.The presence of Law Number 19 of 2019 had a huge impact on the Corruption Eradication Commission, because it categorized the KPK into the executive branch of power. This was even corroborated by the Constitutional Court Decision No. 70/PUU-XVII/2019, so that the position of the KPK has shifted from the initial idea of its formation. This study wants to examine these problems, using normative legal research methods (legal research). The results of this study indicate that after the enactment of Law no. 19 of 2019 and strengthened by the Constitutional Court Decision No. 70/PUU-XVII/2019, the position of the KPK is no longer an independent state institution. This is reflected in 3 (three) things, namely the inclusion of the KPK in the executive group, its employment status as ASN, and it is possible for KPK commissioners to come from other law enforcement agencies.