Seksualitas dan praktik perkawinan etnik Bugis, oleh penulisnya, dimulai oleh percakapan ringkas tentang cara mendudukkan kebudayaan. Meski sebagai gambit tulisan, percakapan ringkas ini menemukan kebenaran pendakuan Amos Bronson Alcott Ralph bahwa âconversation is feminineâ. Bukan karena buku ini memang tentang seksualitas perempuan, tetapi melalui gambit ini literasi perempuan Bugis dimulai. Percakapan pendek-pendekâyang diperlakukan sebagai ragam kutipanâdapat temukan di sepanjang buku ini. Percakapan seperti ini akan menciptakan siklus dalam diri pembaca: menyimak, bernalar, dan mengikuti argumen penulisnya.Literasi terhadap seksualitas dan perkawinan perempuan Bugis, sejauh ini, tak banyak ditulis secara akademis. Kalau pun ada, biasanya penulisnya âdatang dari luarâ. Penulis seperti ini tak lebih dari âpembaca kebudayaanâ. Padahal, literasi terhadap perempuan sejatinya diartikan sebagai âaksi kebudayaanâ untuk âmembaca-dan-dibacaâ.Seksualitas dan perkawinan Bugis boleh âdibacaâ secara akademis, tetapi pada saat bersamaan, di karya akademis sebagaimana ditulis oleh Nurul Ilmi Idrus, perempuan tak kehilangan kesempatan âmembacaâ dirinya sendiri. Aksi âdibacaâ dan âmembacaâ pun terjadi dan dapat ditemukan di sepanjang buku ini.Relasi gender di buku ini bukan tentang âdebat kerasâ yang dibangun melalui argumentasi mazhab-mazhab feminisme terhadap nilai-nilai patriarki di masyarakat Bugis. Bukan juga deskripsi âbudaya seks kampungâ yang serba dipersalahkan dan digiring ke posisi primitif. Nurul Ilmi Idrus menyusun deskripsi dan mengurut segenap argumen pada setiap tema yang dibahasnya dengan menjaga âkesepadananâ. âKesepadananâ dijaga dan terjaga melalui âconversation based writingâ yang berbentuk naratif, sembari menyediakan rujukan dari para akademikus dan budayawan. Dengan kualitas naratif dan dengan gaya ungkap percakapan, pembaca dihadirkan ke pengalaman paling empiris dalam kebudayaannya. Gaya ungkap ini menolong pembacanya untuk mencerna eksposisi konflik yang dikemukakan oleh Nurul Ilmi Idrus beserta segenap resolusinya.Etnografi seksualitas dan praktik perkawinan Bugis ini membuka seluk beluk labirin budaya seks masyarakat Bugis. Labirin ini tak lain adalah ruang relasi dan ruang interaksi seksualitas di sekitar perkawinanâlengkap dengan dinamika yang menyertainyaâantara perempuan dan lelaki Bugis. Labirin ini terbuka melalui ungkapan-ungkapan paling intim, atau ekspresi keberatan dari perempuan terhadap lelaki, atau pernyataan normatif dari lelaki Bugis atas konflik di sekitar kehidupan perkawinan dan seksualitas. Studi etnografi perkawinan dan seksualitas masyarakat Bugis telah membuka âlorong dan kamarâ paling berliku dan paling jauh dalam budaya perkawinan dan seksualitas yang tak mudah terlihat. Ragam kesaksian perempuan dan lelakiâyang ditulis dalam berbagai kutipanâterhadap seluk-beluk dan dinamika perkawinan dan seksualitas adalah temuan paling empirik dan paling kaya.Perangkat-perangkat idiomatik dalam buku ini adalah kekayaan. Oleh karena studi ini memang berdiri di atas cakrawala etnografi, ragam idiom Bugis yang berkaitan dengan perkawinan dan seksualitas diperkenalkan. Meskipun diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, beberapa idiom akan mengajak pembaca untuk berhati-hati mengenali konsep di belakang idiom.  Pembaca yang berkapasitas polyglotâmenguasai bahasa Inggris, Indonesia, dan Bugis sekaligusâtak akan mengalami kesulitan memasuki dan mengikuti alur karya akademis ini. Gaya ungkap polyglot yang diikuti dengan ragam idiom Bugis yang terkait dengan kehidupan perkawinan dan seksualitas sejatinya didudukkan sebagai konsekuensi akademis dari cakrawala disiplin etnografi.Pada akhirnya, buku Gender Relations in an Indonesian Society: Bugis Practices of Sexuality and Marriage sejatinya didudukkan sebagai karya akademis yang telah membuka secara terang benderang labirin budaya perkawinan dan seksualitas Bugis. Dari buku ini, pembaca dapat mengenali cara perempuan dan lelaki Bugis âmembacaâ kebudayaannya sendiri, ketimbang buku lain yang memposisikan perkawinan dan seksualitas Bugis sebagai kebudayaan yang hanya âdibacaâ dari luar. Buku yang terdiri atas delapan chapter dan dilengkapi dengan dokumen appendix dan glossary ini mengeksplorasi cara Bugis âmembacaâ kebudayaannya sendiri.