Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

Perlindungan Hukum terhadap Pekerja dalam Pelaksanaan Hubungan Industrial utami, tanti kirana; Zulkarnaen, Ahmad Hunaeni
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Padjadjaran University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (884.561 KB)

Abstract

Sistem hukum hubungan industrial Pancasila berupaya menempatkan pekerja/buruh dengan pengusaha termasuk didalamnya pemerintah dalam kedudukan yang proporsional. Eksistensi atau keberadaan pekerja dalam hubungan industrial harus dilindungi oleh pengusaha dengan diperlakukan sebagai mitra kerja. Untuk itu, pelaksanaan hubungan industrial sebaiknya merujuk ke dalam sistem demokrasi ekonomi Pancasila, yakni suatu sistem demokrasi ekonomi sebagai hasil pengejawantahan dari konsep integralistik Pancasila.Legal Protection of the Workers in the Implementation of Industrial Relations AbstractThe legal system of industrial relations based on Pancasila attempts to place workers or laborers with employers, including the government, in a proportional position. The existence or presence of workers in industrial relations should be protected by the employer, in which workers are to be treated as a partner. Therefore, the implementation of industrial relations should refer to the system of economic democracy of Pancasila, namely a system of economic democracy as the embodiments of the integrative concept of Pancasila.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a10
Kebijakan Formulasi Delik Agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Baru Zulkarnaen, Ahmad Hunaeni; Kristian, Kristian; Aridhayandi, M. Rendi
Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol 3, No 1 (2018): Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
Publisher : IAIN Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (658.54 KB) | DOI: 10.22515/al-ahkam.v3i1.1338

Abstract

Tulisan ini akan membahas kebijakan formulasi delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru yakni dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi tahun 2015. Hal ini menjadi penting karena sila pertama dari Pancasila sebagai falsafah hidup, jiwa, pandangan, pedoman dan kepribadian bangsa Indonesia sekaligus menjadi falsafah bangsa dan Negara serta menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ini berarti, Indonesia adalah salah satu negara berTuhan dan memiliki filosofi Ketuhanan yang mendalam serta menempatkan agama sebagai sendi utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kedudukannya sebagai Negara hukum khususnya Negara hukum Pancasila (sebagai religious nation state), agama menempati posisi sentral dan hakiki dalam seluruh kehidupan masyarakat yang perlu dijamin dan dilindungi (tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahkan agama dan kerukunan hidup antarumat beragama (sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan, memperkukuh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara)  dicantumkan sebagai hal yang penting dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Oleh karena itu, wajar jika Negara memasukan atau menjadikan agama sebagai salah satu delik didalam hukum positifnya. Pengaturan mengenai delik agama ini dipandang penting karena penghinaan (atau cara-cara lainnya) terhadap suatu agama yang diakui di Indonesia dapat membahayakan perdamaian, kerukunan, ketentraman, kesejahteraan (baik secara materil maupun spirituil), keadilan sosial dan mengancam stabilitas dan ketahanan nasional. Agama juga dapat menjadi faktor sensitif yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Atas alasan tersebut juga tulisan ini dibuat sebagai salah satu sumbangsih pemikiran dalam rangka mengetahui rumusan delik agama dan kelemahan-kelemahan yang ada didalamnya sehingga dimasa yang akan datang, dapat dilakukan pembaharuan. Diluar adanya pro-kontra dimasukannya delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, Hasil penelitian, menunjukan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengacu kepada perkembangan “blasphemy” di Inggris atau perkembangan “Godslasteringswet” di Belanda. Kriminalisasi delik agama di Indonesia didasarkan pada religionsschutz theorie (teori perlindungan agama), gefuhlsschutz theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan) dan friedensschutz theorie (teori perlindungan perdamaian atau teori perlindungan ketentraman umat beragama). Dalam RKUHP, delik agama ini dirumuskan dalam 8 pasal yang terbagi menjadi 2 kategori yakni: Tindak Pidana Terhadap Agama (yang mencakup penghinaan terhadap agama dan penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama) dan Tindak Pidana Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (yang mencakup gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan dan perusakan tempat ibadah). Kebijakan formulasi delik agama tersebut masih banyak mengandung kelemahan sehingga akan berpengaruh terhadap tahap aplikasi dan eksekusinya dalam praktik berhukum di Indonesia. Dalam kaitannya dengan delik agama, penggunaan sanksi pidana tentu harus memperhatikan rambu-rambu penggunaan pidana dan harus dilakukan dengan tujuan melakukan prevensi umum dan prevensi khusus. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penyempurnaan kebijakan formulasi RKUHP versi tahun 2015 khususnya yang berkaitan dengan delik agama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder dan dilakukan penafsiran dengan menggunakan pendekatan undang-undang, perbandingan hukum, sejarah hukum, asas hukum dan teori hukum.
Perlindungan Hukum terhadap Pekerja dalam Pelaksanaan Hubungan Industrial tanti kirana utami; Ahmad Hunaeni Zulkarnaen
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 3, No 2 (2016): PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (884.561 KB)

Abstract

Sistem hukum hubungan industrial Pancasila berupaya menempatkan pekerja/buruh dengan pengusaha termasuk didalamnya pemerintah dalam kedudukan yang proporsional. Eksistensi atau keberadaan pekerja dalam hubungan industrial harus dilindungi oleh pengusaha dengan diperlakukan sebagai mitra kerja. Untuk itu, pelaksanaan hubungan industrial sebaiknya merujuk ke dalam sistem demokrasi ekonomi Pancasila, yakni suatu sistem demokrasi ekonomi sebagai hasil pengejawantahan dari konsep integralistik Pancasila.Legal Protection of the Workers in the Implementation of Industrial Relations AbstractThe legal system of industrial relations based on Pancasila attempts to place workers or laborers with employers, including the government, in a proportional position. The existence or presence of workers in industrial relations should be protected by the employer, in which workers are to be treated as a partner. Therefore, the implementation of industrial relations should refer to the system of economic democracy of Pancasila, namely a system of economic democracy as the embodiments of the integrative concept of Pancasila.DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a10
THE EFFECTIVENESS OF PRISON SENTENCES ON NARCOTICS ADDICTS Ahmad Hunaeni Zulkarnaen; Akbar Sanjaya
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 6, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Kuningan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25134/unifikasi.v6i1.1389

Abstract

Narcotics are substances or drugs that can cause a decrease or change of consciousness, loss of pain and can cause dependence. The dangerous potential of narcotics then becomes the reason of the issuance of Law No. 35 of 2009 concerning Narcotics. This study aims to analyze the effectiveness of prison sentences in guiding narcotics addicts and to identify alternative sanctions, other than prison sentences, which are more effective in guiding narcotics addicts. This study applied a normative juridical method. The results revealed that narcotics addicts or narcotics abusers have special characteristics because their status as both offenders and victims. Until now, the sanctions that are commonly sentenced to narcotics addicts by judges are prison sentences. This sanction is given in the hope that narcotics addicts could recover from their addictions while in prison. Yet, the lack of facilities and experts at the correctional institution cause many problems, ranging from prisonization to labeling ex-prisoners. As a result, narcotics addicts who are expected to recover themselves from their addictions through guidance have even more difficult to return to the community. Narkotika adalah zat atau obat yang dapat menyebabkan perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Potensi berbahaya dari narkotika kemudian menjadi penyebab diundangkannya Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan menganalisis Efektifkah pidana penjara dalam membina pecandu Narkotika agar tidak lagi mengulangi perbuatannya dan Adakah alternatif lain selain penjara dalam membina para penyalahguna narkotika. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative. Hasil penelitian yaitu bahwa Pecandu Narkotika merupakan salah satu pelaku penyalahgunaan narkotika yang memiliki karakteristik istimewa, karena statusnya sebagai pelaku sekaligus korban. Sampai saat ini sanksi yang lazim diputus oleh hakim kepada pecandu narkotika adalah pidana penjara. Putusan ini dijatuhkan dengan harapan bahwa selama menjalani pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana pecandu narkotika bisa sembuh dari kecanduannya, namun minimnya fasilitas dan tenaga ahli di lembaga pemasyarakatan menimbulkan banyak permasalahan, mulai dari prisonisasi narapidana, sampai dengan pelabelan (labelling) mantan narapidana. Akibatnya pecandu narkotika yang setelah menjalani pembinaan, yang seharusnya sembuh dari kecanduannya justru semakin kesulitan kembali ke masyarakat.
Eksistensi Lembaga Kerjasama Bipartit dalam Perspektif Negara Kesejahteraan dan Hak Asasi Manusia Ahmad Hunaeni Zulkarnaen
UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum Vol 5, No 1 (2018)
Publisher : Universitas Kuningan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25134/unifikasi.v5i1.787

Abstract

Abstrak : Negara Kesejahteraan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bertujuan memajukan kesejahteraan umum yang mengakui, menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Tujuan penelitian ini, adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana korelasi antara negara kesejahteraan dengan HAM dalam perlindungan tenaga kerja?; dan bagaimana peran Lembaga Kerjasama Bipartit dalam memberikan perlindungan terhadap hak perkerja/buruh?. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian adalah salah satu sarana dalam hubungan industrial untuk menyampaikan pikiran dengan lisan atau tulisan adalah  Lembaga Kerjasama Bipartit, yaitu suatu forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah antara wakil   pekerja/buruh   dan   wakil   pengusaha   dalam suatu perusahaan   guna   membahas   masalah Hubungan Industrial dan kondisi kerja pada umumnya. Kesimpulan, optimaliasi kinerja Lembaga Kerjasama Bipartit dengan tujuan menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan demi kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya sekaligus sebagai sarana untuk mengkoordinasikan lembaga-lembaga ketenagakerjaan.Kata kunci: Hak Asasi Manusia, Lembaga Kerjasama Bipartit, Negara Kesejahteraan THE BIPARTITE COOPERATION INSTITUTION OF EXISTENCE IN THE PERSPECTIVE OF THE WELFARE STATE AND HUMAN RIGHTS Abstract : The Indonesian Welfare State based on Pancasila and the 1945 Constitution aims to advance the common welfare that recognizes, respects and protects human rights. The purpose of this study is to know and analyze how the correlation between the welfare state and human rights in labor protection; and how is the role of Bipartite cooperation institution in providing protection to workers / labor rights. The research method used is normative juridical with analytical descriptive specification. The result of the research is as a means in industrial relations to convey thoughts orally or written, this  is Bipartite cooperation institution, which is a communication forum, consultation and deliberation between worker/laborer representatives and employer's representative in a company to discuss industrial relations problem and working condition in general. Conclusion, optimizing the performance of Bipartite cooperation institution with the aim of creating harmonious, dynamic, and equitable industrial relations for the sake of survival, growth, development of the company, including the welfare of workers / laborers and also their families as well as a means to coordinate employment agencies.Keywords: Human Rights, Bipartite Cooperation Institution, Welfare State.
PELATIHAN PARA SUPERVISI DI PT FASIC TENTANG KETENAGAKERJAAN DALAM MENYONGSONG REVOLUSI INDUSTRI 4.0. Ahmad Hunaeni Zulkarnaen
JE (Journal of Empowerment) Vol 2, No 1 (2021): JUNI
Publisher : Uiversitas Suryakancana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35194/je.v2i1.799

Abstract

ABSTRAK     Revolusi Industri 4.0  (RI 4.0) berpotensi meningkatkan kualitas hidup masyarakat di seluruh dunia, namun  RI 4.0 telah menimbulkan kekhawatiran bahwa mesin-mesin suatu hari akan mengambil alih pekerjaan manusia, antara lain kemajuan kecerdasan buatan dan otomatisasi dapat menggantikan tenaga kerja manusia secara keseluruhan yang digantikan oleh  teknologi robotik, digital dan otomatisasi (RI 4.0), hal ini berarti akan terjadi gelombang pengangguran dan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Untuk menekan seminimal mungkin potensi negatif tersebut, perusahaan harus cepat tanggap dalam mengambil sikap demi menjaga kestabilan perusahaan salah satunya PT Fasic Indonesia harus meingkatkan kualitas keterampilan pekerja dalam menghadapi RI 4.0. Adapun metode yang digunakan dalam kegiatan tersebut perusahaan harus merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi hasil dari capaian yang ditargetkan. Tujuan dari pelaksanaan pelatihan diharapkan ketrampilan, keahlian, potensi kerja, produktivitas, disiplin, dan etos kerja) Supervisi di PT Fasic Indonesia dapat meningkat dan mengembang sesuai standar ilmu pengetahuan dan teknologi RI 4.0.ABSTRACTThe Industrial Revolution 4.0 (RI 4.0) has the potential to improve the quality of life of people around the world, but RI 4.0 has raised concerns that machines will one day take over human jobs, including advances in artificial intelligence and automation that can replace the human workforce as a whole being replaced. By robotic, digital and automation technology (RI 4.0), there will be a wave of mass unemployment and layoffs (layoffs). To minimize this negative potential, companies must be responsive in taking a stance to maintain company stability, one of which is PT Fasic Indonesia, which must improve the quality of workers' skills in facing RI 4.0. As for the method used in these activities, the company must plan, implement, and evaluate the targeted achievements' results. The aim of the training is that skills, expertise, work potential, productivity, discipline, and work ethic are expected) Supervision at PT Fasic Indonesia can increase and develop according to the standard of science and technology RI 4.0. 
PENYULUHAN TENTANG TATA CARA MEMBUAT PERATURAN PERUSAHAAN DI PT. PELANGI WARNA KREASI BANDUNG Ahmad Hunaeni Zulkarnaen
JE (Journal of Empowerment) Vol 1, No 1 (2017): JUNI 2017
Publisher : Uiversitas Suryakancana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35194/je.v1i1.19

Abstract

Employers who hire at least 10 (ten) employees shall make a company regulation. A company regulation is a written rule made by the employer which contains the terms of employment and the rules of the company. In the rule-making companies need continually to do under the technical guidance in order to gain the company rules that provide a protection for workers. Rule-making company is the employers’ responsibility, which is in the drafting process should heed the advice and judgment of representatives of workers or from labor unions. 
SOSIALISASI ASAS TUJUAN LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT DAN PENCEGAHAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Ahmad Hunaeni Zulkarnaen
JE (Journal of Empowerment) Vol 2, No 2 (2021): DESEMBER
Publisher : Uiversitas Suryakancana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35194/je.v2i2.1709

Abstract

ABSTRAK Lembaga Kerja Sama Bipartit merupakan forum komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dengan wakil serikat pekerja/serikat buruh dan/atau wakil pekerja/buruh untuk menciptakan hubungan industrial yang berkeadilan menjaga kelangsungan hidup, pertumbuhan, dan perkembangan perusahaan, termasuk kesejahteraan pekerja/buruh. sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan hubungan industrial, walaupun terjadi perselisihan hubungan industrial dapat selesaikan secara musyawarah (bipartit) tanpa harus melibatkan pihak ketiga, sehingga mogok dan penutupan perusahaan (lockout) tidak perlu digunakan untuk memaksakan kehendak. fungsi hukum LKS Bipartit, adalah: sebagai standard of conduct, sebagai as a tool of social of engeneering, sebagai as a tool of social of control  dan sebagai  as a facility on human interaction untuk mewujudkan hubungan industrial harmonis (Industrial Peace) yaitu hak dan kewajiban pengusaha serta pekerja/buruh terjamin dan dapat dilaksanakan, mencegah potensi terjadinya perselisihan hubungan industrial dan kalaupun terjadi perselisihan hubungan industrial tidak perlu melibatkan pihak ketiga karena dapat diselesaikan secara musyawarah (Bipartit) secara internal sehingga mogok dan penutupan perusahaan (lock out) tidak perlu digunakan untuk memaksakan kehendak.ABSTRACTThe Bipartite Cooperation Institution is a forum for communication and consultation between employers and representatives of trade unions/labor unions and/or representatives of workers/laborers to create fair industrial relations to maintain the survival, growth, and development of the company, including the welfare of workers/labourers. so that it can prevent industrial relations disputes, even though industrial relations disputes can be resolved by deliberation (bipartite) without having to involve third parties, so strikes and company closures (lockout) do not need to be used to impose their will. The legal functions of the Bipartite LKS are: as a standard of conduct, as a tool of social engineering, as a tool of social control and as a facility on human interaction to realize harmonious industrial relations (Industrial Peace), namely rights and obligations. employers and workers/labourers are guaranteed and enforceable, preventing potential industrial relations disputes and even if industrial relations disputes occur, there is no need to involve third parties because they can be resolved internally by deliberation (Bipartite) so strikes and company closures (lockout) do not need to be used to obtrude. 
Kebijakan Formulasi Delik Agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Baru Ahmad Hunaeni Zulkarnaen; Kristian Kristian; M. Rendi Aridhayandi
Al-Ahkam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Al-Ahkam: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
Publisher : IAIN Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22515/alahkam.v3i1.1338

Abstract

Tulisan ini akan membahas kebijakan formulasi delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru yakni dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana versi tahun 2015. Hal ini menjadi penting karena sila pertama dari Pancasila sebagai falsafah hidup, jiwa, pandangan, pedoman dan kepribadian bangsa Indonesia sekaligus menjadi falsafah bangsa dan Negara serta menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti, Indonesia adalah salah satu negara berTuhan dan memiliki filosofi Ketuhanan yang mendalam serta menempatkan agama sebagai sendi utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kedudukannya sebagai Negara hukum khususnya Negara hukum Pancasila (sebagai religious nation state), agama menempati posisi sentral dan hakiki dalam seluruh kehidupan masyarakat yang perlu dijamin dan dilindungi (tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi Negara dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahkan agama dan kerukunan hidup antarumat beragama (sehingga tercipta suasana kehidupan yang harmonis dan saling menghormati dalam semangat kemajemukan, memperkukuh jati diri dan kepribadian bangsa serta memperkuat kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara) dicantumkan sebagai hal yang penting dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Oleh karena itu, wajar jika Negara memasukan atau menjadikan agama sebagai salah satu delik didalam hukum positifnya. Pengaturan mengenai delik agama ini dipandang penting karena penghinaan (atau cara-cara lainnya) terhadap suatu agama yang diakui di Indonesia dapat membahayakan perdamaian, kerukunan, ketentraman, kesejahteraan (baik secara materil maupun spirituil), keadilan sosial dan mengancam stabilitas dan ketahanan nasional. Agama juga dapat menjadi faktor sensitif yang dapat menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Atas alasan tersebut juga tulisan ini dibuat sebagai salah satu sumbangsih pemikiran dalam rangka mengetahui rumusan delik agama dan kelemahan-kelemahan yang ada didalamnya sehingga dimasa yang akan datang, dapat dilakukan pembaharuan. Diluar adanya pro-kontra dimasukannya delik agama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru, Hasil penelitian, menunjukan bahwa pengaturan mengenai tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengacu kepada perkembangan blasphemy di Inggris atau perkembangan Godslasteringswet di Belanda. Kriminalisasi delik agama di Indonesia didasarkan pada religionsschutz theorie (teori perlindungan agama), gefuhlsschutz theorie (teori perlindungan perasaan keagamaan) dan friedensschutz theorie (teori perlindungan perdamaian atau teori perlindungan ketentraman umat beragama). Dalam RKUHP, delik agama ini dirumuskan dalam 8 pasal yang terbagi menjadi 2 kategori yakni: Tindak Pidana Terhadap Agama (yang mencakup penghinaan terhadap agama dan penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama) dan Tindak Pidana Terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (yang mencakup gangguan terhadap penyelenggaraan ibadah dan kegiatan keagamaan dan perusakan tempat ibadah). Kebijakan formulasi delik agama tersebut masih banyak mengandung kelemahan sehingga akan berpengaruh terhadap tahap aplikasi dan eksekusinya dalam praktik berhukum di Indonesia. Dalam kaitannya dengan delik agama, penggunaan sanksi pidana tentu harus memperhatikan rambu-rambu penggunaan pidana dan harus dilakukan dengan tujuan melakukan prevensi umum dan prevensi khusus. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi penyempurnaan kebijakan formulasi RKUHP versi tahun 2015 khususnya yang berkaitan dengan delik agama. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dengan melakukan studi bahan kepustakaan guna mengumpulkan data sekunder dan dilakukan penafsiran dengan menggunakan pendekatan undang-undang, perbandingan hukum, sejarah hukum, asas hukum dan teori hukum.