Ni Ketut Suryatini, Ni Ketut
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Rare Kelangon The Innovation Of Gender Wayang Colosal For Children Suryatini, Ni Ketut; Susanthi, Nyoman Lia
Lekesan: Interdisciplinary Journal of Asia Pacific Arts Vol 2 No 2 (2019): October
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2491.267 KB) | DOI: 10.31091/lekesan.v2i2.891

Abstract

Indonesia is a country with a high level of cultural heterogeneity. In accordance with the State of the Republic of Indonesia’s President Joko Widodo, the country needs disruptive innovations. Disruptive innovation reverses the impossibility into opportunities and results intransformative value for the Indonesian people and nation. Disruptive innovation can also be applied in the arts. Moreover, amid the setbacks in the ethical and moral values ​​of the Indonesian nation, art offers a way to shape character. One of the Balinese arts which has succeeded in changing the character is the art of Balinese traditional music. The tradition of storytelling, traditional children’s games and songs (gending) Bali is needed in upholding moral values ​​and character education early on. For this reason, the creation of the “Rare Kelangon” which has been tested by the international public at the Cultural Performance at the IMF in Nusa Dua Bali on October 11, 2018 and the 24th National Education Day on August 25, 2019. The method used in creating this music innovative of Gender wayang was the research and development of Brog and Gall combined with Bandem and Suteja’s Balinese art creation method. There are 8 stages of creations, namely ngerencana,nuasen, makalin, refinement of the initial product, ngebah I, revision of the final refinement and ngebah II. The results of the study found that the innovations which made in the creation of Rare Kelangon works were extension types, which the invention of the development of existing products, added so that it becomes something new and valuable. The gender wayanggamelan has existed before, but to revive the genderwayang songs, a component of work which also needs to be preserved is gending rare (traditional children’s songs), traditional games, and satua (fairy tales) of the Balinese people who are also full of values ​​of character education.
Tari Rejang Gadung Di Desa Gadungan Kecamatan Slemadeg Timur Kabupaten Tabanan Arshiniwati, Ni Made; Sustiawati, Ni Luh; Suryatini, Ni Ketut
Segara Widya : Jurnal Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Seni Indonesia Denpasar Vol 7 No 2 (2019): November
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1156.247 KB) | DOI: 10.31091/sw.v7i2.885

Abstract

Tari Rejang Gadung merupakan salah satu jenis tari rejang yang biasanya ditarikan setiap upacara agama (odalan) di pura-pura di Desa Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. Tari Rejang Gadung ditarikan secara bersama-sama oleh para wanita dewasa, remaja, dan anak-anak yang mau ngaturan ayah (berpartisipasi) menari. Para penari yang ada di belakang bergerak mengikuti penari paling depan yang tahu persis paileh (urutan gerak tarinya). Tidak ada pembatasan usia dan jumlah pemain, serta busana yang digunakan untuk tari tersebut adalah busana ke pura yang sopan. Permasalah yang ada, Mitra (Pengempon Pura Sindu) melihat bahwa belakangan ini tari Rejang Gadung mulai meredup akibat munculnya berbagai jenis tari khususnya tari rejang yang dapat disaksikan dengan mudah baik melalui youtube, televisi, maupun media elektronik lainnya. Masalah lain adalah penari yang menguasai tari dan diharapkan mampu memberikan contoh serta menari dengan mengambil posisi di depan kini semakin berkurang. Penyebab dari kurangnya kemampuan penari menarikan tari Rejang Gadung menurut Mitra karena kurangnya pembinaan atau pelatihan tentang teknik gerak dan koreografi yang tepat serta kurangnya media yang mendukung dalam mempelajari tari tersebut. Melihat permasalahan yang dihadapi Mitra, maka PKM ini bertujuan untuk memberikan solusi dengan memberikan pelatihan tari, tabuh, dan tata rias kepada warga pengempon Pura Sindu, sehingga eksistensi tari Rejang Gadung bisa dipertahankan. PKM ini juga menghasilkan video tari Rejang Gadung sebagai media pembelajaran atau pelatihan. Kegiatan PKM dilaksanakan melalui metode pemberdayaan dengan lima tahapan yaitu sosialisasi, koodinasi, pelatihan, pendampingan praktek lapangan, dan evaluasi. PKM ini dilakukan kurang lebih tiga bulan, pesertanya sekitar 50 orang terdiri dari penari anak-anak, remaja, dan dewasa, serta penabuh (pemain gamelan) dari berbagai tingkatan umur. Hasil PKM menunjukkan bahwa kemampuan penari Rejang Gadung dan kemampuan para penabuh terlihat semakin meningkat. Para penari sudah mampu menari tanpa diberikan contoh, penari sudah berani mengambil posisi di depan, para penabuh sudah mampu mengiringi tari Rejang Gadung. Melalui pelatihan ini para penari dan penabuh memperoleh pengalaman baik estetis, sosial, maupun kultural.