Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

MENYOROT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016 TERKAIT UNSUR “DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN ATAU PEREKONOMIAN NEGARA” DALAM PERKARA KORUPSI Aryaputra, Muhammad Iftar; Heryanti, B. Rini; Astanti, Dhian Indah
INDONESIAN JOURNAL OF CRIMINAL LAW STUDIES Vol 2, No 1 (2017): Mei 2017
Publisher : INDONESIAN JOURNAL OF CRIMINAL LAW STUDIES

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu unsur delik (delik bestadell) yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Dengan demikian, harus dimaknai bahwa kerugian negara dalam kedua pasal aquo bisa nyata (actual loss) maupun baru sebatas potensi (potential loss). Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, unsur kerugian negara dalam kedua pasal aquo harus berupa kerugian yang nyata (actual loss). Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi menilai bahwa kata “dapat” dalam kedua pasal aquo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permasalahan dalam penelitian, yaitu: (1) Bagaimana kedudukan unsur (bestandeel) kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi sebelum dan setelah keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016?; (2) Bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan data sekunder sebagai data utama. Penelitian yang dilakukan terfokus pada Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016. One of the elements of the offense contained in Article 2 verse (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 on Corruption Eradication is "can be detrimental to the finances or the economy of the country". Thus, it should be understood that the loss to the state in both passages quo It can be actual loss or potential losses. Post-discharge Constitutional Court Decision No. 25 / PUU-XIV / 2016, the state loss in both passages quo should be a real loss (actual loss). This is due to the Constitutional Court considered that the word "may" in the second chapter NRI quo contrary to the Constitution of 1945 (unconstitutional) and does not have binding legal force. The research problem, namely: (1) The position of the element losses to the state in a corruption case before and after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV/2016?; (2) How does law procedure enforcement against corruption after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV / 2016? This research is a normative law, with secondary data as the main data. Research conducted focused on the Constitutional Court ruling No. 25/ PUU-XIV/2016. 
AUTHORITY OF RELIGIOUS COURT IN SETTLEMENT OF SHARIAH BANKING DISSOLUTION Astanti, Dhian Indah; Heryanti, B.Rini; Juita, Subaidah Ratna
Tadulako Law Review Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Tadulako University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

The principle of Islamic banking is part of Islamic teachings relating to the economy. One of the principles in Islamic economics is the prohibition of usury in its various forms, and using the system, among others, in the form of profit sharing principles. With the principle of profit sharing, Islamic banks can create a healthy and fair investment climate because all parties can share both the benefits and potential risks that arise so that they will create a balanced position between the bank and its customers. Seeing the development of Islamic banks so far, sharia principles which are the main foundation of Islamic banks in carrying out their duties have not been able to be implemented and enforced optimally, especially in the event of a dispute between parties, Islamic banks and their customers. This study aims to determine and understand the authority of the Religious Courts in resolving sharia banking disputes and the principles of handling sharia banking dispute resolution. This research is a sociological juridical legal research. This approach was chosen considering that in order to achieve the objectives of the study not only based on legal provisions. However, there are sociological factors which need to be addressed, such as social phenomena related to sharia banking dispute resolution. Methods of data collection were conducted through interviews, questionnaires, and literature studies. Data collected includes primary data and secondary data then will be analyzed qualitatively and identified and carried out categorization. From the results of the analysis, conclusions will then be drawn as answers to existing problems. With the issuance of Law Number 3 of 2006 concerning Amendments to Law Number 7 of 1989 concerning Religious Courts since 30 March 2006 has provided a legal umbrella for the implementation of Sharia Economics in Indonesia and disputes in sharia banking are the authority of the religious court environment, dispute resolution related to sharia banking economic activities completed in two ways, namely litigation and non-litigation, besides that the issuance of Law Number 21 of 2008 concerning Islamic Banking further reinforces the dispute resolution mechanism between the bank and the customer as stipulated in Article 55 paragraph (1), (2) and ( 3) that dispute resolution is carried out in accordance with the contents of the contract.
MENYOROT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016 TERKAIT UNSUR DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN ATAU PEREKONOMIAN NEGARA DALAM PERKARA KORUPSI Aryaputra, Muhammad Iftar; Heryanti, B. Rini; Astanti, Dhian Indah
IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) Vol 2, No 1 (2017): Mei 2017 Indonesian Journal of Criminal Law Studies
Publisher : Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (309.305 KB) | DOI: 10.15294/ijcls.v2i1.10812

Abstract

Salah satu unsur delik (delik bestadell) yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dengan demikian, harus dimaknai bahwa kerugian negara dalam kedua pasal aquo bisa nyata (actual loss) maupun baru sebatas potensi (potential loss). Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, unsur kerugian negara dalam kedua pasal aquo harus berupa kerugian yang nyata (actual loss). Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi menilai bahwa kata dapat dalam kedua pasal aquo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permasalahan dalam penelitian, yaitu: (1) Bagaimana kedudukan unsur (bestandeel) kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi sebelum dan setelah keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016?; (2) Bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan data sekunder sebagai data utama. Penelitian yang dilakukan terfokus pada Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016.One of the elements of the offense contained in Article 2 verse (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 on Corruption Eradication is "can be detrimental to the finances or the economy of the country". Thus, it should be understood that the loss to the state in both passages quo It can be actual loss or potential losses. Post-discharge Constitutional Court Decision No. 25 / PUU-XIV / 2016, the state loss in both passages quo should be a real loss (actual loss). This is due to the Constitutional Court considered that the word "may" in the second chapter NRI quo contrary to the Constitution of 1945 (unconstitutional) and does not have binding legal force. The research problem, namely: (1) The position of the element losses to the state in a corruption case before and after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV/2016?; (2) How does law procedure enforcement against corruption after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV / 2016? This research is a normative law, with secondary data as the main data. Research conducted focused on the Constitutional Court ruling No. 25/ PUU-XIV/2016.
KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM MELAKUKAN FUNGSI PENGAWASAN PADA LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH Juita, Subaidah Ratna; Astanti, Dhian Indah
Law and Justice Vol.2 , No. 2, Oktober 2017
Publisher : Muhammadiyah University Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/laj.v2i2.5547

Abstract

Lembaga keuangan di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu Lembaga Keuangan bank (LKB) , Lembaga Keuangan Bukan bank (LKBB) dan Lembaga Pembiayaan. Secara teoritis teknis, sebenarnya islam tidak membedakan antara LKBB, LKB dan Lembaga Pembiayaan. Sistem perbankan konvensional yang telah ada sebelumnya menjadi semakin lengkap dengan diintrodusirnya sistem perbankan syariah sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan semua elemen masyarakat akan jasa perbankan tanpa perlu lagi mengenai boleh atau tidaknya memakai jasa perbankan terutama jika ditinjau dari kacamata agama. Permasalahan yang akan diteliti meliputi fungsi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap lembaga perbankan syariah dan bentuk perlindungan hukum bagi nasabah perbankan syariah oleh OJK. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif, spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis, jenis data yang digunakan adalah data skunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier kemudian dianalis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1)huruf (a) menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan                          microprudential. BI tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential.
MENYOROT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 25/PUU-XIV/2016 TERKAIT UNSUR “DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN ATAU PEREKONOMIAN NEGARA” DALAM PERKARA KORUPSI Aryaputra, Muhammad Iftar; Heryanti, B. Rini; Astanti, Dhian Indah
IJCLS (Indonesian Journal of Criminal Law Studies) Vol 2, No 1 (2017): Mei 2017 Indonesian Journal of Criminal Law Studies
Publisher : Universitas Negeri Semarang (UNNES)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/ijcls.v2i1.10812

Abstract

Salah satu unsur delik (delik bestadell) yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah “dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Dengan demikian, harus dimaknai bahwa kerugian negara dalam kedua pasal aquo bisa nyata (actual loss) maupun baru sebatas potensi (potential loss). Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, unsur kerugian negara dalam kedua pasal aquo harus berupa kerugian yang nyata (actual loss). Hal ini disebabkan Mahkamah Konstitusi menilai bahwa kata “dapat” dalam kedua pasal aquo bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (inkonstitusional) dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Permasalahan dalam penelitian, yaitu: (1) Bagaimana kedudukan unsur (bestandeel) kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi sebelum dan setelah keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016?; (2) Bagaimana prosedur penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pasca keluarnya Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016? Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, dengan data sekunder sebagai data utama. Penelitian yang dilakukan terfokus pada Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016. One of the elements of the offense contained in Article 2 verse (1) and Article 3 of Law No. 31 of 1999 on Corruption Eradication is "can be detrimental to the finances or the economy of the country". Thus, it should be understood that the loss to the state in both passages quo It can be actual loss or potential losses. Post-discharge Constitutional Court Decision No. 25 / PUU-XIV / 2016, the state loss in both passages quo should be a real loss (actual loss). This is due to the Constitutional Court considered that the word "may" in the second chapter NRI quo contrary to the Constitution of 1945 (unconstitutional) and does not have binding legal force. The research problem, namely: (1) The position of the element losses to the state in a corruption case before and after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV/2016?; (2) How does law procedure enforcement against corruption after the release of Constitutional Court Decision No. 25/PUU-XIV / 2016? This research is a normative law, with secondary data as the main data. Research conducted focused on the Constitutional Court ruling No. 25/ PUU-XIV/2016. 
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dhian Indah Astanti; B. Rini Heryanti; Subaidah Ratna Juita
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.64 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.94

Abstract

Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain berupa prinsip bagi hasil.Melihat perkembangan bank syariah selama ini, prinsip syariah yang menjadi landasan utama bank syariah dalam menjalankan tugasnya belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal terutama dalam hal apabila terjadi sengketa antara para pihak, bank syariah dan nasabahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah serta prinsip penanganan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penelitian hukum yang diguankan yuridis sosiologis dengan analisis secara kualitatif dan diidentifi kasi serta dilakukan kategorisasi. Kesimpulan bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sejak tanggal 30 Maret 2006 telah memberikan payung hukum bagi penerapan Ekonomi Syariah di Indonesia dan sengketa bidang perbankan syariah menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama, penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara yaitu litigasi dan non litigasi disamping itu lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih mempertegas mekanisme penyelesaian sengketa antara pihak bank dengan nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) bahwa penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dhian Indah Astanti; B. Rini Heryanti; Subaidah Ratna Juita
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.94

Abstract

Prinsip perbankan syariah merupakan bagian dari ajaran islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain berupa prinsip bagi hasil.Melihat perkembangan bank syariah selama ini, prinsip syariah yang menjadi landasan utama bank syariah dalam menjalankan tugasnya belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal terutama dalam hal apabila terjadi sengketa antara para pihak, bank syariah dan nasabahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kewenangan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah serta prinsip penanganan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penelitian hukum yang diguankan yuridis sosiologis dengan analisis secara kualitatif dan diidentifi kasi serta dilakukan kategorisasi. Kesimpulan bahwa lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sejak tanggal 30 Maret 2006 telah memberikan payung hukum bagi penerapan Ekonomi Syariah di Indonesia dan sengketa bidang perbankan syariah menjadi kewenangan lingkungan peradilan agama, penyelesaian sengketa terkait kegiatan ekonomi perbankan syariah diselesaikan dengan dua cara yaitu litigasi dan non litigasi disamping itu lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah lebih mempertegas mekanisme penyelesaian sengketa antara pihak bank dengan nasabah sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1), (2) dan (3) bahwa penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DALAM MELAKUKAN FUNGSI PENGAWASAN PADA LEMBAGA PERBANKAN SYARIAH Subaidah Ratna Juita; Dhian Indah Astanti
Law and Justice Vol.2 , No. 2, Oktober 2017
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/laj.v2i2.5547

Abstract

Lembaga keuangan di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu Lembaga Keuangan bank (LKB) , Lembaga Keuangan Bukan bank (LKBB) dan Lembaga Pembiayaan. Secara teoritis teknis, sebenarnya islam tidak membedakan antara LKBB, LKB dan Lembaga Pembiayaan. Sistem perbankan konvensional yang telah ada sebelumnya menjadi semakin lengkap dengan diintrodusirnya sistem perbankan syariah sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan semua elemen masyarakat akan jasa perbankan tanpa perlu lagi mengenai boleh atau tidaknya memakai jasa perbankan terutama jika ditinjau dari kacamata agama. Permasalahan yang akan diteliti meliputi fungsi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap lembaga perbankan syariah dan bentuk perlindungan hukum bagi nasabah perbankan syariah oleh OJK. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan yuridis normatif, spesifikasi penelitian adalah deskriptif analitis, jenis data yang digunakan adalah data skunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier kemudian dianalis secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1)huruf (a) menegaskan bahwa tugas Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi bank yang dialihkan ke OJK adalah tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan                          microprudential. BI tetap memiliki tugas pengaturan perbankan terkait macroprudential.
KONSEKUENSI HUKUM BAGI SUAMI YANG MELAKSANAKAN POLIGAMI YANG MELANGGAR ATURAN HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM Dian Septiandani; Dhian Indah Astanti
JURNAL USM LAW REVIEW Vol 4, No 2 (2021): NOVEMBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v4i2.4314

Abstract

 Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsekuensi hukum bagi suami yang melaksanakan poligami yang melanggar aturan hukum positif Indonesia dan hukum Islam. Pada prinsipnya, hukum perkawinan di Indonesia berasaskan monogami. Akan tetapi perkawinan poligami dalam Islam tidak dilarang dan diakomodir oleh pemerintah dalam Undang-Undang Perkawinan. Dalam Islam diperbolehkan seorang suami melakukan poligami dan tidak menentukan persyaratan apapun secara tegas, kecuali hanya memberikan syarat kepada suami untuk berlaku adil, sedangkan dalam UU Perkawinan seorang suami yang ingin poligami harus memenuhi syarat alternatif dan syarat komulatif yang telah diatur oleh undang-undang. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini menjadi sangat penting untuk dilakukan guna menemukan konsekuensi hukum bagi suami yang melaksanakan poligami yang melanggar aturan hukum positif Indonesia dan hukum Islam. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila ditinjau dari hukum positif, konsekuensi seorang suami yang melaksanakan poligami yang melanggar aturan hukum yakni perkawinan dianggap batal demi hukum sehingga perkawinan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum, istri pertama dapat membatalkan perkawinan, serta suami dapat dijatuhi pidana. Sedangkan dalam hukum islam, hukumnya haram apabila suami yang berpoligami tidak berlaku adil serta melebihi dari empat istri.
PENINGKATAN PEMAHAMAN SISWA SMA NEGERI I BOJA MENGENAI SANKSI HUKUM PELANGGARAN LALU LINTAS YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR Tri Mulyani; Efi Yulistyowati; Dhian Indah Astanti
KADARKUM: Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 1, No 1 (2020): Juni
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/kdrkm.v1i1.2408

Abstract

Berdasarkan UU  Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hal-hal yang harus diperhatikan dalm berkendara adalah menghormati pesepeda dan pejalan kaki, tidak boleh menaikan motor ke trotoar, harus berkonsentrasi dalam berkendara, mengetahui hak pejalan kaki, kalau mau berbelok, berbalik arah wajib menyalakan lampu isyarat, memasang plat nomer, mengenakan helm dan wajib memiliki SIM. Bagi anak di bawah umur sulit memenuhi aturan tersebut terutama dalam hal kepemilikan SIM, karena mencari SIM harus 17 tahun. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kelabilan anak sehingga sering menyebabkan kecelakaan. Berdasarkan data dari Korlantas Polri pada periode trimester ketiga 2015 terjadi pelanggaran sebanyak 28.544 kasus, sebagian besar dilakukan oleh anak di bawah umur. Anak di bawah umur berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, dapat dikenai pertanggunjawaban pidana. Bagi anak berusia 12 hingga 14 dikenai sanksi tindakan dan usia 14 ke atas dikenai sanksi ½ hukuman orang dewasa. Berdasarkan fenomena ini, Tim Pengabdian Kepada Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Semarang perlu melakukan sosialisasi dengan mengangkat permasalahan tentang peningkatan pemahaman terhadap Siswa SMA Negeri 1 Boja mengenai sanksi hukum pelanggaran lalu lintas oleh anak di bawah umur. Pengabdian ini dilakukan dengan cara ceramah dan Tanya jawab secara langsung dan evaluasi dengan penyebaran kuesioner sebelum dan sesudah kegiatan dilaksanakan.  Hasil dari pengabdian kepada masyarakat yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemahaman pemahaman Siswa SMA Negeri 1 Boja  mengenai sanksi hukum pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di bawah umur, menunjukkan adanya peningkatan 21,6%, itu artinya bahwa terdapat respon yang positif dari para siswa mengenai pentingnya peningkatan  pemahaman mengenai sanksi hukum pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh anak di bawah umur.