Andreas Pramudianto, Andreas
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

RELATIONSHIP BETWEEN SUSTAINABLE OUTER SPACE LAW AND THE USE OF SATELLITE TECHNOLOGY IN HANDLING MARINE PLASTIC DEBRIS Pramudianto, Andreas
Journal of Environmental Science and Sustainable Development
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Since the discovery of plastic material, which ends up as plastic waste after use and partly enters the sea, it has become a global problem that needs serious treatment. No international agreement exists about handling marine plastic debris. By contrast, national laws have been created to plastic bags and plastic debris. Currently, the existing legal instruments, especially in outer space law, are still traditional and inadequate. A sustainable new paradigm in outer space law is needed, such as the use of satellite technology, such as the COSMOS satellite by RKA Recosmos, for global environmental issues, including the ozone layer, climate change, biodiversity handling of hazardous and toxic waste, and rubbish, including marine plastic. Satellite technology is needed, especially in providing data and information and in observing the movement of plastic waste in the sea. International cooperation is needed to ensure complete and accurate data and information about the spread of marine plastic debris. This study aims to identify and analyze the role of sustainable outer space law in the handling of marine plastic debris using outer space technology such as satellites. The main research is study relations between law of the sea and outer space law. The methodology of this research uses normative legal research. The analysis of this research uses normative and juridical analysis methods. This research show that satellite technology is seldom to use in the study’s marine debris moreover in the international law perspective. Preliminary results show that a sustainable outer space law requires all parties to cooperate and handle marine pollution.
Peradilan Internasional dan Diplomasi dalam Sengketa Lingkungan Hidup Maritim Pramudianto, Andreas
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol 4, No 1 (2017): September
Publisher : Indonesian Center for Environmental Law

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.062 KB) | DOI: 10.38011/jhli.v4i1.52

Abstract

Sengketa maritim terkait lingkungan hidup yang selama ini disidangkan dan diputuskan di beberapa peradilan internasional seperti Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), Studi ini mencoba untuk mendeskripsikan kasus lingkungan hidup maritim melalui jalur diplomasi dan peradilan internasional sehingga mampu memberikan hasil yang bermanfaat bagi pengembangan hukum dan hubungan internasional. Kesimpulan menunjukan bahwa diplomasi dan putusan peradilan internasional telah memberikan dasar dan petunjuk hukum bagi negara-negara dan aktor bukan negara dalam hubungan internasional.
Dari Kyoto Protocol 1997 Ke Paris Agreement 2015 : Dinamika Diplomasi Perubahan Iklim Global Dan Asean Menuju 2020 Pramudianto, Andreas
Global: Jurnal Politik Internasional Vol. 18, No. 1
Publisher : UI Scholars Hub

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Setelah kegagalan di Copenhagen, Denmark pada Conference of the Parties (COP) ke-15 UNFCCC tahun 2009 yang hanya menghasilkan dokumen yang tidak mengikat secara hukum (non legally binding) yaitu Copenhagen Accord, banyak negara serta pihak lainnya merasa pesimis mengenai kepastian masa depan perundingan rezim perubahan iklim. Periode Komitmen ke-II Protokol Kyoto 1997 yang sudah akan berakhir di tahun 2018, membutuhkan kepastian untuk keberlanjutannya. Sementara itu Russia, Jepang dan Kanada sudah menegaskan untuk tidak berpartisipasi dalam Periode Komitemen ke-II. Namun suramnya perundingan rezim perubahan iklim tidak berlangsung lama. Periode Komitmen ke-II Protokol Kyoto 1997 diperpanjang hingga 2020. Sementara itu pengganti protokol ini sudah diadopsi pada COP ke-21 UNFCCC tahun 2015 di Paris, Perancis melalui Paris Agreement 2015 yang akan ditandatangi mulai tahun 2016 hingga 2017. Kini masa depan perundingan perubahan iklim menjadi jelas arahnya dengan dipersiapkannya modalitas, prosedur serta aturan lainnya oleh Ad Hoc Working Group on Paris Agreement (APA) yang akan dioperasionalkan dari tahun 2020 hingga 2030. Dalam menghadapi tahun 2020, diperlukan kesiapan negara-negara anggota UNFCCC dan pihak lainnya termasuk ASEAN. Perubahan keorganisasian ASEAN saat ini diharapkan akan menjadikan peluang untuk lebih berperan aktif dalam menentukan arah masa depan perundingan rezim perubahan iklim di masa mendatang.