Rifai, Bahtiar
Universitas Muhammdaiyah Surakarta

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

ANALISIS INDUSTRIROKOK KRETEK DI INDONESIA TAHUN 1976 - 2001 Santosa, Purbayu Budi; Rifai, Bahtiar
Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan Pembangunan Vol 6, No 2 (2005) : JEP Desember 2005
Publisher : Universitas Muhammdaiyah Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23917/jep.v6i2.4003

Abstract

This research found that there is a positive significant relationship between concentration ratio and performance in cigarette industry but there is a negative no significant relationship between advertising behavioral and performance. These findings rather different to common SCP theory, especially in advertising behavioral and performance. The rationale behind these findings is advertising behavioral was not used as a product differentiation strategy or as a barrier to entry but as to increase concentration ratio. Anticigarette campaign in live style advertising supports this rationale. Another finding was a negative significant relationship between capital and performance. This finding completed labor-performance relationship argument with capital-performance relationship. However, the negative sign implicitly supported labor-intensive argument.
Implementasi Kerja Sama Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur Sektor Air Minum di Indonesia Rifai, Bahtiar
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No 2 (2014)
Publisher : Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (29.168 KB) | DOI: 10.14203/JEP.22.2.2014.165-181

Abstract

Public Private Partnership (PPP) atau Kerja sama Pemerintah Swasta (KPS) telah banyak diimplementasikan untuk mendukung penyediaan infrastruktur. Banyak negara mengaplikasan KPS dengan beberapa pertimbangan mulai dari akibat keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah hingga dipandangnya pihak swasta lebih profesional dalam penglolaan infrastruktur. Air minum sebagai salah satu infrastruktur dasar mendukung langsung pembangunan justru memiliki keterlibatan pihak swasta dibandingkan sektor yang lain. Hal ini disebabakan air minum dipandang sebagai sektor yang harus lebih banyak manfaat sosialnya sehingga dibangun dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Realitasnya, masih banyak Perusahaan Air Minum (PAM) yang beroperasidalam kondisi non profitable dan menghadapi berbagai kendala untuk meningkatkan kinerja bisnisnya.  Artikel ini berbasis pada penelitian lapangan di tahun 2013 yang dilakukan di tiga provinsi, seperti Jawa Timur, Banten dan Jakarta. Dengan menggunakan data primer dan sekunde, artikel ini berusaha menganalisa pelaksanaan KPS infrastruktur air minum khususnya mengenai karakteristik, pencapaian, permasalahan dan tantangan KPS. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap institusi kunci dan dengan melakukan diskusi kelompok  terfokus  (Focus  Group  Discussion)  yang  merepresentasikan  pemangku  kepentingan  terkait.  Melalui pendekatan  ekonomi  pembangunan,  ekonomi  publik  dan  ekonomi  kelembagaan,  hasil  studi  dijelaskan  dengananalisa deskriptif kualitatif. Hasil analisa menunjukkan bahwa KPS Air Minum di Indonesia diimplementasikan dalam beberapa model. KPS terpanjang masa konsesinya berada di Jakarta yang merupakan kerja sama antara PAM JAYA (Jakarta Raya)dengan investor Singapura (PT AETRA) dan Perancis (PT Lyonnaise Jaya). Sangat disayangkan keterlibatan pihakswasta dalam penyediaan air minum di Jakarta belum mampu meningkatkan peforma secara signifikan terhadappelayanan maupun kinerja perusahaan akibat lemahya pengelolaan maupun posisi tawar PT PAM Jaya dalam kontrak kerja sama. Tangerang merupakan salah satu model yang cukup ideal dalam penyediaan infrastruktur air minum, meskipun belum sepenuhnya KPS, yang mana cenderung murni investasi pihak swasta. Proyek investasi KPS air minum terbesar akan dibangun di Propinsi Jawa Timur yang hingga saat ini belum terbangung akibat terkendalapermasalahan administrasi dan kelembagaan.
KENDALA IMPLEMENTASI PPP KELISTRIKAN DAN KEBUTUHAN PERBAIKAN KEBIJAKAN Rifai, Bahtiar
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 24, No 1 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (29.168 KB) | DOI: 10.14203/JEP.24.1.2016.51-66

Abstract

Keterbatasan ketersediaan sektor kelistrikan dan anggaran pemerintah dalam memenuhi kebutuhan untuk mendukung pembangunan telah mendorong inisiasi pelibatan swasta dalam menyediakan sektor ini. Partisipasi swasta melalui Independent Power Producer (IPP) sebagai mitra dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah dikembangkan sejak tahun 1990an, dan bertransformasi menjadi PPP (Public Private Partnership atau dikenal dengan KPS) untuk mengurangi terpaparnya resiko bisnis langsung kepada Pemerintah. Akan tetapi target Pemerintah membangun power plant PPP (2.000 MW) dalam bagian rencana 20.000 MW belum juga terealisasi sejak tahun 2011. Artikel ini berbasis pada penelitian lapangan di tahun 2012 yang dilakukan di dua provinsi, seperti DKI Jakarta dan Jawa Tengah (sebagai lokasi power plant). Dengan menggunakan data primer dan sekunder, artikel ini menganalisa pelaksanaan PPP kelistrikan khususnya mengenai hambatan dan permasalahan realisasi PPP dan kebutuhan perbaikan kebijakannya. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap institusi kunci dan dilanjutkan diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion) yang merepresentasikan pemangku kepentingan terkait. Melalui pendekatan ekonomi pembangunan, ekonomi publik dan ekonomi kelembagaan, hasil studi dijelaskan dengan analisa deskriptif kualitatif. Hasil analisa menunjukkan bahwa kendala implementasi PPP melalui PLTU 2.000 MW disebabkan oleh kendala teknis seperti: kompleksitas prosedur dan birokrasi di tingkat pusat dan daerah, penolakan masyarakat, isu pembebasan lahan, berkembangnya spekulan tanah, tarik menarik kekuatan politik daerah untuk menentukan lokasi power plant, serta lemahnya proses AMDAL. Sementara permasalahan non teknis yang menghambat adalah perbedaan presepsi antar pemangku kepentingan dalam merealisasikan PPP,prioritas pembiayaan infrastruktur bersumber APBN dan PPP, kentalnya politik ekonomi yang berkembang di daerah, dan sulitnya menjaga komitmen swasta. Pilihan perbaikan kebijakan untuk mendorong PPP dapat dilakukan dengan: pembentukan tim pembebasan lahan yang melibatkan akademisi diikuti dengan indeks jual lahan untuk infrastruktur, penguatan kapasitas PPP Centre beserta pemangku kepentingan yang lain mengenai PPP, harmonisasi peraturan perudangan, penguatan hubungan Pusat-Daerah serta penyusunan dokumen kontrak secara matang.