Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena diglosia dalam masyarakat Tasikmalaya dengan fokus pada penggunaan bahasa baku dan non-baku. Penelitian ini mengkaji bagaimana pemilihan ragam bahasa dalam berbagai konteks komunikasi memengaruhi struktur sosial dan identitas linguistik. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, dengan teknik pengamatan tuturan langsung di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilihan bahasa baku atau non- baku oleh masyarakat Tasikmalaya tidak hanya dipengaruhi oleh konteks formal atau informal, tetapi juga oleh faktor-faktor sosial seperti usia, pendidikan, dan status sosial. Misalnya, saat berbicara di situasi formal dengan struktur sosial pendidikan, maka penutur akan menggunakan ragam tinggi. Namun, tak jarang juga penutur menggunakan ragam rendah saat berbicara pada presentasi di kampus karena merasa audiens-nya memiliki struktur sosial yang sama, yaitu dari segi usia dan identitas linguistik. Identitas linguistik, yang terbentuk dari interaksi sosial ini, berperan penting dalam dinamika diglosia yang terjadi.