Claim Missing Document
Check
Articles

Found 20 Documents
Search

Anestesia pada Tindakan Dekompresi Foramen Magnum pada Pasien dengan Malformasi Arnold Chiari Umar, Nazaruddin; Prabowo, Haryo; Hamdi, Tasrif
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v2i2.163

Abstract

Malformasi Arnold Chiari tipe 1 adalah pergeseran tonsil serebellum kearah kaudal kanalis spinalis tulang belakang servikal melalui foramen magnum. Siringomielia adalah gangguan degeneratif progresif yang ditandai dengan amiotropi brakhial dan kehilangan fungsi sensorik dan secara patologi dengan kavitasi bagian sentral dari medula spinalis, siringomielia pada malformasi Chiari terjadi antara level servikalis 4–6. Seorang laki-laki usia 29 tahun datang dengan riwayat nyeri tumpul di kedua lengan atas. Dalam perjalanannya setelah 2 tahun terjadi atropi thenar dan hipothenar dan kehilangan kemampuan motorik pada kedua lengan atas. Pemeriksaan neurologis menunjukkan gangguan sensorik pada lengan kanan dan lengan kiri. Pencitraan MRI menunjukkan herniasi tonsil ke foramen magnum dan siringomielia dari medula oblongata ke level T4. Laporan kasus ini adalah kasus langka seorang laki-laki dengan malformasi Arnold Chiari tipe 1 dengan manifestasi lambat dan siringomielia yang sukses menjalani prosedur operasi dekompresi foramen magnum dengan teknik anestesi umum. Anesthesia for Foramen Magnum Decompression in Patient with Arnold Chiari Malformation AbstractThe Arnold Chiari malformation type I (Chiari malformation) is a caudal displacement of the cerebellar tonsils into the cervical spinal canal through the foramen magnum. Syringomyelia is a chronic progressive degenerative disorder characterized clinically by brachial amyotrophy and segmental sensory loss of dissociated type, and pathologicaly by cavitation of the central parts of the spinal cord, syringomyelia is often associated with Chiari Malformation type I and is commonly seen between the C-4 and C-6 levels. A 29-year-male had experienced a history of dull pain in her both arm for 2 years. Additionally, after two years hipothenar and thenar muscle became atropi and the patient lossing his upper extremity motorik ability. The neurological examination revealed sensory disturbances in his right arm,and left arm. MRI showed cerebellar tonsillar herniation into the foramen magnum and syringomyelia from the medulla oblongata to the T4 level. This report is a very rare case of an middle age male with late-onset Arnold Chiari malformation type I and syringomyelia that was successfully undergo foramen magnum decompression under general anesthesia.
Penatalaksanaan Cedera Otak pada Anak AR, Muhammad; Umar, Nazaruddin; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v1i3.178

Abstract

Trauma kepala (TBI) pada anak merupakan suatu problem khusus dalam neuroanestesi. Terdapat perbedaan anatomi, fisiologi dan fisikososial, disamping otak anak yang sedang mengalami perkembangan/pertumbuhan. Bila terjadi trauma akan menyebabkan angka mortalitas dan morbilitas serta angka kecatatan yang lebih tinggi, yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak. Patah tulang kepala, perdarahan epidural, subdural dan intracerebral, edema otak akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan berefek pada organ-organ lain. Seorang anak laki-laki, 4 tahun 10 bulan, datang ke RS dengan mengalami penurunan kesadaran setelah terjatuh dari kendaraan karena kecelakaan lalu lintas. Datang ke rumah sakit lebih kurang 6 jam setelah kecelakaan, sebelumnya dirawat di rumah sakit terdekat. Pada pemeriksaan didapat GCS 10, pupil isokor 2/2mm, reflek cahaya +/+, hemodinamik dalam batas normal, anemia (+). Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan didiagnosa kerusakan otak karena trauma (GCS 10) + didapatkan fraktur terbuka tulang frontoparietal kanan + fraktur tulang frontal kiri kontusio hemorrhagik + anemia. Dilakukan operasi debridemen dan koreksi fragmen tulang yang patah dengan bantuan anestesi umum. Pascabedah pasien di rawat di ICU dengan kesadaran meningkat, keadaan membaik. Kemudian pasien di pulangkan setelah 15 hari perawatan. Penanganan anestesi pada trauma kepala anak mempunyai problem khusus yang berbeda dengan dewasa, maka perlu pemahaman tentang anatomi, fisiologi dan psikologi yang baik dalam persiapan dan penatalaksanaan yang khusus sehingga dapat mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit-penyulit post operasi. Management of Brain Trauma in Children AbstractHead trauma (TBI) in children is a particular problem in neuroanestesi. There are differences in anatomy, physiology and psychosocial, as well as children who are experiencing brain development / growth. In the event of trauma will cause mortality and morbidity and a higher rate, which is very influential in the development of children. Skull fracture, epidural hemorrhage, subdural and intracerebral, brain edema may lead to an effect on growth and other organ. A boy, 4 years 10 months, admitted to hospital with the experience a decrease in consciousness after falling from a vehicle due to traffic accidents. Come to the hospital approximately 6 hours after the accident, previously treated in nearly hospitals. On examination 10 obtained GCS, pupillary light reflex isocoor 2/2mm + / +, hemodynamics in the normal range, anemia (+). After a physical examination and was diagnosed with an additional examination brain damage due to trauma (GCS 10) + obtained frontoparietal bone fracture open fracture of the right frontal bone fracture + left + contusio hemorrhagic + anemia. Surgical debridement and correction of the broken bone fragments under general anesthesia. Post surgery patients cared for in ICUs with increased awareness, things got better. Then the patient at discharge after 15 days. Anesthesia management in head trauma the child has special problems that are different from adults. It is necessary to an understanding of the anatomy, physiology and psychology are both in preparation and stylists specifically so as to prevent or reduce the likelihood of postsurgery complications.
Trombosis Vena Otak Marwan, Kenanga; Jasa, Zafrullah Kany; Umar, Nazaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v7i2.9

Abstract

Trombosis vena otak (TVO) adalah trombosis pada vena otak dan sinus mayor duramater. Faktor resiko terjadinya TVO meliputi faktor genetik trombofilia dan penggunaan kontrasepsi hormonal. Manifestasi klinis TVO sangat bervariasi. Timbulnya gejala dan tanda bersifat akut, subakut, atau  kronis. Empat sindrom  utama yang muncul: hipertensi intrakranial terisolasi, kelainan neurologis fokal, kejang, dan ensefalopati. Sindrom ini dapat muncul dalam kombinasi atau terisolasi tergantung pada luas dan lokasi TVO. Tatalaksana fase akut dari TVO berfokus pada antikoagulan, manajemen dari sekuele seperti kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark vena.2 Penyebab utama kematian pasien TVO selama fase akut adalah herniasi transtentorial yang kebanyakan disebabkan karena perdarahan vena. Mayoritas pasien mengalami penyembuhan parsial dan sekitar 10% mengalami defisit neurologis permanen hingga 12 pasien terjadi pada bulan ketiga) dan akan terbatas setelahnya. Rekurensi dari TVO termasuk jarang (2,8%).Cerebral Venous ThrombosisCerebral venous thrombosis is a condition of thrombosis in cerebral veins and major sinus duramater. Risk factor of cerebral venous thrombosis include genetic factor like thrombophylia and hormonal contraception. There are variations in clinical manifestation of cerebral venous thrombosis. The sign and symptom could be divided into acute, subacute or chronic onset. There are 4 syndroms of clinical manifestations of cerebral venous thrombosis: isolated intracranial hypertension, focal neurologic deficits, seizure, and encephalopathy. The focus of treatment in cerebral venous thrombosis is anticoagulant therapy, sequele of seizure, to treat intracranial hypertension and venous infract. The main cause of death patient with acute onset cerebral venous thrombosis is transtentorial herniation due to venous bleeding. Partial recovery happens in mostly patient with cerebral venous thrombosis anda about 10% had permanent neurologic deficits untill 12 moths. Recanalisation occurs in the first month after cerebral venous thrmbosis (84% patient in the third month) and limited after that. Cerebral venous thrombosis recurrency is rare (2,8%).
Perdarahan Epidural Spontan Akut pada Kombinasi Terapi Rivaroxaban, Clopidogrel dan Lumbrokinase Irina, Sinta; Umar, Nazaruddin; Arifin, Hasanul; Rehatta, Nancy Margareta; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v5i2.69

Abstract

Perdarahan intrakranial spontan pada terapi antikoagulan rivaroxaban mulai sering ditemukan, apalagi bila dikombinasi dengan antiplatelet clopidogrel maupun fibrinolitik lumbrokinase merupakan hal yang sering ditemukan pada penderita trombosis. Perdarahan intrakranial spontan terbanyak adalah perdarahan intracerebral. Perdarahan spontan epidural (EDH) akut merupakan hal yang jarang ditemukan, biasanya terjadi karena ada penyakit yang mendasarinya. Penatalaksanaan pada kasus ini berdasarkan patofisiologinya dan melibatkan multidisiplin ilmu lainnya. Seorang laki-laki, 26 tahun berat badan 80 kg yang didiagnosa deep vein thrombosis (DVT) mengalami penurunan kesadaran mendadak, pupil anisokor 4 mm/1mm ketika sedang beraktivitas. Tidak dijumpai riwayat cedera kepala. Setelah diresusitasi didapatkan hasil head CT-scan dengan EDH temporoparietal dextra 50 cc, dilakukan dekompresi craniektomi dan evakuasi EDH. Setelah 10 jam pasca operasi terjadi gejolak hemodinamik dan dilakukan head CT-scan ulang dan didapatkan EDH 80 cc dan minimal perdarahan intracerebral. Dilakukan redo craniektomi. Pasca operasi dirawat di ICU dengan koreksi faktor koagulasi. Pasien kembali komposmentis GCS 15 dengan gejala sisa hemiparese sinistra sementara.Acute Spontaneus Epidural Hemorrhage due to Combination Therapy Rivaroxaban, Clopidogrel and LumbrokinaseSpontaneous intracranial hemorrhage on anticoagulant therapy rivaroxaban lately often found, especially when combined with clopidogrel antiplatelet or fibrinolytic lumbrokinase is often found in patients with thrombosis. Spontaneous intracranial hemorrhage is most widely occured is intracerebral hemmorrhage. Spontaneous epidural hemorrhage (EDH) acute is a uncommon, usually occur because there is an underlying disease. Treatment on the case based on patophysiology and involves a multidisciplinary peer other sciences. A young man, 26 years old weight 80 kg which was diagnosed with deep vein thrombosis (DVT) awareness of sudden decline, the pupil anisokor 4 mm/1mm while activity. No head trauma history. After resuscitation, head Ct-scan with EDH temporoparietal dextra 50 cc, carried out the evacuation EDH and decompression craniektomi. After 10 hours of post-operative haemodynamic turmoil happened and done a head ct-scan and obtained EDH 80 cc and minimal intracerebral hemorrhage. Do redo craniektomi. Post-operative hospitalized in ICU with correction factor for coagulation. The patient recovers conciousness into composmentis GCS 15 with sequelae hemiparese sinistra temporary.
Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak Laksono, Buyung Hartiyo; Umar, Nazaruddin; Rasman, Marsudi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perdarahan subarachnoid (SAH) yang diakibatkan oleh pecahnya aneurisma otak menyumbang sekitar 85% dari kejadian SAH non traumatik. Insidensi sekitar 8–10 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar (0,008%). Rangkaian tatalaksana kasus SAH mempengaruhi outcome dari hasil terapi, mulai dari pertolongan pertama pada prehospital, transportasi, diagnosis awal, manajemen kegawatdaruratan dini, tindakan neuroradiologi intervensi ataupun pembedahan dan perawatan intensif pasca tindakan definitif. Pada laporan kasus ini, pasien wanita usia 65 tahun, berat badan 50 kg dengan diagnosa SAH hari ke 18 karena pecahnya aneurisma arteri serebri media disertai defisit neurologis ringan. Pembedahan dilakukan tindakan kraniotomi direct clipping aneurisma. Prinsip anestesi yang dilakukan adalah pemeliharaan homeostasis dan Cerebral Perfusion Pressure (CPP)/Transmural Pressure (TMP) yang efektif, tindakan pencegahan peningkatan tekanan intrakranial (Intracranial Pressure-ICP), pembengkakan otak dan manajemen vasospasme serebral. Operasi berjalan 6 jam dan dilakukan rapid emergence. Outcome pembedahan sesuai yang diharapkan. Anestesi mempunyai peranan yang sangat penting dalam manajemen secara keseluruhan pada pasien ini untuk memberikan manajemen proteksi otak yang maksimal selama pembedahan sehingga memperoleh hasil akhir pembedahan yang sukses. Anesthetic Management in Direct Clipping Cerebral AneurysmaSubarachnoid hemorrhage (SAH) caused by rupture of a brain aneurysm accounts for about 85% of the incidence of non-traumatic SAH. The incidence is approximately 8-10 per 100,000 populations per year, or about (0.008%). The management of SAH affects the outcome, ranging from first aid in Prehospital, transportation, early diagnosis, early emergency management, neuroradiology action or surgical interventions and intensive therapy after definitive care. In this case report, a 65 years old female, 50 kgs, diagnosised with SAH day 18 due to middle cerebral artery aneurysm rupture with mild neurological deficits. Craniotomy was performed using direct aneurysm clipping. The anesthesia principle is to maintain adequate homeostasis and effective Cerebral Perfusion Pressure (CPP)/Transmural Pressure (TMP), preventing increase in ICP, brain swelling and management of cerebral vasospasm. The operation was done in 6 hours with rapid emergence. The outcome of surgery was as expected. Anesthesia has a very important role in the overall management of these patients to provide optimal brain protection management during surgery in obtaining successful outcome.
Penatalaksanaan Anestesi dengan TIVA Propofol-Dexmedetomidine-Fentanyl untuk Operasi Meningioma Frontalis Sinistra Mangastuti, Rebecca Sidhapramudita; Wargahadibrata, A. Himendra; Umar, Nazaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 3 (2014)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Meningioma merupakan tumor intrakranial jinak yang sering ditemukan. Berasal dari jaringan meningen dan medulla spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Pada kasus ini, pasien laki-laki, 46 tahun, 80 kg, datang ke rumah sakit dengan keluhan kejang berulang dan sakit kepala yang hilang timbul sejak 5 bulan yang lalu. Kesadaran composmentis, GCS 15, pupil isokor bilateral 2 mm, hemodinamik stabil, jantung dan paru tidak ada kelainan dan tidak ada kelumpuhan atau kelemahan pada ke empat ekstremitas. Magnetic Resonance Imaging (MRI) brain ditemukan masa hipointens yang melekat dengan meningen di frontal kiri ukuran 52x48x43 mm, kesan convexitas meningioma disertai perifokal edema dengan midline shift ke kanan sekitar 7 mm. Disimpulkan meningioma frontal sinistra dan dianjurkan kraniotomi pengangkatan tumor. Operasi dilakukan dengan anestesi umum. Tehnik anestesi menggunakan Total Intra Venous Anesthesia (TIVA) dengan syringe pump. Operasi berlangsung selama 7 jam dan tumor dapat terangkat semua. Jumlah perdarahan 1000 mL. Pasien mendapat 300 ml Fresh Frozen Plasma (FFP) dan 500 ml Packed Red Cell (PRC) intraoperasi. Untuk mengurangi tekanan intrakranial, diberikan manitol 0,5 gram/kgBB dan drainase cairan serebrospinal 10–20 mL langsung ke ventrikel lateral oleh operator. Pascaoperasi, pasien diekstubasi dan rawat diruang ICU. Dengan data five year survival rate untuk meningioma jinak 70%, meningioma ganas 55%, diharapkan prognosis pasien pascaoperasi adalah dubia ad bonam. Management Anesthesia with TIVA Propofol-Dexmedetomidine-Fentanyl for Meningioma Frontalis Sinistra OperationMeningiomas are the most common benign intracranial tumors. These tumors originate from the meninges and spinal cord, not from the brain tissue. A 46 year old 80 kgs male patient, was admited to the hospital with recurrent seizures and intermittent headaches that occured since five months ago. He was fully alert, GCS 15, both pupils were isokor (2 mm), with stable hemodynamic, no parese in all extremities and normal heart and lung. Magnectic Resonance Imaging (MRI) result showed a 52x48x43 mm mass attached to the meninges at the left frontal with perifocal tumour edema and midline shifted to the right about 7 mm. The patients was diagnosed with the left frontal meningioma and suggested for craniotomy tumour removal. The surgery was performed under general anesthesia using. Total Intra Venous Anesthesia (TIVA) with syringe pump. The 7 hours surgery performed uneventfully with total bleeding of 1000 mL and the patient was received 300 mL Fresh Frozen Plasma (FFP) and 500 ml Packed Red Cell (PRC) intraoperatively. To reduce intracranial pressure, a 0.5gr/kg mannitol was and a 10–20 cc of cerebrospinal liquor drainage through the lateral ventricle was performed by the operator. The patient was extubated after the operation and admitted the ICU for futher management. With the five year survival rate of 70% for benign meningioma and 55% for malignant meningiomas, the prognosis of this patient is dubia ad bonam.
Total Intravenous Anesthesia pada Geriatri dengan Meningioma Parietalis Mangastuti, Rebecca Sidhapramudita; Umar, Nazaruddin; Marsudi, Marsudi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Meningioma merupakan tumor intrakranial jinak yang sering ditemukan. Tumor ini berasal dari jaringan meningen dan medulla spinalis, tidak tumbuh dari jaringan otak. Gejala klinis baru dirasakan saat terjadi penekanan pada otak atau jaringan yang terdesak oleh tumor. Operasi pengangkatan tumor meningioma merupakan tindakan yang dianjurkan. Penatalaksanaan anestesi bertujuan menghindari terjadinya hipertensi intrakranial dan pembengkakan otak (brain bulging). Pada kasus ini, pasien wanita, usia 71 tahun, berat badan 60 kg, datang ke rumah sakit dengan keluhan tangan dan kaki kanan lemah dan tidak dapat berbicara (aphasia) sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Kesadaran somnolen, E3M6V afasia, pupil isokor bilateral 2 mm, hemodinamik stabil, jantung normal, tuberculosis paru sinistra. Fungsi motorik dan sensorik ekstremitas kanan terganggu. MRI 3T dan MRA 3T Head Contrast didapatkan massa tumor kistik ring enhance 5,8 x 4,6 x 5 cm berisi cairan kental.Tampak pula massa tumor padat dan bercak perdarahan didalamnya ukuran 4,3 x 5,1 x 5 cm mencakup lobus parietal kiri dan lobus occipital kiri disertai perifokal edema disekitarnya. Dari hasil yang ada, disimpulkan pasien menderita meningioma parietalis sinistra dan tindakan yang dianjurkan adalah craniotomi pengangkatan tumor. Operasi dilakukan dengan anestesi umum. Operasi berlangsung selama 6,5 jam  dan tumor dapat terangkat semua. Jumlah perdarahan 2000 ml. Pasien mendapat 300 ml Fresh Frozen Plasma (FFP) dan 500 ml Packed Red Cell (PRC) intraoperasi. Untuk mengurangi tekanan intrakranial, digunakan total intra venous anesthesia (TIVA) dengan syringe pump dan diberikan manitol 0,5 gram/kgBB.  Pascaoperasi, pasien tidak diekstubasi dan rawat diruang ICU. Five year survival rate untuk menigioma jinak 70%, meningioma ganas 55%. Total Intravenous Anesthesia for Elderly with Meningioma Parietalis SinistraIntracranial meningiomas are benign tumors that are often found. These tumors originate from the meninges and spinal cord tissue, brain tissue does not grow out of. Clinical symptoms felt during a new emphasis on the brain or tumor tissue driven by. Surgical removal of the meningiomas tumor is a recommended actions. Management of anesthesia aims to avoid the occurrence of intracranial hyperternsion and brain bulging. In this case, female, 71 years, weight 60 kg, came to the hospital with complaints of arm and right leg is weak and unable to speak (aphasia) since 2 months before admission. Somnolence, E3M6V aphasia, pupil isocor 2 mm, hemodynamic stable, normal heart, the left pulmonary had tuberculosis. Motor function and sensory impaired right limb. MRI 3T and MRA head contrast found cystic tumor mass 5,8 x 4,6 x 5 cm and solid tumor mass measures 4,3 x 5,1 x 5 cm. From the result, it was consluded the patients suffering from the left parietal meningioma and recommended actions are craniotomy removal of the tumor. The operation if perfomed under general anesthesia. The operation lasted for 7 hours and the tumor can be taken out. The amount of bleeding 2000 ml. Patients received 300 ml Fresh Frozen Plasma (FFP) and 500 ml Packed Red Cell (PRC). To reduce intracranial pressure, we used total intra venous anesthesia (TIVA) and given manitol 0,5 gr/kg. Postoperatively, patients had not been extubation and take care in ICU unit. Five year survival rate of 70% for benign meningioma and 55% for malignant meningiomas.  
Gangguan Koagulasi dan Hubungannya dengan Luaran Pascacedera Otak Traumatik Marwan, Kenanga; Umar, Nazaruddin; Saleh, Siti Chasnak; Wargahadibrata, A Himendra
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Gangguan koagulasi umum terjadi pada cedera otak traumatik (COT) dan seringkali memperburuk luaran. Gangguan ini diawali dengan lepasnya faktor jaringan dan trombin secara berlebihan pada bagian otak yang rusak, yang selanjutnya mengaktifkan jalur koagulasi. Gangguan koagulasi pada COT bersifat kompleks dan berupa kombinasi koagulopati dan hiperkoagulabilitas. Hiperkoagulabilitas dikaitkan dengan terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) secara sistemik dan secara lokal dengan terbentuknya mikrotrombi di area penumbra daerah yang mengalami kontusi. Nilai abnormal fungsi koagulasi dapat terjadi karena kerusakan endotel saat cedera langsung dan tidak langsung oleh proses inflamasi, toksin dan iskemia. Koagulopati terjadi akibat turunnya jumlah platelet dan faktor pembekuan akibat kehilangan darah atau karena kosumsi oleh DIC, dan dipercepat dengan dilusi, asidosis dan hipotermi. DIC merupakan prediktor penting luaran COT yang buruk. Coagulation Disorders Post Traumatic Brain Injury Related OutcomeTraumatic disorder of hemocoagulation is common in traumatic brain injury (TBI) and frequently related to poor outcome. It begins with the massive release of thrombin or tissue factor from damage brain cells, following the activation of coagulation pathway. Coagulation disorder in TBI are complex and characterised by combination of coagulopathy and hypercoagulability. A hypercoagulable state may be generalised in the case of disseminated intravascular coagulation (DIC) or local with the development of microthrombi in the penumbra of a contusion. The presence of abnormal coagulation test in traumatic brain injury may be caused by cerebral vascular endothelial damage after direct injury, as well as indirect damage through inflammation, toxins, and ischaemia. Coagulopathy may result from depletion of platelets and clotting factors following blood loss or comsumption due to DIC, and may further be enhanced by dilution, acidosis and hypothermia. DIC is an important predictor of poor outcome in TBI.
Anestesi Untuk Drainase Abses Otak pada Pasien dengan Tetralogy Fallot yang tidak Dikoreksi Prasetya, Raka Jati; Umar, Nazaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kejadian abses otak sangat jarang terjadi tapi sangat berpotensi untuk mengancam jiwa. Yang termasuk faktor predisposisi untuk abses otak termasuk jantung bawaan sianotik, dengan faktor predisposisi sekitar 5 sampai 18,7% pasien dengan PJK didapati abses otak. Abses otak dapat terjadi dikedua hemisfer, dan sekitar 64-76% abses berada di daerah perietal, lobus frontal atau temporal. Kebanyakan abses otak terjadi pada satu lobus, namun 10-27% melibatkan melibatkan lebih dari satu lobus. Sebagian besar penyakit jantung bawaan yang menyebabkan komplikasi di dalam otak termasuk di dalam golongan penyakit jantung bawaan sianotik yang terbanyak adalah Tetralogi of Fallot (TOF) dan transposisi arteri besar. Pada penyakit jantung bawaan sianotik serimg di temukan Sterptococcus, sedangkan bila abses terjadinya pasca kraniotomi sering ditemukan Staphylococcus atau Streptococcus. Dasar pengobatan abses otak adalah mengurangi efek masa dan menghilangkan kuman penyebab. Penatalaksanaan abses otak dapat dibagi menjadi terapi bedah dan terapi konservatif. Untuk menghilangkan penyebab, dilakukan operasi baik aspirasi maupun eksisi dan pemberian antibiotik. Penatalaksanaan anestesi pada pasien ini merupakan gabungan pemahaman tentang patofisiologik TOF dan tehnik neuroanestesi. Tujuan dari manajemen anestesi pada pasien dengan TOF adalah dengan mempertahankan volume intravaskular dan sytemic vascular resistance (SVR). Peningkatan pulmonary vascular resistance (PVR), seperti yang mungkin terjadi akibat asidosis atau tekana di saluran napas yang berlebihan, harus dihindari. Kematian adalah obat induksi yang sering digunakan karena efeknya pada SVR.Anesthesia for Brain Abscess Drainage in Patient with UncorrectedTetralogy of FallotIncidence of barin abscess is a rare but potentilly highly threatening . That included predisposing factors for brain abscess including cyanotic congenital heart disease, with a predisposing factor of about 5 to 18.7% of patients with CHD found a brain abscess. A brain abscess can occur in both hemispheres, And about 64-76% abscess in the parietal, frontal or temporal lobes. Most brain abscesses occur in the lobe, but 10-27% involving  involving more than one lob. Most congenital heart disease cause complications in the brain, including within the category of cyanotic congenital heart disease, the vast majority were tetralogy of fallot (TOF) and transposition of the great arteries. In cyanotic congenital heart disease often found streptococcus, whereas when the post-craniotomy abscesses are often found Staphylococcus or Streptococcus. Primary brain abscess treatment is to reduce the mass effect and eliminate germs. Management of brain abscess therapy can be divided into surgical and conservative teratment. To eliminate the cause, either aspiration or surgical excision and antibiotics. Management of anesthesia in these patients is a combination of undrstanding neuroanesthesia techniques and pathophysiologic TOF. The purpose of the management of anasthesia in patients wuth TOF is to maintain intravascular volume and systemic vascular resistance (SVR). The increase in pulmonary vascular resistance (PVR), as might occur due to acidosis or airway pressure overload, should be avoided. Ketamine is the common drug for induction, because its effect on SVR.
Penggunaan Dexmedetomidin pada Neurotrauma Prihatno, MM Rudi; Lian, Abdul; Umar, Nazaruddin
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 3 (2012)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penggunaan dexmedetomidin dalam neurotrauma masih terpecah antara yang setuju dan tidak setuju. Permasalahan ketidaksetujuan adalah dari sisi penilaian terhadap kesadaran pasien, sedangkan yang menyetujui pemberian dexmedetomidin lebih cenderung digunakan sebagai sedasi dan juga efeknya sebagai protektor otak. Permasalahan tersebut diatas dapat dijadikan pertimbangan oleh ahli anestesi dalam penatalaksanaan neurotrauma dengan tetap mempertimbangkan kondisi fisik dan kesadaran pasien dengan harapan agar keselamatan pasien tetap terjaga dengan baik dan tidak memperburuk kondisi pasien. The Use of Dexmedetomidine on Neurotrauma The use of dexmedetomidine in Neurotrauma still divided between the agree and disagree. Disagreement is the issue of the assessment of patient awareness, while approving the provision of dexmedetomidine were more likely to be used as a sedative and also its effect as a brain protector. The problems mentioned above can be considered by an anesthesiologist in the management of Neurotrauma while considering the physical condition and consciousness of the patient with the expectation that patient safety is maintained properly and not worsen the patient's condition.