Agustina, Zulfa Auliyati
Badan Litbang Kesehatan

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Penggunaan Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai Alternatif Pengganti Sabun dalam Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Suku Baduy Agustina, Zulfa Auliyati; Suharmiyati, NFn; Ipa, Mara
Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Vol 26, No 4 (2016)
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (0.001 KB) | DOI: 10.22435/mpk.v26i4.5179.235-242

Abstract

Baduy is one of ethnic Indonesia’s living on the slope of Kendeng’s mountain, Lebak, Province of Banten.Lebak’s Health Service Data in 2013 noted that Kampung Tangtu in Kanekes village is one of sac Yaws Disease, a tropical neglected disease and difficult to eradicated. Adherence to the indigenous traditions in Baduy Dalam about Clean and Healthy Behavior (PHBS) that do not accept modernization such as toothpaste, soap and shampoo, do not use the footwear are the risk factors to the incidence of Yaws inBaduy. This research was conducted to get an idea of the potential of culture-related health problems,including PHBS. This research used an ethnographic approach. The result showed Baduy’s community particularly Baduy Dalam obedient to the Pikukuh and live in harmony with its natural surroundings. Kecombrang (Etlingera elatior) is a natural product with saponins which produce foam, is a plant that is used by Baduy Dalam to take a bath and brush teeth. Kecombrang grown in the forest and not yet cultivated. Conclude that Clean and Healthy Behavior particulary in bathing habits, Baduy Dalam used natural resource around them. In accordance with pikukuh, Baduy Dalam people’s not allowed to use chemical soap because its violating the indigenous traditions. Kecombrang used by Baduy people’s to take a bath, brush the teeth and washed but not yet used for hand washing. It is recommended that keep conducted intensively and continuously approach to the Baduy Dalam by inserting PHBS’s messages while respecting the local wisdom. In addition, cultivation of kecombrang around Baduy Dalam need tobe considered.Keywords: Baduy Dalam Ethnic, PHBS, Etlingera elatior AbstrakSuku Baduy merupakan salah satu etnis di Indonesia yang tinggal di lereng pegunungan Kendeng,Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Data Dinas Kesehatan Lebak pada tahun 2013 menyebutkan bahwa Kampung Tangtu di Desa Kanekes merupakan salah satu kantung penyakit Frambusia, penyakit tropis yang terabaikan dan masih sulit diberantas. Kepatuhan terhadap pikukuh Etnik Baduy Dalam terkait Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yaitu tidak menerima modernisasi seperti penggunaan pasta gigi, sabun mandi dan cuci, sampo, dan tidak menggunakan alas kaki merupakan faktor risiko terhadap kejadian Frambusia di Baduy. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran potensi budaya masyarakat terkait masalah kesehatan, salah satunya tentang PHBS. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Baduy terutama warga masyarakat Etnik Baduy Dalam memiliki sifat yang memegang teguh pikukuh dan hidup selaras dengan alam sekitarnya. Kecombrang (Etlingera elatior) yang merupakan hasil alam dengan kandungan saponin yang memiliki sifat menghasilkan busa adalah tumbuhan yang digunakan masyarakat Baduy untuk mandi dan gosok gigi. Kecombrang tumbuh dengan sendirinya dihutan dan belum dibudidayakan. Disimpukan bahwa PHBS khususnya kebiasaan mandi, masyarakat menggunakan hasil alam yang ada disekitarnya. Sesuai dengan pikukuh adat, masyarakat Baduy Dalam tidak diperbolehkan menggunakan sabun dari bahan kimia karena hal tersebut melanggar aturan adat. Kecombrang dimanfaatkan oleh masyarakat Baduy untuk mandi, menggosok gigi dan keramas namun belum dimanfaatkan untuk mencuci tangan.Perlu dilakukan pendekatan yang intensif dan secara terus menerus kepada masyarakat Baduy Dalam dengan menyisipkan pesan-pesan PHBS kepada masyarakat namun tetap menghormati budaya yang ada. Selain itu perlu adanya pembudidayaan kecombrang di sekitar kampung Baduy.Kata Kunci: Suku Baduy Dalam, PHBS, Etlingera elatior
MENYAMBUT GENERASI BARU DALAM KONTEKS BUDAYA: METAETNOGRAFI BUDAYA PERSALINAN DI INDONESIA LESTARI, WENY; Agustina, Zulfa Auliyati
Jurnal Masyarakat dan Budaya Vol 20, No 1 (2018)
Publisher : P2KK LIPI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (308.713 KB) | DOI: 10.14203/jmb.v20i1.511

Abstract

Latar Belakang: Angka Kematian Ibu (AKI) tahun 2015 yang mencapai 305 per 100.000 kelahiran hidup masih menjadi pekerjaan rumah yang besar dari tahun ke tahun bagi pembangunan kesehatan di Indonesia. Berbagai program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang telah dilaksanakan dalam beberapa dekade tidak juga menurunkan AKI. Masalah budaya kesehatan menjadi faktor penting dalam berhasil tidaknya suatu program yang telah dicanangkan, dan telah menghabiskan anggaran yang besar. Metode: Kajian ini menggunakan metode metaetnografi untuk membandingkan antara pemaknaan persalinan aman menurut masyarakat dengan persalinan aman menurut pemegang program KIA. Metaetnografi dilakukan pada 22 buku Riset Etnografi Kesehatan yang bertema KIA tahun 2012-2015. Metaetnografi pada 22 etnis dan lokasi hasil Riset Etnografi Kesehatan terbagi menjadi 8 regional kepulauan di Indonesia Hasil: Hasil menunjukkan bahwa faktor sosial budaya masyarakat dan tenaga kesehatan yang berkompeten masih menjadi masalah terkait persalinan aman. Masyarakat memiliki konsep dan nilai sendiri tentang kehamilan, persalinan, penolong persalinan dan tentang nilai anak dalam suatu keluarga. Kesimpulan: Persalinan aman dalam konteks budaya masyarakat adalah bersalin sesuai kenyamanan ibu dan keluarga, serta tidak melanggar nilai-nilai budaya setempat. Ketidakpercayaan masyarakat kepada tenaga kesehatan dikarenakan faktor kurangnya hubungan interpersonal antara tenaga kesehatan dengan masyarakat, faktor senioritas dan tabu memperlihatkan organ intim pada orang lain, serta ketiadaan tenaga kesehatan di wilayah masyarakat karena akses yang terpencil. Saran: Rekayasa sosial (social engineering) dapat dilakukan dalam intervensi kesehatan ibu dan anak berbasis budaya lokal, dengan melibatkan masyarakat dan dukun bayi, serta perlu memberi pelatihan yang berkesinambungan tentang pemahaman lintas budaya, komunikasi budaya, dan perilaku kesehatan masyarakat kepada tenaga kesehatan yang bertugas. Kata Kunci: Kesehatan Ibu dan Anak, Budaya, Persalinan Aman