Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

SJECH M. DJAMIL DJAMBEK PENGKRITIK TAREKAT YANG MODERAT DI MINANGKABAU Tarihoran, Adlan Sanur
Alhurriyah Vol 12, No 2 (2011): Juli - Desember 2011
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.881 KB) | DOI: 10.30983/alhurriyah.v12i2.571

Abstract

Sjech. M. Djamil known as a reformer scholars in various fields including in education, theology and tarekat (Islamic religious order) in Minangkabau. This paper will research Sjech M. Djamil Djambek contact with tarekat and his criticism of the tarekat. Tarekat Syatthariyah and Naqsabandiyah are a growing tarekat early in the Minang area. Then, the tarekats have be criticized by Ulama in Minangkabau. Sjech M. Djamil Djambek learned from tarekat. He also member of tarekat. He is accommodative figure and give constructive critique. His critic is without disregard silaturrahim (personal relationship). His critique is reason without hurt feeling. So, all parties are welcome to Sjeh M Djamil. His style is moderate and quite moderate and step forward to his time.
Mahram for Women Hajj Pilgrims: Analysis of ‘illat and Development of Mahram Meaning Busyro Busyro; Ismail Ismail; Fajrul Wadi; Adlan Sanur Tarihoran; Edi Rosman
Madania: Jurnal Kajian Keislaman Vol 24, No 2 (2020): DECEMBER
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29300/madania.v24i2.2926

Abstract

Discussion of the obligations of mahram for women in carrying out the pilgrimage has been discussed since the period of classical scholars to modern age. In fact, for women the pilgrimage is a means of jihad for them. Various thoughts have been put forward by scholars to interpret the Hadith about mahram, starting from textual understanding, which still requires mahram, to the discovery of ‘illat. This last understanding leads to the conclusion that having mahram is no longer necessary because the security as ‘illat can be realized. It is in this connection that this paper aims to compromise between textual understanding and the study of ‘illat so that it can be a solution for women pilgrims. This study used a descriptive analytical method with ‘illat study approach. The results showed that security for women pilgrims can be realized by using the meaning of mahram in terms of language, namely people who are forbidden to marry each other, so that fellow women is also a mahram. Therefore, their departure together with other women can realize the demands of nash without leaving nash textually.Perbincangan kewajiban mahram bagi perempuan dalam melaksanakan perjalanan haji sudah dibicarakan sejak periode ulama klasik sampai kontemporer. Bahkan, bagi seorang perempuan ibadah haji merupakan sarana jihad bagi mereka. Berbagai pemikiran dikemukakan oleh ulama untuk memaknai hadis tentang mahram, mulai dari pemahaman tekstual, yang masih tetap mewajibkan bermahram, sampai kepada penemuan ‘illat. Pemahaman terakhir ini membawa kepada kesimpulan bahwa bermahram tidak diperlukan lagi karena keamanan sebagai ‘illat sudah dapat direalisasikan.  Dalam kaitan inilah tulisan ini bertujuan mengkompromikan antara pemahaman tekstual dengan kajian ‘illat agar bisa menjadi solusi bagi jamaah haji perempuan.  Penelitian ini menggunakan metode deskripstif analitis dengan pendekatan kajian ‘illat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keamanan bagi jamaah haji perempuan dapat terealisir dengan menggunakan makna mahram dari segi bahasa, yaitu orang-orang yang haram saling menikah, maka sesama perempuan juga termasuk mahram. Oleh karena itu kepergian mereka bersama-sama dengan perempuan lainnya sudah dapat merealisasikan tuntutan nash tanpa meninggalkan nash secara tekstual.
FILSAFAT POLITIK ISLAM TENTANG KEDUDUKAN MANTAN NARAPIDANA MENJADI ANGGOTA LEGISLATIF Andriko Andriko; Adlan Sanur
Alhurriyah Vol 3, No 1 (2018): Januari-Juni 2018
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (667.138 KB) | DOI: 10.30983/alhurriyah.v3i1.556

Abstract

Di saat ini sedang gonjang ganjing tentang adanya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang pencalonan Anggota Legislatif. Akhirnya PKPU itu telah ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang di undangkan perjuli 2018. Dimana pasal 4 ayat 3 menyatakan bahwa mantan terpidana Narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi tidak boleh diikutsertakan.Walaupun secara yuridis Undang-Undang No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD telah membolehkan mantan narapidana menjadi anggota DPR, DPD dan DPRD dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Mantan narapidana adalah orang yang dulu pernah melakukan kejahatan atau tindakan kriminal dan telah menjalani hukuman. Status mantan narapidana menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD banyak mendapat respon penolakan dari masyarakat. Hal ini didasari bahwa mantan narapidana adalah orang yang sudah cacat secara moral dan tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Memang untuk membangun lembaga Legislatif yang kredibel dan bisa dipercaya oleh rakyat, seharusnya para anggotanya memiliki integritas yang bermoral, cerdas (kompetensi), dan bersikap negarawan apalagi anggota legislatif merupakan representasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Berdasarkan permasalahan ini, penulis ingin melihat dari perspektif filsafat politik Islam (Fiqh Siyasah) tentang kedudukan mantan narapidana menjadi anggota legislatif. Penelitian adalah studi pustaka dengan menelaah persoalan mantan narapida sebagai calon anggota legislative. Dari analisis bahwa tidak ditemukan secara jelas tentang status manta narapidana menjadi legislatif dari al-Qur’an dan Sunnah boleh atau tidaknya. Namun untuk kemaslahatan umat dan kredibel lembaga seharusnya memang orang-orang yang bersih. Artinya dalam pandangan Fiqih Siyasah hukum menjadi anggota legislatif adalah mubah, apabila ia telah bertaubat
MENGUKUHKAN METODE ‘URF KELOMPOK DALAM MELANGGENGKAN KEBERAGAMAAN UNTUK PENENTUAN BULAN QAMARIYAH TAREQAT SYATTHARIYYAH DI SUMATERA BARAT Adlan Sanur Tarihoran
Alhurriyah Vol 1, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (438.108 KB) | DOI: 10.30983/alhurriyah.v1i2.485

Abstract

Tareqat Syatthariyah has long grown and developed in Minangkabau, along with the entry of Islam into Minangkabau. One of developed local ‘urf and still survive and sustainable even become an annual event and habits of the fellow Syatthariyah worshipers is moon sighting ("maliek bulan") as one of the models in hisab science. This is in accordance with their 21 basic teachings for followers of tareqat Syatthariyah particularly in West Sumatra. In which to determine the initial entry of fasting month of Ramadan with "ru'yatul hilal". Crowded locations are in Koto Tuo Agam and Ulakan Padang Pariaman. This habits often make them fasting two days after the Government's decision and this become a different source of religious. This study was conducted to explore or probe about this group habit as well as the methods they did to "maliek bulan" or ru'yatul hilal. So it will get an idea about the reason why (undeniably) the existence of these activities carried out by followers of tareqat Syatthariyah in West Sumatra until now.
“MALIEK BULAN” SEBUAH TRADISI LOKAL PENGIKUT TAREKAT SYATTHARIYYAH DI KOTO TUO AGAM Adlan Sanur Tarihoran
Islam Realitas: Journal of Islamic and Social Studies Vol 1, No 1 (2015): June 2015
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/islam_realitas.v1i1.10

Abstract

”Maliek Bulan” is the annual tradition which is held by the Tareqat Syattariyah people in West Sumatera. Ulakan Padang Pariaman and also Koto Tuo Agam are the locations that usually become places in order to held “Maliek Bulan”. This study was going to observe in depth about the process of “Maliek Bulan” that was held by Syattariyah people in Koto Tuo Agam. This study was explorative research which is focused on finding the phenomenon with the qualitative approach. In studying the social phenomenon is to explain and analyze human’s and group’s behavior. “Maliek Bulan” for Syatthariah people in West Sumatera generally and especially for the group of Syattariyah people who come to Koto Tuo is becoming a routine ocassion in every beginning of Ramadhan or the moment in deciding when to begin fasting in Ramadhan. Morover, it is become a tradition which is held by the most people in Ulakan Padang Parriaman and Koto Tuo Agam. “Maliek Bulan” merupakan tradisi tahunan yang dilaksanakan oleh pengikut tareqat Syattariyah di Sumatera Barat. Lokasi yang biasanya menjadi tempat “maliek bulan” selain di Ulakan Padang Pariaman juga di Koto Tuo Agam. Penelitian ini ingin melihat lebih jauh tentang prosesi melihat bulan yang dilaksanakan oleh pengikut Syattariyah di Koto Tuo Agam tersebut. Penelitian ini merupakan suatu penelitian penjajagan (eksplorative research) yang memfokuskan studinya pada berupaya menemukan dengan pendekatan kualitatif. Dimana untuk mempelajari fenomena sosial dengan tujuan menjelaskan dan menganalisa perilaku manusia dan kelompok. Melihat Bulan bagi jam’ah Syattariyah umumnya di Sumatera Barat dan lebih khususnya bagi kalangan jama’ah Syattariyah yang datang ke Koto Tuo sudah menjadi agenda rutin setiap awal bulan ramadhan atau penentuan kapan dimulainya berpuasa. Bahkan lebih jauh dari itu sudah menjadi tradisi dilakukan dengan porsi jam’ah yang banyak di Ulakan Padang Pariaman dan Koto Tuo Agam.
“MALIEK BULAN” SEBUAH TRADISI LOKAL PENGIKUT TAREKAT SYATTHARIYYAH DI KOTO TUO AGAM Adlan Sanur Tarihoran
Islam Realitas: Journal of Islamic and Social Studies Vol 1, No 1 (2015): June 2015
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1754.448 KB) | DOI: 10.30983/islam_realitas.v1i1.10

Abstract

”Maliek Bulan” is the annual tradition which is held by the Tareqat Syattariyah people in West Sumatera. Ulakan Padang Pariaman and also Koto Tuo Agam are the locations that usually become places in order to held “Maliek Bulan”. This study was going to observe in depth about the process of “Maliek Bulan” that was held by Syattariyah people in Koto Tuo Agam. This study was explorative research which is focused on finding the phenomenon with the qualitative approach. In studying the social phenomenon is to explain and analyze human’s and group’s behavior. “Maliek Bulan” for Syatthariah people in West Sumatera generally and especially for the group of Syattariyah people who come to Koto Tuo is becoming a routine ocassion in every beginning of Ramadhan or the moment in deciding when to begin fasting in Ramadhan. Morover, it is become a tradition which is held by the most people in Ulakan Padang Parriaman and Koto Tuo Agam. “Maliek Bulan” merupakan tradisi tahunan yang dilaksanakan oleh pengikut tareqat Syattariyah di Sumatera Barat. Lokasi yang biasanya menjadi tempat “maliek bulan” selain di Ulakan Padang Pariaman juga di Koto Tuo Agam. Penelitian ini ingin melihat lebih jauh tentang prosesi melihat bulan yang dilaksanakan oleh pengikut Syattariyah di Koto Tuo Agam tersebut. Penelitian ini merupakan suatu penelitian penjajagan (eksplorative research) yang memfokuskan studinya pada berupaya menemukan dengan pendekatan kualitatif. Dimana untuk mempelajari fenomena sosial dengan tujuan menjelaskan dan menganalisa perilaku manusia dan kelompok. Melihat Bulan bagi jam’ah Syattariyah umumnya di Sumatera Barat dan lebih khususnya bagi kalangan jama’ah Syattariyah yang datang ke Koto Tuo sudah menjadi agenda rutin setiap awal bulan ramadhan atau penentuan kapan dimulainya berpuasa. Bahkan lebih jauh dari itu sudah menjadi tradisi dilakukan dengan porsi jam’ah yang banyak di Ulakan Padang Pariaman dan Koto Tuo Agam.
MENGUKUHKAN METODE ‘URF KELOMPOK DALAM MELANGGENGKAN KEBERAGAMAAN UNTUK PENENTUAN BULAN QAMARIYAH TAREQAT SYATTHARIYYAH DI SUMATERA BARAT Adlan Sanur Tarihoran
Alhurriyah Vol 1, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (438.252 KB) | DOI: 10.30983/alhurriyah.v1i2.485

Abstract

Tareqat Syatthariyah has long grown and developed in Minangkabau, along with the entry of Islam into Minangkabau. One of developed local ‘urf and still survive and sustainable even become an annual event and habits of the fellow Syatthariyah worshipers is moon sighting ("maliek bulan") as one of the models in hisab science. This is in accordance with their 21 basic teachings for followers of tareqat Syatthariyah particularly in West Sumatra. In which to determine the initial entry of fasting month of Ramadan with "ru'yatul hilal". Crowded locations are in Koto Tuo Agam and Ulakan Padang Pariaman. This habits often make them fasting two days after the Government's decision and this become a different source of religious. This study was conducted to explore or probe about this group habit as well as the methods they did to "maliek bulan" or ru'yatul hilal. So it will get an idea about the reason why (undeniably) the existence of these activities carried out by followers of tareqat Syatthariyah in West Sumatra until now.