Rasman, Marsudi
Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Published : 8 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Epidural Hemorrhage bersama dengan Operasi Fraktur Cruris Terbuka Subekti, Bambang Eko; Oetoro, Bambang J.; Rasman, Marsudi; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i1.38

Abstract

Cedera kepala merupakan masalah kesehatan utama, pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera kepala yang sering terjadi. Epidural Hemorrhage umumnya terjadi karena robeknya arteri dan menyebabkan perdarahan di ruangan antara duramater dan tulang tengkorak. Kejadian cedera kepala ini biasanya juga dikuti dengan cedera di bagian tubuh lain yang juga memerlukan tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala saat ini difokuskan pada stabilisasi pasien dan menghindari gangguan intrakranial ataupun sistemik sehingga dapat menghindari cedera sekunder yang lebih buruk. Seorang laki-laki, 20 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran, fraktur femur tertutup dan fraktur cruris terbuka karena kecelakan lalu lintas. Setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 12 x/menit (reguler), tekanan darah 130/85 mmHg, laju nadi 78 x/menit (reguler). Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematoma dan debridement pada luka yang terbuka dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi selama tindakan bedah berlangsung.Anesthetic Management for Evacuation of Epidural Hemorrhage along with Surgery Open Fracture CrurisHead trauma is a major health problem and considered as the leading cause of disability and death worldwide. Epidural Hemorrhage (EDH) is commonly seen in head trauma. Epidural Hemorrhage usually occurs due to ripped artery that coursing the skull causing blood collection between the skull and dura. The incidence of head trauma is usually followed by injuries in other body parts that require surgery.Head trauma management is currently focusing on patient’s stability and prevention the intracranial and haemodynamic instability to prevent the secondary brain injury. A 20 years old male patient, admitted to the hospital with decreased level of consciousness, closed fracture femur and open fracture cruris after traffic accidents. On examination, no airway obstruction found, respiratory rate was 12 times/min (regular), blood pressure 130/85 mmHg, heart rate 78 bpm (regular). Patient was managed with emergency hematoma evacuation and debridement of wounds under general anesthesia and with continues and comprehensive care using neuroanesthesia principles.
Monitoring Anesthesia Care Menggunakan Target Control Infusion Propofol pada Evacuasi SDH Spontan dengan Kelainan Jantung Krisna J. Sutawan, Ida Bagus; Oetoro, Bambang J; Rasman, Marsudi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24244/jni.v6i1.34

Abstract

Pasien SDH spontan yang berhubungan dengan pengobatan warfarin biasanya memberikan keluaran yang baik setelah dilakukan evakuasi hematom SDH, namun biasanya pasien disertai oleh penyakit-penyakit penyerta yang memberikan tantangan pada saat penaganan anestesi. Monitoring Anasthesia Care (MAC) dengan Target Controlled Infusion (TCI) Propofol dibandingkan dengan bolus manual dihubungkan dengan peningkatan stabilitas hemodinamik dan penurunan dari efek penekanan jalan nafas dan respirasi. Seorang pasien geriatri dengan SDH spontan subkronik, riwayat penggunaan warfarin dan penyakit penyerta atrial fibrilasi, gagal jantung kronik serta hipertiroid dikeluhkan dengan penurunan kesadaran. GCS 13, pupil 3mm/2mm, reflek cahaya menurun, tekanan darah 140/90 dengan nadi irreguler 100x/mnt, murmur positif. CT-scan kepala, SDH frontotemporoparietal  dextra dengan herniasi 1,62 cm ke kiri dan herniasi transtentorial. Echocardiografi, gobal hipokinetik, MR berat, PR sedang,  TR berat dengan ejeksi fraksi 36%. Pembedahan difasilitasi dengan MAC menggunakan TCI propofol model Schnider yang ditingkatkan secara bertahap sampai skala ramsay 5, dan setelah dilakukan sclap blok, sedasi diturunkan sampai skala ramsay 3-4 untuk meminimalisir penekanan jalan nafas dan respirasi. MAC menggunaan kombinasi bolus fentanyl dengan TCI propofol ditambah premedikasi midazolam dan obat adjuvant klonidin,  dapat memfasilitasi dengan baik tindakan evakuasi SDH spontan dengan borrhole. Induksi TCI propofol yang dilakukan dengan model Schnider dengan jalan meningkatkan effect sitenya (Ce) secara bertahap dapat memberikan keadaan hemodinamik yang stabil dan penekanan jalan nafas serta respirasi yang minimal.Monitoring Anesthesia Care using Target Control Infusion Propofol for Evacuation of  Spontaneous SDH with Heart ProblemWarfarin associated spontaneous SDH patient usually have a good outcome following evacuation of SDH hematoma, however this kind of patient usually have underlying disease that become a challange for the anesthesia management. Monitoring Anasthesia Care (MAC) using Propofol Target Controlled Infusion (TCI) compare to manual bolus, associated with better hemodinamic stabilitas and less respiration/airway deppresion. A geriatic, warfarin associated subchronic spontaneous SDH patient is complained having decrease of conciousness. The patient with underlying disease of atrial fibrilaton, Chronic heart failure and hypertyroidism. GCS 13, pupil 3mm/2mm, decrease pupil reflex, blood pressure 140/90 with irregular pulse 100x/minute, murmur (+). Brain CT-Scan, SDH frontotemporoparietal dextra, with herniation to the left 1,62 cm and transtentorial herniation. Echocardiogrphy, global hypokinetic, MR severe, PR severe, TR severe with ejection fraction 36%. Surgery is fasilitated by MAC using Schiner model TCI propofol with slowly increasing dose to achieved ramsay lever 5. After the sugeon done with their sclap block, the  dose is decreased up till ramsay level 3-4 is achived. The purpose is to minimalized respiratori and airway deppresion. MAC using combination of fentanyl bolus and TCI propofol with premedication midazolam and klonidin, can be use nicely to fasilitated an SDH spontan evacuation by borrhole.  Induction of TCI propofol using Schiner model, in which the effect site (Ce) is slowly increased can give an hemodinamic stability and minimal airway/respiration deppresion.
Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak Laksono, Buyung Hartiyo; Umar, Nazaruddin; Rasman, Marsudi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perdarahan subarachnoid (SAH) yang diakibatkan oleh pecahnya aneurisma otak menyumbang sekitar 85% dari kejadian SAH non traumatik. Insidensi sekitar 8–10 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar (0,008%). Rangkaian tatalaksana kasus SAH mempengaruhi outcome dari hasil terapi, mulai dari pertolongan pertama pada prehospital, transportasi, diagnosis awal, manajemen kegawatdaruratan dini, tindakan neuroradiologi intervensi ataupun pembedahan dan perawatan intensif pasca tindakan definitif. Pada laporan kasus ini, pasien wanita usia 65 tahun, berat badan 50 kg dengan diagnosa SAH hari ke 18 karena pecahnya aneurisma arteri serebri media disertai defisit neurologis ringan. Pembedahan dilakukan tindakan kraniotomi direct clipping aneurisma. Prinsip anestesi yang dilakukan adalah pemeliharaan homeostasis dan Cerebral Perfusion Pressure (CPP)/Transmural Pressure (TMP) yang efektif, tindakan pencegahan peningkatan tekanan intrakranial (Intracranial Pressure-ICP), pembengkakan otak dan manajemen vasospasme serebral. Operasi berjalan 6 jam dan dilakukan rapid emergence. Outcome pembedahan sesuai yang diharapkan. Anestesi mempunyai peranan yang sangat penting dalam manajemen secara keseluruhan pada pasien ini untuk memberikan manajemen proteksi otak yang maksimal selama pembedahan sehingga memperoleh hasil akhir pembedahan yang sukses. Anesthetic Management in Direct Clipping Cerebral AneurysmaSubarachnoid hemorrhage (SAH) caused by rupture of a brain aneurysm accounts for about 85% of the incidence of non-traumatic SAH. The incidence is approximately 8-10 per 100,000 populations per year, or about (0.008%). The management of SAH affects the outcome, ranging from first aid in Prehospital, transportation, early diagnosis, early emergency management, neuroradiology action or surgical interventions and intensive therapy after definitive care. In this case report, a 65 years old female, 50 kgs, diagnosised with SAH day 18 due to middle cerebral artery aneurysm rupture with mild neurological deficits. Craniotomy was performed using direct aneurysm clipping. The anesthesia principle is to maintain adequate homeostasis and effective Cerebral Perfusion Pressure (CPP)/Transmural Pressure (TMP), preventing increase in ICP, brain swelling and management of cerebral vasospasm. The operation was done in 6 hours with rapid emergence. The outcome of surgery was as expected. Anesthesia has a very important role in the overall management of these patients to provide optimal brain protection management during surgery in obtaining successful outcome.
Kemoterapi pada Pasien Operasi Tumor Otak Metastasis: Apa Implikasi Anestesinya? Putri, Dini Handayani; Bisri, Dewi Yulianti; Rasman, Marsudi; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tumor otak metastasis adalah salah satu jenis keganasan intrakranial yang paling umum di temukan pada dewasa. Di Amerika Serikat sendiri tumor otak metastasis mencapai 150.000 – 170.000 kasus pertahun. Lebih dari 50% tumor  otak metastasis  terletak di supratentorial, dapat memberikan gejala neurologis, sangat bergantung akan jumlah lesi, ukuran lesi, serta ukuran dari edema vasogenik yang terjadi dan menekan jaringan otak sekitarnya. Lima sumber paling umum dari tumor otak metastasis adalah payudara, colorectal, ginjal, jantung dan melanoma. Dari keseluruhan pasien dengan tumor otak akibat metastasis 8 – 14%  akan menjalani operasi pengangkatan tumor dengan beberapa pertimbangan seperti didapatkan tanda – tanda kegawatdaruratan neurologis, ukuran massa yang besar, jenis tumor primer, grade tumor, lokasi tumor, resiko, komplikasi operasi dan  Karnofsky Performance Score (KPS). Pasien tumor otak metastasis tentunya datang dengan dengan riwayat tumor ganas pada organ tubuh lainnya dan telah menjalani kemoterapi sebagai terapi. Pasien dengan riwayat kemoterapi memerlukan perhatian khusus karena selain membunuh sel kanker, kemoterapi dapat memberi efek toksik pada sistem organ, baik efek jangka pendek maupun efek jangka panjang, sehingga di perlukaan tatalaksana perioperatif yang seksama pada operasi tumor otak metastasis agar didapatkan hasil luaran yang baik.Chemotherapy In Patients with Metastatic Brain Tumor Surgery: What are the Implications of Anesthesia?Metastatic brain tumor is one of the most common types of intracranial malignancies found in adults. In the United States alone metastatic brain tumors attain. 150,000 - 170,000 cases per year. Metastatic brain tumor of more than 50% is located in the supratentorial, may provide neurological symptoms, highly dependent on the number of lesions, the size of the lesion, as well as the size of the vasogenic edema that occurs and suppress the surrounding brain tissue. The five most common sources of metastatic brain tumors are breast, colorectal, kidney heart and melanoma. Of all patients with brain tumors due to metastasis 8 to 14% will undergo tumor removal surgery with some considerations such as the emergence of signs of neurological emergency, large mass size, type of primary tumor, tumor grade, tumor location, risk complication of surgery, and Karnofsky performance score (KPS). Patients with metastatic brain tumors certainly come with a history of malignant tumors in other organs and have undergone chemotherapy as therapy. Patients with a history of chemotherapy require special attention because in addition to killing cancer cells, chemotherapy can have a toxic effect on the organ system, both short-term and long-term effects, so a careful perioperatif treatment in patients with brain tumor metastasis surgery is mandatory in order to obtain good results.
Pertimbangan Anestesia untuk Pasien dengan Deep Brain Stimulator Tertanam yang Menjalani Prosedur Diagnostik dan Pembedahan Santosa, Dhania A; Rasman, Marsudi; Hamzah, Hamzah; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Deep brain stimulation (DBS) akhir-akhir ini sering digunakan untuk penyakit Parkinson dan kelainan pergerakan lainnya. DBS sendiri merupakan suatu stimulator yang ditanam pada nukleus dalam di otak dan disambungkan dengan pembangkit pulsasi yang ditanam di bawah klavikula. Sebagai konsekuensinya, ahli anestesiologi akan lebih sering menghadapi pasien dengan sistem DBS tertanam dalam tubuh mereka untuk menjalani prosedur diagnostik dan pembedahan. Anestesia pada pasien-pasien ini memerlukan perhatian khusus karena adanya potensi interferensi antara neurostimulator dan alat-alat lainnya yang dapat menbahayakan pasien. Oleh karenanya penting bagi ahli anestesi untuk memahami hal-hal khusus pada pasien dengan deep brain stimulator tertanam yang menjalani tindakan diagnostic maupun pembedahan. Panduan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan oleh ahli anestesi pada pasien seperti ini masih sangat kurang dan masih sangat bergantung pada laporan kasus atau panduan yang berasal dari pabrik pembuatnya. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memberikan gambaran singkat mengenai sistem DBS dan penanganan anestesi pada pasien dengan alat DBS tertanam. Anesthesia Considerations in Patients with Implanted Deep Brain Stimulator undergoing Diagnostic and Surgery ProceduresDeep brain stimulation (DBS) has become an increasingly common treatment for Parkinson’s disease and other movement disorders. DBS consist of implanted stimulator at deep nuclei of the brain and, connected to a pulse generated which is implanted under clavicle. Consequently, anesthesiologists will increasingly encounter patients with implanted DBS system facing diagnostic and surgery procedures. Anesthesia management in such patients requires specific considerations due to the possible interference between neurostimulator and other devices which are potentially harmful to the patient. Therefore, it is important for anesthesiologists to understand specific issues in patients with implanted deep brain stimulator undergoing surgery and other diagnostic procedures. Guideline on these specific issues is very limited and highly relies on case report and manufacturer’s manual. The purpose of this review is to provide brief overview on DBS system and anesthesia considerations in patients with implanted DBS
Penatalaksanaan Perioperatif Cedera Otak Traumatik pada Pasien Berusia Lanjut Umar, Nazaruddin; Rasman, Marsudi; Adriman, Silmi
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Data epidemiologi terus menunjukkan peningkatan populasi penduduk berusia lanjut dan berdampak pada peningkatan permintaan layanan kesehatan, termasuk kebutuhan untuk menjalani prosedur pembedahan karena berbagai sebab. Salah satu penyebabnya adalah cedera otak traumatik (COT), termasuk di dalamnya perdarahan epidural, subdural dan intraserebral (epidural, subdural, intracerebral hemorrhage/EDH, SDH, ICH). Pada pasien berusia lanjut, COT bertanggung jawab terhadap lebih dari 80.000 kasus dengan tiga-perempat diantaranya harus menjalani rawat inap setiap tahunnya. Perencanaan penatalaksanaan perioperatif membutuhkan pertimbangkan beberapa hal untuk mencapai tingkat anestesi dan analgesi yang optimal pada pasien berusia lanjut. Seorang laki-laki, 65 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran pasca kecelakaan bermotor. Setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 18 kali/menit, tekanan darah 140/80 mmHg, laju nadi 88 kali/menit. Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi EDH dan kraniektomi evakuasi SDH dan ICH dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi serta geriatri anestesi selama tindakan bedah berlangsung. Perioperative Management of Traumatic Brain Injuryin Elderly Surgical PatientsCurrent epidemiological data showed an increasing number of elderly population, whereas in accordance with an increased demand for health care service, including surgical treatments for elderly. Traumatic brain injury (TBI), such as epidural hemorrhage (EDH), subdural hemorrhage (SDH) and intracerebral hemorrhage (ICH) are among the demanded surgery in elderly. In elderly population, TBI is responsible for more than 80.000 emergency department cases each year; with approximately three-quarters of these cases require further hospitalization. Perioperative management planning requires some considerationsin order to achieve the optimal level of anesthesia and analgesia in the elderly patients. A 65 years old male patient was admitted to the hospital with decreased level of consciousness after motor vehicle traffic injury. During resuscitation, airway was clear, respiratory rate was 18 x/min, blood pressure was 140/80 mmHg, heart rate was 88 x/min. Patient directly underwent an emergency craniotomy evacuation of EDH, SDH and ICH under general anesthesia with continue and comprehensive care of neuroanesthesia and geriatric anesthesia principles.
Komplikasi Mual Muntah Pascaoperasi Bedah Saraf Rahmatisa, Dimas; Rasman, Marsudi; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Departement of Anesthesiology and Intensive Care Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Mual, dan muntah adalah termasuk diantara keluhan-keluhan paling sering terjadi, dan dapat timbul pada kasus anestesia umum, regional, atau lokal. Insiden muntah sekitar 30%, kejadian mual adalah sekitar 50%, dan sebagian dari pasien berisiko tinggi, angka postoperative nausea and vomitting (PONV) bisa mencapai 80%. Faktor risiko PONV paling besar adalah jenis kelamin wanita, diikuti oleh riwayat motion sickness dan usia, lalu penggunaan anestesia inhalasi, durasi anestesia, penggunaan opioid pasca operasi dan terakhir penggunaan N2O. Pada kasus operasi bedah saraf, khusunya pada pengangkatan tumor, terdapat beberapa bahaya yang dapat terjadi bila PONV ini tidak ditangani dengan baik. Pada pasien bedah saraf, secara umum, kita harus menjaga agar tekanan intra kranial tetap dalam batas normal, sehingga aliran darah otak, dan tekanan perfusi otak dapat terjaga dengan baik. Jika terjadi PONV, maka tekanan intraabdomen akan meningkat, dan tentunya akan juga berpengaruh kepada kenaikan tekanan intrakranial. Disamping itu, pasien pasca pengangkatan tumor, akan rentan terhadap terjadinya perdarahan ulang yang tadinya sudah berhenti saat selesai operasi. Perdarahan dapat terjadi pada tumor bed dan dapat menyebabkan komplikasi yang fatal. Dari berbagai penelitian mengenai PONV pada operasi bedah saraf, faktor lokasi operasi tidak terlalu banyak berpengaruh. Operasi infratentorial memiliki angka PONV yang lebih tinggi, dihubungkan dengan lebih lamanya durasi operasi.Postoperative Nausea and Vomiting (PONV) Complication after NeurosurgeryNausea, and vomiting are among the most common complaints, and may occur in the case of general, regional, or local anesthesia. The incidence of vomiting is about 30%, the incidence of nausea is about 50%, and some of the patients are at high risk, Postoperative nausea and vomitting (PONV) rate can reach 80%. The strongest predictor of PONV is female gender, followed by history of motion sickness, age, inhalation anesthetic drugs, postoperative opioid, and using of nitrous oxide. In neurosurgery patients, in general, we must keep the intra-cranial pressure within normal limits, so that the cerebral blood flow, and the cereberal perfussion pressure can be well preserved. If there is PONV, the intraabdominal pressure will increase, and will certainly also affect the intracranial pressure. In addition, patients post-tumor removal, will be vulnerable to the occurrence of re-bleeding that had been stopped when completed surgery. Bleeding can occur in tumor beds and can cause fatal complications. According to various studies on PONV in neurosurgical surgery, the location factor of the surgery did not have much effect. Infratentorial surgery has a higher PONV number, associated with longer duration of operation.
Penatalaksanaan Aspirasi Benda Asing pada Pasien Pediatrik wullur, caroline; Rasman, Marsudi
Majalah Anestesia dan Critical Care Vol 32 No 3 (2014): Oktober
Publisher : Perdatin Pusat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Aspirasi benda asing adalah kejadian yang sering terjadi terutama pada populasi anak-anak. Kejadian ini dapat membahayakan nyawa sehingga diperlukan tindakan ekstraksi benda asing tersebut dengan segera. Diagnosis pasti dapat terhambat terutama bila dari anamnesa tidak spesifik, ketika orang tua tidak mampu menyadari pentingnya gejala, atau bahkan ketika temuan klinis dan radiologis tidak spesifik atau terlewatkan oleh dokter. Aspirasi bahan organik dapat menyebabkan peradangan mukosa saluran napas berat. Jika bahan organik tidak segera diekstraksi, peradangan kronis akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi di sekitar benda asing, yang pada akhirnya dapat menyebabkan infeksi paru-paru, baik pneumonia maupun abses. Pada kejadian aspirasi benda asing, tidak jarang pasien datang dengan komplikasi sekunder, seperti demam terus-menerus, “asma”, atau pneumonia berulang untuk waktu yang lama. Pada tulisan ini akan diulas mengenai kejadian aspirasi-benda asing, berbagai samaran klinisnya, tata laksana ekstraksi dan anestesi yang tersedia, serta langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah aspirasi. Kata kunci: Aspirasi, benda asing, bronkoskopi Foreign-body aspiration is a relatively common occurrence in children. It may present as a life-threatening event that necessitates prompt removal of the aspirated material. However, the diagnosis may be delayed when the history is atypical, when parents fail to appreciate the significance of symptoms, or when clinical and radiologic findings are misleading or overlooked by the physician. Aspiration of organic matter causes severe airway mucosal inflammation. If the organic matter is not promptly removed, chronic inflammation leads to the development of granulation tissue around the foreign body, which may ultimately present as a lung infection. In this setting, it is not uncommon to treat patients for secondary complications, such as persistent fever, “asthma,” or recurrent pneumonia for long periods. Here we review the incidence of foreign-body aspiration, its various clinical presentations, its management including anesthesia techniques, and measures we can do to prevent future aspirations. Key words: Aspiration, foreign body, bronchoscopy Reference Kalyanappago VT, Kulkarni NH, Bidri LH. Management of tracheobronchial foreign body aspirations in paediatric age group – A 10 year retrospective analysis. Indian J. Anaest 2007; 51(1): 20–23 Fidkowski C.W, Zheng H, Firth PG, The anaesthetic considerations of tracheobronchial foreign body in children: a literature review of 12.979 cases. Anaest Analg. 2010; 111(4): 1016–25 Roberts S and Thomington RE, Pediatric bronchoscopy. Contin educ anaesth crit care pain. 2005; 5 (2): 41 ̶ 44 Cote C, Lerman J, Anderson B. Otolaryngiologic procedure. Chapter 31 Page 657 ̶ 681. In: A practice of anesthesia for infants and children. 5th edition. Philadephia: Saunders Elsevier Publishing; 2013. Weir PM. Foreign Body Aspiration. Chapter 27, Pages 163–166. In: Problems in Anaesthesia: Paediatric Anaesthesia. Stoddart PA, Lauder GR (editors). London: Taylor and Francis Books Ltd; 2004 Naragund AI, Mudhol RS, Harugop AS, Patil PH, Hajare PS, Metgudmath VV. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg. 2014; 66(S1): 180–5 A-Kader HH. Foreign body ingestion: children like to put objects in their mouth. World J Pediatr. 2010, 6(4): 301 ̶ 310 Seth D, Kamat D, Pansare M. Foreign body aspiration, a guide to early detection, optimal therapy. Consultant 360 for Pediatricians. 2007; 6(1) Farrell PT. Rigid Bronchoscopy for foreign body removal: anaesthesia and ventilation. Paediatric Anaesthesia 2005; 14: 84–89. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care: Pediatric Basic Life Support. Circulation. 2005;112:156–166