Rani, Faisal A
Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Kedudukan Notaris sebagai Mediator Sengketa Kenotariatan Terkait dengan Kewajiban Penyuluhan Hukum Ayu Ningsih; Faisal A.Rani; Adwani Adwani
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 13, No 2 (2019): Edisi Juli
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1578.242 KB) | DOI: 10.30641/kebijakan.2019.V13.201-228

Abstract

Notaris berwenang memberikan penyuluhan hukum untuk menjamin kepastian hukum akta. Moralitas, ketelitian, kehati-hatian merupakan faktor utama untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Dalam praktek ditemukan, notaris tidak memberikan penyuluhan hukum sehingga terjadi sengketa, ada notaris yang menjadi mediator. Tujuan penelitian menjelaskan akibat hukum akta yang tidak didahului dengan penyuluhan hukum, menjelaskan kedudukan notaris dalam mediasi sengketa. Penelitian menggunakan metode hukum normatif, menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan, penelitian lapangan dalam bentuk wawancara, teknik pengolahan bahan hukum, analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan notaris yang bertindak sebagai mediator tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum, karena mediator merupakan pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak memihak. Tidak ada larangan bagi notaris menjadi mediator, karena mediator bukanlah pejabat negara, lembaga tinggi negara, tidak melaksanakan administrasi negara, profesi mediator tidak digolongkan sebagai pegawai negeri, advokat, pemimpin atau pegawai BUMN/D, dan profesi yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan/kepatutan, yang dapat mempengaruhi kehormatan notaris. Saran, notaris wajib memberikan penyuluhan hukum secara profesional untuk menghindari sengketa dan gugatan kepada notaris. Notaris harus memperhatikan etika, moral, ketidakberpihakan dalam proses mediasi. Ikatan Notaris Indonesia perlu menyusun mekanisme dan batasan mediasi yang boleh dilakukan oleh notaris.
Pemenuhan Pelayanan Kesehatan dan Konsumsi Bagi Narapidana di Lapas dan Rutan Riyan Firmansyah; Faisal A.Rani; Adwani Adwani
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 8 No 3 (2019)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (252.541 KB) | DOI: 10.24843/JMHU.2019.v08.i03.p10

Abstract

Article 14 of the penal law regulates prisoners' rights, namely Health Service Rights and consumption in prisons and detention centers. The Correctional Law provides legal certainty for the obligation to provide optimal service so the aim of related serve achieved. Health and consumption services in Class II A Banda Aceh Lapas and Class II B Jantho Detention Centers shortage and ineligible. It’s Health Service Rights and consumes inmate’s centers. Indeed, the writer observed that health consumptions served at prison class II A Banda Aceh that inmates at class II B Jantho Inefficiency. This study aims to describe the fulfillment of basic rights in health services and consume Its influence and efforts them. Types of legal research and empirical juridical approaches or sociological. The data analysis technique used in this research is qualitative. It’s used so that the writer tends under study. Based on observed, the writer knows that health served and consumption inefficient constitutes in facilities health boosted. Its still inadequate, indicated by claims about food and nutrition, Its Overcapacity, facilities and infrastructure, limited budgets, the substance of the rules the relationship between legal structures is inadequate, Efforts to increase claim internally and externally in the form of socialization, fighting for the budget through the legislature, optimally implementing inmates rules, then health serve and food proper. UU pemasyarakatan pasal 14 salah satu nya mengatur tentang hak-hak narapidana yaitu Hak Pelayanan Kesehatan dan konsumsi di Lapas dan Rutan. Ada nya pasal 14 UU Pemasyarakatan tersebut memberikan kepastian hukum terhadap kewajiban memberikan pelayanan se optimal mungkin agar tujuan pemasyarakatan tercapai. Pada kenyataannya pelayanan kesehatan dan konsumsi yang penulis teliti baik di Lapas Klas II A Banda Aceh maupun Rutan Klas II B Jantho masih kurang memadai dan belum memenuhi standar yang ditetapkan. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan menganalisis pemenuhan hak-hak dasar narapidana atas pelayanan kesehatan dan konsumsi, faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan upaya peningkatan pemenuhannya. Jenis penelitian hukum dan pendekatan yuridis empiris, atau penelitian hukum sosiologis. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data kualitatif, metode kualitatif ini digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala yang diteliti. Berdasarkan hasil penelitian penulis diketahui bahwa pelayanan kesehatan dan konsumsi di Lapas masih belum efektif, terlihat dari sarana dan prasarana penunjang pelayanan kesehatan, frekuensi kunjungan tenaga kesehatan, dan anggaran yang tersedia. Konsumsi yang disajikan bagi narapidana masih kurang layak, terindikasi dari keluhan tentang makanan serta gizi yang kurang seimbang, kebersihan kurang diperhatikan. Faktor-Faktor yang mempengaruhi nya antara lain: Berupa over kapasitas di Lapas dan Rutan, sarana dan prasarana, anggaran yang terbatas, substansi aturan antara hubungan struktur hukum belum memadai, Upaya Peningkatan Pemenuhan nya secara internal maupun eksternal berupa sosialisasi, memperjuangkan anggaran melalui legislatif, dan optimal menjalankan aturan untuk pelayanan hak narapidana, baik pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
Kewenangan Menetapkan Kerugian Keuangan Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Runi Yasir; Faisal A.Rani; Mohd. Din
Syiah Kuala Law Journal Vol 3, No 2: Agustus 2019
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (410.428 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v3i2.12167

Abstract

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan bahwa “kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang,  surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Kerugian negara merupakan syarat mutlak untuk terpenuhinya unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” yang terdapat dalam ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya harus dihitung dan ditetapkan agar dapat dipertanggungjawabkan secara hukum untuk kepentingan pembuktian di persidangan, melalui ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), BPK  menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Dilihat dari hal tersebut BPK seyogyanya menjadi lembaga/badan tunggal yang dapat menetapkan kerugian yang dialami oleh negara dengan melakukan perhitungan/audit kerugian negara, berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor: 16/PID.SUS-TPK/2015/PN.BNA dan Putusan Nomor: 23/PID.SUS/TPK/2017/PN.BNA terdapat penafsiran berbeda mengenai penetapan kerugian negara dengan mendasari pada hasil perhitungan/audit yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Based on the provisions of Article 1 point 22 of Law Number 1 of 2004 concerning State Treasury, states that "the loss of the state / region is a lack of money, securities and goods those are real and certain in number as a result of illegal or negligent acts". State loss is an absolute requirement for the fulfillment of the element "detrimental to the state's finances or the country's economy" contained in the provisions of Article 2 and Article 3 of Law Number 31 in 1999, it is concerning Eradication of Corruption as amended by Act Number 20 in 2001. the number of countries those are real and certain must be counted and determined so that, they can be legally accountable for the sake of verification in court, through the provisions of article 10 paragraph (1) of Law Number 15 in 2006 concerning the State Audit Board (BPK), the BPK assesses and / or determines the amount of state loss caused by unlawful or negligent acts committed by the treasurer, the manager of BUMN / BUMD, and other institutions or agencies that manage state finances. Judging from this, the BPK should be a single institution / agency that can determine losses suffered by the state by calculating / auditing state losses, based on the Decision of the Corruption Criminal Court in Banda Aceh District Court Number: 16 / PID. SUS-TPK / 2015 / PN.BNA and Decisions Number: 23 / PID.SUS / TPK / 2017 / PN.BNA there are different interpretations regarding state loss determination based on the results of calculations / audits conducted by the Financial and Development Supervisory Agency (BPKP).
Kewenangan Pengaturan Mahkamah Agung (Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan) Nelly Mulia Husma; Faisal A.Rani; Syarifuddin Hasyim
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 1: April 2017 (Print Version)
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.383 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i1.12233

Abstract

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 melarang  pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan Praperadilan. Perma ini telah menutup kesempatan bagi Pencari keadilan untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan Praperadilan. Perma ini telah memperluas objek praperadilan, yang meliputi sah tidaknya penyitaan, penggeledahan, dan penetapan tersangka. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan atas Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009  dapat menerbitkan produk hukum seperti Perma.  Namun jika substansi dari  sebuah produk hukum mengatur ataupun mencabut hak dari warga Negara maka hanya lembaga legislatif sebagai perwakilan rakyat yang sah mempunyai kewenangan untuk melakukannya.The Supreme Court Regulation (Perma) Number 4 of 2016 prohibits the submission of a review of the Pretrial ruling. This regiment has closed the opportunity for Justice seekers to file a Review of the Pretrial Decision. This regiment has expanded the pre-trial object, which includes the validity of seizure, searches, and the determination of suspects. The results of the study indicate that the Supreme Court is based on the authority over Article 79 of Law Number 14 Year 1985 regarding the Supreme Court as amended by Law Number 5 Year 2004 jo. Law Number 3 Year 2009 may issue legal products such as Perma. But if the substance of a legal product regulates or removes the rights of a citizen then only the legislative body as a legitimate representative of the people has the authority to do so.
Eksistensi Lembaga Kejaksaan Sebagai Pengacara Negara Dalam Penegakan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Suatu Penelitian pada Kejaksaan Tinggi Aceh) Agus Kelana Putra; Faisal A. Rani; Mahdi Syahbandir
Syiah Kuala Law Journal Vol 1, No 2: Agustus 2017
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.87 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v1i2.8479

Abstract

Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa di bidang perdata dan tata usaha negara, “kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah”. Kejaksaan dalam hal ini dapat menjalankan  tugas dan wewenang di bidang perdata dan tata  usaha negara sebagai jaksa pengacara negara (JPN) guna menjaga kewibawaan pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya adanya jaksa pengacara negara ini, belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh lembaga pemerintah, (BUMN) dan (BUMD) guna membela kepentingannya dalam perkara perdata dan tata usaha negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  alasan badan/instansi pemerintah tidak memberikan kuasa khusus kepada lembaga kejaksaan dalam penanganan perkara perdata dan tata usaha negara disebabkan karena ketentuan penggunaan jasa dari pengacara negara ini masih bersifat menganjurkan belum dilakukan penerapan ketentuan sanksi serta masih kurangnya kepercayaan kepada lembaga kejaksaan. Kondisi ini selanjutnya berakibat tidak terlaksananya ketentuan mengenai tugas dan fungsi jaksa pengacara negara dan berpengaruh pada nama baik dan wibawa pemerintah serta mengurangi minat Jaksa Pengacara Negara dalam penyelesaian perkara datun. Konsekwensi hukum terhadap badan/instansi pemerintah yang tidak memberikan kuasa khusus kepada lembaga kejaksaan dalam penanganan perkara perdata dan tata usaha negara tidak ada sama sekali karena tidak ada satupun ketentuan sanksi yang mengaturnya. Terhadap badan/instansi pemerintah tersebut tidak patuh pada ketentuan yang berlaku dan apabila menggunakan jasa pengacara atau advokad hanya berpengaruh pada anggaran yang digunakan untuk membiayai suatu perkara yang berkaitan dengan bidang perdata dan tata usaha negara serta nama baik dan wibawa pemerintah. Article 30 (2) of the Act Number 16, 2004 regarding the Public Prosecution Office of the Republic of Indonesia states that in the field of civil and administrative state, the prosecution oofice by a special mandate that might act either inside or outside a court for and in the name of the government”. The prosecution office might run its duties and functions in the field of civil and administrative states as the state attorney in terms of keeping the honour of the government. However, in its implementation there are prosecutors who are not fully used by the government istitutions, State’s Owned Companies, Regional Owned Companies in order to defend those interes in the civil and administrative satates. The research shows that the reasons of government isntitutions for not providing special mandate for the prosecution office in handling civil and administrative state cases caused by lack of trust to the institutions of the prosecution office. The condition is then resulting in lacking the interest of the state attorney hence it is not optimal in settling civil and administrative state cases, the perception that the attorney is lack of capacity, and the cases are not relevant to other fileds andthe function and duties of the Attorney has not been eminentamongsstakeholders and community generally. There is no consequences of law towards institutions of government that are not providing mandate to the prosecution office in handling the civiland administrative state cases as there is no legislation on sanction regulting it. Towards institutions of the government that are not obeying the existing rules and if using the state attorney or satate’s lawyer is only depending on budget that is not used to fund a case relevant to civil and administrative state and honourand the government pride.