Qanun merupakan pengganti dari istilah peraturan daerah yang dikhususkan untuk Provinsi Aceh sebagai salah satu bentuk otonomi khusus. Di dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Qanun merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang tata urutannya di bawah Undang-Undang. Oleh karena qanun merupakan peraturan perundang-undangan sejenis perda, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk membatalkannya jika qanun tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada pertengahan tahun 2016, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Republik Indonesia telah membatalkan 3.143 Perda karena dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi. Selain itu, peraturan tersebut juga dianggap menghambat proses perizinan dan investasi serta menghambat kemudahan berusaha. Dari jumlah tersebut terdapat 65 qanun Aceh yang ikut dibatalkan, yang terdiri dari 6 Qanun Provinsi dan 59 Qanun Kabupaten/Kota. Mengenai kewenangan siapa yang sebenarnya berwenang menguji Perda/Qanun tidak ada sebuah kesepakatan pendapat diantara para pakar. Ni’matul Huda dan Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pengujian terhadap peraturan daerah hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 . Berbeda dengan pandangan mereka, Sri Soemantri menyatakan bahwa ada beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. Hak uji dilakukan bukan hanya oleh Mahkamah Agung, tetapi juga oleh Pemerintah, ada yang oleh Presiden dan ada juga oleh Menteri Dalam Negeri. Oleh karena itu, Mendagri harus lebih berhati-hati dalam mengeluarkan keputusan pembatalan qanun mengingat sejak berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tidak ada lagi upaya mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung dan pemerintah harus lebih cermat dalam melihat kekhususan dan keistimewaan masing-masing daerah terutama daerah Aceh mengingat daerah Aceh adalah daerah yang berlandaskan syari’at Islam.
Copyrights © 2020