Tulisan ini berupaya menyingkap kondisi sosio historis dibalik hadirnya teks-teks riba dalam Al-Qur’an dan Sunnah serta implikasinya terhadap pegawai Bank Konvensional. Berdasar perspektif sabab nuzu>l ayat-ayat riba ternyata pelaku utama praktek ribawi pra dan pasca Islam adalah kaum Yahudi. Setelah ayat 275 turun, umat Yahudi yang sudah beriman menarik pokok harta dan meninggalkan sisa ribanya. Aktornya adalah empat bersaudara dari Bani Tsaqif yakni Mas’ud, Abdiyalail, Habib, dan Rabi’ah. Keempatnya kemudian menuntut pokok hartanya saja pada Bani Mugirah. Tapi Bani Mugirah mengeluh dan meminta dispensasi tambahan waktu sampai dapat kelapangan. Karena keempatnya enggan memberi tunda, turunlah ayat 280 agar mereka mau memberi tunda. Bila habis masa tunda dan mereka tetap kesulitan, ayat 280 meminta mereka merelakan saja utang itu sebagai sedekah. Dalam perspektif sabab wuru>d, konteks yang disentuh oleh teks hadis lebih banyak riba fadhl (jual-beli) meski juga ada riwayat yang menyentuh riba nasi’ah. Pelaku ribanya rata-rata adalah sahabat Anshar dan Muhajirin. Seperti konteks ayat di atas, setelah itu para Sahabat beraubat. Bila konteks tersebut dipakai melihat aktifitas perbankan modern sebenarnya bank dapat dioperasikan tanpa menggantungkan diri pada bunga. Bukankah empat bersaudara dari Bani Tsaqif yakni Mas’ud, Abdiyalail, Habib, dan Rabi’ah yang mengutangkan uang kepada Bani Mugirah mampu meninggalkan sisa riba mereka setelah ayat 278 dan 279 surah al-Baqarah turun? Bahkan, umat Yahudi yang sudah beriman pun segera menarik pokok harta dan meninggalkan sisa ribanya. Mewabahnya pendirian bank-bank syari’ah dewasa ini menjadi bukti meyakinkan tentang bisanya dilakukan pemisahan antara bunga dan bank. Implikasi lainnya adalah memberi waktu dan kesempatan pada para pegawai di bank Konvensional yang menganut sistem bunga saat ini untuk tetap bekerja di bank tersebut sambil berupaya mencari lapangan pekerjaan baru atau menunggu adanya mutasi atau pembukaan aplikasi syariah oleh bank tersebut merupakan isyarat hukum yang dapat diambil dari pendekatan historis tersebut dengan tetap taat pada prinsip hukum Islam yaitu kondisi darurat ditetapkan sesuai kadarnya.
Copyrights © 2020