Kejadian luar biasa difteri masih menjadi masalah di Indonesia sejak tahun 2011. Kejadian terbesar terjadi pada tahun 2012, sebesar 955 kasus. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi negara kedua dengan prevalensi kasus difteri terbanyak setelah India. Hingga pada akhir tahun 2017, ditemukan 591 kasus difteri di Indonesia. Hal ini berbanding lurus dengan meningkatnya angka kejadian drop out imunisasi yang berhubungan dengan semakin banyaknya kelompok anti vaksin. Terjadinya peningkatan kasus difteri ini menyebabkan diperlukannya pengobatan yang optimal terhadap kasus difteri. Pengobatan difteri saat ini adalah dengan Difteri Antitoksin (DAT) yang dikombinasikan dengan antibiotik yang adekuat. Namun dalam penggunaannya DAT yang berasal dari kuda ini memiliki efek samping berupa risiko alergi, reaksi hipersensitivitas tipe lambat, serum sickness, bahkan syok anafilaktik. Saat ini hanya India dan Brazil memproduksi DAT. Sementara untuk mengimpor DAT harus dengan seizin Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Penggunaan DAT dibatasi dan harus dilakukan pemeriksaan sensitivitas terlebih dahulu kepada pasien. Sedangkan penatalaksanaan difteri yang terlambat akan menyebabkan terjadinya peningkatan risiko komplikasi. Human Monoclonal Antibody (HMAb) bisa menjadi pilihan dalam menggantikan DAT yang dipakai selama ini. HMAb mampu menghambat terjadinya ikatan antara toksin difteri dan fragmen B dengan Heparin-binding Epidermal Growth Factor (HB-EGF). HMAb bisa menjadi pilihan yang sangat baik untuk menggantikan penggunan DAT.Kata Kunci : difteri, dat, human monoclonal antibody
Copyrights © 2019