Posisi Indonesia sebagai negara multikultur membuatnya rentan terhadap ancaman separatisme dan konflik komunal berbasis suku, agama, dan antargolongan. Maluku merupakan sebuah tempat di mana pernah terjadi tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia. Tak hanya merenggut korban dari kalangan laki-laki dewasa, konflik komunal ini juga merenggut masa depan anak-anak yang berada di tengah–tengah kelompok yang bertikai. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana wacana resiliensi ditampilkan pada film Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis wacana kritis Norman Fairclough. Analisis wacana kritis merupakan salah satu cara untuk membongkar adanya sebuah ketidakberesan di masyarakat. Film ini merupakan sebuah film drama yang diangkat dari kisah nyata tentang bagaimana sepak bola dapat mengobati jiwa anak-anak yang terluka akibat konflik komunal yang terjadi di Maluku. Teks merupakan sebuah situs perjuangan sosial yang berusaha mencairkan dan melacak keberadaan ideologi. Menganalisis wacana secara kritis pada hakikatnya adalah menganalisis tiga dimensi wacana secara integral, yakni taks-teks bahasa, praksis kewacanaan, dan praksis sosiokultural. Hasil penelitian: pada level teks film Cahaya dari Timur: Beta Maluku menggambarkan bagaimana kondisi anak-anak korban konflik komunal Maluku untuk bangkit dari keterpurukan, berjuang mengobati luka batin akibat konflik komunal. Pada level praksis kewacanaan menekankan tentang kegagalan pemerintah dalam melakukan rehabilitasi sosial masyarakat. Level sosiokultural masyarakat sesungguhnya merupakan korban dari politisasi agama. Ideologi Pela-Gandong merupakan kultur khas Maluku sebagai sarana penyelesaian konflik komunal.
Copyrights © 2020