Tulisan ini merupakan studi kasus Majlis al-Khidhir, salah satu kelompok Salafi di Indonesia yang mengalami moral panic karena khawatir eksistensinya akan tergerus oleh modernitas dengan adanya perubahan media dakwah. Selain itu, keberadaan kelompok yang mengatasnamakan dakwah Salafi (Salafi Selebriti) padahal sejatinya merusak citra dakwah Salafi telah bergerak lebih cepat dalam memanfaatkan media dakwah tersebut. Akhirnya negosiasi terhadap modernitas dilakukan Majlis al-Khidhir dengan tetap memegang teguh ideologi literalisnya tetapi terbuka terhadap media baru untuk melebarkan dakwahnya. Konsekuensinya, ‘telegram’ menjadi media baru paling efektif bagi Majlis al-Khidhir untuk mengeluarkan fatwa dan berinteraksi dengan pengikut setianya. [This paper is a case study of Majlis al-Khidhir, one of the Salafi Group in Indonesia who experienced moral panic for fear of its existence will be eroded by modernity with the changes of da'wah media. Coupled with the existence of a group that on behalf of Salafi da’wah (Celebrity Salafism) but in fact damage the image of da’wah Salafi has moved faster in utilizing the medium of propaganda. Finally, the negotiations against modernity were carried out by Majlis al-Khidhir by maintaining its literalist ideology but open to new media to spread its preaching. Consequently, 'telegram' became the most effective new medium for Majlis al-Khidhir to issue a fatwa and interact with its loyal followers.]
Copyrights © 2018