Jurnal Etika Respons
Vol 17, No 02 (2012)

Keindonesiaan Dalam Tafsir Perempuan Refleksi Pemikiran Kartini

Pradewi Iedarwati (Unika Atma Jaya-Jakarta)



Article Info

Publish Date
01 Dec 2012

Abstract

Abstraksi: Pena Kartini tidak setajam sebilah pedang namun pena kartini justru mampu menembus tembok dunia yang saat itu sarat dengan penindasan. Kartini menjadiobor penumbuh keberanian sosok perempuan menuturkan dan mengungkapkan perasaaan bahkan pemikiran atas kondisi kehidupan yang dialaminya. Pena Kartini memberi refleksi kerasnya kehidupan dalam masa suburnya Kolonialisme, Feodalisme.Pena Kartini yang mempertanyakan dan yang memperbandingkan antara barat dan timur (kolonialisme), bangsawan dan rakyat biasa (feodalisme) serta laki-laki dan perempuan (patrialisme) menjadi pijakan tumbuhnya rasa keterbelakangan dan rasa kebodohan. Pemberontakan Kartini memang tidak secara fisik tetapi pemberontakan Kartini melalui suatu jalan pemikiran tentang pengentasan keterbelakangan dan kebodohan.Pendidikan bagi Kartini menjadi kata kunci memasuki keluasan cakrawala untuk mengubah nasib bangsanya. Jauh sebelum mengerucutnya Keindonesiaan, pena Kartini telah menggugah perasaan merdeka yang menjadi nilai hakiki dan menjadihak segala bangsa. Emansipasi dalam konteks memajukan dan memberdayakan perempuan melalui pendidikan menjadi jalan bagi pencerdasan perempuan menuju pencerdasan bangsa seirama dengan falsafah bangsa dan tujuan Negara. Kini sudah satu abad lebih era Kartini bahkan Keindonesiaan kita memasuki 68 tahun tetapi ironisnya kondisi perempuan masih jauh dari cita-cita Kartini.Kata Kunci: Tujuan negara dan ideologi negaraAbstract: Kartini’s pen may not be mightier than a sword, but it was able to penetrate the walls of society which was filled with oppression during that time. Kartini became the spark for the growth of women’s courage to say and express their feelings as well as their thoughts on the living conditions that they experienced. Her writing gave a glimpse on how bleak life was during the flourishing period of Colonialism, Feudalism. She questions and compares between the east and the west (colonialism), between the nobles and the commoners (feudalism) as well as between male and female (patrialisme) which became the grounds where sense of ineptness and simplicity grew. Kartini’s rebellion was not physical but through her stance on the alleviation of benightedness and ignorance. Education became the key for Kartini to expand the horizon in order to change the fate of the nation. Long before the degradation of being an Indonesian, Kartini’s standpoint has inspired a sense of independence that became an intrinsic value and a right of every nation. Emancipationin the context of promoting and empowering women through education is a way to enlighten the nation in tune with the philosophy and objectives of the State. It has now been more than a century after Kartini’s era. Our Indonesianism has entered its 68th year but ironically the condition of women is still far from Kartini’s ideals.Key Words: The philosophy and the objectives of the state

Copyrights © 2012