Pesan kebencian (hate speech) mengiringi kebebasan berpendapat di media baru (New
Media). Dalam konteks Indonesia, fenomena ini menguat terutama saat
berlangsungnya hajatan politik seperti pemilihan legislatif (pileg), pemilihan presiden
(pilpres), atau pemilihan kepala daerah (pilkada). Sejak pilpres 2014 lalu, istilah
âhaterâ pun dikenal luas, yang menandai orang-orang dengan kecenderungan membuat
pesan-pesan bernada kebencian pada orang atau kelompok tertentu. Khususnya bagi
netizen (pengguna internet) kalangan mudaâyakni generasi Y dan Z, praktik
komunikasi dengan pesan-pesan kebencian ini harus mendapat perhatian khusus.
Selain karena pewaris bangsa ini, generasi tersebut lah yang kini mewarnai dunia
maya. Merekalah warga asli dunia digital (digital native). Mereka sadar akan hak
untuk berbicara dan berekspresi, tapi seringkali lupa bahwa ranah online adalah ranah
publik yang melekat di dalamnya tanggung jawab normatif. Tulisan ini mengkaji
upaya menghadapi pesan kebencian melalui perspektif teori literasi media.
Diasumsikan, melalui peningkatan literasi media, netizen akan lebih memiliki
konstruksi yang positif dalam memanfaatkan media online. Literasi media yang tinggi,
akan ditandai oleh: (1) daya kritis dalam menerima dan memaknai pesan, (2)
kemampuan untuk mencari dan memverifikasi pesan, (3) kemampuan untuk
menganalisis pesan dalam sebuah diskursus, (4) memahami logika penciptaan realitas
oleh media, dan (5) kemampuan untuk mengkonstruksi pesan positif dan
mendistribusikannya kepada pihak lain.
Kata Kunci: Pesan Kebencian, Media Online, Literasi Media
Copyrights © 0000