Sejak pemilu pertama pada tahun 1955 sampai pemilu terakhir tahun 2014, Indonesiatelah melakukan 11 kali pemilu dengan dua kali eksperimen politik yang berbeda melaluikebijakan yang bersifat uji coba (Trial and error). Hasilnya tercatat delapan kali pemilu diIndonesia menggunakan sistem proporsional tertutup kemudian mengalami krisis ekonomi danpolitik yang berujung pada reformasi tahun 1998. Disusul kemudian, sejak tahun 2004 sudah tigakali pemilu Indonesia menggunakan sistem proporsional terbuka. Hasilnya belum jugamemuaskan semua pihak karena praktik politik uang (Money Politics) semakin tidak terkendali.Kini menjelang pemilu tahun 2019, muncul wacana dari pemerintah untuk mengkombinasikankedua sistem pemilu tersebut menjadi sistem proporsional campuran dengan menggabungkanpendekatan atas dan bawah (Top down and Bottom up) sekaligus. Dari sisi kebijakan publik,sistem proporsional campuran ini menyerupai model kebijakan inkremental sebagaimanaumumnya berlaku di negara-negara berkembang. Sedangkan dari sisi analisis ekonomi politikkebijakan, pemilu dengan sistem proporsional campuran yang menjadi usulan pemerintah lebihmenyerupai model kebijakan prismatik (Prismatic policy) dimana perilaku politik masyarakatbersifat memusat (Sentralistik) sedangkan perilaku ekonominya menyebar (Desentralistik). Jikakebijakan ini tidak tuntas dalam perumusannya, maka bukan mustahil implementasi dari sistemproporsional campuran ini hanya akan menambah deret ukur ketidakpercayaan masyarakatdalam sejarah pemilu kita. Poin terpenting dari sistem proporsional campuran ini, sebenarnyabukan pada penggabungan teknis dan prosedur dalam sistem pemilu, akan tetapi jauh lebihpenting adalah bagaimana pemerintah dapat menjamin substansi demokrasi yang lebih luber danjurdil melalui kebijakan prismatik untuk mencapai titik keseimbangan (Equilibrium) politik bagisemua kelompok kepentingan (Stakeholders) yang ada.
Copyrights © 2016