Pasca pemberlakuan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) ternyata tidak otomatisĀ mengurangi jumlah angka KDRT di wilayah hukum PN Pekalongan. Konstruksi hakim dalam memutus kasus KDRT dalam perspektif legal hermeneutic menjadi poin penting, mengingat putusan hakim memiliki posisi yang sangat strategis sebagai law as a tool of social control dan law as a social engineering. Permasalahan yang diangkat: pertama bagaimanakah konstruksi hukum hakim untuk memutus kasus KDRT di PN Pekalongan dalam perspektif legal hermeneutic; kedua, faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi konstruksi hukum hakimĀ dalam memutus kasus KDRT tersebut?; Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1). Putusan Hakim PN Pekalongan dalam memutus pekara KDRT telah melakukan 3 tahapan dalam legal hermeneutic, yakni teks, konteks dan kontekstualisasi meskipun sangat sederhana dengan metode interpretasi gramatikal, dan 2). Putusan hakim PN Pekalongan ternyata selain mempertimbangkan faktor-faktor hukum (yuridis) ternyata juga memperhatikan faktor-faktor non hukum, yakni sikap dan penampilan dari terdakwa dan saksi
Copyrights © 2009