cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
JURNAL KERTHA WICAKSANA
Published by Universitas Warmadewa
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Sebagai salah satu upaya meningkatkan budaya meneliti dan menulis di kalangan akademisi serta ptaktisi hukum, maka diawal tahun 2017 majalah Ilmu Hukum Kertha wicaksana Fakultas Hukum Universitas Warmadewa terbit dalam edisi Volume 21 Nomor l Januari Tahun 2017. Penerbitan Volume 21 Nomor 1 Januari 2017 kali ini menghadirkan 9 (sembilan) artikel dari berbagai kajian ilmu hukum. Diawali dengan tulisan I Made Minggu Widyantara yang mengkaji tentang Kesengajaan Dan Kealpaan (Suatu Tinjauan dari Sudut Perbandingan Hukum Pidana Indonesia Dengan Hukum Pidana Asing. Ni Komang Ratih Kumala Dewi mengulas tentang Perlindungan Hukum Terhadap Dokter Dalam Pelaksanaan Hukuman Kebiri Terhadap Terpidana Kejahatan Seksual Pada Anak. I Made Agus Mahendra Iswara membahas tentang Ajaran Hindu Dalam Perkembangan Hukum Pidana Indonesia. A.A. Ngurah Oka Yudistira Darmadi menguraikan tentang Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia. Made Aripta Wibawa menjabarkan tentang Hukum Komunikasi Dalam Perspektif Hindu (Satyam Vada Dharma Cara). Penulis selanjutnya Ni Wayan Umi Matina dan I Made Arjaya memaparkan tentang Peranan Kurator Dalam Kepailitan Terhadap Nasabah Bank. I Nyoman Prabu Buana Rumiartha menguraikan tentang Era Masyarakat Ekonomi ASEAN Pada Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual. I Wayan Wahyu Wira Udytama menjabarkan tentang Perbedaan Leasing Dengan Sewa Beli Dalam Konsep Hukum Keperdataan di Indonesia dan A.A Sagung Ngurah Indradewi memaparkan tentang Akibat Hukum Terhadap Jaminan Kredit yang Hilang Atau Rusak. Semoga artikel yang kami hadirkan dalam Volume/Edisi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca. Selamat membaca Dewan Penyunting
Arjuna Subject : -
Articles 147 Documents
KAJIAN HUKUM MILITER TERHADAP TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DESERSI CAHYADI, COKORDA BAGUS ARIES
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 1, No 3 (2017): YUDISIUM 57
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin. Hukum pidana militer merupakan kumpulan peraturan tindak pidana yang berisi perintah dan larangan untuk menegakkan ketertiban hukum dan apabila perintah dan larangan itu tidak ditaati maka diancam dengan hukuman pidana. Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer. Dalam hukum pidana militer mengenal dua bentuk tindak pidana yaitu tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict) dan tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict). Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum militer terhadap pelaku tindak pidana Desersi dan bagaimana hubungan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dengan metode yuridis normatif disimpulkan bahwa : (1) bahwa penerapan hukum militer terhadap pelaku tindak pidana desersi sebagai anggota militer (TNI) ancaman hukumannya lebh berat dibandingkan dengan ancaman hukuman yang terdapat pada KUHP (pandang kurang memenuhi rasa keadilan); karena militer dipersenjatai guna menjaga keamaman; justru dipergunakan desersi, (2) bahwa hubungan antara KUHPM dengan KUHP, suatu hubungan yang tidak dapat terpisahkan karena KUHPM merupakan bagian dari KUHP; KUHP berlaku bagi setiap orang dengan demikian bagi militer (TNI) berlaku KUHP, dan bagi militer (TNI) yang melakukan tindak pidana desersi akan diperlakukan / diterapkan aturan khusus yakni KUHPM, hal ini merupakan penyimpangan dari KUHP. Kaca kunci : hukum militer, TNI, tindak pidana desersi
PROSTITUSI DITINJAU DARI PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM ATMOJO PUTRI, CAUSA GALUH CONDRO KIRONO
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 1, No 5 (2017): YUDISIUM 57
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam Upaya mewujudkan penegakan supermasi hukum di Indonesia, diperlukan produk hukum dalam hal ini Undang-Undang yang berfungsi sebagai pengatur segala tindakan masyarakat sekaligus sebagai alat paksa kepada masyarakat. Tetapi dengan adanya kemajuan zaman yang terlihat adalah hasil daripada pembangunan sehingga perubahan-perubahan bermunculan dari perubahan gaya hidup dan munculnya masalah sosial di masyarakat. salah satu bentuk penyimpangan (penyakit masyarakat) yang di anggap sebagai masalah sosial adalah perzinahan merupakan penyakit sosial yang sangat berbahaya.Sekalipun praktik prostitusi ini merupakan perbuatan yang merusak moral dan mental dan dapat menghancurkan pada keutuhan keluarga, namun dalam hukum positif sendiri tidak melarang praktik prostitusi.Adapun rumusan masalah (1) Bagaimana kehidupan prostitusi ditinjau dari perspektif sosiologi hukum? (2) Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mengatasi prostitusi? Metode penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif yaitu dengan melakukan pengkajiannya berdasarkan bahan-bahan hukum literature dan merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum,prinsip-prinsip hukum dan juga ketetapan hukum dan pendekatan masalah yang digunakan secara yuridis yaitu dengan meninjau peraturan yang berhubungan dengan permasalahan, sosiologis yaitu meninjau permasalahan dari sudut sosial.Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari bahan kepustakaan (Library research).Dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) tidak ada salah satupun yang mengatur khusus tentang prostitusi Adapun pasal 296 dan pasal 506 KUHP hanya ditujukan kepada pemilik rumah bordil yaitu para germo/mucikari.Sehingga adanya kekosongan norma terhadap pasal prostitusi.Dan prostitusi hanya di atur dalam peraturan daerah khususnya Perda Kota Denpasar Nomor 2 Tahun 2000.Maka dari itu harus adanya penyempurna terhadap KUHP, sehingga dengan begitu aparat penegak hukum khususnya di Kota Denpasar dengan leluasa menindak secara tegas terhadap pelaku prostitusi. Kata Kunci : prostitusi, Perpektif Sosiologi Hukum.  
KEWENANGAN DIREKTORAT JENDERAL HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DALAM PENDAFTARAN DAN PELANGGARAN HUKUM HAK MEREK DI INDONESIA DIAH LAKSMI, ANAK AGUNG ISTRI
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 1, No 2 (2017): YUDISIUM 57
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Merek sebagai salah satu bagian dari HKI memiliki peranan yang sangat penting karena dengan mengunakan mereka tas barang-barang yang diproduksi, dapat membedakan asal-usul mengenai produk barang dan jasa. Prinsip-prinsip yang penting yang dijadiakan sebagai pedomanan berkenaan dengan pendaftaran mereka adalah perlunya itikad baik (good faith) dari pendaftar. Berdasarkan prinsip ini, hanya hanya pendaftar beritikad baiklah yang akan mendapat perlindungan hukum. Dalam persefektif UU Merek, pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru, ataumenjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dikaji beberapa masalah sebagai berikut: 1) bagaimana peran Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pendaftaran Pemegang Merek di Indonesia? Dan 2) bagaimana akibat hukum terhadap Merek yang didaftarkan dengan itikad tidak baik?. Tipe penelitian ini dengan menggunakan tipe penelitian normatif yaitu penelitian dengan cara melakukan pengajian terhadap bahan-bahan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan dan litelatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Permohonan pendaftran merek diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal surat permohonan pendaftran merek tersebut harus diajukan dalam bahasa Indonesia. Penghapusan pendaftaran Merek dari daftar umum Merek dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal, baik atas prakarsa sendiri maupun berdasarkan permohonan pemilik yang bersangkutan. Dari setiap undang-undang yang mengatur Merek, maka pasti ditetapkan ketentuan yang mengatur penyelesaian hukum dan sanksi terhadap pelanggaran merek yaitu penyelesaian hukum dengan cara Non Litigasi dan penyelesaian hukum dengan cara Litigasi. Direktorat Jenderal HKI memiliki peran yang sangat strategis dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pendaftaran Merek di Indonesia. Diharapkan kepada masyarakat , khususnya pelaku usaha yang ingin mendaftarakan merek agar bersikap lebih jujur dengan cara tidak mempergunakan merek pihak lain yang telah didaftrakan tanpa persetujuan sipemegang merek dengan melawan hukum atau wanprestasi sekalipun. Kata Kunci:KewenanganDirektoratJenderalHakKekayaanIntelektualDalamPendaftaran Dan PelanggaranHukumHakMerek Di Indonesia
TANGGUNG JAWAB HUKM PERUSAHAAN (PERSEROAN TERBATAS) TERHADAP KESALAHAN KARYAWAN YANG MERUGIKAN KONSUMEN PRATIWI, NI LUH DEWI
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 1, No 4 (2017): YUDISIUM 57
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Berdirinya suatu perusahaan, tentu saja tidak selalu berjalan dengan lancar karena akan ada masalah yang timbul dalam perusahaan. Masalah yang timbul tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal tetapi tidak jarang masalah bahkan timbul dari faktor internal. Contoh masalah yang timbul karena faktor internal yaitu masalah yang timbul dari karyawan perusahaan itu sendiri. Kesalahan karyawan dapat merugikan dua pihak, yang pertama adalah merugikan konsumen dan yang kedua merugikan perusahaan itu sendiri. Konsumen tentu saja akan merasa sangat dirugikan oleh perusahaan dan akan meminta pertanggung jawaban perusahaan berupa ganti rugi atas segala kerugian yang dideritanya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, 1. Bagaimanakah tanggung jawab hukum perusahaan (P.T) terhadap kesalahan karyawan yang dapat merugikan konsumen ? 2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa jika pihak perusahaan (P.T) tidak bersedia mengganti kerugian konsumen yang telah dirugikan ? Tujuan dari penulisan karya ilmiah ini untuk mengetahui mengenai tanggungjawab perusahaan (PT) terhadap kesalahan karyawan yang merugikan konsumen dan untuk mengetahui penyelesaian sengketa jika perusahaan (PT) tidak bersedia mengganti rugi terhadap konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap kesalahan karyawan yang merugikan konsumen yaitu berupa ganti kerugian kepada konsumen walaupun kesalahan tersebut dilakukan oleh karyawan perusahaan karena hal ini telah diatur dalam Pasal 1367 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Penyelesaian sengketa jika perusahaan tidak bersedia mengganti kerugian konsumen dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi. Dalam hal menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen biasanya pelaku usaha lebih memilih jalur non litigasi yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK ). Kata Kunci: Lembaga Paksa Badan, Direksi Perseroan Terbatas, Putusan Pailit
KEABSAHAN POLIGAMI KARENA ISTRI TIDAK DAPAT MEMENUHI KEWAJIBAN MENURUT HUKUM ISLAM YASA, PANDE I KETUT ARIS BUDI
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 1, No 1 (2017): YUDISIUM 57
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Poligami adalah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari seorang wanita dengan waktu yang sama. Menurut Agama Islam bahwa poligami itu dibolehkan bagi seorang laki – laki muslim kawin dengan empat orang wanita, apabila mampu dan sanggup memelihara dan berlaku adil terhadap istri – istrinya dalam memberikan nafkah dan pembagian waktu giliran. Apabila tidak dapat berlaku adil, maka hendaklah kawin dengan seorang saja. Tujuan perkawinan menurut Hukum Islam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia dan untuk mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan dan ketenteraman keluarga dan masyarakat. Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. Berdasarkan perkara Nomor 443/Pdt.G/2015/PA.Dps. tentang permohonan izin poligami yang tercatat di Pengadilan Agama Denpasar, permohonan yang masuk dalam hal izin poligami terbatas pada permohonan yang berdasarkan pada alasan atau factor penyebab poligami karena penyakit istri yang tidak dapat disembuhkan dan karena adanya kebutuhan seksual suami yang tinggi sehingga istri tidak dapat melayani kewajibannya sebagai istri. Dalam memutus perkara poligami, lebih diutamakan kemaslahatan dari pada kemudhorotan karena prinsip kemaslahatan tidak bertentangan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Kemaslahatan dalam arti hukum Islam pada dasarnya hendak mewujudkan kebaikan hidup yang hakiki bagi manusia, baik secara individual maupun sosial. Perkawinan ibarat pisau bermata dua. Jika dipegang orang yang benar, maka akan bermanfaat. Sebaliknya, jika dipegang orang yang salah, maka akan menimbulkan bahaya, bukan hanya bagi diri pelakunya, melainkan juga bagi orang-orang di sekitarnya. Akibat yang ditimbulkan dari adanya permohonan izin yang dikabulkan oleh pengadilan yaitu sebagai dasar dilakukannya perkawinan antara Pemohon dengan calon istri kedua dan sah nya anak yang akan dilahirkan oleh calon istri kedua. sehubungan dengan perkara izin poligami ini, bahwa hakim memberikan putusan dikabulkannya permohonan tersebut dikarenakan majelis hakim menganut asas kebebasan yaitu hakim dalam memberikan putusan terhadap para pihak yang sedang berperkara harus berdasarkan keyakinan dan tidak boleh terpengaruh oleh pihak lain,selain itu majelis hakim sudah menganggap barang bukti cukup dan adanya pernyataan dari istri pertama bahwa rela dan tidak keberatan di poligami. Kata Kunci: Poligami,Tidak Dapat Memenuhi Kewajiban, Hukum Islam
ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN PADA PERLINDUNGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL RUMIARTHA, I NYOMAN PRABU BUANA
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 21, No 1 (2017): MAJALAH ILMU HUKUM KERTHA WICAKSANA
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAK Pemahaman hak milik yang terkandung di dalam Hak Kekayaan Intelektual adalah hak milik dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan, seni, sastra dan teknologi juga termasuk desain dan informasi yang berawal dari suatu ide. Ini berarti perlindungan diberikan kepada kemampuan intelektual yang dicurahkan dari bentuk ide, gagasan ke dalam bentuk nyata, baik baru (orisinil) maupun pengembangan lebih lanjut yang dapat dilihat, dinikmati, didengar, dirasakan, dibaca dan lain lain. Barang dan jasa dari seluruh negara anggota Asean ditambah China, Jepang, dan Korea Selatan akan lebih bebas untuk masuk ke Indonesia, begitu juga sebaliknya ekspor barang dan jasa Indonesia ke negara-negara tersebut lebih bebas, serta risakan akan tiruan dan nama merek yang sama di Indonesia. Dalam era masyarakat ekonomi Asean (MEA), Hak Kekayaan Intelektual merupakan faktor penting dalam menciptakan sistem perdagangan bebas yang adil, dimana masalah tersebut sangat memegang peranan penting, terutama untuk melindungi khalayak ramai terhadap tiruan atau pemalsuan barang-barang dan jasa yang membonceng suatu barang atau jasa yang sudah terkenal sebagai barang dan jasa yang bermutu baik dan unggul. Kasus-kasus pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual dapat berupa kasus perdata yaitu tuntutan ganti rugi atas peniruan. Kata Kunci :Hak Kekayaan Intelektual, Masyarakat Ekonomi Asean ABSTRACT The understanding of property rights contained in intellectual property rights is the property rights within the scope of science, art, literature and technology as well as design and information originating from an idea. This means that protection is given to the intellectual capabilities devoted from the form of ideas, concepts into real form, both new (original) and further developments that can be seen, enjoyed, heard, perceived, read and so forth. Goods and services from all the countries of Asean members plus China, Japan and South Korea will be freer to enter Indonesia, whereas Indonesian exports of goods and services to these countries are more free, as well as the urgency of duplication and same brand names in Indonesia. In Asean Economic Community (MEA) era, Intellectual Property Rights is an important factor in creating a fair free trade system, where the problem plays an important role, especially to protect the public against the imitation or forgery of goods and services bearing the names of goods or services that are well known as the goods and services having good quality and superior. The infringement cases of Intellectual Property Rights may be in the form of civil cases of compensation claim for the imitation. Keywords: Intellectual Property Rights, Asean Economic Community
PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA FIRMAN, ALINDA AFRIANI
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 1, No 3 (2017): YUDISIUM 57
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

A marriage is a commitment between two people, in this case a man and woman, with material purpose to build a happy and everlasting family (household) based on Belief in the one and only God which is the first principle of Pancasila(Five Principles). Asset/property issue may arise due to marriage. The development of society’s mindset lead them to enter into a prenuptial agreement before they get married considering that both husband and wife are able to earn asset/property. Besides that, there are many other reasons to enter into a prenuptial agreement. Prenuptial Agreement is an agreement which is made by two people (betrothed couple) before they get married. Prenuptial Agreement had been stipulated in Article 29 Law No. 1 of 1974. However, since the Constitutional Court issued the Decision No. 69/PUU-XIII/2015, Prenuptial Agreement has several modifications which are presently being pros and cons in society. The matter which is being researched in this thesis is: what is the legal consequence of a prenuptial agreement which is made after marriage and based on the Decision of Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015. The approach method which is used herein is normative legal research. The law material sources are primary law material and secondary law material in form of books and Legislation. Data analyses used in this research are processing and analyzing the data qualitatively andthen descriptively drawn up. The result of this research found the differences between Prenuptial Agreement which is stipulated in Article 29 Law No. 1 of 1974 and the Prenuptial Agreement which is stipulated in the Decision of Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015. Keywords: Prenuptial Agreement, After Marriage, Legal Effect.
AKIBAT HUKUM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API DHARMA WICAK, I WAYAN PUTRA
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 1, No 5 (2017): YUDISIUM 57
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

A firearm is a device partly or wholly made of metal having components or mechanical devices such as barrel, clubbing, trigger, spring, bullet chamber which can throw a bullet through the barrel with the aid of an explosive. Along with the development of many cases of misuse of firearms. The perpetrators of this gun use are charged with criminal sanctions as set out in Emergency Law Number 12 Year 1951 About Firearms. Based on this, this study aims to examine the procedure of obtaining a permit for firearms ownership and sanction of misuse of firearms. The type of research used is the type of normative research, the legal materials in use are primary legal materials and secondary legal materials, techniques used in collecting legal materials that is document study techniques. The data analysis used is qualitative and analyzed with qualitative descriptive analytical technique. So it can be concluded that the public is allowed to own firearms under the conditions set by the prevailing regulations, namely Law No.8 of 1948 and in the application of sanctions judge in rarely court ruled by Emergency Law No.12 of 1951 regarding Firearms Because the judge will find it difficult to apply sanctions because in the regulation is not explained in detail about the forms of acts of misuse of firearms so that again the judge will use the Criminal Code in applying criminal sanctions. Keywords: Firearms, Abuse.
PERLINDUNGAN HUKUM PENYEWA TERHADAP OBJEK HAK TANGGUNGAN YANG DIBEBANI HAK SEWA MAHARDIKA, I GUSTI AGUNG FAJAR
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 1, No 2 (2017): YUDISIUM 57
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACT Bank is a business entity that collects funds from the community in the form of savings and distributes it to the community in the form of credit. The prudential principle of the bank determines that in providing credit to its customers Collateral or guarantee is required. Legal issues within the scope of mortgage on this study is illustrated by the condition of the lease object has been rented by the debtor to a third party without the knowledge of the creditor that ultimately the object of the mortgage right is executed. Based on that problem, this study aims to analyze and examine the legal protection of the tenant on the executed mortgage object and execution procedure to mortgage object that is leased. The type of legal research methods used in this study is the normative legal research method, which will be used with the approach of Legislation approach. Legislation approach is done by examining the problem with all regulation that related to the problem (legal issue) that is being faced. The results of the discussion summarized as the conclusion in this study are the legal protection of the tenant on the executed mortgage object leased is can be reviewed from the regulation of Article 1576 BW that said the tenant can defend his rights under the pretext of a sale, and some purchase done can not eliminate the lease, but can only defend the right limited On the leasing party by claiming compensation for the termination of the lease relationship. Legal protection of the lessee to sue the leasing party in respect of the lease arises because the leasing party has neglected his / her performance as referred to Article 1550 BW. The execution procedure of the mortgage object that is borne by the right to lease is to begin with the application of the execution and end with the execution. The request for execution shall be made by applying directly to the President of the District Court by attaching a photocopy of a court decision (a decision of the District Court, and / or Supreme Court decision) which has had permanent legal force. The party entitled to apply for execution is the party declared "win" in the court decision, whether it is done personally or through their legal counsel with special powers. Keywords: Legal Protection, Tenant, and Mortgage.
KEKUATAN PEMBUKTIAN DIGITAL SIGNATURE DALAM SENGKETA PERDATA WIJAYA PUTRA, I PUTU ROLAND
JURNAL KERTHA WICAKSANA Vol 1, No 3 (2017): YUDISIUM 57
Publisher : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WARMADEWA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Digital Signature as evidence in civil disputes under the ITE Act on Information and Electronic Transactions. This research is a normative research, is descriptive is to describe and describe all data obtained from the results of literature studies related to the title of legal writing in a clear and detailed which then analyzed in order to answer the problems studied. Secondary data type is data obtained from some information or facts obtained indirectly, through literature study consisting of documents, literature books, and others related to the problem under study. Data analysis techniques used are qualitative data analysis techniques that is by collecting data, qualify, then connect theories related to the problem and finally draw conclusions to determine the results. Activities undertaken in the form of data collection, then the data is reduced to obtain special data relating to the issues being discussed for later review by using the norm in material or retrieve the contents of the data adjusted to the existing provisions and finally drawn conclusions and will get verification / truth objective. The result of the research, by using the Laws approach, can be concluded that before the existence of Law No 11 Year 2008, there have been Law No. 8 of 1997 on Corporate Documents Article 3, Article 4 and Article 12 which have implicitly acknowledged the strength of proof Against electronic data. Now with the Law No. 11 of 2008 on Information and Electronic Transactions has given a strict recognition that even though it is only a code, Electronic Signatures have the same position with the manual signature in general that has the power of verification and legal effect of law. It is contained in Article 11 of Law No. 11 Year 2008 on Information and Electronic Transactions so that the strength of proof is the same as a manual signature in the authentic deed, that is, complete and perfect, when the substance is seen, it is in accordance with the principles of the formulation of legislation. Good invitation. The principles are contained in Law No. 10 of 2004 on the Establishment of Legislation Regulations Article 5 and Article 6 which is a principle of clarity of purpose, principle can be implemented and the principle of clarity of the formula. Thus, digital signatures are legitimate evidence and have valid legal consequences, which can be used as a judge's consideration in deciding a case. Keywords: Proof, Digital Signature, Civil La

Page 1 of 15 | Total Record : 147