cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
KALANGWAN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Humanities, Art,
Jurnal Seni Pertunjukan Kalangwan merangkum berbagai topik seni pertunjukkan, baik yang menyangkut konsepsi, gagasan, fenomena maupun kajian. Kalangwan memang diniatkan sebagai penyebar informasi seni pertunjukan sebab itu dari jurnal ini kita memperoleh dan memtik banyak hal tentang seni pertunjukan dan permasalahannya
Arjuna Subject : -
Articles 62 Documents
Deskripsi Dialog Drama Tari Gambuh Cerita “Dedoyan” Purnamawati, Ni Diah
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (337.199 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i1.449

Abstract

Dialog(pangalangkara) tari Gambuh pada umumnya memakai Bahasa Kawi dan Bahasa Bali (sor singgih basa) sebagai media ungkap dalam pementasan. Dialog para tokoh tidak berdasarkan teks, melainkan secara improvisasi. Hal ini dilakukan setelah terlebih dahulu pelakunya diberikan gambaran mengenai isi, tema, lakon, jalan cerita serta watak-watak para pemain. Berdasarkan penggunaan bahasanya mempunyai kecenderungan memakai Bahasa Kawi dan Bahasa Bali (sor singgih basa) dipandang perlu untuk mendeskripsikan teks dialog-dialog tari Gambuh supaya gampang untuk mempelajarinya. Kenyataannya sampai saat ini dialog tari Gambuh sulit untuk dipelajari dan sangat penting adanya deskripsi teks dialog-dialog sebagai pedoman pertunjukan Gambuh oleh para seniman sekaligus sebagai pelestarian budaya.Dialogue (pangalangkara)in Gambuh dance that commonly used Kawi and Balinese language (with the rules of sor singgih basa) is revealed media in staging. The dialogue of the characters is not based on the text, but rather improvised. This is done once the characters are given a description of the story contents, themes, storylines and characteristic of each characters. Based on the language usage they have a tendency to use Kawi, and Balinese language (with the rules of sor singgih basa) is deemed necessary to describe the dialogue in Gambuh dance to make it easier in understanding and learning. In fact, until now Gambuh dance dialogue is difficult to learn and it is very important to have a text description of the dialogues as a guide line for Gambuh performances by artists as well as cultural preservation.
Transformasi Ritual Siat Sampian Dalam Tari Anggruwat Bumi Rani Franciska, Ni Luh Putu; Trisnawati, Ida Ayu; Suartini, Ni Wayan
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.072 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i1.453

Abstract

Ritual dewasa ini banyak mengalami perkembangan baik digunakan sebagai pengobatan maupun pedoman hidup, namun banyak pula yang tetap menjadikan ritual sebagai sarana upacara untuk membersihkan segala sesuatu hal yang buruk menjadi suci. Sama halnya dengan tradisi siat sampian yang sekaligus merupakan ritual di Pura Samuantiga. Asumsi masyarakat khusunya di daerah setempat percaya bahwa ritual ini merupakan media pengobatan secara niskala, sejak berpuluh tahun lamanya kepercayaan terus dijadikan sebagai pedoman hidup oleh masyarakatnya, sehingga banyak pengkaji yang berusaha menelurusi jejak tentang ritual ini, apa penyebab dan siapa yang mengutarakan hal tersebut, apakah argumen tersebut benar atau tidak. Dengan adanya bukti bahwa ritual ini merupakan sebuah peninggalan sejak masa kekuasaan Raja Warmadewa. Sehingga pertanyaan yang muncul dapat dipertanggung jawabkan dan dijadikan sebuah pembelajaran. Kembali pada Pertunjukan tari yang erat berkaitan dengan ritual dimana pertunjukan sebagai pelengkap upacara dan sering kali pertunjukan bersumber dari ritual itu sendiri. Salah satu contoh adalah tari Angruwat Bumi yang merupakan karya tari yang mendapatkan inspirasi dari siat sampian yang di dalamnya mengupas tentang perjalanan ritual yang dilakukan pada saat berlangsungnya upacara di Pura Samuantiga diformuasikan dengan mengaplikasikan teori Cipta Seni oleh I Nyoman Sedana dengan menggunakan empat kerangka mencipta seni yaitu sumber cipta seni, sastra cipta seni, komposisi cipta seni, produk cipta seni. Bentuk dari karya adalah kreasi baru yang ditarikan oleh tujuh orang penari putri dan menggunakan empat bagian sebagai struktur dimana karya tari ini merupakan bentuk persembahan dimana kita terlahir untuk tuhan dan mati untuk tuhan, hanya saja tari ini terealisasikan dengan penyeimbangan keburukan dan kebaikan dan fungsi sendiri sebagai wujud bakti terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Today’s rituals have undergone many improvements both used as a treatment and life guide, but many still mantain as a ritual for the ceremonial means to clean up everything that is bad becomes scared. So with this tradition which is also a ritual in the temple. The assumption of the community, especially in the local area, believe that this ritual is a non-standard treatment medium. Since decades ago faith as has continued to serve as a guideline for life by its poeple, so many reviewers are trying to trace the ritual, what burden and ready to express it, whether the argument is true or not. With the evidence that this ritual is a legacy of the regin of the king of Warmadewa. So that question that appear can be justified and to be learning. Returning to dance performance that are closely related to the rituals of the performing performance are as a complement to the ceremony and are often sourched from the ritual itself. One example is the Angruwat Bumi dance which is dance work that get inspiration for the siat sampian in which peeled about the ritual journey that was done during the ceremony at the Samuantiga temple formulated with apply theory create of art by I Nyoman Sedana with to use four framework to create of art there are, the source to create of art, the literature to create of art, the composition to create of art, the product to create of art. The form of the creation is the new dance who to use seven girls dancers and used four part as structure where this creation is form of the offerings who we were born for god and die for god, only this creation is realized with balance of the kind and of the ugliness and than that function own as the form devotion the Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Mrĕdangga: Sebuah Penelusuran Awal Tentang Gamelan Perang Di Bali Santosa, Hendra; Kustiyanti, Dyah
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1629.914 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i1.281

Abstract

Artikel ini berisi penelusuran awal tentang gamelan perang di Bali yang berasal dari luar Bali. Gamelan perang adalah gamelan yang dipergunakan dalam peperangan dan berfungsi sebagai gamelan untuk memberikan semangat dalam peperangan. Artikel ini bertujuan untuk membahas sebaran kata mredangga dalam berbagai naskah kuno yang berbentuk kakawin dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh para peneliti terdahulu. Naskah-naskah kuno sebagai salah satu sumber sastra sejarah, banyak menyimpan peristiwa-peristiwa sejarah yang berkaitan dengan kebudayaan terutama dengan seni karawitan. Kata Mredangga sendiri sebagai gamelan perang tersurat dalam pupuh X nomor 8 kakawin Bharatayudha. Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yang dilakukan dengan empat tahapan kerja yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Mredangga bisa berdiri sendiri atau sebagai instrumen dan sebagai sebuah kelompok instrumen ataupun diiringi oleh kata-kata lain yang menyebutkan instrumen lainnya. Sebagai gamelan yang berfungsi untuk peperangan, gamelan ini mempunyai fungsi untuk membuat respon fisik antara lain melakukan penyerangan terhadap musuh.This article contains a preliminary search about the war gamelan in Bali originating from outside Bali. The war gamelan is a gamelan that is used in war and serves as a gamelan to give spirit in war. This article aims to discuss the spread of word mredangga in various ancient manuscripts in the form kakawin and has been translated into Indonesian by the researchers earlier. Ancient texts as one source of historical literature, many save historical events related to culture, especially with the art of karawitan. Mredangga word itself as a war gamelan written in pupuh X number 8 kakawin Bharatayudha.The method used in this study is the historical method, which is done with four stages of work namely heuristics, criticism, interpretation, and historiography. Mredangga can stand alone or as an instrument and as a group of instruments or accompanied by other words that mention other instruments. As a gamelan that serves for war, this gamelan has a function to create a physical response, among others, to attack the enemy.
Tari Ipit: Dari Penyakit Kesajian Artistik Fenny Diaristha, Putu; Sutirtha, I Wayan; Widnyana, Kompiang Gede
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 1 (2018): Juni
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (717.374 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i1.454

Abstract

Pada dasarnya Ipit  bisa dipicu oleh kondisi kurang tidur. Selain itu, stres, depresi, kelelahan di siang hari, bisa menyebabkan seseorang mengalami hal tersebut. Kebiasaan ini biasanya bisa hilang jika kita meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur. Pada saat ipit, seseorang melakukan hal-hal layaknya orang yang tengah sadar seperti berjalan, mengeluarkan kata-kata. Makan, bahkan sampai ke kamar kecil. Beranjak dari hal tersebut penata ingin menciptakan karya tari yang mengambil dari fenomena gangguan tidur yang dialami oleh semua kalangan masyarakat. Dalam hal ini penata memakai proses penciptaan dari Alma M Hawkins dalam buku mencipta lewat tari yang diterjemahkan oleh Sumandiyo Hadi yaitu tahap penjajagan (Exploration), tahap percobaan (Improvisation), dan tahap pembentukan(Forming).  Karya ini terbagi menjadi empat babak dengan durasi pementasan 14 menit. Dalam hal ini penata tidak memakai cerita melainkan pengalaman gangguan tidur yang penata alami serta melihat dan menonton di youtube bagaimana seseorang yang tengah mengalami ganguan tidur ini. Essentially, ipit is triggered by a condition of slep deprivation. In additon, stress, depression, fatigue during the day can cause a person to experience it. This habit will disappear if  we improve the quality and quantity of sleep. At the time of ipit, a person does things like a conscious person as walking, issuing words, laughing, eating, and even going to a restroom. Moving from it stylist want create a dance work that takes away from the phenomenon of sleep disorders experienced by all socienties. In this case the  stylist use the creation process of Alma M Hawkins in the book created by dance which is translated by Sumandiyo Hadi ie Exploration stage, Improvisation stage, and Fprming stage. This work is divided into four rounds with a duration of staging 14 minutes. In this case the stylist does not use the story but the experience of sleep disorder that the natural stylist and see and watch on youtube how someone who was experiencing sleep disorder is.
Kompromitas Atas Keterlibatan Wanita Dalam Aktivitas Berkesenian Di Minangkabau -, Wardizal; Santosa, Hendra
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (230.829 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.529

Abstract

Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang berjudul “Resistensi dan Kompromitas Terhadap Keterlibatan Wanita dalam Seni Pertunjukan di Minangkabau. Secara umum tulisan ini menguraikan tentang adanya praktik kompromi terhadap keterlibatan wanita dalam seni pertunjukan di Minagkabau. Kompromi sebagai salah satu usaha untuk meredam konflik secara kultural yang terjadi akibat keterlibatan wanita dalam seni pertunjukan tradisional Minangkabau. Pada masa sekarang telah terjadi proses demokratisasi proses berkesenian di tengah kehidupan sosio-kultural masyarakat Minangkabau. Penelitian ini dikonstruksikan berdasarkan metode kualitatif didasarkan pada filsafat rasionalisme. Filsafat Rasionalisme bukan karena mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.Penelitian rasionalisme mensyaratkan digunakannya pendekatan yang holistik yang menggunakan konstruksi pemaknaan atas realitas, tidak saja secara empirik sensual tetapi juga secara logis-teoritik dan etik. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan, seperti studi kepustakaan, untuk mendapatkan berbagai informasi dari sumber tertulis. Observasi dan wawancara, untuk mengamati berbagai fenomena dan peristiwa yang berkembang di tengah masyarakat. Kontribusi wanita terhadap perkembangan dan pelestarian kesenian tradisonal Minangkabau, secara kualitatif telah melahirkan beberapa seniman yang melegenda di tengah masyarakat.This article is part of the results of a study entitled “Resistance and Compromise to the Involvement of Women in the Performing Arts in Minangkabau. This article generally describes the practice of compromising the involvement of women in performing arts in Minangkabau. Compromise is one of the efforts to reduce cultural conflicts that occur as a result of women’s involvement in traditional Minangkabau performing arts. At the present time there has been a process of democratization of the artistic process in the midst of the socio-cultural life of the Minangkabau people. This research was constructed based on qualitative methods based on the philosophy of rationalism. Rationalism philosophy is not due to denying the value of experience, but experience is seen as a kind of stimulus for the mind. Rationalism research requires the use of a holistic approach that uses construction of meaning for reality, not only sensually empirical but also logically-theoretical and ethical. Research data collection was conducted in several stages, such as literature study, to obtain various information from written sources. Observations and interviews, to observe various phenomena and events that develop in the community. The contribution of women to the development and preservation of traditional Minangkabau art has qualitatively produced several legendary artists in the community.
Calungpangkung: Musik Dari Dan Untuk Alam Muliyadi, I Wayan; Sudirga, I Komang; Suteja, I Kt.
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (146.871 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.560

Abstract

Karya musik Calung Pangkung merupakan karya musik yang memanfaatkan alam khususnya pangkung sebagai sumber penciptaan karya. Pertunjukan dilakukan secara berpindah-pindah mulai dari bagian atas pangkung sampai pada bagian bawah. Hasil penciptaan karya Calung Pangkung merupakan karya seni musik lingkungan yang terlahir dari ekplorasi fenomena yang terjadi pada alam, khususnya pangkung. Pembentukan karya ini pencipta menggunakan pendekatan kontemporer dengan menggunakan benda-benda yang ada di sekitar areal pangkung sebagai instrumen atau media ungkap dalam karya. Karya musik Calung Pangkung secara struktur dibagi menjadi empat bagian, yaitu bakti raga, mabraya, adharma, dan santhi swara. Bagian bakti raga menggambarkan bakti manusia terhadap alam, bagian mabraya merupakan wujud dari keharmonisan alam dan manusia, bagian adharma menggambarkan keserakahan manusia terhadap alam, serta bagian santhi swara sebagai wujud suara perdamaian yang hening dan tenang. Karya musik Calung Pangkung secara langsung dipentaskan di areal pangkung Gua Peteng Desa Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.Calung Pangkung’s musical work is a musical work that utilizes nature, especially the lap as a work. Performances are carried out in a move starting from the top of the pangkung to the bottom. The result of the work of Calung Pangkung is a musical work of art that was born from the exploration of phenomena that occur in nature, especially the lap. The supervisor of this work uses a contemporary approach using objects that are around the lap area as instruments or express media in the work. Calung Pangkung’s musical works generally become four parts, namely bakti raga, mabraya, adharma, and santhi swara. The bakti raga part of human devotion to nature, part of the mabraya is a manifestation of the harmony of nature and people, the part of natural adharma of human greed towards nature, and the part of santhi swara as a peaceful and calm form of peace. Calung Pangkung’s musical work was directly staged in the pangkung Gua Peteng area of Darmasaba Village, Abiansemal District, Badung Regency. 
Tata Rias Wajah Pada Tari Oleg Tamulilingan Persefektif Kajian Seni Liza Anggara Dewi, Ni Made
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (176.409 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.556

Abstract

Tata rias wajah pada tari Oleg Tamulilingan menarik untuk diteliti karena tata rias ini mampu menyajikan karakter halus pada wajah penarinya. Penelitian yang dilakukan melalui ilmu kajian seni ini difokuskan pada bentuk, konsep estetika dan fungsinya dengan tujuan agar dapat bermanfaat bagi praktisi dan akademisi di bidang Seni tari. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengaplikasikan Teori Bentuk, Teori estetika, dan Teori fungsi. Berdasarkan hasil penelitian dapat dijelaskan  bahwa bentuk tata rias wajah pada tari oleg tamulilingan dapat dilihat dari delapan tipe anatomi wajah dan karakteristik garis dan warna yang sesuai dengan penari oleg tamulilingan. Konsep estetis yang terdapat pada tata rias pada tari oleg tamulilingan dipengaruhi oleh penata rias itu sendiri yang mengalami perubahan dari tahun 1952 hingga sekarang. Dari segi fungsi tata rias wajah pada tari Oleg tamulilingan meliputi fungsi personal seni, sosial seni, dan fisik seni yang memiliki makna tertentu pada setiap simbolnya.The make up on Oleg Tamulilingan Dance study to interesting because can Submitting Fine characters face dancer. This research with study of art focus on form, aestethic consep, and function to useful for academics and practitioners dance. This study use the qualitative method by using form theory, Aesthetic theory, Functional theory. The study result turne out make up on Oleg Tamulilingan dance from perspective of art study from the shape, the are eight types of facial anatomy and shape characteristic of lines and colors make the corrresponding character on oleg tamulilingan Dancer. The aesthetic look of a make up artist and dancer oleg tamulilingan expreriencing changes in 1952 until now. Has the function of personal art, social art, and physicial art, and there is a specific meaning to each symbol that is on make up in oleg tamulilingan dance. 
Gamelan Kakelentingan Di Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari Apuan Baturiti Tabanan: Kontinuitas Dan Perkembangannya Sari Wiguna, Kadek Agung; Arya Sugiartha, I Gede; Sudirga, I Komang
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (218.822 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.561

Abstract

Kakelentingan berasal dari akar kata kelen atau badjra kecil, jika dibunyikan menghasilkan suara ting menjadi kelenting dan mendapat awalan ka- dan akhiran -an menjadi kakelentingan. Kakelentingan adalah sebuah barungan gamelan baik menyangkut fisik, musikalitas, maupun fungsi. Gamelan Kakelentingandiperkirakansudah ada di atas abad ke XVIII Masehi, berawal dari dua buah instrumen dan berkembang menjadi sembilan instrumen. Gending tradisi yang pada awalnya hanya ada satu, kini sudah bertambah sembilan gending. Hal yang membuat peneliti tertarik meneliti gamelan Kakelentingan dikarenakan, gamelan ini bersifat sakral dan harus ada di setiap prosesi upacara (medal, melancaran, dan nyineb). Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana wujud, fungsi, kontinuitas dan perkembangan gamelan Kakelentingan di Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari. Tujuannya untuk mengetahui wujud, fungsi, kontinuitas dan perkembangan gamelan Kakelentingan. Manfaatnya untuk menambah wawasan, sebagai bahan apresiasi bagi peneliti dan masyarakat luas, serta pihak pemerintah setempat. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, sedangkan landasan teori yang digunakan adalah teori struktural fungsional, teori religi, dan teori estetika. Berdasarkan hasil kajian ini menunjukkan bahwa gamelan Kakelentingan berbentuk barungan kelompok kecil, mempunyai musikalitas, struktur komposisi gending, tata penyajian, dan hiasan. Gamelan Kakelentingan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi religi (pawintenan), fungsi sosial (ngayah), dan fungsi budaya (ngiring). Secara kontinuitas, gamelan Kakelentingan yang berawal dari dua buah instrumen dengan menghasilkan motif pukulan (batel) yang khas dalam fungsinya mengiringi Ida Sesuunan Dewata Nawa Sanga melancaran dan perkembangan gamelan Kakelentingan terlihat dari adanya penambahan jumlah instrumen, perkembangan pola garapan, dan perkembangan reportoar di dalamnya. Kakelentingan derives fromthe root words of kelen or badjra, if sounded will produce ting to become kelenting and get a prefix ka- and suffix -anbecome kakelentingan. Kakelentingan is a a group of gamelan which is related to physicality, musicality and function. Gamelan Kakelentingan is about existed over XVIII century AD, starting from two instruments and developing into nine instruments. Gending tradition, which at first only had one, now has nine gending. This makes researcher interested in researching the Gamelan Kakelentinganbecause, this gamelan is sacred and must be in every ceremony procession (medal, melancaran, and nyineb). The formulation is how the form, function, continuity and development of the gamelan. At the Pura Kahyangan Jagat Luhur Natar Sari. The aim is to find out the form, function, continuity and development of the Gamelan Kakelentingan. The benefits are to add perception, as material for researcher and the wider community, as well as the local government. The method used is a qualitative method, namely the theory used namely structural theory, religious theory, and aesthetic theory. The results of this study indicate that the Gamelan Kakelentingan forms a small group, has musicality,composition structure of gending, presentation system, and decoration. Gamelan Kakelentinganhas three functions, namely religious function (pawintenan), social function (ngayah), and cultural function (ngiring). Continuously, the Gamelan Kakelentingan originates from two instruments by producing a characteristic beat(batel) in its function to accompany Ida Sesuunan Dewata Nawa Sangamelancaran and developing the Gamelan Kakelentinganseen from the number of instruments, the development of patterns of cultivation, and the development of reports in it. 
Gandrung Marsan: Eksistensi Tari Gandrung Lanang Di Banyuwangi Santi, Heni Widya; Arshiniwati, Ni Made; -, Suminto
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.448 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.557

Abstract

Tari Gandrung Marsan merupakan objek yang dijadikan penelitian. Tujuan dari penelitian ini sebagai artikel penunjang untuk mendapatkan gelar S-1 Seni Tari di Institut Seni Indonesia Denpasar. Tujuan lainnya adalah untuk mengungkapkan dan mendeskripsikan keberadaan, bentuk dan keunikan dari tari Gandrung Marsan. Metode yang digunakan pada penelitian adalah kualitatif dengan sumber data berupa primer dan sekunder yang dikumpulkan berdasarkan hasil observasi, wawancara, studi pustaka dan studi dokumentasi. Keseluruhan data tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif dan dibagi dalam 3 tahap, yakni: (1) data yang berhubungan dengan keberadaan tari; (2) data yang berhubungan dengan bentuk tari; (3) data yang berhubungan dengan keunikan tari; dan (4) data yang berhubungan dengan fungsi tari. Hasil yang diperoleh dari penelitian menyatakan, bahwa: (1) Gandrung Marsan merupakan satu-satunya tari Gandrung lanang kreasi yang diciptakan setelah sekian lama tenggelamnya era Gandrung lanang pada tahun 1914 di Banyuwangi; (2) inspirasi penciptaan tari adalah kehidupan seorang Marsan, yang pada tahun 1890 adalah penari Gandrung lanang yang paling terkenal; (3) tari Gandrung Marsan dibawakan oleh 9 orang penari laki-laki memakai kostum gandrung perempuan dengan gerak yang lincah dan kemayu. Salah satu keunikan pada tarian terdapat di akhir pertunjukan, yaitu ketika karakter penari yang awalnya perempuan berubah menjadi laki-laki gagah berpakaian wanita dan berkumis.Gandrung Marsan Dance is the object of research. The purpose of this research as a supporting article to get the degree of S-1 of Dance at Institut Seni Indonesia Denpasar. Another purpose is to express and describe the existence, form and uniqueness of Gandrung Marsan dance. The method used in this research is qualitative with the result of primary and secondary data collected based on observation, interview, literature study and documentation study. The entire data is analyzed descriptively qualitative and divided into 4 parts, namely: (1) data relating to the existence of dance; (2) data related to the form of dance; (3) data related to the uniqueness of dance; and (4) data related to function of dance. The results obtained from the study states that: (1) Gandrung Marsan is the only one Gandrung Lanang creations dance were created after the long sinking of the Gandrung Lanang era in 1914 in Banyuwangi; (2) inspiration for the creation of dance is the life of a Marsan, who in 1890 was the most famous Gandrung Lanang dancer; (3) Gandrung Marsan dance performed by 9 male dancers wearing gandrung women’s costume with agility and wood. One of the uniqueness of the dance is at the end of the show, that is when the of the dancer who was originally a female turned into a handsome man dressed in a woman and a mustache. 
Problematik Notasi Ding Dong Pada Era Information Technology (It) Arya Deva Suryanegara, I Putu
Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan Vol 4 No 2 (2018): Desember
Publisher : Institut Seni Indonesia Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.045 KB) | DOI: 10.31091/kalangwan.v4i2.562

Abstract

Sistem notasi ding-dong pada Gamelan Bali pertama kali dibuat pada tahun 1939 oleh I Wayan Djirna dan I Wayan Ruma, dan disempurnakan kembali oleh guru Kokar Bali (Konservatori Karawitan Bali) pada tahun 1960 untuk tujuan pedagogis. Meskipun sistem ini cukup membantu untuk mentransmisikan karawitan tradisional terdahulu, namun untuk keperluan komposer maupun musisi Bali saat ini masih mengalami keterbatasan. Alasannya pada era information technology (IT) saat ini, notasi Ding Dong masih belum memiliki sarana untuk menotasikan gending gamelan secara digital yang memadai, seperti yang digunakan untuk notasi Barat telah memiliki berbagai jenis aplikasi digital. Sehingga perbaharuan dan perkembangan sangat diperlukan oleh para musisi dan komposer gamelan Bali, karena selain untuk keperluan pribadi, juga untuk keperluan akademis. Bahwasanya kini sering terdapat tuntutan tugas untuk menotasi gending gamelan Bali secara konkrit dan digital.Â