cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER (JHAPER) adalah terbitan berkala yang dikelola dan dipublikasikan oleh Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER), suatu organisasi profesi yang menghimpun para dosen perguruan tinggi negeri yang mengajar dan menekuni mata kuliah Hukum Acara Perdata. Jurnal ini menjadi wadah bagi para dosen yang tergabung dalam ADHAPER, para praktisi hukum dan pengamat hukum untuk memberikan kontribusi pemikiran berupa artikel hasil penelitian dan artikel konseptual untuk dipublikasikan dan disebarluaskan kepada publik. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER juga mengemban misi sebagai salah satu media untuk menampung dan mempublikasikan gagasan-gagasan yang mendorong dilakukannya pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional Indonesia oleh Pemerintah dan Legislatif.
Arjuna Subject : -
Articles 120 Documents
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA NASABAH SETELAH DIBERLAKUKANNYA POJK NOMOR 1/POJK.07/2013 DAN POJK NOMOR 1/POJK.07/2014 Nun Harrieti
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (521.598 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.10

Abstract

Fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan telah beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 31 Desember 2013 yang sebelumnya diemban oleh Bank Indonesia (BI). Sampai tahun 2014 ini OJK telah mengeluarkan dua ketentuan penting yaitu mengenai Perlindungan Konsumen sektor Jasa Keuangan melalui POJK No. 1/POJK.07/2013, dan mengenai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan melalui POJK No. 1/POJK.07/2014. Menarik untuk diteliti bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa nasabah setelah diberlakukannya ketentuan-ketentuan ini, mengingat dua ketentuan ini baru saja disahkan serta bagaimanakah perbandingannya dengan pengaturan sebelumnya yang telah ditentukan oleh Bank Indonesia di dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan PBI No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan atas PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan, mengingat sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 70 UndangUndang No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa ketentuan perbankan yang telah dikeluarkan oleh pemegang otoritas sebelumnya yaitu bank Indonesia masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti oleh peraturan yang baru yang dikeluarkan oleh OJK. Mekanisme penyelesaian sengketa nasabah berdasarkan POJK No. 1/POJK.07/2013 dan POJK No. 1/POJK.07/2014 dilakukan bila proses pengaduan nasabah tidak mencapai kata sepakat dan dapat dilakukan dengan melalui pengadilan maupun diluar pengadilan baik melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun melalui fasilitasi pengaduan nasabah oleh OJK. Perbandingan mekanisme penyelesaian nasabah antara sebelum dan sesudah disahkannya POJK No. 1/POJK.07/2013 dan POJK No. 1/POJK.07/2014 adalah dengan mencari persamaan dan perbedaan dari peraturan sebelumnya sebagaimana diatur di dalam PBI No. 8/5/PBI/2006 jo. PBI No. 10/1/PBI/2008 dan SEBI No. 8/14/DPNP/2006. Kata kunci: Otoritas Jasa Keuangan, penyelesaian sengketa, nasabah
TRANSPLANTASI COMMON LAW SYSTEM KE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Arsha Putra, I Putu Rasmadi
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (744.115 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.33

Abstract

Mengambil sistem hukum yang berasal dari negara lain yang dikembangkan menjadi model hukum di negeri sendiri, bukanlah sesuatu yang baru bagi Negara Indonesia. Hal ini sangat dipengaruhi oleh Asas konkordansi yang dianut sebagai politik hukum Indonesia pada masa Hindia Belanda dan terus dikembangkan pada masa kemerdekaan menjadikan sebuah contoh nyata, Transplantasi hukum terus berlangsung yang dimulai dari zaman pra Kolonial Belanda, hingga sekarang. Begitu juga mengenai Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diamanatkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sehingga dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan BPSK pada beberapa kota di Indonesia. Konon Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ditransplantasi dari Common Law System dengan model The Small Claims Court (SCC) dan The Small Claims Tribunal (SCT). Small Claims Court (SCC) dan The Small Claims Tribunal (SCT) berhasil ditransplantasikan dalam hal substansinya tapi gagal dalam penerapannya karena terjadi benturan perbedaan sistem hukum, dimana sistem hukum Indonesia memiliki struktur, substansi dan budaya tersendiri yang berbeda dengan sistem hukum yang lain. 
PERMASALAHAN PELAKSANAAN PUTUSAN HAKIM Latifiani, Dian
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (429.853 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.1

Abstract

Putusan akhir suatu pengadilan dapat bersifat komdenatoir, konstitutif dan deklaratoir. Hanya putusan yang bersifat komdenatoir yang dapat dipaksakan pelaksanaan putusaannya. Dalam perkara sengketa konsumen (studi putusan 732 K/Pdt/2007), pihak terhukum tidak melaksanakan hukuman berupa membayar sejumlah uang kepada pihak lain. Pihak terhukum, seharusnya berkewajiban untuk melaksanakan dengan sukarela untuk membayar kan sejumlah uang, namun ternyata tidak. Sehingga pihak lawan mengalami kerugian materiil, juga kerugian waktu (mengikuti proses persidangan sampai putusan) namun ternyata hak yang digugat tidak didapat. Alasan pihak kalah untuk tidak melaksanakan putusan bermacam-macam. Ada yang karena memang tidak menerima kekalahannya, ada juga yang tidak memiliki harta/ uang untuk membayar sejumlah kerugiannya tersebut. Dalam instrumen hukum acara perdata terdapat upaya paksa eksekusi melalui tahapan adanya aanmaning, sita eksekusi dan lelang. Ada juga paksa badan yang dapat dilakukan untuk memaksa pihak terhukum (yang tidak beritikad baik) agar dapat melaksanakannya. Dahulu lembaga paksa badan pernah dihapuskan namun sekarang dihidupkan kembali dengan adanya Perma No. 1 Tahun 2000.  Kata kunci: putusan pengadilan, pelaksanaan putusan, paksa badan.
AKSES KEADILAN BAGI MASYARAKAT ADAT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ULAYAT YANG DIBERIKAN HAK GUNA USAHA Lakburlawal, Mahrita Aprilya
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 1 (2016): Januari – Juni 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v2i1.24

Abstract

Hak Guna Usaha sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 ayat(1)UU No. 5 Tahun 1960 diberikan atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dengan demikian tanah ulayat yang diberikan untuk hak guna usaha harus dilepaskan haknya sebagai tanah ulayat menjadi tanah negara berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun1996. Dengan demikian ketika hak guna usaha berakhir status tanah yang diberikan hak guna usaha berubah menjadi tanah negara dan ini menghilangkan status tanah ulayat kesatuan masyarakat hukum adat.Hal ini dalam banyak kasus menimbulkan sengketa pertanahan antara masyarakat adat sebagai pemegang Hak Ulayat dengan perusahaan ketika jangka waktu hak guna usaha berakhir. Keinginan masyarakat adat untuk mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya dengan cara yang cepat dan murah dapat melalui lembaga litigasi. Namun sengketa seringkali diselesaikan dalam jangka waktu yang sangat lama dan menghabiskan biaya yang besar sehingga keinginan untuk mendapatkan keadilan dengan cepat dan biaya murah tidak tercapai.Kata kunci: Hak Guna Usaha, Hak Ulayat, tanah ulayat, sengketa pertanahan 
PROSES KEPAILITAN OLEH DEBITOR SENDIRI DALAM KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 Mantili, Rai
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (618.344 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.15

Abstract

Kesulitan dalam pembayaran utang dapat mengakibatkan debitor mengajukan permohonan pailit terhadap diri sendiri. Permohonan pailit oleh Debitor sendiri dapat dikaji berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Perdata dan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil pembahasan menunjukkan proses beracara terhadap permohonan pailit oleh debitor sendiri menunjukkan bahwa hukum acara yang berlaku bagi pengadilan niaga adalah hukum acara perdata pada pengadilan negeri, sebagaimana diatur di dalam HIR dan RBg. Hanya saja terdapat ketentuan khusus untuk perkara-perkara kepailitan atau PKPU, yaitu berkaitan dengan: kompetensi absolut pengadilan niaga; hakim yang memiliki kualifikasi khusus; jangka waktu proses peradilan yang terbatas; prosedur berperkara dan pembuktiannya lebih sederhana atau mudah; jangka waktu yang lebih pasti untuk tindakan-tindakan prosedural; tidak mengenal lembaga banding, tetapi langsung kasasi dan peninjauan kembali; dan akibat hukum adanya permohonan pailit yang dikabulkan akan menjadikan debitor tidak lagi berwenang mengurus dan menguasai hartanya, sedangkan akibat hukum kepada kreditor akan dilakukan pembayaran piutang dari pemberasan harta kekayaan debitor.Kata kunci: proses, kepailitan, debitor
PERLIDUNGAN HAK KONSUMEN TERHADAP PELAKU USAHA YANG DINYATAKAN PAILIT Hartanto, Heri
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (662.52 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.38

Abstract

Kepailitan pada prinsipnya bertujuan untuk menyelesaikan sengketa utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Dengan syarat yang relatif mudah, debitor dapat dipailitkan hanya karena 2 utang atau lebih dan tidak membayar lunas salah satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih. Bagi seorang pengusaha, menjalankan kegiatan usaha dengan bermodal utang merupakan hal yang wajar, dan seringkali terdapat sengketa dari transaksi dengan mitra bisnis berakibat penundaan pembayaran yang berarti dapat menambah jumlah kreditor/utang. Pembayaran utang Debitor Pailit kepada pada kreditor harus memperhatikan prinsip paritas ceritorium, prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structured creditors. Bagi debitor yang telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, seluruh kreditor baik setuju atau tidak dengan langkah mempailitkan debitor, akan terikat dengan putusan pailit tersebut. Penerapan prinsip structured creditors dalam pembayaran kepada para kreditor tentu akan memberikan keuntungan kepada kreditor separatis maupun kreditor yang memiliki hak didahulukan (preferen), namun akan berdampak buruk bagi kreditor konkuren. Pasal 19 Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlingungan Konsumen, mengatur Pelaku Usaha berkewajiban untuk mengganti rugi apabila konsumen dirugikan akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang harus segera dibayar dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Apabila Pelaku Usaha yang memberikan barang dan/atau jasa dipailitkan oleh Pengadilan Niaga atas pemohonan kreditor atau debitor itu sendiri. Salah satu kelompok kreditor dalam hal Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga adalah para Konsumennya. Dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah diatur tersendiri tentang bagaimana penyelesaian sengketa konsumen dengan menenpatkan posisi konsumen sebagai pihak yang diberi perlindungan. Namun dengan dipailitkannya Pelaku Usaha, menjadikannya tidak cakap hukum dan kehilangan wewenang untuk mengelola kekayaannnya sendiri kemudian beralih kepada kurator. Ketidak mampuan Pelaku Usaha yang dinyatakan pailit untuk memenuhi hak konsumen menempatkan konsumen diposisi sebagai kreditor konkuren dan tidak memiliki hak untuk didahulukan.
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI JALUR LITIGASI Fibrianti, Nurul
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (433.831 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.6

Abstract

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut “UUPK”) mengatur bahwasannya sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dapat diselesaikan menggunakan jalur litigasi dan jalur non litigasi. Penyelesaian sengketa konsumen menggunakan jalur litigasi merupakan penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Dalam praktik penyelesaian sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha di mana putusan hakim telah menyatakan menerima gugatan konsumen namun apabila pihak yang dikalahkan/tergugat/pelaku usaha tidak bersedia melaksanakan putusan dengan sukarela maka pihak yang dimenangkan/penggugat/konsumen harus mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan dengan disertai data tentang objek eksekusinya. Dengan demikian, pihak yang dimenangkan/penggugat (konsumen) yang harus aktif mencari keberadaan harta benda pihak yang dikalahkan/tergugat (pelaku usaha) guna dilakukan eksekusi oleh pengadilan selaku lembaga eksekutorial. Proses eksekusi yang demikian mengakibatkan penggugat terciderai haknya sebagai konsumen karena apabila penggugat (konsumen) tidak mampu mencari keberadaan harta benda pihak tergugat (pelaku usaha) maka hak konsumen berupa kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian yang diatur di Pasal 4 huruf h UUPK tidak akan terpenuhi. Akhirnya konsumen selaku penggugat hanya akan mendapatkan surat putusan yang tidak dapat mengembalikan kerugian yang diderita. Benturan ketentuan Hukum Perlindungan Konsumen dengan Hukum Acara Perdata dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur litigasi tidak memberikan perlindungan terhadap konsumen seperti yang diagung-agungkan dalam UUPK. UUPK yang seharusnya menjadi umbrella act dalam hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha hanya seperti macan tak bertaring. Perlukah pembaharuan aturan hukum acara perdata terkait eksekusi? ataukah revisi UUPK harus segera direalisasikan?Kata kunci: perlindungan konsumen, sengketa konsumen, litigasi
REKONSTRUKSI MEKANISME HUKUM KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA Saija, R
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 1 (2016): Januari – Juni 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v2i1.29

Abstract

Mekanisme hukum kepailitan di Indonesia masih lemah, dan tidak memberikan keadilan bagi para kreditor yang merasa selalu dirugikan kepentingannya. Banyak terjadi perdebatan kepentingan antara para kreditor dan pihak debitor terkait dengan pembagian utang debitor kepada kreditor yang masih didominasi oleh kepentingan debitor pailit. Mekanisme tersebut sangat merugikan para kreditor, yakni proses pembagian utang debitor pailit masih menggunakan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Niaga yang berbelit-belit. Kelemahan proses permohonan pailit yang merugikan kreditor membawa prosedur di Pengadilan Niaga menjadi tidak menentu yang seharusnya dilakukan perubahan. Maka dari itu diperlukan adanya rekonstruksi mekanisme hukum kepailitan di Indonesia untuk menggantikan mekanisme Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 yang seharusnya mengutamakan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebelum pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga bagi debitor yang tidak melaksanakan kewajibannya kepada para kreditor. Maka dari itu UU No. 37/2004 dirasa belum efektif dan kurang teruji untuk memperbaiki status para kreditor serta belum menerapkan asas asas-asas hukum kepailitan dalam proses kepailitan di Indonesia.Kata Kunci: Mekanisme Hukum Kepailitan, Keadilan Kreditor, PKPU. 
PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA Herowati Poesoko
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (725.496 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.20

Abstract

Hukum Acara Perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak diajukan gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim. Oleh karena itu Hukum Acara Perdata akan digunakan manakala ada sengketa perdata. Sehingga bagi orang yang merasa dilanggar atau dirugikan haknya maka kepentingannya dilindungi oleh hukum, dengan cara mengajukan tuntutan/ gugatan ke pengadilan, agar perkara yang menjadi sengketa dapat diselesaikan sehingga pelaksanaan putusannya (eksekusinya) dapat direalisasikan sehingga orang yang merasa dirugikan haknya atau dilanggar haknya, dengan melalui putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kemudian putusannya dilaksanakan (eksekusi), maka hak tersebut dipulihkan kembali kepada yang berhak. Namun demikian harus melalui proses dan diatur oleh Peraturan Perundang-undangan. Pekerjaan seorang hakim tidak semata-mata bersifat teknikal melainkan lebih bersifat intelektual. Untuk menajamkan visi intelektualnya, maka seorang hakim senantiasa berusaha mengenali secara terus menerus lingkungan sosialnya. Hanya dengan jalan demikian seorang hakim akan memiliki kepekaan serta tanggap terhadap dinamika perkembangan hukum maupun dinamika sosial. Seorang hakim dituntut secara aktif dan terus menerus mengikuti dan menelusuri hukum, asas-asas hukum, teori-teori hukum, sumber-sumber hukum, doktrin, yurisprudensi, nilai-nilai hukum yang berlaku, terutama pada saat memberikan pertimbangan hukum (ratio decidendi) hakim harus mampu menafsirkan, berlogika serta argumentasi hukum agar putusannya berpijak pada nilai keadilan, nilai manfaat dan nilai kepastian hukum sehingga wibawa hukum akan tercermin dalam putusannya tersebut.Kata kunci: penemuan hukum, hakim, penyelesaian sengketa
PROBLEMATIKA PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA DI INDONESIA Candra Irawan
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (729.085 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.11

Abstract

Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMA RI) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan seharusnya mampu mempercepat penyelesaian sengketa perdata melalui mediasi (perdamaian) tanpa harus berlanjut pada penyelesaian melalui mekanisme peradilan perdata. Faktanya, proses mediasi seringkali gagal mendamaikan para pihak. Hal tersebut terjadi karena: 1) ketidakcakapan mediator (umumnya mediator berasal dari hakim yang belum bersertifikat); 2) mediasi dianggap memperpanjang waktu penyelesaian perkara di Pengadilan; 3) tidak adanya insentif bagi hakim mediator yang menyebabkan rendahnya komitmen mediator untuk berupaya mendamaikan para pihak; 4) keraguan para pihak terhadap eksekusi hasil kesepakatan mediasi; 5) rendahnya pengawasan dan pembinaan terhadap mediator; dan 6) budaya hukum bermediasi rendah (hakim, advokat dan para pihak). Hal tersebut perlu segera diatasi agar para pihak yang bersengketa lebih memilih mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dari pada harus berjibaku dalam proses peradilan yang melelahkan, lama, mahal dan memposisikan salah satu pihak sebagai pemenang (the winner) dan pecundang (the losser). Apalagi eksistensi hukum mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30Tahun 1999, dan mediasi lebih sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.Kata kunci: mediasi, pengadilan, sengketa perdata

Page 1 of 12 | Total Record : 120