cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER (JHAPER) adalah terbitan berkala yang dikelola dan dipublikasikan oleh Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER), suatu organisasi profesi yang menghimpun para dosen perguruan tinggi negeri yang mengajar dan menekuni mata kuliah Hukum Acara Perdata. Jurnal ini menjadi wadah bagi para dosen yang tergabung dalam ADHAPER, para praktisi hukum dan pengamat hukum untuk memberikan kontribusi pemikiran berupa artikel hasil penelitian dan artikel konseptual untuk dipublikasikan dan disebarluaskan kepada publik. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER juga mengemban misi sebagai salah satu media untuk menampung dan mempublikasikan gagasan-gagasan yang mendorong dilakukannya pembaharuan Hukum Acara Perdata Nasional Indonesia oleh Pemerintah dan Legislatif.
Arjuna Subject : -
Articles 120 Documents
PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN DALAM RANGKA PERLINDUNGAN TERHADAP NASABAH BANK Etty Mulyati
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 1 (2016): Januari – Juni 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v2i1.27

Abstract

Belum terdapat kesetaraan kedudukan antara bank dan nasabah, dalam suatu hubungan hukum yang timbul dari transaksi keuangan yang ditawarkan bank, menempatkan nasabah pada posisi yang lemah dibandingkan dengan bank sebagai penyedia jasa. Hal tersebut dapat menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan timbulnya pengaduan nasabah. Namun penyelesaian tersebut tidak selalu dapat memuaskan nasabah, yang berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank. Ketidakpuasan yang tidak segera diselesaikan dapat menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank. Nasabah dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Sebelumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi perbankan difasilitasi oleh BI dan OJK. Kemudian dibentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) sebagai upaya penyelesaian sengketa secara sederhana, cepat dan relatif murah. LAPS dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasi oleh enam asosiasi perbankan, yang berwenang untuk memeriksa sengketa dan menyelesaikannya melalui mediasi, ajudikasi atau arbitrase.Bank wajib menjadi anggota dan melaksanakan putusan LAPS bila tidak OJK dapat mengenakan sanksi administratif kepada bank.Kata Kunci: sengketa, perbankan, LAPS.
MENGEVALUASI PEMBUKTIAN SEDERHANA DALAM KEPAILITAN SEBAGAI PERLINDUNGAN TERHADAP DUNIA USAHA DI INDONESIA Mulyani Zulaeha
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (620.418 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.18

Abstract

Sistem pembuktian dalam kepailitan menerapkan prinsip pembuktian sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yaitu permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah terpenuhi. Pengadilan Niaga dalam memutus suatu perkara kepailitan hanya terbatas pada pembuktian secara sederhana terhadap unsur yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu debitur mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, apabila persyaratan untuk dinyatakan pailit telah dipenuhi maka debitur tersebut harus dipailitkan oleh Pengadilan Niaga. Pembuktian sederhana dalam kepailitan di satu sisi menerapkan aspek kepastian hukum namun di sisi lain mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan terutama terhadap kepailitan perusahaan prospektif. Hal ini karena tidak ada perbedaan sistem pembuktian antara kepailitan perorangan maupun kepailitan badan hukum (perusahaan). Padahal implikasi putusan pailit perorangan dengan putusan pailit perusahaan berbeda, pailitnya sebuah perusahaan secara mikro akan membawa dampak yang luas terhadap nasib karyawan dan stakeholder, secara makro akan berpengaruh bagi iklim dunia usaha di Indonesia khususnya bagi perusahaan yang masih potensial untuk terus berkembang. Fakta menunjukkan bahwa permohonan pailit yang diajukan di Indonesia lebih banyak terhadap perusahaan dibandingkan dengan permohonan pailit untuk perorangan. Apabila sistem pembuktian sederhana yang berlaku saat ini tetap terus dilaksanakan maka perusahaan yang masih potensial untuk berkembang dapat dinyatakan pailit. Oleh karena itu perlindungan terhadap perusahaan yang masih potensial untuk mendapat perlindungan dari ancaman pailit, melalui evaluasi sistem pembuktian sederhana dalam kepailitan.
PROBLEMATIKA UPAYA PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA DALAM TATA HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA Ghansham Anand; Fiska Silvia Raden Roro
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 1 (2015): Januari-Juni 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (446.294 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i1.9

Abstract

Terhadap putusan yang dijatuhkan dalam tingkat akhir dan putusan yang dijatuhkan di luar kehadiran tergugat (verstek) dan tidak lagi ada upaya untuk mengajukan perlawanan, dalam hukum acara perdata Indonesia dapat dilakukan upaya Peninjauan Kembali atas permohonan pihak yang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah di putus dan dimintakan peninjauan kembali. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat dilakukan satu kali saja. Di dalam praktek beracara di pengadilan,sekalipun ditentukan bahwa upaya peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali namun ternyata pihak yang merasa dirugikan atau belum puas terhadap putusan peninjauan kembali yang telah dia ajukan seringkali kembali mengajukan upaya peninjauan kembali yang kedua kali (peninjauan kembali kedua kali) atau pihak yang merasa dirugikan atas putusan peninjauan kembali, melakukan peninjauan kembali atas peninjauan kembali. Terkait peninjauan kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 tentang Peninjauan Kembali, di mana pada surat edaran tersebut mengandung dua hal pokok. Pertama, apabila suatu perkara diajukan peninjauan kembali yang kedua dan seterusnya, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama menyatakan tidak dapat menerima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke Mahkamah Agung. Kedua, apabila suatu obyek perkara terdapat 2 dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu sama lain baik dalam perkara perdata maupun pidana, dan di antaranya ada yang diajukan permohonan peninjauan kembali, agar permohonan peninjauan kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung. Kata kunci: hukum acara perdata, putusan, peninjauan kembali.
PENJATUHAN PUTUSAN VERSTEK DALAM PRAKTIK DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG DALAM KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA POSITIF DI INDONESIA Ema Rahmawati; Linda Rachmainy
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (744.915 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.32

Abstract

Dalam proses beracara perdata di pengadilan, para pihak tidak selamanya hadir dalam proses persidangan. Ketidakhadiran dapat dilakukan oleh penggugat ataupun oleh tergugat. Ketidakhadiran ini membawa konsekuensi hukum tersendiri. Ketidakhadiran tergugat diatur di dalam Pasal 125 HIR yang dikenal dengan putusan di luar hadir (verstek). Mengenai kapan dijatuhkannya putusan verstek ini menjadi variatif di dalam praktik. Pada prinsipnya, walaupun tergugat tidak hadir, suatu persidangan pemeriksaan perkara haruslah berjalan adil dengan memperhatikan kepentingan dan hak dari tergugat. Perlu diketahui bagaimana pelaksanaan penjatuhan putusan verstek tersebut di dalam praktik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri [Bandung] dalam kajian Hukum Acara Positif Indonesia. Penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Agama Bandung umumnya dilakukan dalam perkara perceraian (gugat cerai atau cerai talak). Penjatuhan putusan verstek umumnya dilakukan setelah tergugat dipanggil dua kali untuk persidangan hari pertama, tetapi tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 125 jo Pasal 126 HIR. Pelaksanaan penjatuhan putusan verstek dalam praktik di Pengadilan Negeri Bandung mayoritas dilakukan dalam perkara perceraian serta perkara lainnya (perkara wanprestasi, perbuatan melawan hukum). Dalam praktik, sebelum dijatuhkan putusan verstek, pemanggilan kepada tergugat yang diketahui tempat tinggalnya tetapi tidak hadir pada hari sidang pertama tanpa alasan yang sah, maka pemanggilan akan diulang kembali dan maksimal dilakukan dua kali pemanggilan. Adapun untuk tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya/tempat kediamannya, pemanggilan kembali untuk hari sidang pertama yang ditentukan umumnya maksimal dilakukan tiga kali pemanggilan sebelum akhirnya dilanjutkan ke proses pembuktian dari penggugat dan pada gilirannya akan dijatuhkan putusan verstek pada hari sidang berikutnya.
LEMBAGA EKSAMINASI PERTANAHAN SEBAGAI ALTERNATIF MODEL PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG PERTANAHAN M. Hamidi Masykur
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 1 (2016): Januari – Juni 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v2i1.23

Abstract

Masalah pertanahan sering menimbulkan sengketa berkepanjangan. Usaha serius pemerintah untuk meminimalkan atau meredam konflik tersebut dibuktikan dengan lahirnya Peraturan Kepala BPN RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Eksaminasi Pertanahan. Lembaga Eksaminasi Pertanahan mempunyai wewenang untuk menyelesaikan konflik pertanahan melalui peneliti, pemeriksa, pengkaji dan memberikan rekomendasi terhadap keputusan maupun konsep keputusan pemberian, konversi/ penegasan/pengakuan, pembatalan hak atas tanah yang diterbitkan BPN RI. Pertanyaan yang muncul adalah mampukah Lembaga Eksaminasi Pertanahan selaku lembaga non litigasi menjawab permasalahan konflik pertanahan yang menjadi penyumbang mengunungnya perkara di Mahkamah Agung. Kelebihan dari lembaga ini adalah dapat menyelesaikan sengketa secara cepat, putusan bersifat win win solution, mengurangi biaya ligitasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi, dan mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke pengadilan. Kelemahannya adalah kurangnya sosialisasi dan belum semu kantor wilayah BPN membentuk tim eksaminasi. Optimalisasi lembaga ini diperlukan agar penyelesaian sengketa pertanahan dapat segera diselesaikan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.  Kata kunci: konflik pertanahan, Lembaga, eksaminasi Pertanahan, penyelesaian sengketa pertanahan, optimalisasi
SIDANG KELILING DAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM ACARA PERDATA: STUDI PENGAMATAN SIDANG KELILING DI PENGADILAN AGAMA TASIKMALAYA Hazar Kusmayanti; Eidy Sandra; Ria Novianti
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (605.99 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.14

Abstract

Penyelesaian sengketa di pengadilan sudah seharusnya didasarkan pada prinsip pemeriksaan perkara secara cepat, sederhana dan biaya ringan. Untuk memperluas akses keadilan bagi masyarakat pencari keadilan, Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman menjalankan sidang keliling sebagai bentuk pelayanan bagi para pencari keadilan. Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan sidang keliling yang dilakukan di Pengadilan Agama Kabupaten Tasikmalaya telah memenuhi beberapa prinsip hukum acara perdata yaitu cepat, sederhana dan biaya ringan. Di antaranya ketika masyarakat terpencil yang mengalami hambatan untuk datang ke kantor pengadilan karena alasan jarak, transportasi dan biaya, ternyata akses pada keadilan dapat diberikan dengan pihak pengadilan yang datang langsung ke lokasi dengan pemeriksaan perkara yang relatif cepat (cukup empat kali sidang) serta adanya sistem kontrol yang efektif dari berbagai unsur untuk menjamin kualitas pemeriksaan perkara. Namun demikian terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaan sidang keliling di antaranya belum ada pedoman pelaksanaan sidang keliling yang baku, tidak semua perkara yang didaftarkan warga dapat diselesaikan dalam sidang keliling, anggaran yang terbatas, perkara yang disidangkan belum semuanya pro deo, kurangnya sarana dan prasarana dan tidak semua pengadilan agama mengadakan sidang keliling.Kata kunci: sidang keliling, hukum acara perdata, peradilan agama
EKSISTENSI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN KERJA DI INDONESIA Agus Mulya Karsona; Efa Laela Fakhriah
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 2 (2016): Juli - Desember 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (715.575 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v2i2.37

Abstract

Keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial yang menggantikan kedudukan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan ditandai dengan adanya perubahan mekanisme penyelesaian perselisihan perburuhan dimaksudkan agar proses penyelesaian perselisihan dapat dilaksanakan secara cepat, tepat, adil dan murah seiring dengan perkembangan era industrialisasi dan ilmu pengetahuan. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial perlu dilaksanakan secara cepat, karena berkaitan dengan proses produksi dan terciptanya hubungan industrial yang harmonis dalam suatu hubungan kerja. Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 56 UU Nomor 2 Tahun 2004, bahwa Pengadilan Hubungan Industrial mengadili perkara-perkara sebagai berikut; ditingkat pertama mengenai perselisihan hak; di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Adapun yang dimaksud dengan perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. Dalam tataran implementasinya praktik penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Hubungan Industrial, masih mengalami banyak permasalahan seperti; Gugatan tidak mencantumkan permohonan sita jaminan; Putusan yang memerintahkan pengusaha untuk mempekerjakan kembali pekerja sulit dilaksanakan karena terkait kebijakan dari perusahaan; Terkait kewajiban penggugat dari pihak pekerja yang harus memberikan pembuktian, menurut hakim Makassar beban pembuktian khususnya terkait surat-surat sulit dipenuhi oleh pekerja dan menjadi kendala dalam proses gugatannya. Akan tetapi untuk mengatasi hal tersebut hakim Surabaya melakukannya dengan mendatangkan saksi-saksi baik teman saat bekerja atau tetangga; Penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui Pengadilan Hubungan Industrial ada kecenderungan menurun, hal ini disebabkan oleh antara lain : pekerja seringkali kalah dalam persidangan; putusan seringkali tidak bisa dieksekusi; pengusaha tidak melaksanakan kewajibannya (ada saran negatif dari pihak pengacara); kemampuan membuat gugatan dari pekerja; kemampuan membayar pengacara dari para pekerja.
KAJIAN HUKUM ACARA PERDATA TERHADAP PELAKSANAAN RENVOOI PROCEDURE DALAM PROSES KEPAILITAN Pupung Faisal
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 2, No 1 (2016): Januari – Juni 2016
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v2i1.28

Abstract

Prosedur renvooi merupakan salah satu mekanisme dalam proses kepailitan, namun UU No. 37Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU No. 37/2004) sangat sedikit mengatur mekanisme tersebut. Pengaturan yang kurang jelas mengakibatkan adanya perbedaan penafsiran di antara Hakim mengenai prosedur renvooi, terutama berkaitan dengan pemeriksaan singkat dan proses pembuktian. Praktik juga menunjukkan bahwa pelaksanaan prosedur renvooi telah sesuai dengan asas sederhana, namun masih belum memenuhi asas cepat dan biaya ringan.Kata Kunci: renvooi procedure, kepailitan, pemeriksaan singkat.  
PATOLOGI DALAM ARBITRASE INDONESIA: KETENTUAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DALAM PASAL 70 UU No. 30/1999 Sujayadi Sujayadi
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 1, No 2 (2015): Juli-Desember 2015
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (652.944 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v1i2.19

Abstract

Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, meskipun demikian putusan arbitrase masih dapat dimohonkan pembatalan kepada pengadilan. Permohonan pembatalan ini untuk mengakomodir prinsip keadilan dan hanya dimungkinkan apabila putusan arbitrase terbukti memenuhi alasan pembatalan sebagaimana diatur dan dibatasi di dalam undang-undang. UU No. 30/1999 sebagai hukum arbitrase (lex arbitri) Indonesia telah menentukan tiga alasan pembatalan putusan arbitrase secara alternatif di dalam Pasal 70. Akan tetapi ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan karena di dalam bagian Penjelasan Umum alinea ke-18 yang menggunakan frase “antara lain”, telah mengakibatkan banyak pihak menafsirkan bahwa alasan pembatalan putusan tidak terbatas pada tiga alasan yang disebutkan dalam Pasal 70 UU No. 30/1999. Selain itu, Penjelasan Pasal 70 UU No. 30/1999 menyaratkan bahwa permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan terlebih dahulu yang membuktikan adanya pelanggaran sebagai alasan pembatalan. Prinsip universal yang berlaku dalam hukum arbitrase negara-negara modern menunjukkan bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase selalu dibatasi oleh undang-undang. Demikian pula Mahkamah Agung RI dalam putusan-putusannya terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase sebagian besar telah berpendapat bahwa alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase bersifat limitatif; dan secara formil permohonan pembatalan putusan arbitrase harus disertai dengan putusan pengadilan yang membuktikan adanya alasan pembatalan tersebut. Namun syarat formil tersebut telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi karena pengaturannya di dalam Penjelasan Pasal 70 UU No. 30/1999 telah melahirkan norma baru yang menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan UUD 1945.Kata kunci: pembatalan, putusan arbitrase
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP MELALUI MEKANISME ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION) I Ketut Tjukup; Dewa Nyoman Rai Asmara Putra; Nyoman A. Martana I Putu Rasmadi Arsha P; Kadek Agus Sudiarawan
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 3, No 2 (2017): Juli - Desember 2017
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (972.431 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v3i2.54

Abstract

Pengaturan class action ke dalam hukum materiil teinspirasi dari pengaturan class action di Amerika pada Pasal 23 Us Federal of Civil Procedure yang telah menentukan persyaratan antara lain numerasity, commonality, typicality dan adequation of representation. Ketentuan hukum materiil di Indonesia belum dilengkapi dengan hukum acara tentang class action. Perkembangan berikutnya untuk lancarnya proses peradilan dan mengisi kekosongan hukum, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2002 Hukum Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dengan digantinya UU No. 23 Tahun 1997 dengan UU No. 32 Tahun 2009, penerapan gugatan class action berpedoman pada PERMA tersebut. Pengaturan class action dalam PERMA No. 1 Tahun 2002 dalam penerapannya masih banyak kekosongan hukum. Proses awal/sertifikasi sangat menentukan sekali apakah gugatan tersebut dapat diterima/masuk sebagai gugatan class action karenanya peran hakim aktif termasuk advocat/kuasa sangat memegang peranan sehingga sambil menunggu UU, hakim berkewajiban menambal sulam PERMA No. 1 Tahun 2002. Oleh karena PERMA No. 1 Tahun 2002 Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) pengaturannya sangat sumir, hakim dalam memeriksa gugatan perwakilan kelompok, khusus dalam proses awal/atau sertifikasi perlu melakukan studi komparasi ke negara-negara yang menganut sistem hukum anglo-saxon yang sudah lama menerapkan class action tersebut. Segala konsekwensi terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam gugatan perwakilan kelompok (class action). Adanya beberapa lingkungan badan peradilan dalam kekuasaan kehakiman sesuai dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman adanya kopetensi yang dimiliki oleh masing-masing badan peradilan (pengadilan negeri) sudah tentu hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus bijak terhadap hal tersebut.

Page 4 of 12 | Total Record : 120