cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
AL-HUKAMA´
ISSN : 20897480     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Al-Hukama': Jurnal Hukum Keluarga Islam di Indonesia diterbitkan oleh Prodi Hukum Keluarga Islam (ahwal As-Syakhsiyyah) Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Jurnal ini memuat tentang kajian yang berkaitan dengan seluruh aspek Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jurnal ini terbit dua kali setahun: bulan Juni dan Desember. p-ISSN: 2089-7480 , e-ISSN: 2548-8147
Arjuna Subject : -
Articles 343 Documents
KOMPARASI KONSEP WALI NIKAH MENURUT SHAFI’IYAH DAN HANAFIYAH Susilo, Edi
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 5 No 1 (2015): Juni 2015
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: Marriage is a strong bond that is described in al-Qur’an as mithaqan ghalizan, an extraordinary bond (solemn pact). Therefore, to reach the validity of marital contract, there are some requirements to fulfill. Among the Muslim scholars of the Islamic thoughts, they all agree to the requirements of the validity of marital contract required but one. It is about a guardian of marriage for woman. Among Syafi’iyyah Islamic thought, a guardian of marriage for woman is an absolute requirement that must be met for the sake of a validity of marriage. While Hanafiyyah Islamic thought, they consider that a guardian of marriage is only recommended and is not the condition to be met. This difference of opinion, of course, cannot be separated from the legal sources they use, the legal reasoning methodology, and their understanding of which. Based on a further elaboration, there are some similarities and differences between Syafi’iyyah and Hanafiyyah scholars’ point of view as are going to be discussed in this article.Abstrak: Pernikahan adalah ikatan yang kuat yang dijelaskan dalam al-Quran sebagai ghalizan mithaqan, ikatan yang luar biasa. Oleh karena itu, untuk mencapai validitas kontrak perkawinan, ada beberapa persyaratan untuk memenuhi. Di antara para ulama Muslim dari pemikiran Islam, mereka semua setuju dengan persyaratan keabsahan kontrak perkawinan, yaitu wali nikah bagi seorang wanita. Di antara pendapat Syafiiyyah, wali nikah bagi wanita merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi demi validitas perkawinan. Sementara menurut Hanafiah, mereka menganggap bahwa wali nikah hanya direkomendasikan dan tidak yang harus dipenuhi. Perbedaan pendapat ini, tentu saja tidak dapat dipisahkan dari sumber-sumber hukum yang mereka gunakan, metodologi pertimbangan hukum, dan pemahaman mereka yang. Berdasarkan penjabaran lebih lanjut, ada beberapa kesamaan dan perbedaan antara titik Syafiiyyah dan Hanafiyah pandang sebagaimana yang akan dibahas dalam artikel ini.Kata Kunci:
PENDAPAT HAKIM PA BANGKALAN DAN ‎PA SIDOARJO MENGENAI STATUS ANAK ‎LUAR KAWIN candrawati, siti dalilah
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 6 No 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (401.428 KB)

Abstract

Abstract: This paper is the result of a field research on the opinion of the judges of PA (Religious Church) Bangkalan and Sidoarjo against the MK’s decision No. 46/PUU-VIII/2010. The MK’s decision is important from the point of view of judge as the law enforcement because it invites a lot of debate in the community. In this research, the author collects data using interview and documentation technique. The collected data is then analyzed by using descriptive-verification technique to describe the opinion of the judges of the MK’s decision No. 46/PUU-VIII/2010. The finding of the study is that the judges of PA interpret the child outside of marital contract includes: a child born by a woman who is not tied to marriage with a man who impregnates her, a child resulted from a sirri marriage, a child born from the infidelity of either within the marital period or not, a child resulted from a living together (samen liven), a child as a result of being raped by a man or more, a child who legally denied by his father, a child as a result of a wrong sexual intercourse, a child born out of a fasid marriage, and a child born from a surrogate mother. The judges of PA also have different opinion about the MK’s decision No. 46/PUU-VIII/2010 on the legal status of a child born outside of a marital contract. There are four kinds of view: the MK’s decision is legally flawed, the MK’s decision needs a new setting, the MK’s decision has a limited effect on a materially child’s civil right, the MK’s decision has the absolute force as the first and the last constitutional court decision. Therefore, it has a legal implication for the child to his mother and father based on science and technology and/or other evidence justified by law as to have a blood relationship between a child and his biological father.Abstrak:  Tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan yang melihat pendapat hakim PA Bangkalan dan Sidoarjo terhadap putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Putusan MK tersebut, penting dilihat dari sudut pandang hakim sebagai pelaksana hukum karena mengundang banyak polemik di kalangan masyarakat. Untuk itu, penulis mengumpulkan data menggunakan teknik wawancara dan dokumentasi. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teknik deskriptif-verifikatif untuk menggambarkan pendapat hakim tentang putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Dengan metode tersebut, penelitian ini menemukan, bahwa para hakim PA menginterpretasikan anak luar perkawinan  meliputi: anak lahir dari perempuan yang tidak terikat perkawinan dengan laki-laki yang menghamili, anak hasil perkawinan sirri, anak lahir dari perselingkuhan baik perempuan terikat perkawinan atau tidak, anak hasil hidup bersama (samen liven), anak lahir akibat diperkosa oleh seorang laki-laki  atau lebih, anak lahir yang diingkari (dili’an) ayahnya, anak lahir akibat hubungan seks salah orang/ salah sangka, anak lahir akibat perkawinan yang fa>sid/ batal, dan dimungkinkan anak lahir dari ibu pengganti (surrogate mother). Para hakim PA juga memiliki pendapat yang berbeda mengenai putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang mengatur status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Ada empat macam pandangan: putusan MK cacat yuridis, putusan MK perlu pengaturan baru, putusan MK berlaku terbatas pada hak perdata anak yang bersifat materiil, putusan MK mutlak berlaku karena merupakan putusan perkara konstitusi tingkat pertama  dan terakhir, karenanya berimplikasi pada hubungan perdata anak selain dengan ibunya juga dengan ayahnya berdasarkan ilmu pengetahuan dan tehnologi  dan/atau bukti lain yang dibenarkan oleh hukum memiliki hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya. Kata Kunci: Pendapat hakim, putusan MK, dan anak luar kawin
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SHAHRUR Sam’un, . Sam’un
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 1 No 2 (2011): Desember 2011
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (507.288 KB)

Abstract

Perdebatan di seputar poligami terus berlangsung hingga kini, antara kelompok yang pro maupun yang kontra menunjukkan analisa masing-masing. Bagi kelompok yang pro menyatakan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam memotret poligami, poligami telah dianggap sebagai kejahatan dan kekerasan pada anak dan perempuan. Sementara kelompok yang kontra menyatakan bahwa urusan berapapun yang menempatkan seorang perempuan pada status isteri dari lalu yang berpoligami sama menyakitkan. Muhammad Shahrur, seorang intelektual muslim yang kontroversional mencoba menawarkan pendekatan baru dengan teori Nazariyah Hududiyah yang cukup menarik dan dianggap solusi tentang ketentuan poligami. Poligami menurut Shahrur tetap sebagai praktek perkawinan yang diakui oleh ajaran Islam, bahkan dianjurkan apabila memenuhi syarat sebagai berikut: pertama, isteri kedua, ketiga atau keempat adalah janda yang mempunyai anak yatim. Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim. Pemikiran Shahrur tersebut, didasarkan pada pandangannya bahwa jika ayat poligami ditinjau dari perspektif teori batas (Nazariyah Hududiyah) maka jelas akan terlihat bahwa permasalahan itu mempunyai ikatan yang erat antara dimensi kemanusiaan dan dimensi sosial, karena batasan yang digariskan oleh Tuhan tidak terlepas dari kondisi manusiawi disamping juga memiliki faedah bagi kehidupan manusia.
PERGAULAN CALON SUAMI ISTRI PADA MASA PRA PEMINANGAN DI SAWUNGGALING WONOKROMO SURABAYA Hadi, Abdul
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 4 No 2 (2014): Desember 2014
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (428.805 KB)

Abstract

Abstract: This article discusses the social interaction between the bride and groom prior their marriage in Sawunggaling Wonokromo, Surabaya. In Islam, as long as the couple has not legally tied knot of marriage, they are not allowed to meet, let alone to make sexual intercourse. Any sexual intercourse outside wedlock is considered adultery and a major sin in Islam. Even if a man and a woman have been engaged to each other, this does not legalize sexual intercourse as long they have not tied knot. However, in Sawunggaling Wonokromo, Surabaya, after a man and a woman engaged for marriage, they are allowed to meet, to chat and even to have sexual intercourse. This interaction is a token of love and the man will be responsible to whatever happening to his fiancée. Certainly, this practice is contradictory to Islamic teaching. A man and a woman engaged to each other will only allowed to meet with the attendance of a member of family to avoid unlawful relationship. Abstrak: Artikel ini membahas tentang pergaulan calon suami istri pada masa pra peminangan di Sawunggaling Wonokromo Surabaya. Pergaulan calon suami-istri dalam masa pra peminangan yang berlaku di Kelurahan Sawunggaling adalah kedua calon diperkenankan bergaul bebas layaknya suami-istri seperti jalan-jalan berdua ke mana saja mereka suka, bincang-bincang berdua dan bahkan tidur sekamar juga ditolelir oleh masyarakat di sana. Pergaulan tersebut merupakan manifestasi kecintaan tehadap calonnya, dan si laki-laki akan bertanggung jawab dengan apapun yang akan terjadi terhadap tunangannya. Ada dua  faktor yang mempengaruhi pergaulan tersebut yaitu: Pertama, faktor lingkungan setempat yang memiliki kebiasaan memperkenankan calon suami-istri bergaul bebas. Kedua, faktor pendidikan masyarakat setempat, yang belum begitu paham terhadap hukum perkawinan Islam khususnya tentang peminangan (khitbah). Bentuk pergaulan calon suami istri pada masa pra peminangan yang terjadi di Sawunggaling Wonokromo Surabaya, dilarang dan diharamkan dalam syariat Islam. Islam hanya memperbolehkan kedua calon bertemu dan pertemuan tersebut harus didampingi mahram supaya tidak terjadi kemungkaran (fāhishah). 
STATUS PERCERAIAN LEMBAGA ‎KEDAMANGAN ADAT DAYAK KECAMATAN ‎PAHANDUT KOTA PALANGKARAYA ‎ Ilmi, Miftahul
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 6 No 1 (2016): Juni 2016
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (474.447 KB)

Abstract

Divorce in Kedamangan institution is a customary that must be done by the Dayak people. Divorce hearing at the Kedamangan institution is set in Central Kalimantan Provincial Regulation No. 16 of 2008 on Dayak local institution in Central Kalimantan. The local regulation explains that Kedamangan agency may issue a certificate of divorce. This research focuses on divorce status in the Kademangan institution of Pahandut, Palangkaraya. The data are collected through interview and observation and then analyzed with descriptive-inductive mindset. The status of divorce existing in Kedamangan institution cannot be categorized as a raj’i nor ba’in divorce since there is no certain regulation of iddah (waiting period for ex-wife to marry), so that reconciliation can be done at any time they want. The law used in Kedamangan institution is the Dayak Customary Law. In Islamic law, such divorce is legitimate because it has met the pillars and conditions of divorce. But the legal consequences of divorce in Kademangan institute is a little bit feared could lead to mafsadah. It is because there is no a clear determination about kind of divorce, reconciliation, and waiting period for a wife. Even, in a formal law, divorce at the Kademangan institutution remains invalid because it is not done in Religious Courts even has been legally regulated on the local regulation.Perceraian di Lembaga Kedamangan merupakan perceraian adat yang wajib dilakukan oleh masyarakat adat Dayak. Sidang perceraian di Lembaga Kedamangan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah. Peraturan Daerah tersebut menjelaskan bahwa lembaga Kedamangan dapat mengeluarkan surat keterangan cerai. Tulisan ini mengkaji status perceraian di lembaga kedamangan adat Dayak Kecamatan Pahandut Kota Palangkaraya.Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan observasi  kemudian dianalisis dengan metode deskriptif dengan pola pikir induktif. Status perceraian dari hasil putusan perceraian di Lembaga Kedamangan tidak dapat dikategorikan dalam jenis talak raj’iy maupun talak bā’in karena tidak adanya ketentuan ‘iddah bagi istri sehingga rujuk dapat dilakukan kapan pun. Landasan hukum yang digunakan di Lembaga Kedamangan adalah Undang-Undang Hukum Adat Dayak dari aturan nenek moyang. Menurut hukum Islam perceraian tersebut sah karena telah memenuhi rukun dan syarat perceraian, akan tetapi akibat hukum dari perceraian di Lembaga Kedamangan sedikit banyak dikhawatirkan dapat menimbulkan ke-maḍarat-an karena tidak adanya ketentuan jenis talak, rujuk, dan ‘iddah bagi istri. Sedangkan secara hukum formil, perceraian di Lembaga Kedamangan tetap tidak sah karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama sekalipun telah diatur dalam Peraturan Daerah.Kata Kunci: perceraian, Lembaga Kedamangan Adat Dayak
PEMBAGIAN WARIS TANAH LANANG DAN TANAH WADON MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Hasanatus S, Siti Nur
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 2 No 2 (2012): Desember 2012
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (571.874 KB)

Abstract

Penelitian lapangan yang dilaksanakan di desa Kemiren kecamatan Glagah kabupaten Banyuwangi dengan judul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian Waris Tanah Lanang dan Tanah Wadon dalam Masyarakat Using di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Banyuwangi”. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa proses pembagian tanah lanang dan tanah wadon masyarakat Using di desa Kemiren masih sangat dipengaruhi oleh adat lama yang mewariskan tanah lanang hanya kepada anak laki-laki dan tanah wadon hanya kepada anak perempuan. Pembagian tanah lanang dan tanah wadon biasanya dibagikan secara waris-hibah dengan jalan peralihan atau penunjukan. Adakalanya dengan cara waris-mayyit, namun pelaksanaannya menunggu sampai anak dewasa (menikah). Proses pembagian waris tanah lanang dan tanah wadon masyarakat Using di Kemiren tidak sepenuhnya sesuai dengan hukum waris Islam. ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan hukum waris Islam misalnya: anak laki-laki hanya mewarisi dari ayahnya (tanah lanang) dan anak perempuan hanya mewarisi dari ibunya (tanah wadon); anak menghijab hirman suami, istri, ayah, dan ibu; dan ada beberapa hal yang sesuai seperti: anak menghijab hirman saudara baik laki-laki maupun perempuan; anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan seluruh harta warisan bila mereka ahli waris tunggal; pembagian tanah lanang dan tanah wadon dengan cara waris-hibah (diperhitungkan sebagai warisan) dan waris-mayyit; penundaan pelaksanaan pembagian waris sampai anak-amak dewasa. Masyarakat bisa melaksanakan pembagian sesuai dengan kesepakatan keluarga asal berdasarkan kerelaan dari semua ahli waris yang memiliki hak dalam harta waris tersebut. Hal ini sangat membutuhkan peran tokoh adat, agama dan masyarakat dalam mensosialisasikan kewarisan menurut adat dan kewarisan dalam Islam.
STATUS IDDAH WANITA YANG DITALAK SETELAH MELAKUKAN HISTEREKTOMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Nailissa’adah, Nailissa’adah
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 5 No 2 (2015): Desember 2015
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: This study deals with Islam’s response to contemporary issues, particularly to address the issues of the ultrasound technology. The results of the research are:  first, ultrasound is a diagnostic technique for testing the inner structure of the body that involves the formation of two-dimensional shadows with ultrasonic wave. The advantage of the ultrasound technique is that it can detect the presence of the fetus in the womb of a woman at the age of 5-7 weeks of pregnancy. In Islamic jurisprudence discourse, there are some opinions among the Muslim scholars who confirm the wisdom of ‘iddah (the waiting period) for woman that it is more dominant to a biological factor which wants to know the net of the womb. Whereas the ultrasound technique is able to determine or detect the woman’s uterus weather she is pregnant or not without having to wait up to three months or four months and ten days. Second, the ultrasound technique can detect fetus quickly and accurately. It cannot affect the provision of ‘iddah which is mentioned in al-Qur’an since bara’atur rahm is the wisdom of ‘iddah. On the other hands, the wisdom cannot be relied in forming law. In addition, the wisdom of determining ‘iddah is not only seen from one side but there are some things behind the regulation of ‘iddah. They are as a tribute to her husband who had died, giving an opportunity return for a man and a woman, as well as a way of worship in carrying out the command of Allah (taabbudi) which is ghair maqul al-mana (the law does not absolutely require a logic).Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menjawab beberapa persoalan mengenai status iddah wanita yang ditalak setelah melakukan histerektomi dalam perspektif hukum Islam. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui teknik dokumentasi, dengan cara membaca dan menelaah buku-buku yang berkaitan dengan histerektomi sebagai penyebab berhentinya menstruasi. Kemudian, data yang terkumpul dianalisis menggunakan teknik deskriptif dan pola pikir induktif-deduktif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat tiga macam histerektomi yang menyebabkan berhentinya haid seorang wanita. Pertama, histerektomi total, adalah operasi pengangkatan rahim dan serviks, tanpa ovarium dan tuba fallopi. Kedua, histerektomi subtotal, adalah operasi pengangkatan rahim saja, dan ketiga histerektomi total dan salfingo-ooforektomi bilateral, adalah operasi pengangkatan rahim, serviks, ovarium dan tuba fallopi. Apabila haid seorang wanita berhenti, dan tertalak oleh suaminya, maka berimplikasi terhadap status iddahnya. Dalam analisis hukum Islam, wanita yang tertalak oleh suaminya dan sebelumnya pernah melakukan histerektomi, maka iddahnya selama tiga bulan. Apabila seorang wanita tengah menjalani iddah, kemudian melakukan histerektomi, maka iddahnya berubah dari iddah dengan menggunakan perhitungan quru’ menjadi iddah dengan perhitungan bulan selama tiga bulan karena telah menopause.
PERATURAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA DAN MESIR Fitria, Isna Noor
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 3 No 1 (2013): Juni 2013
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (438.017 KB)

Abstract

Abstrak: Penelitian ini membahas persamaan dan perbedaan dalam perkawinan beda agama dan dampaknya di Mesir dan Indonesia. Hasil penelitian menyimpulkan, bahwa ada beberapa persamaan dan perbedaan peraturan tentang perkawinan beda agama di Mesir dan Indonesia, di antaranya, perkawinan beda agama di Mesir diperbolehkan sedangkan di Indonesia dilarang. Peraturan ini ditetapkan karena mempertimbangkan maqasid asy-Syari’ah, yaitu hifz ad-Din (menjaga agama) serta mempertimbangkan mafsadah yang lebih banyak dari maslahah. Di Mesir, perkawinan beda agama dapat dicatatkan. Wanita Ahli kitab meminta izin terlebih dahulu kepada keuskupan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan di Indonesia, perkawinan beda agama tidak diperbolehkan, tetapi pasangan beda agama sering mengambil ‘jalan lain’ agar tetap dapat melangsungkan perkawinan. Cara lain itu misalnya, dengan meminta penetapan pengadilan, melakukan perkawinan menurut masing-masing agama, mengikuti salah satu hukum agama, dan menikah di luar negeri. Mengenai kewajiban pemberian nafkah, di Mesir suami tetap wajib memberikan nafkah terhadap istri sekalipun berbeda agama. Sedangkan di Indonesia, tidak ada satupun pasal yang menyebutkan bahwa suami wajib memberikan nafkah terhadap istri yang berbeda agama. Menurut analisis, seyogyanya pengadilan tetap mempertimbangkan kewajiban suami untuk memberikan nafkah. Dalam hal penyebab perceraian karena salah satu pihak berpindah agama, maka di Mesir dilihat terlebih dahulu apakah pihak yang murtad adalah suami atau istri. Jika suami murtad maka perkawinan harus diceraikan, dan masyarakat boleh mengajukan gugatan. Sedangkan di Indonesia, salah satu pihak murtad dan menyebabkan ketidak rukunan dapat menjadi penyebab perceraian.  Kata kunci: Perkawinan, beda agama, Mesir, Indonesia. 
PERNIKAHAN MENURUT HIMPUNAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA TEMANGGUNG JAWA TENGAH Mariati, Isa
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 4 No 1 (2014): Juni 2014
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: This article discusses the implementation process of marriage contract according to the Almighty God Seeker Association in Temanggung regency, Central Java. The marriage contract conducted by the Almighty God Seeker Association is in line with the guideline of marriage horoscope book Betaljemur Adammakna as a reference for the wedding procession, consisting of a groom and a bride, and a marriage contract without a guardian. While, the terms of marriage are determination, noble intention, mutual agreement, and blessing of the family. The marriage contract is performed in the office of the Almighty God Seeker Association and is done with the current belief that they trust. The marriage guidelines are forth in the regulation on the Almighty God Seeker Association. They are about keys of religious harmony, conditions of NGOs establishment in accordance with the Government Regulation no. 37 of 2007 chapter x article 81-83 of the requirements and procedures for marriage registration for the trust seekers. Marriage for the Almighty God Seeker Association in term of Islamic law is invalid because it is not in accordance with the Islamic Law Compilation chapter IV, article 14 of the pillars of marriage that include prospective husband, groom and bride, guardian of marriage, two witnesses, and contract.Abstrak: Artikel ini membahas tentang proses pelaksanaan akad nikah menurut Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Pernikahan yang dilakukan oleh Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini merupakan pernikahan yang memakai pedoman kitab primbon Betaljemur Adammakna sebagai acuan untuk melakukan prosesi pernikahan, dengan rukun pernikahan yang terdiri dari calon suami, calon istri dan ījāb qabūl tanpa wali.  Sedangkan Syarat-syarat pernikahannya adalah tekad, niat suci, saling sepakat dan restu dari keluarga. Pernikahan dilakukan di kantor Himpunan Penghayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dilakukan sesuai aliran kepercayaan yang mereka percayai. Panduan pernikahan tertuang dalam Peraturan tentang Penghayat Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kunci Kerukunan Umat Beragama, Syarat-Syarat Pendirian Ormas/LSM, yang sesuai dengan PP 37 Tahun 2007 dalam Bab X pasal 81-83 tentang persyaratan dan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan. Pernikahan bagi Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ditinjau dari hukum Islam tidak sah, karena tidak sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam bab IV pasal 14 tentang rukun perkawinan yang meliputi calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul.
PENDEWASAAN USIA PERKAWINAN DI BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN KELUARGA BERENCANA KOTA SURABAYA Muhammad, Muhammad
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol 5 No 1 (2015): Juni 2015
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract: Implementation of maturity age of marriage in BAPEMAS (Social Service Institution) and KB (Family Planning) in Surabaya is done by delaying the age of marriage from the provision of the marriage Law No. 1 of 1974 and Islamic Law Compilation (KHI) which has allowed the implementation of marriage at 16 years for woman and 19 years for man to 20 years for woman and 25 years for man. The reasons for the need to postpone or maturity age of marriage is that each pair has had a good maturity of the physical, psychological, social and economic readiness before entering marriage that aims for the creation of marital stability so that the failure of a marriage can be avoided. Although the UUP No. 1 of 1974 and KHI have set the term of age that are allowed to perform marriage, but the view of the implication that may result from marriage conducted under the age of 20 years, so that the mature age of marriage is necessary to realize the happy and prosperous family. Muslim jurists specify a limit age of maturity is a legal benchmark with certain signs of puberty in male and female. However, in order to form a sakinah, mawaddah, and rahmah family, the provision of a limit age for the reason of maslahah as well as preventive measure from all sorts of negative effect of marriage which is also the interpretation of sadd al-dzari’ah.Abstrak: Pelaksanaan Pendewasaan Usia  Perkawinan di BAPEMAS dan KB Kota Surabaya adalah dengan menunda usia perkawinan dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan KHI yang telah mengizinkan pelaksanaan perkawinan pada usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki menjadi 20 tahun bagi perempuan dan 25 bagi laki-laki. Alasan perlunya dilakukan penundaan atau pendewasaan usia perkawinan ialah agar setiap pasangan telah memiliki kematangan baik dari kesiapan fisik, psikis, sosial dan ekonomi sebelum memasuki kehidupan perkawinan yang bertujuan agar terciptanya stabilitas perkawinan sehingga kegagalan perkawinan dapat dihindari. Meskipun UUP Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI telah menetapkan  ketentuan umur yang dibolehkan untuk melaksanakan perkawinan, namun melihat dari adanya implikasi yang kemungkinan ditimbulkan dari perkawinan dilaksanakan di bawah usia 20 tahun, maka pendewasaan usia perkawinan memang perlu dilakukan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera. Para ahli hukum Islam menentukan batasan usia baligh yang menjadi tolak ukur bolehnya melaksanakan perkawinan adalah dengan batasan usia yang berbeda disertai tanda-tanda  baligh tertentu pada laki-laki dan perempuan. Namun, dalam rangka membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah,  ketentuan  batasan usia sangat diperlukan karena mengandung maslahah, sekaligus sebagai tindakan preventif segala macam dampak negatif perkawinan yang juga merupakan interpretasi dari sadd az-zari’ah.

Page 3 of 35 | Total Record : 343