cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jurnal Bina Mulia Hukum
ISSN : 25287273     EISSN : 25409034     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Mulia Hukum (JBMH) adalah jurnal ilmu hukum yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan Maret dan September. Artikel yang dimuat pada Jurnal Bina Mulia Hukum adalah artikel Ilmiah yang berisi tulisan dari hasil penelitian dan kajian analitis kritis di bidang hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 236 Documents
PENGALIHAN HAK RUMAH NEGARA KEPADA PEGAWAI NEGERI DALAM PENERAPAN HUKUM SEWA BELI Kurniati, Nia
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (11.066 KB)

Abstract

ABSTRAKPengadaan Rumah Negara bagi pegawai negeri berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan tugas Pejabat dan/atau Pegawai Negeri. Terdapat penggolongan status rumah-rumah negara, diantaranya terdapat rumah negara yang dapat dialihkan haknya kepada pegawai negeri. Dalam pengalihan hak atas rumah negara kepada pegawai negeri harus dijamin pula keberlangsungan haknya atas tanah. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, didasarkan pada data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terkait rumah negara. Analisis data menggunakan metode analisis yuridis kualitatif. Hasil penelitian, (i) Perjanjian sewa beli merupakan alas hak pengalihan rumah negara golongan III kepada pegawai negeri; (ii) Pengalihan hak rumah negara ditandai dengan penerbitan surat tanda bukti hak milik atas rumah negara oleh pejabat yang berwenang dan pelepasan hak atas tanahnya oleh Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum sebagai dasar penerbitan Sertifikat Tanah oleh Kantor Pertanahan. Kata kunci: pengalihan hak, pegawai negeri, rumah negara, sewa beli. ABSTRACTProcurement of State Housing for civil servant functions as a means of residency or housing and medium for family development as well as to support the duty of officers and/or civil servants. There exists a classification of state housing status, among which are state housing whose rights can be transferred to civil servants. In the event of a transfer of state housing rights to civil servants, the sustainability of their rights over the land must also be guaranteed. The research method used in this study is normative juridical research, based on secondary data in the form of primary law materials and secondary law materials related to state housing. Data analysis is performed using qualitative juridical analysis method. Results of the study, (I) Rent-buy agreement is the base of group III state housing transfer rights to civil servants; (ii) Transfer of state housing rights is indicated by the publication of the letter of evidence of ownership rights over the state housing by authorized officer and the release of its land rights by Dirjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (Director General of Creation and Works of the Ministry of Public Works) to serve as the base for the publication of its Land Certificate by the Land Office.Keywords: rent-buy, state housing, state’s house, transfer of rights.DOI : https://doi.org/10.23920/jbmh.v2n2.18 
PELAKSANAAN HAK ATAS PEKERJAAN TERHADAP TRANSGENDER/TRANSSEKSUAL DI INDONESIA Mamuaya, Hanzel; Karsona, Agus Mulya
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (309.082 KB)

Abstract

ABSTRAKPekerjaan merupakan suatu hal yang sangat penting dan terkait langsung dengan kehidupan manusia. Setiap individu memiliki hak untuk dapat bekerja, memungkinkan dia untuk hidup bermartabat. Tulisan ini membahas mengenai aksessibilitas hak atas pekerjaan di sektor formal terhadap orang-orang atau kelompok transgender/transseksual di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif, dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis yang memberikan gambaran mendalam tentang suatu keadaan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya aksessibilitas hak atas pekerjaan disektor formal masih tertutup bagi transgender/transseksual, yang disebabkan identitas gender mereka yang selalu dipermasalahkan serta terdapatnya kebijakan yang diskriminatif terkait hak atas pekerjaan transgender/transseksual. Sebagai pemikul tanggung jawab terhadap hak asasi manusia, Negara wajib menetapkan langkah-langkah legislasi ataupun langkah lainnya untuk dapat memastikan akssesibilitas hak atas pekerjaan terbuka terhadap transgender/transseksual.Kata Kunci: aksessibilitas, hak atas pekerjaan, transgender/transseksual. ABSTRACTWork is a very important and directly related to human life. Every individual has the right to work, enabling him to live in dignity. This paper discusses the accessibility of the right to work in the formal sector towards transgender/transsexual persons or groups in Indonesia. The research method used is normative juridical, with analytical descriptive research specification that gives deep picture about a condition related to the problem studied. The results show that basically the accessibility to the right to work in the formal sector remains closed to transgender/transsexual, due to their constantly questioned gender identity and discriminatory disclosure of rights to transgender/transsexual employment. State shall establish of legislation measures or other measures to ensure the accessibility of the right to employment is open to transgender/transsexual.Keywords: accessibility, right to wor, transgender/transsexual.DOI : https://doi.org/10.23920/jbmh.v1n1.5 
STATUS HUKUM KEBERADAAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PASCA LEMBAGA ATAU BADAN YANG MENGELUARKAN DITIADAKAN Zaman, Nurus
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Dalam penelitian ini ada 2 (dua) permasalahan yang dikaji. Pertama, bagaimana status hukum keberadaan peraturan perundang-undangan pasca lembaga atau badan yang mengeluarkan ditiadakan. Kedua, bagaimana kekuatan hukum keberadaan peraturan perundang-undangan pasca lembaga atau badan yang mengeluarkan ditiadakan dalam perspektif konseptual dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penelitian yang di dapat: Pertama, Secara konseptual keberadaan peraturan perundang-undangan pasca lembaga atau badan yang mengeluarkan ditiadakan masih tetap berlaku. Terdapat alasan-alasan suatu peraturan perundang-undangan tidak berlaku, yaitu: (1) peraturan perundang-undangan tersebut dicabut oleh pihak yang membentuknya (contario actus). (2) peraturan perundang-undangan tersebut dibatalkan oleh pengadilan; (3) Peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau peraturan baru; dan (4) payung hukun peraturan tersebut sudah tidak berlaku lagi.  Kedua, Keberadaan peraturan perundang-undangan pasca lembaga atau badan yang mengeluarkan sudah ditiadakan secara konstitusional masih tetap berlaku dan memiliki kekuatan hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal II aturan peralihan UUD 1945. 
CROSS-BORDER BUSINESS COMPETITION: KEABSAHAN DAN HAMBATAN PENERAPAN PRINSIP EKSTRATERITORIAL DALAM PENEGAKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA Darmawan, Irma Ambarini; Ikhwansyah, Isis; Faisal, Pupung
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (312.15 KB)

Abstract

ABSTRAKPeningkatan aktivitas perdagangan lintas batas negara mengantarkan Indonesia pada ekonomi internasional yang terintegrasi. Perkembangan tersebut menghadirkan tantangan bagi sistem hukum persaingan usaha sebab kegiatan usaha tidak lagi hanya melibatkan perorangan atau badan usaha yang berkedudukan di satu negara saja. Pendefinisan “Pelaku Usaha” dalam UU No. 5 Tahun 1999, sebagai perorangan atau badan usaha yang berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Indonesia, belum memproyeksikan perkembangan demikian. Namun dalam beberapa perkara, KPPU telah menjatuhkan sanksi yang bersifat ekstrateritorial, yakni kepada pelaku usaha dan perbuatan di luar wilayah Indonesia. Sebagai bagian dari penelitian yuridis normatif, artikel ini membahas mengenai keabsahan penerapan prinsip ekstrateritorial persaingan usaha di Indonesia serta hambatan hukum dan implikasinya terhadap pelaksanaan putusan persaingan usaha yang bersifat ekstrateritorial. Disimpulkan bahwa prinsip ekstrateritorial persaingan usaha tidak dapat diterapkan di Indonesia karena definisi Pelaku Usaha dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak dapat menjangkau aktor dan perbuatan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia sekalipun menimbulkan dampak persaingan usaha tidak sehat di Indonesia. Implikasi dari hambatan hukum yang muncul, antara lain: Pertama, tidak dapat dijatuhkannya sanksi kepada badan usaha asing yang melakukan kegiatan di luar wilayah Indonesia. Kedua, sulitnya pengeksekusian putusan di luar negeri karena tidak adanya kerjasama antar negara dalam hal tersebut.Kata kunci: ekstrateritorial; lintas batas; penegakan hukum; persaingan usaha. ABSTRACTThe increase of cross-border trade activities brings Indonesia to an integrated international economy. This development presents challenges to the business competition legal system because business activities no longer involve individuals or business entities domiciled in one country only. The definition of “Business Actors” in Law No. 5 of 1999, as individuals or business entities that are domiciled or carry out activities within the territory of Indonesia, has not projected such a development. However, in several cases, KPPU has imposed extraterritorial sanctions, namely on business actors and acts outside the territory of Indonesia. As part of normative juridical research, this article discusses the validity of extraterritorial principles application in business competition in Indonesia and the legal obstacles and its implications for the enforcement of extraterritorial business competition decisions. It was concluded that the extraterritorial principle cannot be applied in business competition in Indonesia because the definition of Business Actors in Law No. 5 of 1999 could not reach actors and actions outside the territory of Indonesia even though they had effect of unfair business competition in Indonesia. The implications of legal obstacles to the implementation of extraterritorial business competition decisions are: First, the sanction cannot be imposed on foreign business entities that carry out activities outside the territory of Indonesia. Second, the difficulty of executing decisions abroad because of the absence of cooperation between countries.Keywords: business competition; cross-border; extraterritorial; law enforcement. DOI :  https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n1.10 
PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK SERTA TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN TRANSNASIONAL TERORGANISIR BERDASARKAN KONVENSI PALERMO Ayu, Maria Efita; Putri, Sherly Ayuna
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.275 KB)

Abstract

ABSTRAKKejahatan terorganisir dalam perdagangan perempuan dan anak yang bersifat transnasional merupakan kejahatan yang serius dan berdampak luas bahkan dapat digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana telah ditegaskan dalam Statuta Roma (1998) yang mengatur pengadilan tetap pidana internasional (International Criminal Court). Sasaran ketentuan dalam protokol ll tersebut adalah organisasi kejahatan yang berada di balik perdagangan perempuan dan anak yaitu dengan menghukum para pelakunya dan melindungi korban-korbannya yaitu perempuan dan anak. Di dalam Konvensi Palermo 2000 ditegaskan mengenai tujuan pokok untuk meningkatkan dan memperkuat kerja sama antara negara pihak dalam rangka mencegah dan memberantas kelima jenis kejahatan yang ada dalam konvensi tersebut. Tulisan merupakan hasil penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji dan meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah mengenai perdagangan perempuan dan anak. Konvensi Palermo (2000) merupakan suatu terobosan bagi dunia internasional, khususnya negara-negara anggota PBB untuk secara efektif dan efisien mencegah dan memberantas kejahatan terorganisasi transnasional. Terobosan tersebut dapat dilihat dalam kesepakatan mengenai definisi kelompok terorganisasi (criminal group) dan ruang lingkup dari kejahatan transnasional.Kata kunci: kejahatan terorganisir; korupsi; perdagangan perempuan dan anak. ABSTRACTOrganized crime in the transnational trafficking of women and children is a serious and far-reaching crime and can even be classified as crimes against humanity as stated in the Rome Statute (1998) which regulates the permanent international criminal court. The objective of the provisions in protocol II is the criminal organization behind the trafficking of women and children, namely by punishing the perpetrators and protecting their victims, namely women and children. In the Palermo Convention2000) it is emphasized that the main objective is to enhance and strengthen cooperation between states parties in preventing and eradicating the five types of crimes which are the jurisdiction of the convention. This paper is the result of a research useing normative juridical approach by reviewing, and examining secondary data in the form of legislation, legal principles, and cases relating to the problem regarding to the trafficking of women and children. Further in Article 3 subparagraph (a) Appendix II of the Palermo Trafficking Protocol (2000), describes the definition of human trafficking in more detail. The problem regarding corruption acts can no longer be classified as ordinary crimes but has become an extraordinary crime.Keywords: corruption; organized crime; trafficking.DOI :  https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n1.5 
ASPEK VIKTIMOLOGI DALAM PENYUSUNAN SURAT DAKWAAN PADA PENANGANAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL Panjaitan, Lasma Natalia
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (269.015 KB)

Abstract

ABSTRAKAspek korban masih jarang untuk menjadi perhatian dalam penangan kasus di Indonesia. Salah satunya dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap korban perempuan. Penanganan kasus pidana terhadap korban kekerasan seksual masih sangat minim dengan menggunakan perspektif viktimologi. Salah satu faktor penyebabnya adalah sistem peradilan pidana di Indonesia yang masih berfokus kepada pelaku. Hal itu tercermin dalam proses penyusunan dakwaan oleh jaksa. Dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji bagaimana aspek korban dalam penyusunan surat dakwaan oleh jaksa penuntut umum dalam kasus kekerasan seksual dan sejauh mana mekanisme penanganan perkara yang dilakukan oleh jaksa telah memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual. Tulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menginventarisasi, mengkaji, dan meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan. Hasil analisa dari tulisan ini, penulis menyarankan penting adanya suatu pengaturan dalam sistem peradilan pidana yang mengatur tentang hak-hak korban dan mekanisme yang melibatkan korban dalam proses penanganan kasus kekerasan seksual. Selain itu, sebelum adanya pengaturan khusus yang mengatur tentang pelibatan yang memperhatikan korban, hal tersebut dapat dimulai dengan mengubah perspektif dan tindakan oleh jaksa dalam memandang kepentingan korban, serta jaksa juga bisa menerapkan pasal 98 KUHAP yaitu penggabungan perkara pidana dan perdata.Kata kunci: jaksa; kekerasan seksual; korban. AbstractThe victims aspect is still lacking in criminal proceedings in Indonesia. For example is happened in the process sexual violence against female case. The criminal proceeding of sexual violence case is very minimal by using a victimology perspective. It happen because the criminal justice system in Indonesia still focused on the perpetrators. This is reflected in how the prosecutor’s process compiled the indictment. The case mechanisms carried out by prosecutors also do not fulfill the rights of victims of sexual violence. In this paper, the author will specifically examine the aspects of victims in the preparation of indictments by public prosecutors in cases of sexual violence and the extent to which case handling mechanisms carried out by prosecutors have fulfilled the rights of victims of sexual violence. This paper will use a normative juridical approach by inventorying, reviewing, and examining secondary data in the form of legislation, legal principles, and cases relating to the problem that the author will review, which is related to handling cases of sexual violence against women. The results of the analysis of this paper, the authors suggest that the criminal justice system in Indonesia shall regulates the rights of victims and mechanisms that involve victims in the criminal process, because the existing arrangements cannot accommodate victims’ rights. In addition, it also can be started by changing perspectives and actions by prosecutors in viewing victims as those who have interests and prosecutors can also apply them through article 98 of the Criminal Procedure Code which is a merger of cases criminal law and civil Keywords: prosecutor; sexual violence; victim.DOI :  https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n1.6  
KEDUDUKAN HUKUM KREDITUR BARU PENERIMA PENGALIHAN PIUTANG TANPA PERSETUJUAN AGEN DAN PESERTA SINDIKASI LAINNYA Cita, Huriyah Raih; Abubakar, Lastuti; Mulyati, Etty
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.455 KB)

Abstract

ABSTRAKKredit sindikasi merupakan alternatif pembiayaan skala besar yang digunakan dalam praktik perbankan untuk menaati ketentuan hukum perbankan tentang batas maksimum pemberian kredit, manajemen risiko dan tingkat kesehatan bank. Kekhususan kredit sindikasi yaitu: adanya beberapa bank yang secara bersama-sama bertindak sebagai kreditur terhadap satu debitur, dan hubungan hukum antara mereka dilakukan melalui agen. Pengalihan piutang (cessie) dalam kredit sindikasi dapat dilakukan terhadap perjanjian kredit sindikasi yang bersifat dapat dialihkan, sesuai ketentuan Pasal 613 KUHPerdata. Perjanjian kredit sindikasi umumnya mensyaratkan persetujuan agen dan peserta sindikasi lainnya dalam pengalihan piutang karena adanya kompleksitas hubungan hukum para pihak. Masalah timbul karena pengalihan piutang oleh HSBC kepada Langdale Profits Limited dinyatakan tidak sah karena dilakukan tanpa persetujuan agen dan peserta sindikasi lainnya sesuai ketentuan perjanjian, sebagaimana dimuat dalam Putusan PN Cilacap No. 41/Pdt.G/2012/PN.Clp. dan Putusan MA No. 1345 K/Pdt/2015. Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan syarat-syarat penentu keabsahan pengalihan piutang dan menjelaskan kedudukan hukum kreditur baru. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalihan piutang yang dilakukan tanpa kewenangan mengakibatkan akta cessie menjadi dapat dibatalkan, yang berdampak pada kedudukan hukum kreditur baru. Kreditur baru yang beritikad baik dapat dilindungi secara represif dan kerugiannya dibebankan kepada pihak yang bersalah.Kata kunci: kredit sindikasi; kedudukan hukum kreditur; pengalihan piutang. ABSTRACTSyndicated credit is a large scale financing alternative which has been applied in banking practices following the banking regulations regarding legal lending limit, risk management, and bank health rate. The syndicated credit characteristics are: multiple banks act together as creditor for one debtor, where the legal relation between the parties are conducted by an agent. Loan transfer (cessie) in syndicated credit is executable upon transferrable loan facility, in accordance with Article 613 of The Civil Code. Syndicated credit agreement commonly requires the agent and the other creditors’ consent in a loan transfer due to the complexity of the parties’ legal relations. The issue arised because the loan transfer from HSBC to Langdale Profits Limited was declared unlawful without the consent of the agent and the other creditors as required in the agreement, according to the Verdict of Cilacap Regional Court No. 41/Pdt.G/2012/PN.Clp. and the Verdict of Supreme Court No. 1345 K/Pdt/2015. The purpose of this research is to convey the determining requirements for loan transfer and to explain the legal standing of the new creditor. This research uses descriptive analytical method and normative juridical approach. The results reveal that the loan transfer conducted without the legal capacity will make the cessie agreement voidable, which impacts the legal standing of the new creditor. The new creditor acted upon good faith can be protected repressively with the damages imposed upon the guilty party.Keywords: legal standing of creditor; loan transfer syndicated credit. DOI : https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n1.3  
TEORI DAN KEBIJKAN HUKUM INVESTASI LANGSUNG (DIRECT INVESTMENT) Muchtar, Helitha Novianty
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (354.427 KB)

Abstract

Perkembangan investasi langsung (Direct Investment) dari masa ke masa mengalami banyak pro dan kontra, banyak literature membedakan antara penanaman secara modal langsung (Direct Investment) dan penanaman modal tidak langsung (Indirect Investment). Perbedaan jenis penanaman modal ini didasarkan atas definisi keduanya yang berbeda, Direct Investment dan Indirect Investment memiliki perbedaan pada “karakter yuridis” istilah yang digunakan Prof. Rahmi Jened, penulis buku ini untuk memaparkan pengertian penanaman modal langsung dari aspek yuridis.DOI : https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n1.11
QUO VADIS MALPRAKTIK PROFESI DOKTER DALAM BUDAYA HUKUM INDONESIA Komalawati, Veronica
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (347.458 KB)

Abstract

ABSTRAKProfesi sebagai “moral community” memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Menolong dan menyelamatkan adalah cita dan nilai yang diharapkan dapat diwujudkan oleh profesi dokter. Kemurnian niat, keluhuran budi, dan kerendahan hati adalah tiga pilar yang menopang kinerja profesi dokter sebagai profesi mulia. Kepercayaan, saling menghormati, dan komunikasi merupakan esensi hubungan dokter dan pasien. Hukum sebagai institusi moral bertumpu pada perilaku manusia yang baik, namun dalam praktik dapat terjadi suatu tindakan Malpraktik. Malpraktik medis adalah kelalaian yang dilakukan dokter akibat ketidakcermatan dan kurang hati-hati dalam menjalankan profesi. Tuntutan malpraktik adalah pengejewantahan erosi kepercayaan pasien terhadap kinerja dokter selaku pengemban profesi mulia. Artikel ini membahas tentang qua vadis malpraktik profesi dokter. Disimpulkan bahwa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran serta komersialisasi pelayanan kesehatan mengakibatkan terjadinya erosi hubungan kepercayaan antara dokter dan pasien. Maraknya tuntutan malpraktik memicu munculnya defensive medicine sebagai mekanisme pertahanan diri dokter agar terhindar dari risiko tuntutan, dengan memanfaatkan isu kemajuan iptek untuk melakukan pemeriksaan secara berlebihan maupun merujuk pasien ke fasilitas lain yang lebih canggih.Kata kunci: hukum; malpraktik; profesi dokter.ABSTRACTA profession as a “moral community” has common ideas and values. Helping and saving are the ideals and the values that are expected to be realized by the medical professional. A pure will, nobility, and humility are the three pillars which build the medical profession as a noble profession. Trust, mutual respect, and communication are the essence of the doctors-patients relationship. In this case, law as a moral institution rests on good human behavior is to prevent medical malpractices which are commonly occurring. Medical malpractice is negligence carried out by doctors due to inaccuracy and inadvertent conduct. Malpractice suits arrises as the manifestation of eroding patients’ trust in the doctor’s performance. This article discusses the Quo Vadis of professional medical malpractice. The conclusion of this research is that the rapid development of medical science and technology and the health services commercialization resulted in the erosion of the trust relationship between doctors and patients. The rising number of malpractice cases triggers the emergence of defensive medicine as a doctor’s self-defense mechanism to avoid the prosecution risk. This is done by utilizing the issue of science and technology development to conduct excessive checks or refer patients to other more sophisticated facilities.Keywords: doctor profession; law; medical malpractice.DOI : https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n1.1
KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN UNDANG-UNDANG ADMNISTRASI PEMERINTAHAN Riza, Dola
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (344.475 KB)

Abstract

ABSTRAKKTUN sebagai objek sengketa di PTUN telah diatur dalam UU PTUN termasuk prosedurnya. Setelah diundangkannya UU AP, KTUN dan prosedurnya ini juga turut diatur dalam UU AP, namun terdapat perbedaan dalam pengaturan terhadap hakikat keputusan dan prosedurnya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi dokumen dengan teknik analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pengaturan terhadap 3 aspek yang diatur dalam UU PTUN dan UU AP, yaitu pertama pengaturan terhadap hakikat KTUN, kedua pengaturan terhadap status permohonan yang didiamkan oleh Badan dan/atau Pejabat TUN, ketiga pengaturan terhadap pengajuan gugatan yang melalui upaya administratif berupa banding. Meskipun terdapat perbedaan, pengaturan untuk hukum materil berpedoman kepada UU Administrasi Pemerintahan dan hukum formil tetap berpedoman kepada UU PTUN. Implikasi dari Pengaturan terhadap hakikat KTUN dalam UU PTUN dan UU AP adalah terjadinya perluasan kriteria KTUN dan perluasan kewenangan PTUN.Kata kunci: administrasi pemerintahan; keputusan TUN; sengketa.ABSTRACTDecision of State Administration as the object of dispute in the state administrative court has been regulated in the statutory administrative law of the state including its procedures. After the promulgation of the law of the Government Administration, The state administrative decisions and procedures are also governed by the laws of the Government Administration. but there are differences in the arrangement of the nature of decisions and procedures. Type of research used is normative legal research with used is approach to legislation and conceptual approaches. The legal material used is primary, secondary and tertiary legal materials. The technique of collecting the legal material used is study documents with used qualitative analysis techniques. Based on the results of the study can be concluded that 1). there are different settings against the 3 aspects set forth in laws of state administrative courts and government administration laws that is, the first is the regulation of the nature of the state administrative decisions, the second is the regulation of the status of the government’s silenced petition, third is the arrangement of a lawsuit filed through an administrative appeal in the form of an appeal, Although there are differences, arrangements for material law are guided by the laws of the Government Administration and formal law remains guided by the state administrative court law. 2). Implications of Arrangements on the nature of state administrative decisions in state administrative justice laws and Government Administration laws are the occurrence of expansion of the criteria of state administrative decisions and expansion of the authority of the state administrative court.Keywords: goverment administration; decision of state administration; dispute. 

Page 5 of 24 | Total Record : 236


Filter by Year

2016 2023


Filter By Issues
All Issue Vol. 8 No. 1 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 8 Nomor 1 September 2023 Vol. 7 No. 2 (2023): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Number 2 Maret 2023 Vol. 7 No. 1 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 7 Nomor 1 September 2022 Vol. 6 No. 2 (2022): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 2 Maret 2022 Vol. 6 No. 1 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 6 Nomor 1 September 2021 Vol. 5 No. 2 (2021): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 2 Maret 2021 Vol. 5 No. 1 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 5 Nomor 1 September 2020 Vol 4, No 2 (2020): VOL 4, NO 2 (2020): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol. 4 No. 2 (2020): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 2 Maret 2020 Vol. 4 No. 1 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 4 Nomor 1 September 2019 Vol. 3 No. 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 2 Maret 2019 Vol 4, No 1 (2019): JURNAL BINA MULIA HUKUM Vol 3, No 2 (2019): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 3 No. 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 3 Nomor 1 September 2018 Vol. 2 No. 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 2 Maret 2018 Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 2 No. 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 2 Nomor 1 September 2017 Vol. 1 No. 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 2 Maret 2017 Vol 2, No 1 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 1, No 2 (2017): Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 1 No. 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 1 September 2016 Vol 1, No 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum More Issue