cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota banda aceh,
Aceh
INDONESIA
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial
ISSN : 25414682     EISSN : 26145642     DOI : -
Core Subject : Social,
he publication of Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial was based on the enthusiasm of lecturers of Law Department, UIN Ar-raniry to express their thought trhrough writing. However, at that time, the Law Department did not have a media to accommodate their enthusiasm. Hence the publication of this journal is very important. Interestingly, the presence of the journal is warmly welcome by Sharia and Law faculty's lecturers. In addition, the publication of the journal has contributed to the accreditation process of the Law Department as a new major in UIN Ar-raniry. The publication of the printed version of Journal Justisia in 2016 had a positive impact on the result of "B" level accreditation based on the assessment National Committe of Accreditation.
Arjuna Subject : -
Articles 110 Documents
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Perdata Tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dalam Penyelesaian Hubungan Industrial (Study Kasus di Pengadilan Negeri Kelas IA Banda Aceh) Aripin Abdullah; Egar Shabara
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (310.506 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v4i1.5960

Abstract

Perselisihan atau perkara sengketa sering terjadi dalam setiap hubungan antar manusia, bahkan mengingat subjek Hukum pun telah lama mengenal Badan Hukum, maka dari itu para pihak yang terlibat di dalamnyapun sudah semakin banyak. Maka penyelesaian perselisihan hubungan industrial dengan Negara menghadirkan P.H.I (Pengadilan Hubungan Industrial) sebagai lembaga utama penyelesaian sengketa menjadikan system penyelesaian lebih bersifat liberal dan cenderung tidak demokratis. Jalannya perkara sepenuhnya berada di tangan para pihak yang berselisih. Peran pemerintah (eksekutif) untuk terlibat dalam perselisihan ketenagakerjaan/perburuhan menjadi jauh berkurang, peran keterlibatan dalam proses penyelesaian perkara beralih kepada pengadilan (yudikatif). Adapun masalah di dalam penelitian ini antara lain : 1.Bagaimana Mekanisme penyelesaian sengketa Hubungan Industrial yang sesuai dengan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial No. 2 Tahun 2004 dan fakta yang ada di PN Banda Aceh. 2. Berapa jumlah perkara sengketa yang sudah mendapat putusan dari tahun 2015 sampai dengan 2017. Metodelogi penelitian yang penulis gunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah metode penelitian kualitatif. Dalam skripsi ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada di dalam masyarakat. Dalam hasil penelitian perkara PHI dapat di selesaikan dalam dua cara yaitu litigasi dan Non-litigasi, Pasal 57 UU No. 2 tahun 2004 “bahwa penyelesaian sengketa Pengadilan Hubungan Industrial dikenal ada 2 (dua) jenis pemeriksaan : Pemeriksaan dengan acara biasa, dan Pemeriksaan dengan acara cepat, penulis dapat menyimpulkan bahwa di Lembaga Pengadilan Hubungan Industrial menyelesaikan Sengketa PHI dapat di selesaikan baik secara Litigasi maupun Non Litigasi dalam mekanisme penyelesaian perkaranya di lembaga Pengadilan.
LANDASAN TEORI HAK ASASI MANUSIA DAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Yumna Sabila; Kamaruzaman Bustamam; Badri Badri
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.026 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v3i2.5929

Abstract

Kejahatan Hak Asasi Manusia merupakan juga sebagai kejahatan Internasional maka ada keterkaitan hak asasi manusia dan hukum pidana internasional. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan atau tindak pidana, yaitu karena melanggar ketentuan hukum hak asasi manusia dengan dikenai suatu sanksi pidana dalam lingkup nasional maupun internasional. Pengaturan hukum mengenai hak asasi manusia (nasional dan internasional) pada hakikatnya sebagai rangka dalam melakukan perlindungan dan penegakan hukum atas hak asasi manusia.Dalam hukum pidana internasional terkait perkembangannya dan sejarahnya tidak terlepas dari sejarah perkembangan hak asasi manusia. Keterkaitannya memiliki ketergantungan dan berkesinambungan satu sama lain, sebagai contoh terbentuknya kejahatan-kejahatan baru dalam dimensi internasional (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan peranng, dan agresi).  Pelanggaran terhadap hak asasi manusia berkaitan langsung dengan para subjek-subjek hukum itu sendiri, serta pelanggaran yang dilakukan termasuk dalam lingkup nasional ataukan internasional yang nantinya akan mempunyai hubungan dalam menyelesaikan pelanggaran itu di hadapan hukum yang berlaku. Prinsip hak asasi manusia ada yang berupa prinsip universalitas, prinsip universal ini dimaksudkan bahwa hak asasi adalah milik semua orang karena kodratnya sebagai manusia. Prinsip setiap orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi, prinsip ini menyatakan bahwa setiap orang dilahirkan secara bebas dan memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan karena alasan tertentu. Dan ada yang terakhir prinsip pengakuan indivibility dan interdependence of different right. Prinsip ini menyatakan bahwa dalam rangka memenuhi hak asasi manusia maka tidak dapat dipisahkan antara pemenuhan hak-hak sipil dan politik dengan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Karena ruang lingkup dari keduanya itu saling berhubungan.
PENGRUSAKAN HUTAN DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PERUSAKAN HUTAN Jaymansyah Jaymansyah; Emk Alidar Emk Alidar
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (270.631 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v3i1.5083

Abstract

Secara cermat pengertian illegal logging dalam Peraturan Perundang-Undangan, khususnya dalam Undang-undang kehutanan, tidak akan ditemukan secara jelas mengenai pengertian tersebut. Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary“ Illegal“ artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum,haram. Dalam Black’s’ law Dictionary illegal artinya (fobidden by law; unlawful’s) artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. “ Log’’ dalam bahasa Inggris artinya, batang kayu atau kayu gelondongan, dan “ Logging’’ artinya, menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. Sementara itu, berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan bahwa illegal logging menurut bahasa berarti menebang kayu yang kemudian membawa ketempat gergajian. Defenisi lain dari penebangan liar (illegal logging) adalah berasal dari temu karya yang diselenggarakan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia Telapak Tahun 2002, yaitu illegal logging adalah operasi atau kegiatan kehutanan yang belum mendapat izin dan yang merusak. Forest wach Indonesia (FWI) dan Global forest wach menggunakan istilah “ Illegal’’ yang merupakan istilah dari penebangan liar (illegal logging), yang menggabarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai hukum Indonesia. Lebih lanjut FWI dan GFW membagi penebangan liar (illegal logging) menjadi dua yaitu: pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang di milikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon yang ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.
Ketentuan Calon Kepala Daerah Dari Pns Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara Muhammad Syuib
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (188.362 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v4i2.5965

Abstract

Undang-Undang Dasar 1945 mengisyaratkan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. Isyarat ini tertuang dalam Pasal 28D ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Berdasarkan Pasal 123 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa  Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon. Untuk itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui landasan pertimbangan PNS harus mundur jika maju dalam Pilkada. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menjelaskan landasan pertimbangan sehingga PNS harus mundur dari jabatan organiknya jika maju sebagai calon kepala daerah. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yang menitik beratkan pada penelitian data kepustakaan atau yang disebut data sekunder, serta mengkaji peraturan perundang-undangan berkaitan dengan persyaratan pencalonan bagi PNS yang maju sebagai calon kepala daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PNS harus mundur dari jabatan negeri adalah bagian dari ketundukkannya terhadap aturan-aturan yang mengatur birokrasi pemerintahan dan aturan-aturan kepegawaian karena ketika seseorang telah memilih menjadi PNS maka dia telah mengikatkan diri dalam ketentuan-ketentuan yang mengatur dirinya sebagai aparatur negara. Selain itu, agar terhindar dari adanya penyalahgunaan wewenang karena hal itu melanggar hukum.
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA PERDATA TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DALAM PENYELESAIAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A BANDA ACEH Egar Sabara; Sitti Mawar
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.562 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v3i2.5934

Abstract

Pelaksanaan hubungan industrial di perusahaan selalu dipengaruhi oleh dinamika masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya selalu menghadapi tantangan dan rintangan dan berpengaruh pada kondisi hubungan kerja yang selalu berubah dari waktu ke waktu. Secara garis besar, permasalahan yang terjadi dalam hubungan kerja berpengaruh kepada hubungan industrial, antara lain meliputi pemahaman teknis undang-undang bidang hubungan industrial tentang hakekat hubungan kerja, mengenai permasalahan perjanjian kerja yang menjadi dasar terbitnya hubungan kerja yang diatur tentang hak dan kewajiban para pihak, penggunaan perjanjian kerja waktu tertentu untuk semua jenis pekerjaan dan kecenderungan menggunakan pekerja outsourcing, dan upaya-upaya perbaikan syarat kerja yang diatur dalam ketentuan normatif. Perikatan yang timbul karena perbuatan orang terdiri atas perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum. Dalam praktek dunia bisnis yang berlaku sekarang, sudah ada suatu standar kontrak yang baku, karenanya para pihak tinggal mempelajarinya, apakah ia setuju atau tidak terhadap syarat-syarat yang tercantum dalam kontrak tersebut. Biasanya dalam standar kontrak dicantumkan suatu klausul bahwa apabila terjadi suatu perselisihan atau perbedaan penafsiran tentang isi perjanjian, akan diselesaikan oleh lembaga arbitrase (badan perwasitan). Hal ini berarti sejak para pihak menyetujui dan menandatangani kontrak tersebut, sudah menyatakan diri bahwa perselisihan yang mungkin akan terjadi diselesaikan oleh lembaga arbitrase. Adapun tugas lembaga arbitrase adalah menyelesaikan persengketaan yang diserahkan kepadanya berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
TINJAUAN TEORI TENTANG HUBUNGAN BATAS WILAYAH DAN STATUS KEPENDUDUKAN MENURUT PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA Afandi Anggara; Jamhir Jamhir
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/justisia.v3i1.5089

Abstract

Batas wilayah di darat adalah pembatas Wilayah administrasi Pemerintahan antar Daerah yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti punggung bukit  (watershed), median sungai dan/atau unsur buatan di lapangan yang dituangkan dalam bentuk peta.Dalam Permendagri No. 76 tahun 2012, disebutkan bahwa penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan titik-titik koordinat batas daerah yang dapat dilakukan dengan metode kartometrik dan atau survei di lapangan, yang dituangkan dalam bentuk peta batas dengan daftar titik-titik koordinat batas daerah. Metode kartometrik ini diharapkan dapat mengurangi kegiatan survei lapangan yang biasanya memerlukan dana yang besar dan waktu yang relatif lama pada kondisi medan yang sulit dijangkau.Penegasan batas daerah secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 dan telah direvisi dengan Peraturan Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penegasan Batas Daerah. Pengertian batas daerah dibagi menjadi dua yaitu, batas daerah  di darat dan batas daerah di laut. Batas daerah di darat adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antar daerah yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti igir (batas alam) atau punggung gunung atau pegunungan (watershed), median sungai dan/atau unsur buatan di lapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Batas daerah di laut adalah pembatas kewenangan pengelolaan sumber daya di laut untuk Daerah yang bersangkutan yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat diukur dari garis pantai. Batas Daerah secara pasti di lapangan adalah kumpulan titik-titik koordinat geografis yang merujuk kepada sistem georeferensi nasional dan membentuk garis batas wilayah administrasi Pemerintahan antar Daerah 
Tinjauan Sosiologis Tentang Pegadain Terhadap Tanah Pertanian, Menurut Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 (Studi Kasus di Kampung Tingkem Asli dan Tingkem Bersatu Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah) Ridwan Nurdin; Nurdin Seniara
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (272.148 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v4i1.5961

Abstract

Mengenai pegadaian tanah pertanian yang terjadi di Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah yang sering menjadi permasalahan seperti orang yang mengadaikan tanah pertanian sering kehilangan tanahnya, dikarenakan tidak bisa menebusi tanah pertanian yang dia gadaikan. Bagaimana pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian di Kampung Tingkem Asli dan Tingkem Bersatu Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah setelah berlakunya pasal 7 ayat 1 Undang-undang  Nomor 56 Tahun 1960, faktor-faktor apa saja yang menghambat penerapan pasal 7 ayat 1 Undang-undang  Nomor 56 Tahun 1960 di Kampung Tingkem Asli dan Tingkem Bersatu Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah. Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan kajian metode lapangan (field research) dengan menggunakan beberapa teknik yaitu observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Data-data yang terkumpul tersebut bersumberkan kepada data primer yaitu data-data yang peneliti peroleh dari lapangan dan data skunder yaitu data-data yang di peroleh dari buku-buku dan karya tulis ilmiah yang mempunyai hubungan dengan masalah yang diteliti. Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil yang didapat berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan berdasarkan tinjauan sosiologis tentang pegadaian tanah pertanian di Kampung Tingkem Asli dan Tingkem Bersatu Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah, setelah berlakunya undang-undang pasal 7 (1) nomor 56 tahun 1960, kalangan masyarakat di Kampung Tingkem Asli dan Tingkem Bersatu Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah, pelaksanaan Gadai Tanah Pertanian masih menggunakan cara pegadaian secara Hukum Adat. Secara umum menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan gadai tanah pertanian masyarakat Kampung Tingkem Asli dan Tingkem Bersatu menyimpang dari ketentuan undang-undang nomor 56 tahun 1960 pasal 7 (1) yang menyinggung mengenai gadai tanah pertanian, dikarenakan masyarakat sudah terbiasa dengan gadai secara hukum adat dalam masyarakat.
TINJAUAN SOSIOLOGIS TENTANG PEGADAIAN TERHADAP TANAH PERTANIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 56 PRP TAHUN1960 (STUDI SENGKETA GADAI TANAH PERTANIAN DI KAMPUNG TINGKEM ASLI DAN TINGKEM BERSATU KECAMATAN BUKIT KABUPATEN BENER MERIAH) Nurdin Seniara; Ridwan Nurdin
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (332.512 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v3i2.5930

Abstract

Gadai ialah suatu yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang yang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada orang yang berpiutanguntuk mengambil pelunasan dari barang tersebut, secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya. Dengan kecualian hanya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.  Jadi dalam jual gadai terdapat dua pihak, pihak yang menyerahkan tanah, atau pihak pemberi gadai dan pihak kedua adalah pihak menerima tanah atau pihak penerima gadai. Pihak penerima gadai inilah yang harus menyerahkan sejumlah uang tertentu. Perkataan jual menurut hukum adat berarti menyerahkan (over dragen) jadi tidak identik dengan perkataan verkoop dalam bahasa Belanda, dalam perkataan verkoop disinggung pengertian berpindahnya hak milik. Dilain pihak istilah verkoop seolah-olah pihak pertama terikat pada suatu jangka waktu, yang berarti bilamana jangka waktu telah lewat maka pihak kedua menjadi pemilik tanah yang bersangkutan, sedang dalam lembaga jual gadai tidaklah demikian halnya.
KESADARAN MEMBAYAR TARIF PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK SEPEDA MOTOR DI POLRI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 60 TAHUN 2016 (STUDI KASUS MASYARAKAT KECAMATAN JANGKA BUYA) Multazam Multazam; Arifin Abdullah
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 3, No 1 (2018)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (165.656 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v3i1.5084

Abstract

Penerimaan Negera Bukan Pajak (PNBP) merupakan penerimaan negara yang diperoleh karena pemberian pelayanan jasa/penjualan barang milik negara untuk departemen/lembaga kepada masyarakat. Penerimaan ini dapat berasal dari pungutan dalam bentuk iuran, retrubusi, sumbangan atau pungutan yang dikenakan atas pemberian layanan/jasa oleh departemen/lembaga, penjualan batang milik negara, baik yang dilakukan secara lelang umum/terbatas maupun penjualan di bawah tangan, serta penyewaan/peminjaman/pengontrakan barang-barang atau fasilitas milik negara. Adapun Dasar Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Menurut UU Nomor 20 Tahun 1997 Tentang PNBP Pasal 1 Angka 1. Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan seluruh Penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. PNBP diantaranya adalah sumber daya alam, bagian pemerintah atas laba BUMN, serta penerimaan negara bukan pajak lain salah satunya PNBP POLRI.Setiap anggaran kementrian negara/lembaga pada dasarnya mempunyai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersifat umum tidak berasal dari pelaksana tugas pokok dan fungsinya, antara lain seperti penerimaan hasil penjualan barang investasi kantor yang tidak digunakan lagi, penerimaan hasil penyewaan barang milik negara, hasil penyimpanan uang negara pada bank pemerintas atas jasa giro, penerimaan kembali uanpersekot gaji/tunjangan, selain penerimaan umum tersebut masih ada lagi PNBP yang bersifat fungsional yaitu penerimaan yang penerimaan yang berasal dari hasil pungutan kementrian negara/lembaga atas jasa yang diberikan sehubungan dengan tugas pokok dan fungsinya dalam melaksanakan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Penerimaan fungsional tersebut terdapat pada sebagian besar kementrian negara/lembaga dengan kementrian negara/lembaga lainnya, tergantung kepada jasa/pelayanan yang diberikan oleh masing-masing Kemetrian/Lembaga.
Peran Legislatif Perempuan Dalam Pembentukan Qanun di DPRA Periode 2014-2019 Tinjaun Dari Perspektif Islam Bustamam Usman
Jurnal Justisia : Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Law Department, Sharia and Law Faculty.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.188 KB) | DOI: 10.22373/justisia.v4i2.5966

Abstract

Peran merupakan keikutsertaan dalam kegiatan baik dilembaga maupun masyarakat. Salah satu peran dan kedudukan perempuan di DPRA adalah dalam proses pembentukan Qanun. Qanun merupakan produk hukum yang dibuat oleh DPRA bersama dengan gubernur Aceh yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam hal ini yang menjadi rumusan masalahnya adalah bagaimana peran perempuan pada masa sultaniah sampai sekarang dan bagaimana kedudukan perempuan selama perempuan tersebut terlibat dalam pembentukan tersebut dengan tinjauan hukum Islam. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana  peran perempuan dalam pembentukan Qanun di DPRA selama menjabat sebagai anggota legislatif untuk mengetahui kendala dan peluang yang dihadapi oleh politikus perempuan dalam pembentukan Qanun. Penulis melakukan penelitian kualitatif dengan  menggunakan pendekatan  normatif empiris  yaitu penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan hukum normatif (kodifikasi, Undang-Undang atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.  Sumber data yang diambil oleh penulis, melalui sumber data primer dan data sekunder. Sumber data primer  melalui penelitian lapangan yaitu dengan melakukan wawancara dengan anggota DPRA. Sedangkan sumber data sekunder melalui penelitian keperpustakaan yaitu dengan dokumen dan daftar buku bacaan yang terkait.  Hasil penelitian yang dilakukan penulis adalah peran perempuan dalam proses pembentukan qanun hanya sebagai anggota yang mengusulkan, member pendapat dan kritikan, jarang ada perempuan yang menjadi ketua ketika rancangan Qanun tersebut, dalam Islam pun perempuan hanya sebagai pemberi masukan yang memutuskan yaitu Rasullullah seperti pada perjanjian Hudaibiyah.

Page 5 of 11 | Total Record : 110