cover
Contact Name
Rosalinda Elsina Latumahina
Contact Email
rosalindael@untag-sby.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
jurnalhbbc@untag-sby.ac.id
Editorial Address
Jl. Semolowaru 45 Surabaya Jawa Timur
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune
ISSN : 2622982X     EISSN : 26229668     DOI : -
Core Subject : Social,
Arjuna Subject : -
Articles 99 Documents
TINJAUAN EMPIRIS PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN MENYANGKUT HAK-HAK KONSUMEN DALAM PASAL 4 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Kholil, M.
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 1, Nomor 1 Agustus 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (310.523 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v0i0.1756

Abstract

Hukum pidana yang paling sering terjadi didalam masyarakat adalah tindak pidana terhadap harta kekayaan (tindak pidana materiil), seperti pencurian, pemerasan, penggelapan, penipuan, pengrusakan, dan penadahan. Adanya penadah sebagai penampung kejahatan pencurian memberikan kemudahan bagi si pelaku untuk memperoleh keuntungan, sehingga pelaku pencurian tidak harus menjual sendiri hasil curiannya ke konsumen tetapi dapat ia salurkan melalui penadah yang berkedok sebagai pedagang. Permasalahan yang timbul itu, baik berupa pelanggaran terhadap norma kehidupan bermasyarakat maupun aturan-aturan hukum untuk menciptakan suatu fenomena yang bertentangan dengan kaidah moral dan kaidah susila serta aturan-aturan hukum. Di dalam Pasal 480 KUHP tentang penadahan jika dipahami dari unsur-unsurnya, yaitu “diharuskan mengetahui atau patut menduga bahwa barang yang diterima adalah hasil kejahatan” sangat membingungkan dan sulit membedakan jika barang yang diterima dari hasil kejahatan itu didapatkan dengan cara-cara yang baik dan tidak menimbulkan kecurigaan apapun, seperti jual beli dengan harga sesuai pada umumnya, dilakukan di tempat ramai dan terang dan cara-cara lain yang tidak patut diduga sebagai kejahatan. (2) Penerima barang hasil kejahatan yang benar-benar tidak tahu dan tidak menduga bahwa barang yang diterimanya adalah hasil kejahatan dengan alasan-alasan yang dapat diterima sebagaimana tersebut di atas dapat dianggap sebagai konsumen yang harus mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.Kata kunci: implementasi, penadahan, perlindungan konsumen
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING ATAS KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA (K3) Bire, Chatryen M. Dju
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 1, Nomor 1 Agustus 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (347.106 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v0i0.1752

Abstract

Kedudukan buruh (tenaga kerja) sangat lemah dibandingkan kedudukan pemilik pekerjaan. Sejumlah hak buruh (tenaga kerja) telah diatur dalam pasal-pasal dari Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, hak-hak tersebut tidak dipenuhi oleh perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penyedia tenaga kerja (perusahaan outsourcing) karena tidak ada ancaman sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran atau kejahatan terhadap hak-hak pekerja outsourcing tersebut. Masalah pokok penelitian ini adalah (1) Apakah pekerja outsourcing berhak mendapat perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dari perusahaan dan bagaimana cara mewujudkan hak-hak tersebut? (2) Apakah upaya hukum dari hakim yang dapat dilakukan untuk melindungi pekerja outsourcing dalam hal Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)? Hasil penelitian ini menunjukkan pekerja outsourcing memiliki hak-hak atas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Namun, hak-hak tersebut tidak dipenuhi oleh perusahaan pemberi pekerjaan dan perusahaan penyedia tenaga kerja (perusahaan outsourcing) karena tidak ada ancaman sanksi atau ancaman hukuman terhadap pelanggaran atau kejahatan terhadap hak-hak pekerja outsourcing. Upaya yang dapat dilakukan hakim adalah menggunakan dengan sebaik-baiknya kemerdekaan hakim dan metode penemuan hukum dalam upaya melindungi pekerja outsourcing. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap mengetahui dan memahami hukum terhadap atau mengenai persoalan apa pun juga. Hakim (pengadilan) tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.Kata kunci: hak pekerja, outsourcing, upaya hukum.
AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERJANJIAN DALAM PUTUSAN NOMOR 1572 K/PDT/2015 BERDASARKAN PASAL 1320 DAN 1338 KUH PERDATA Amalia, Ifada Qurrata A`yun
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 1, Nomor 1 Agustus 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (347.23 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v0i0.1757

Abstract

Perjanjian yang melibatkan pihak asing yang dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia mempunyai akibat perjanjian tersebut batal demi hukum dengan dasar sudah bertentangan dengan Pasal 31 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Hal ini membawa komplikasi tersendiri dalam dunia pejanjian karena penggunaan bahasa Indonesia terkesan menjadi suatu Kaedah Memaksa yang jika dilarang akan berakibat dibatalkannya perjanjian.  Permasalahan yang akan diteliti tentang akibat hukum dari pembatalan perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dan batalnya perjanjian yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dalam Putusan Nomor 1572 K/Pdt/2015 berdasarkan Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata. Konsekuensi dari batalnya perjanjian tidak boleh ada pihak yang dirugikan atau kembali kepada keadaan semula, sehingga akibat dari pembatalan perjanjian ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor asing yang ingin menanam modal di Indonesia sehingga usaha dalam membentuk kepastian hukum di masyarakat akan semakin susah. Oleh sebab itu peneliti menyarankan untuk mengubah frasa “wajib” pada ayat (1) agar dapat mencerminkan realitas yang berlaku, suatu perjanjian yang melibatkan pihak asing dibuat dalam 2 (dua) rangkap yaitu menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa nasional pihak asing tersebut, serta diperlukan kecermatan hakim dalam mengambil keputusan batal demi hukum suatu perjanjian. Kata kunci: Bahasa Indonesia, perjanjian, akibat hukum
TANGGUNG JAWAB PPJP SEBAGAI PENERIMA PEKERJA OUTSOURCING DARI PPJP SEBELUMNYA APABILA TERJADI PHK The, Christopher Ganadhi
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 1, Nomor 1 Agustus 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.111 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v0i0.1753

Abstract

Pada tahun 2011, muncul langkah hebat dari buruh-buruh outsourcing yang melakukan permohonan Judicial Review pada Mahkamah Konstitusi (yang untuk selanjutnya disebut MK)  Indonesia mengenai Pasal 59 dan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dianggap tidak melindungi hak-hak dari buruh Outsourcing. Permohonan ini akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 27/PUU-IX/2011 yang dalam amar putusan dalam intinya MK memperkenalkan dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja/buruh. Pertama, dengan mensyaratkan agar perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk “perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh (Transfer of Undertaking Protection of Employment atau TUPE) yang bekerja pada perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing. Model perjanjian kerja waktu tidak tertentu ini memberikan perlindungan hak-hak buruh secara pasti karena statusnya adalah pegawai tetap dan kelanjutan pekerjaannya dijamin oleh UU dan apabila memang ada pemutusan hubungan kerja harus melalui tahap-tahap tertentu.Kata kunci: outsourcing, perusahaan penyedia jasa pekerja 
PERLINDUNGAN HUKUM KEPADA PEMBELI DALAM KEPAILITAN PENGEMBANG (DEVELOPER) RUMAH SUSUN Rahmani, Imanuel
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 1, Nomor 1 Agustus 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.362 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v0i0.1758

Abstract

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disebut dengan UUKPKPU), mengartikan kepailitan sebagai sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. UUKPKPU merupakan suatu peraturan pelaksana dari Pasal 1131 Kitab Undang-undang Hukum Perdata/Burgelijk Wetboek (untuk selanjutnya disebut dengan BW), yang mengatur bahwa segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Tujuan umum dari kepailitan adalah untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul antara Debitor dan para Kreditor pailit, dimana Debtor tidak lagi memiliki kemampuan untuk membayar utang, dan Kreditor harus mengembalikan dana yang hilang. Penelitian ini merupakan penelitian hukum, yang menggunakan beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum primer dalam penelitian ini berasal dari peraturan perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder adalah dari literatur-literarur hukum. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menjabarkan perlindungan hukum terhadap para pembeli satuan rumah susun dalam menghadapi kepailitan perusahaan developer.Kata kunci: kepailitan, perlindungan hukum, rusun
INDUSTRI E-COMMERCE DALAM MENCIPTAKAN PASAR YANG KOMPETITIF BERDASARKAN HUKUM PERSAINGAN USAHA Hotana, Melisa Setiawan
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 1, Nomor 1 Agustus 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.939 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v0i0.1754

Abstract

Electronic Commerce, yang dikenal sebagai E-commerce adalah kegiatan bisnis yang melibatkan konsumen, penyedia layanan, dan agen pemasaran dengan menggunakan jaringan komputer, yaitu Internet. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat belum mengatur mengenai transaksi yang dilakukan melalui media elektronik. Dalam Pasal 1 angka 5 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, mengatakan bahwa pelaku usaha adalah perorang atau badan hukum yang melakukan kegiatan bisnis mereka di Indonesia. Hal ini tidak sejalan dengan gagasan pengusaha industri e-commerce yang dapat melakukan bisnis di negara manapun. E-commerce tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga memberikan dampak negatif terhadap pelaku usaha dan konsumen. Oleh karena itu, perlu adanya amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jika e-commerce diatur secara jelas dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memiliki kemampuan yang cukup, maka akan terciptakan pasar yang kompetitif sebagaimana yang diamanatkan dalam tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.Kata kunci: e-commerce, pasar kompetitif, hukum persaingan usaha
TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN PEMUNGUTAN DAN PENAGIHAN PAJAK HIBURAN JENIS PAGELARAN MUSIK MODERN BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 3 TAHUN 2010 Sartika, Ledy
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 1, Nomor 1 Agustus 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (290.446 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v0i0.1759

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tata cara pelaksanaan pemungutan dan penagihan pajak hiburan jenis pagelaran musik berdasarkan peraturan daerah Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2010. Serta penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses pemungutan dan penagihan pajak hiburan jenis pagelaran musik. Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar. Adapun yang menjadi objek penelitian adalah dinas pendapatan daerah kota makassar serta para penyelenggara hiburan jenis pagelaran musik. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara langsung dengan narasumber pada lokasi penelitian yang kompeten dan relevan dengan topik yang diajukan kemudian data dianalisis secara kualitati, yaitu mengungkapkan dan memahami kebenaran masalah serta pembahasan dengan menafsirkan data yang diperoleh kemudian menuangkannya dalam bentuk kalimat yang tersusun secara rinci dan sistematis. Hasil penelitian berdasarkan pemarapan narasumber menyebutkan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak hiburan jenis pagelaran musik  tidak menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT), melainkan menggunakan formulir yang telah disediakan oleh pihak pemungut pajak. Faktor faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pemungutan pajak hiburan jenis pagelaran musik adalah faktor kaidah hukum, faktor penegak hukum, faktor masyarakat. pelaksanaan penagihan pajak hiburan jenis pagelaran musik dilakukan dengan cara memberikan surat teguran bagi penyelenggara hiburan belum menyelesaikan kewajibannya. Adapun faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penagihan pajak hiburan jenis pagelaran musik adalah faktor penegak hukum, faktor kaidah hukum serta faktor masyarakat.Kata kunci: pemungutan pajak, penagihan pajak
KAJIAN HUKUM TERHADAP KASUS KARTEL MINYAK GORENG DI INDONESIA (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-1/2009) Al Qindy, Fatria Hikmatiar
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 1, Nomor 1 Agustus 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.631 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v0i0.1755

Abstract

Dewasa ini sering terjadi persaingan usaha yang tidak sehat dalam proses persaingan, salah satunya adalah praktek kartel minyak goreng yang dilakukan oleh 20 pelaku usaha minyak goreng di Indonesia. Mereka terbukti melakukan kartel harga karena melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tertuang di dalam Putusan KPPU No. 24/KPPU-1/2009 tentang kartel minyak goreng. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apakah kriteria-kriteria kartel menurut UU No. 5 Tahun 1999 dan apakah penerapan ketentuan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 di dalam Putusan KPPU No. 24/KPPU-1/2009 telah sesuai apa tidak. Kedua permasalahan akan dikaji dalam penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus dengan bahan hukum primer, sekunder dan pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum serta dianalisis secara kualitatif. Kriteria-kriteria kartel dapat dilihat dari unsur-unsur kartel yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999. Penerapan ketentuan Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 di dalam Putusan KPPU No. 24/KPPU-1/2009 tidak berjalan dengan tepat.Kata kunci: kartel, minyak goreng 
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMILIK JAMINAN DALAM LELANG EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN Halim, Maria Stephannie
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 1, Nomor 1 Agustus 2018
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (366.622 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v0i0.1760

Abstract

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), objek jaminan berupa tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidaklah lagi masuk ke dalam lembaga jaminan hipotik, tetapi masuk ke dalam lembaga jaminan Hak Tanggungan. Pada UUHT diatur beberapa cara eksekusi yang salah satunya adalah melalui pelelangan. UUHT sebagai landasan hukum lembaga jaminan Hak Tanggungan telah memberikan perlindungan hukum yang seimbang bagi semua pihak dalam proses pelelangan, namun pada prakteknya masih banyak terjadi ketidakadilan terutama bagi pihak debitor dan pemilik jaminan yang posisinya cenderung lebih lemah dibanding pihak kreditor. Berbagai perlindungan hukum bagi debitor dan pemilik jaminan dapat terlihat mulai saat pembentukan perjanjian kredit, selama perjanjian kredit berlangsung, hingga saat lelang eksekusi dilaksanakan. Pada praktek, lelang eksekusi seringkali menimbulkan perselisihan antar para pihak sehingga kecermatan Hakim sangat diperlukan untuk mencapai keadilan. Tipe penelitian yang digunakan adalah Doctrinal Research, sehingga jurnal ini diharapkan dapat menghasilkan sebuah penjelasan yang sistematis dan hasil analisis keterkaitan antara peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan.Peraturan perundang-undangan sebenarnya sudah memberikan perlindungan hukum baik bagi kreditor maupun bagi debitor dan pihak ketiga yang berkepentingan secara seimbang, namun pada praktiknya masih sering terjadi kesalahan dalam hal prosedural maupun substansial.Kata kunci: hak tanggungan, lelang, eksekusi
KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM MEMERINTAHKAN KPK UNTUK MELAKUKAN PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI Hariyadi, Rizal
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 2, Nomor 1 Februari 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (207.88 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v2i1.2312

Abstract

Peranan hukum sangat penting maka secara tegas disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum. KUHAP mengedepankan HAM yang dimiliki oleh para pencari keadilan yang berstatus tersangka atau terdakwa dalam menjalani proses penegakan hukum KUHAP dalam pengertian ini telah mencakup seluruh prosedur acara pidana, yaitu mulai dari tingkat proses penyelidikan, penyidikan, prapenuntutan dan penuntutan sampai pemeriksaan di pengadilan dan dalam pelaksanaan putusan hakim, telah diatur tentang upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa dan kasasi demi kepentingan hukum. Lembaga praperadilan merupakan awal kontrol dari suatu perkara yang akan ditangani oleh KPK terhadap tersangka tentang sah atau tidaknya suatu penetapan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan berdasarkan Pasal 77 KUHAP. Putusan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN. Jkt. Sel tersebut sangat tidak lazim dan diluar KUHAP. Perluasan hakim dalam menjatuhkan putusan praperadilan kadang kala menemui polemik, diluar batas kewenangan dan terkadang tidak sesuai dengan KUHAP namun hakim pula juga dapat memberikan Pembaharuan hukum dalam amar putusan yang berbeda-beda dalam praperadilan. Hasil penelitian, Kewenangan KPK yang menggantungkan perkara tanpa adanya proses penyidikan membuat ketidakpastian hukum, hal ini dapat dilihat dari molornya proses penyidikan terhadap Boediono, Muliaman D Haddad, Raden Pardede dkk pasca putusan Perkara Budi Mulya. 2). Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan praperadilan membuat hakim mendapatkan penemuan hukum baru, berdasarkan fakta-fakta di persidangan dan putusan Kasasi perkara Budi Mulya membuat Boediono, Muliaman D Haddad, Raden Pardede dkk juga ikut serta melakukan tindak pidana korupsi.

Page 1 of 10 | Total Record : 99