cover
Contact Name
Wiryawan Permadi
Contact Email
obgyniajurnal@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
obgyniajurnal@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science
ISSN : 2615496X     EISSN : 2615496X     DOI : -
Core Subject : Health,
OBGYNIA (Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science ) adalah jurnal dalam bidang ilmu Obstetri & Ginekologi yang diterbitkan resmi oleh Departemen Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. OBGYNIA menerbitkan artikel penelitian tentang kemajuan ilmiah, manajemen klinis pasien, teknik bedah, kemajuan pengobatan dan evaluasi pelayanan, manajemen serta pengobatan dalam bidang obstetri & ginekologi.
Arjuna Subject : -
Articles 195 Documents
Postpartum Anxiety Factors Involved in Subjects Undergoing Cesarean Section as Analyzed by Zung Self Rating Anxiety Scale Akbar Rahmat; Lucky Saputra; Akhmad Yogi Pramatirta; Udin Sabarudin; Sofie Rifayani Krisnadi; Herman Susanto; Jusuf Sulaeman Effendi
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (361.383 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.59

Abstract

AbstractObjective: postpartum mother who underwent cesarean section may experience anxiety. The risk factors associated with anxiety include age, education and income level, parity, social and cultural factors, delivery methods, as well as the history of pregnancy.Method: This study used analytic, cross-sectional method. Postpartum mother (n=194) were recruited for this study. All participants consented to fill a questionnaire, to determine the subject’s parameters and anxiety levels. Severity of postpartum anxiety was determined based on the Zung Self-rating Anxiety Scale (SAS). Result: Postpartum anxiety (SAS ≥45) were mostly found in the group experiencing emergency cesarean section (71.13%) compared to the group with scheduled cesarean section (32.1%) (p<0.001). Forty-seven subjects (82.5%) women aged <20 years old experienced postpartum anxiety, while 32.1% women aged ≥20 years old were found to have similar condition (p<0.001). Subjects with lower education levels had a higher prevalence of postpartum anxiety than those with higher education levels (73.4% vs 12.9%, p<0.001). Different income levels  had 47.2% and 46.3% prevalence of postpartum anxiety respectively, but not statistically significant. Conclusion: there was a correlation between anxiety score on women who experienced an emergency and scheduled cesarean section with age and education level.Beberapa Faktor yang Memengaruhi Kecemasan Pasien yang Menjalani Seksio Sesarea dengan Pemeriksaan Zung Self Rating Anxiety ScaleAbstrakTujuan: Kondisi pascaseksio sesarea dapat menimbulkan kecemasan ibu. Faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya kecemasan antara lain usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, paritas, faktor sosial budaya, faktor jenis persalinan, dan riwayat persalinan yang lalu. Metode: Penelitian ini menggunakan metode analitik cross-sectional. Wanita pasca seksio sesarea yang memenuhi kriteria penelitian (n=194) dengan kuesioner. Tingkat kecemasan dinilai berdasarkan derajat Zung Self-rating Anxiety Scale (SAS).Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, RSUD Ujung Berung, RSKIA Kota Bandung, RSUD Soreang Kabupaten Bandung dari bulan Maret sampai dengan April 2017.Hasil: Penelitian ini menunjukan bahwa kecemasan postpartum (SAS ≥45) lebih banyak ditemukan pada pasien yang menjalani operasi sesar darurat (71,13%) dibandingkan dengan pasien yang telah dijadwalkan terlebih dahulu (32,1%) (p <0,001). Empat puluh tujuh pasien (82,5%) wanita usia <20 tahun mengalami kecemasan pasca melahirkan, sementara 32,1% wanita berusia ≥ 20 tahun ditemukan memiliki kondisi yang sama (p <0,001). Tingkat pendidikan ≤ SLTP memiliki prevalensi kecemasan lebih tinggi dibandingkan > SLTA (73,4% vs 12,9%, p <0,001). Tingkat pendapatan yang berbeda (lebih rendah dari UMR, sama atau lebih tinggi dari UMR) memiliki prevalensi pasca melahirkan sebesar 47,2% dan 46,3%, namun tidak signifikanberbeda  secara statistik. Simpulan: Terdapat perbedaan tingkat kecemasan pasca seksio sesarea pada kelompok  seksio sesarea segera dibandingkan terencana dengan usia dan tingkat pendidikan.Kata kunci: Seksio sesarea, usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, paritas, Zung Self-rating Anxiety Scale
Pemeriksaan Tunggal Kadar Osteopontin Serum dan CA 125 untuk Prediktor Keganasan Tumor Ovarium Tipe Epitel: Inferior dibandingkan dengan Pemeriksaan Gabungan Aditiyono Aditiyono; Ali Budi Harsono; Gatot N.A. Winarno; Supriadi Gandamihardja; Ardhanu Kusumanto; Herman Susanto
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (614.179 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.55

Abstract

AbstrakTujuan: Membandingkan penanda tumor osteopontin (OPN), cancer antigen 125 (CA125), kombinasi sebagai prediktor keganasan pada penderita tumor ovarium. Metode: Penelitian cross sectional ini dilakukan pada pasien dengan keganasan pada kista ovarium jenis epitel. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat. Hasil: 47 pasien dengan hasil hitopatologi jinak dan 43 dengan hasil histopatologi ganas masuk dalam penelitian. Hasil nilai median CA125 kelompok ganas dibanding kelompok jinak (142,2 vs 61,030, p < 0,05), cut off point CA125 99,9 U/mL, sensitivitas 76,7% dan spesifisitas 61,7%. Diskusi: Kombinasi CA125 dan OPN memiliki sensitivitas lebih rendah dibandingkan CA125. Kombinasi CA125 dan OPN akan meningkatkan spesifitas, nilai duga positif dan akurasi yang lebih baik. Tumor marker OPN tidak tepat digunakan untuk proses deteksi dini, tetapi lebih tepat untuk penegakan diagnosis lebih baik dibandingkan dengan gold standard CA125.Kesimpulan: Kombinasi OPN dan CA125 memiliki nilai tingkat akurasi paling tinggi apabila dibandingkan pemeriksaan tunggal CA125, OPN.  Single Check of Serum Ostepontin and CA 125 Levels as A Predictor of Malignancy in Epitheliaal Ovarium Tumor is Inferior to Combined ExaminationAbstractObjective: To compare the sensitivity, specificity, expected value positive, expected value negative and accuracy among osteopontin (OPN), cancer antigen 125 (CA125), and combination as predictor of malignancy in ovarian tumor patients.Method: A cross sectional study was done to compare parameters OPN and CA125 in determining malignancy of ovarian cysts. Data analysis was performed by univariate and bivariate analysis. Results: A total of 47 subjects were included with benign histopathological result and 43 subjects with malignant histopathological result. The median value of CA125 in malignant group was compared to that of benign group (142.2 vs. 61.030, p value <0.05), the cut-off point of CA125 was 99.9 U/mL with sensitivity of 76.7% and specificity of 61.7%. Discussion: Combination of CA125 dan OPN has lower sensitivity compared to single tumor marker CA125. This combination will increase specificity, positive predictive value and accuracy. The OPN is inappropriate when used for early detection instead is suggested for diagnostic value risk predictor for malignancy in ovarian tumor compared to gold standard CA125.Conclusion: Combination OPN dan CA125 has higher accuracy compared to single CA125, and OPN. OPN was useful biomarker for predicting ovarian malignancy.Key words: Epithelial ovarian tumor, OPN, CA 125, predictor for ovarian malignancy
Program Akselerasi Penurunan Angka Kematian Ibu POGI Jabar Zero Mother Mortality Preeclampsia (ZOOM) Adhi Pribadi
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (903.801 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.80

Abstract

PendahuluanAngka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Selain itu AKI merupakan salah satu target utama yang telah ditentukan oleh WHO sebagai indikator kesehatan suatu negara.1  Dari hasil survey yang dilakukan, AKI di Indonesia telah menurun dari waktu ke waktu, namun masih relatif tinggi dibandingkan negara Asia lainnya. Jumlah angka kematian ibu di Indonesia (angka nasional) tahun 1991 sebanyak 390 sedangkan pada tahun 2015 menurun mencapai 305/100.000 jumlah kelahiran hidup.2 Di sisi lain, angka kematian ibu Provinsi Jawa Barat tahun 2015 adalah sebanyak 823/100.000.3Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil menjadi faktor penentu angka kematian, meskipun masih banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menangani masalah ini. Persoalan kematian yang terjadi antara lain pendarahan, preeklamsi-eklamsi dengan komplikasi, aborsi, dan infeksi. Namun, ternyata masih ada faktor lain yang cukup penting, yaitu pemberdayaan perempuan yang belum baik, latar belakang pendidikan, sosioekonomi keluarga, lingkungan masyarakat dan kebijakan publik. Kaum lelaki pun dituntut harus berupaya lebih aktif dalam segala permasalahan bidang reproduksi. Oleh karena itu, pandangan yang menganggap kehamilan adalah peristiwa alamiah perlu diubah secara sosiokultural agar perempuan dapat lebih mendapat perhatian dari masyarakat. Sangat diperlukan upaya peningkatan pelayanan perawatan ibu oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat lainnya terutama suami.Kematian ibu disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan (HDK) secara global menempati nomor dua setelah kasus perdarahan, demikian pula di Indonesia.4 Pada tahun 2016 dalam rangka menunjang kegiatan penurunan angka kematian ibu, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) bersama Kantor Kementerian Kesehatan mengeluarkan Panduan Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) tentang preeklamsi yang menjadi dasar untuk pembuatan standar pelayanan preeklamsi di seluruh Indonesia dan diharapkan mampu membantu mempercepat penurunkan AKI.
Apakah Kadar β-hCG Praevakuasi dan Gambaran Proliferasi Sel Trofoblas secara Mikroskopik dapat digunakan untuk Prediksi Transformasi Keganasan pada Mola Hidatidosa? Kemala Isnainiasih Mantilidewi; Zulvayanti Zulvayanti; Wiryawan Permadi
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1401.032 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.1

Abstract

AbstrakTujuan: Meneliti perbedaan karakteristik umur, paritas, besar uterus, kadar β-hCG, dan hiperproliferasi pada mola hidatidosa (MH) dengan regresi spontan dan pada MH dengan transformasi keganasan di RS Dr.Hasan Sadikin Bandung. Metode: Penelitian cross sectional deskriptif restrospektif mengambil data umur, paritas, besar uterus, kadar β-hCG pre-evakuasi, dan hiperproliferasi dari rekam medis pasien MH periode 2007-2016. Data diolah menggunakan program SPSS versi 20.0 for Windows. Nilai p<0,05 dianggap signifikan. Hasil: Dari 400 rekam medis yang dianalisis, 233 dengan data lengkap dapat dianalisis. Mayoritas pasien usia reproduktif 20-35(53,6%) tahun, paritas 1-2 (n=90, 38,6%), dan besar uterus rata-rata 19,12±4,633 (~minggu kehamilan). Kadar β-hCG <100000 mIU/mL sebanyak 78(33,5%), ≥100000 mIU/mL sebanyak 155(66,5%). Pasien dengan hiperproliferasi sebanyak 83(35,6%) sedangkan pasien tanpa hiperproliferasi sebanyak 150(64,4%). Terdapat 219(94,0%) dengan komplit MH, dan 14(6,0%) HM parsial (tidak dipublikasi). Pasien kemudian dikategorikan menjadi kelompok transformasi keganasan dan kelompok remisi spontan. Tidak terdapat perbedaan umur, paritas, dan besar uterus diantara dua kelompok (p>0,05). Perbedaan kadar βhCG (mIU/mL) dan tingkat proliferasi menunjukkan hasil signifikan (p<0.05). Kesimpulan: Kadar β-hCG preevakuasi dan status hiperproliferasi dapat digunakan sebagai prediktor transformasi keganasan pasien MH. Can Preevacuation Level β-hCG and Microscopic Trophoblast Proliferation Predict Malignant Transformation in Hydatidiform Mole?AbstractObjective: To describe differences among age, parity, size of uterus, level of β-hCG, and hyperproliferation state in HM with spontaneous remission and in that with malignancy transformation at dr.Hasan Sadikin General Hospital Bandung. Methods: This a cross sectional descriptive restrospective study of HM cases analyzing data on age, parity, size of uterus, pre-evacuation level of β-hCG, and hyperproliferation state taken from medical record of HM patients between 2007-2016. Data were statistically analyzed using SPSS version 20.0 for Windows. Result p<0.05 was considered significant.  Results: Out of 400 cases, 233 cases were selected. Those with incomplete data were not included in the analysis. Majority of patients were in reproductive age 20-35(53.6%) years old, has parity 1-2(n=90, 38.6%), and the size of uterus has mean 19.12±4.633 (~week of pregnancy). The level of β-hCG <100000 mIU/mL was 78(33.5%), ≥100000 mIU/mL was 155(66.5%). Patients with hyperproliferation were 83(35.6%) while without hyperproliferation were 150(64.4%). There were 219(94.0%) with complete HM, and 14(6.0%) partial HM (unpublished data). There were no significant differences in age, parity, size of uterus between the two groups (p>0.05). Differences on level of βhCG (mIU/mL) and proliferation state showed significant result (p<0.05). Conclusion: Preevacuation level of β-hCG and histopatology (proliferation state) may predict malignancy transformation in HM.Keywords: Hydatidiform mole, risk factors, remission, malignancy transformation
Analisis Faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Kehamilan pada Inseminasi Intrauterin Angghea Rachmiawaty; Tono Djuwantono; R. M. Sonny Sasotya
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1314.612 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.42

Abstract

AbstrakTujuan: Inseminasi intrauterin (IIU) merupakan prosedur yang umum digunakan dan menjadi pilihan terapi pertama dalam tatalaksana infertilitas, karena dampak risiko yang rendah, implementasi yang mudah, dan harga yang murah. Metode: Penelitian cross-sectional ini dilakukan pada seluruh pasangan yang melakukan prosedur IIU di Poliklinik Aster Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung pada periode 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Desember 2016, yang tercatat dalam rekam medik. Variabel penelitian berupa Umur Istri, Umur Suami, Jumlah Sperma, Konsentrasi Sperma, dan Motilitas Sperma, Ketebalan Endometrium, Jumlah Folikel preovulasi, Jenis Stimulasi dan Output. Data dikelola dengan SPSS 24.00. Hasilnya disajikan secara analitik melalui angka dan tabel.Hasil: Diantara 159 pasangan yang melakukan prosedur IIU, terdapat 194 prosedur. Namun hanya 98 subjek yang dapat dievaluasi. Angka kehamilan sebesar 23.5%. Faktor yang mempengaruhi hanya jenis stimulasi ovarium dan jumlah ovum preovulasi yang berhubungan secara signifikan dengan angka kehamilan (p<0,05), umur pasangan, jumlah, konsentrasi, dan motilitas sperma tidak berbeda bermakna.Kesimpulan: Berbagai variabel mempengaruhi keberhasilan dari IIU. Jenis stimulasi ovarium dan jumlah ovum preovulasi berhubungan secara signifikan dengan angka kehamilan (p<0,05). Factors Analizyng of Influencing for Succeses Pregnancy Rate on Intrauterina InseminationAbstractObjective: intrauterine insemination (IUI) is a procedure widely used in fertility management. However, the effectiveness of IUI treatment is not consistent, and the role of multiple factor affecting successes in IUI has not been clarified.Methods: Cross sectional study was conducted on infertile couples performing IUI. Data from medical record at Aster Clinique Dr. Hasan Sadikin General Hospital at January 1st- December 12th, 2016. Spouse Ages, Sperm Count, Concentration, and Motility, Endometrial Thickness, Number of Preovulatory Follicles, Type of Stimulation and Output are research variables. Data was analyzed by SPSS 24.00. Result: Among 159 couples, there were 194 procedures of IUI. Only 98 subject was evaluated. The pregnancy rate was 23.5%. Only type of ovarian stimulation and number of  preovulatory follicle related significantly  to the pregnancy rate (p < 0.05), spouse age, sperm count, concentration and motility, endometrial thickness did not significantly related to the pregnancy rate (p>0,05)Conclusion: There were many variables may influence success rates of IUI. Type of ovarian stimulation and number of  preovulatory follicle related significantly  to the pregnancy rate (p<0.05). More cohort trials and randomized trials investigating the multiple factors affecting successes in IUI are urgently needed.Key words: Intrauterine insemination, infertility, ovarian stimulation
Pemulihan Motilitas Usus yang Terlambat Lebih Sering terjadi pada Operasi Onkologi Ginekologi Adrian Goenawan; Herman Susanto; Siti Salima
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (68.051 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.2

Abstract

AbstrakTujuan: Komplikasi selama operasi dan pasca operasi tetap menjadi beban bagi ahli bedah dan pasien serta keluarga mereka juga. Ileus adalah salah satunya, terutama di pembedahan pada rongga peritoneum. Keterlambatan dalam pemulihan motilitas usus dapat menyebabkan ileus. Prosedur sederhana untuk memeriksa pemulihan motilitas usus adalah dengan memeriksa onset bising usus, flatus dan BAB.Metode: Secara retrospektif catatan wanita yang menjalani operasi ginekologi mayor (kelompok A) atau operasi onkologi (kelompok B) dan dievaluasi berdasarkan usia dan indikasi operasi. Hasil darah pra operasi, lama operasi, dan komplikasi selama operasi dicatat. Permulaan bising usus, flatus dan BAB dianalisis dan dibandingkan antara kedua kelompok.Hasil: Sebanyak 889 pasient tidak ada perbedaan antara kelompok usia, kadar hemoglobin serum pra dan pascaoperasi, leukosit sebelum dan sesudah operasi, memerlukan transfusi darah (p> 0,05), namun terdapat perbedaan yang signifikan pada lama operasi. Kesimpulan: Pemulihan motilitas usus lebih awal pada pasien yang menjalani operasi ginekologi dibandingkan dengan kelompok onkologi baik secara klinis maupun secara statistik.Delayed Recovery of Intestinal Motility Occurs more Common in Oncology Gynecology OperationAbstractObjective: Complications during operation and postoperatively remain the burden for the surgeon and patients and their relatives as well. Ileus is one of those, especially those enters the peritoneal cavity. Delay in the recovery of intestinal motility can cause ileus. Simple procedures to check the recovery of intestinal motility are by checking the onset of bowel sound, flatulence and return of bowel movement.Method: We retrospectively identified records of women who underwent major gynecologic surgery (group A) or oncologic surgery (group B). All patients were evaluated by age, relevant medical history, previous surgery, and indication for operation. Preoperative blood results, duration of operation, and complication during the operation were noted. Onset of bowel sound, flatulence and return of bowel movement analyzed and compared between the two groups. Result: Total of 889 patients were studied. There was no difference between groups in term of age, pre- and postoperative serum hemoglobin, pre- and postoperative leucocyte, needing blood transfusion and duration of operation (p>0.05). Conclusion: There is earlier recovery of intestinal motility in patients undergone gynecologic surgery compared to those in the oncologic groups, clinically and statistically significant.Key words: intestinal motility, ileus, postoperative, gynecology, oncology
Hubungan antara Faktor Risiko Demografi dan Klinis terhadap Kejadian Persalinan Preterm Dini dan Lanjut Rahadyan Aji Sasongko; Jusuf Sulaeman Effendi; Udin Sabarudin; Edwin Armawan; Amillia Siddiq; Zulvayanti Zulvayanti
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (617.026 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.64

Abstract

Tujuan: Persalinan preterm dini dan lanjut masih menjadi penyebab penting morbiditas dan mortalitas perinatal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, menganalisis hubungan faktor risiko demografi dan klinik dengan persalinan spontan preterm dini dan preterm lanjut periode Januari 2015-Desember 2016. Metode: Penelitian secara potong lintang retrospektif dilaksanakan pada bulan April-Juni 2017 dengan sumber data rekam medis Rumah Sakit Hasan Sadikin. Hasil: penelitian menunjukan insidensi persalinan preterm adalah 38,54%. Diskusi: Terdapat hubungan signifikan dari faktor risiko pendidikan, jumlah perawatan antenatal, riwayat persalinan preterm, dan ketuban pecah dini terhadap kejadian persalinan spontan preterm dini dan preterm lanjut. Pendidikan SD meningkatkan kejadian persalinan preterm dini 2,3 kali, perawatan antenatal kurang dari 4 kali selama kehamilan meningkatkan kejadian persalinan preterm dini 1,6 kali, riwayat persalinan preterm sebelumnya meningkatkan kejadian persalinan preterm dini 1,9 kali. Ketuban pecah dini meningkatkan kejadian persalinan preterm lanjut 2,6 kali (p<0,05). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan, jumlah perawatan antenatal, riwayat persalinan preterm, dan ketuban pecah dini, dengan  persalinan spontan preterm dini dan preterm lanjut. Relation between Demographic and Clinical Risk Factors to the Occurrence of Spontaneous Early and Late Preterm Birth Abstract     Objective: Early and late preterm birth remains an important cause of perinatal morbidity and mortality. Various studies indicate the incidence of is influenced by demographic and clinical factors affecting baby’s outcome. This study aims to analyze demographic and clinical factor’s relations of spontaneous early and late preterm birth in Hasan Sadikin General Hospital, from January 2015 until December 2016. Method: Retrospective-cross sectional was conducted in April until June 2017 from Hasan Sadikin General Hospital’s medical record, collected from January 2015 to December 2016. Results: Incidence of preterm birth from January 2015 until December 2016 was 38,54%. There was significant relations of education, times of antenatal care, previous preterm birth, and premature rupture of membrane with spontaneous early and late preterm birth. Education level of elementary school increased the incidence of spontaneous early preterm birth 2.3 times, previous preterm birth increased the incidence of spontaneous early preterm birth 1.6 times, antenatal care less than 4 times increased the incidence of spontaneous early preterm birth 1.9 times. Premature rupture of membrane increased the incidence of spontaneous late preterm birth 2.6 times (p<0.05. Conclusion: there is a relations between education, times of antenatal care, previous preterm birth, and premature rupture of membrane,  with spontaneous early and late preterm birth.Keywords: Demographic factors, clinical factors, preterm spontaneous early delivery, spontaneous late preterm delivery
Penggunaan Magnesium Sulfat untuk Menurunkan Angka Kejadian Cerebral Palsy pada Bayi Prematur Herry Aktyar Matondang; Jusuf Sulaeman Effendi; Budi Handono; Andi Kurniadi
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (617.804 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.44

Abstract

AbstrakLatar belakang: Magnesium Sulfat merupakan senyawa kimia yang sudah banyak terbukti manfaatnya pada kehamilan. Selain digunakan sebagai obat anti kejang, dan obat tokolitik pada kontraksi prematur, magnesium sulfat berperan banyak pada proses intraseluler, diantaranya sebagai agen vasodilator pembuluh darah otak, menurunkan reaksi inflamasi, seperti sitokin dan zat radikal bebas, serta mencegah masuknya ion kalsium kedalam sel.  Prematuritas merupakan masalah serius karena hampir sebagian besar dari neonatus yang berhasil hidup akan mengalami kecacatan neurologis kongenital termasuk cerebral palsy (CP).Metode: Analitik korelatif dengan desain cross sectional. Subjek penelitian adalah pasien dengan diagnosa cerebral palsy yang melakukan pemeriksaan ke Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung, dengan riwayat lahir prematur. Pengambilan sampel menggunakan teknik accidental sampling dengan jumlah total sampel 30 pasien. Analisis data secara statistik menggunakan uji Chi-square.  Hasil: Penelitian menunjukkan 7 (23,3%) pasien anak dengan diagnosa cerebral palsy memiliki riwayat ibu hamil dengan pemberian magnesium sulfat (MgSO4), dan 23 (76,6%) pasien dengan diagnosa cerebral palsy memiliki riwayat ibu hamil tanpa pemberian magnesium sulfat (MgSO4). Hasil analisa data dengan menggunakan uji Chi-square  didapatkan ρ-value 0,001< α = 0,05.Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan dari pemberian magnesium sulfat pada ibu hamil terhadap angka kejadian cerebral palsy pada bayi prematur di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. The Used of Sulfate Magnesium  to Reduce Incidence of Cerebral Palsy on Preterm BirthAbstractObjective: Magnesium Sulfate is a chemical compound that has been widely used in pregnant women and has proven benefits to the condition of pregnancy.  Prematurity is a serious problem because most of the successful neonates will experience congenital neurological disability including cerebral palsy (CP).Method: This research is a kind of analytic correlative research with cross sectional design. The research subjects were pediatric patients with a diagnosis of cerebral palsy who performed the examination at Hasan Sadikin Hospital Bandung, with a history of premature birth. Samples were taken by purposive sampling technique with a total number of samples 30 patients. Statistical analysis using Chi-square statistical test.Result: The result of this research showed 7(23,3%) pediatric patients with a diagnosis of cerebral palsy had a history of pregnant women with administration of magnesium sulfate (MgSO4), and 23(76,6%) patients with a diagnosis of cerebral palsy has a history of pregnant women without administration of magnesium sulphate (MgSO4). The data were analyzed using Chi-square test and obtained ρ-value 0,001 <α = 0,05.Conclusion: There is a significant relationship between administration of magnesium sulfate in pregnant women and the incidence of cerebral palsy in premature infants at Hasan Sadikin Hospital Bandung.Key words: magnesium sulfate, preterm birth, premature infants, cerebral palsy
Perbandingan Kejadian Infeksi Saluran Kemih setelah Pemasangan Kateter antara 24-36 Jam dan 36-48 Jam pada Pasien Pascaoperasi Ginekologi Windy Puspa Kusumah; Benny Hasan Purwara; Eppy Darmadi Achmad
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (538.604 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.9

Abstract

AbstrakTujuan: Penggunaan kateter pada saat dilakukan operasi merupakan prosedur rutin termasuk  operasi ginekologi sehingga kandung kemih tetap kosong pada saat operasi serta mencegah jejas. Metode: Penelitian analitik komparatif dibagi menjadi 2 kelompok, pelepasan  24-36 jam dan  36-48 jam. Hasil dipstik leukosit diambil pre-operasi dan 24-36 jam dan 36-48 jam pasca-operasi. Hasil: Total terdapat 48 pasien dengan umur  antara 31-40 tahun  29.2% serta  umur 41-50 tahun 29.2%. Lama operasi  antara 1 sampai 2 jam sebanyak 54.2%. Kelompok 36-48 jam, hasil leukosit urine terbanyak (+) ada 62.5%. Pemasangan Kateter 24-36 jam yang awalnya (-) kelompok 36-48 jam menjadi (+) sebanyak 60.0%. Diskusi:Penelitian ini mengikutsertakan 63 subjek yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 48 orang yang dibagi menjadi dua kelompok. Pasien pascaoperasi dengan peningkatan leukosit urine ditemukan pada 57% subjek di kelompok pelepasan kateter 36-48 jam pasca operasi, sedangkan hanya 15% pada kelompok pelepasan kateter 24-36 jam pasca operasi. Kesimpulan: Pelepasan kateter pascaoperasi 36-48 jam, lebih banyak terjadi insidensi peningkatan leukosit urine dibandingkan kelompok 24-36 jam.Comparison of Urinary Tract Infections after the Insertion of Catheter between 24–36 Hours and 36–48 Hours on Post Gynecologic Surgery PatientsAbstractObjective: Use of catheter during surgery is a routine procedure in every surgery, also gynecological surgery so the bladder remains empty during surgery. Catheter may prevent iatrogenic injury of the bladder caused by over-distention and atony due to anesthesia. Method: Unpaired categorical comparative analytic study with subjects were categorized into 2 groups, groups of patients in 24-36 hours catheters and patients in 36-48 hours post-surgery catheters. Urine leukocyte dipstick taken pre-surgery, 24-36 hours and 36-48 hours post-surgery. Result: A total of 48 patients were selected for data use for this study. For the longest operation time between 1 to 2 hours as much as 54.2%. For 24-36 hours urine leukocyte with negative results as much as 75%. While in the 36-48 hours catheter insertion there were 62.5%. Increasing of urine leukocyte result at 24-36 hours catheter insertion in 36-48 hours catheter insertion group. Discussion: The study included 63 subjects divided into two groups. Post-surgery patients with elevated urinary leukocytes were found in 57% of subjects in the 36-48 hours post-surgery catheter release group, while only 15% in the 24-36 hours catheter release group.Conclusion: Post-surgery catheters 36-48 hours, there was a greater incidence of urinary leukocyte increment than the group of patients with 24-36 hours post-surgery catheters.Key words: Urinary tract infection, pre-surgery catheter, post-surgery catheter.
LAPORAN KASUS: Eksensefali sebagai Salah Satu Komplikasi Amniotic Band Syndrome Dewi Maharsita Sri Prajanta Putri; Hadi Susiarno; Budi Handono
Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science Volume 1 Nomor 1 Maret 2018
Publisher : Dep/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (583.578 KB) | DOI: 10.24198/obgynia.v1n1.18

Abstract

AbstrakAmniotic band syndrome(ABS) merupakan kelainan non genetik dengan spektrum luas dari  konstriksi dan amputasi sederhana pada jari ekstremitas hingga kelainan kraniofasial mayor hingga defek visera bahkan kematian. Beberapa laporan kasus menyebut anensefali merupakan contoh defek kraniofasial yang dihubungkan dengan ABS. Sonografi membantu diagnosis eksensefali sebagai kondisi peralihan menuju kondisi terminal anensefali sebagai kondisi yang lebih sering ditemukan yaitu kondisi otak janin sudah habis teresorbsi oleh cairan serebrospinal. Fetus dengan eksensefali tidak dapat bertahan hidup, sebagian besar berakhir dengan abortus, intrauterine fetal death dan stillbirth sehingga jika terdeteksi perlu dipertimbangkan untuk dilakukan terminasi kehamilan. Berdasar laporan kasus persalinan spontan Bracht di kamar bersalin RS Hasan Sadikin pada 1 Desember 2016, Ny RA 33 tahun, G3P1A1 gravida 30-31 minggu, letak sungsang, eksensefali, anemia. Pada laporan kasus ini ditemukan membran amniotik berfusi dengan kranium bayi dan absennya tulang tengkorak pada tempat perlekatan membran amnion.  Eksensefali pada kasus ini diperkirakan diawali oleh residu selaput korion berupa jaringan fibrosa yang membentang cavum korionik dan menekan kranium sehingga migrasi membran neurokranium tergganggu dan berakhir dengan akalvaria. Ekstremitas yang berkembang sempurna namun cacat pada beberapa segmen terutama tempat perlekatan membran amnion dan kranium  sesuai letak kejadian cincin konstriksi mendukung teori Torpin. Kata kunci: amniotic band syndrome; acrania Exencephaly as One of Amniotic Band Syndrome ComplicationAbstractAmniotic Band Syndrome includes a spectrum of non-genetic anomalies, varying from simple digital band constriction to major craniofacial and visceral defects, and even fetal death. Anencephaly represents the most common neural tube defect. Sonographic as well as pathologic evidence points to a close link between exencephaly (also frequently referred to as “acrania”) and anencephaly. It has been proposed that the brain tissue of exencephalics may gradually degenerate due to the exposure to amniotic fluid in combination with mechanical trauma. ABS is an aetiological factor in exencephaly. Appropriate counselling for affected families needs to be given after prenatal diagnosis. Based on medical report Mrs RA 33 years old , G3P1A1 30-31 weeks of pregnancy, breech presentation, exencephaly, anemia that delivered her baby on Delivery Room Hasan Sadikin General Hospital at December 1,2016.Amniotic membrane found  fused with fetal cranium and on its attachment found that the cranium was absent (acrania) In the case reported here, the amniotic membrane was well fused to the scalp, and skull bones were absent on the site of attachment of the amniotic membrane. This case supports Torpin’s hypothesis of early amnion rupture, with failure of the cranial bones to develop at the site of attachment of the amniotic band as “early amnion disruption sequence.”. The fibrous strands would entangle and entrapped the fetal head, resulting in faulty migration of the membranous neurocranium which leads to exencephaly on this case. Keywords: Amniotic band syndrome; exencephaly

Page 1 of 20 | Total Record : 195