cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota semarang,
Jawa tengah
INDONESIA
Jurnal Anestesiologi Indonesia
Published by Universitas Diponegoro
ISSN : 23375124     EISSN : 2089970X     DOI : -
Core Subject : Health,
Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) dan dikelola oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (UNDIP) bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) cabang Jawa Tengah.
Arjuna Subject : -
Articles 286 Documents
Pengukuran CVC pada pasien Sepsis, Apakah terdapat keuntungan? Charismaulana Oloan Harahap; Johan Arifin
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 8, No 1 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (684.69 KB) | DOI: 10.14710/jai.v8i1.11864

Abstract

Sepsis adalah penyebab utama 10 kematian di Amerika Serikat. Sekitar 751.000 kasus sepsis berat per tahun terjadi di Amerika Serikat, dengan angka kematian 28,6% dengan biaya tahunan hampir 167 juta US dollar. Sepsis juga terjadi seluruh dunia dengan rata-rata 18 juta kasus sepsis berat terjadi setiap tahun, yang menewaskan sekitar 1400 orang setiap hari dan menimbulkan biaya kesehatan dari US $ 9,4 miliar di negara-negara Eropa Pedoman dari The Surviving Sepsis Campaign untuk pengelolaan berat sepsis dan syok septik diterbitkan pada tahun 2004. Penekanan dari pedoman tersebut yaitu resusitasi awal yang bertujuan tercapainya early goal-directed therapy (EGDT) . Tekanan vena sentral secara umum lebih berguna untuk membantu menentukan penyebab dari suatu masalah daripada mendeteksi suatu masalah pada pemantauan hemodinamik. CVP mengukur tekanan pada atrium kanan yang bisa menggambarkan tekanan akhir diastolik atau end diastolic pressure (EDP). Preload ventrikel lebih erat kaitannya dengan volume akhir diastolik ventrikel atau end diastolic ventricle (EDV) dibandingkan tekanannya, karena itu penting untuk mengetahui hubungan antara EDP dan EDV, di mana hubungan ini tergantung dari compliance ventrikel. Pengukuran CVP dan pulmonary artery occlusion pressure (PAOP) merupakan pengukuran yang bersifat statis, berbeda dengan pegukuran yang bersifat dinamis seperti pulse pressure variaton (PPV), systolic pressure variation (SPV) atau stroke volume variation (SVV), echocardiography vena-cava diameter dan esophageal Doppler aortic blood flow yang selalu berubah pada saat bernafas, hal ini mengakibatkan pengukuran yang bersifat dinamis lebih representatif untuk memprediksi dalam hal kecukupan cairan pada pasien. Pengukuran yang bersifat stastis tidak menggambarkan kecukupan cairan pada pasien. Perubahan tahun 2015 berdasarkan The leadership of the Surviving Sepsis Campaign menyatakan bahwa pemasangan CVC untuk memonitor tekanan vena sentral (CVP) dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) bukan suatu keharusan pada semua pasien dengan syok sepsis yang sudah mendapatkan pemberian antibiotik dan resusitasi cairan
Awareness dan Recall Intraoperatif Aunun Rofiq; Witjaksono Witjaksono; Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 1 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v4i1.6437

Abstract

Laporan ASA terbaru mengenai awareness intraoperatif yang dilakukan oleh ASA dipusatkan seputar recall postoperative. Seperti dapat disimpulkan dari Bab ini, awareness introperatif dan recall postoperative bukanlah fenomena yang tidak berhubungan sama sekali, sehingga membolehkan para klinisi dan peneliti untuk menggunakan salah satu di antara keduanya sebagia substitusi bagi yang lain. Recall secara khas memberikan estimasi yang tidak sebenarnya terhadap insidensi awareness intraoperatif dan hanya merepresentasikan puncak dari fenomena gunung es. Monitor fungsi otak tidak dapat memprediksi recall dengn sangat baik, tetapi lebih baik dari parameter otonom yang tradisional dalam mengetahui hilang atau timbulnya kesadaran. Monitor fungsi otak merepresentasikan perkembangan yang pesat dalam manajemen praktek anestesi. Kemampuan untuk mengenali awareness intraoperatif dan pencegahannya dengan mempertahankan kedalaman tingkat hypnosis, menawarkan potensi yang besar untuk mencegah recall postoperative.
Ventilasi Mekanik Noninvasif Dicky Hartawan; Danu Soesilowati; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v2i3.6460

Abstract

Ventilasi mekanis dapat diberikan dengan cara invasif maupun noninvasif. Ventilasi noninvasif menjadi alternatif karena dapat menghindari risiko yang ditimbulkan pada penggunaan ventilasi invasif, mengurangi biaya dan lama perawatan di ruang intensif. Ventilasi noninvasif terbagi 2 yaitu ventilasi tekanan negatif dan ventilasi tekanan positif. Ventilasi noninvasif tekanan positif memerlukan alat penghubung seperti sungkup muka, sungkup nasal, keping mulut, nasal pillow dan helmet. Ventilator yang digunakan dapat berupa ventilator kontrol volume, tekanan, BIPAP dan CPAP.
Perbandingan Efektivitas Anestesi Spinal Menggunakan Bupivakain Hiperbarik dengan Bupivakain Isobarik pada Pasien yang Menjalani Prosedur Operasi Abdomen Bagian Bawah di RSUP Dr. Kariadi Taufik Eko Nugroho; Jati Listiyanto Pujo; Herning Tyas Pusparini
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2985.894 KB) | DOI: 10.14710/jai.v11i3.25387

Abstract

Latar Belakang: Lebih dari 300 juta prosedur bedah dilakukan di seluruh dunia setiap tahun. Sekitar 5% atau 15 juta prosedur bedah dilakukan dengan teknik anestesi spinal. Bupivakain hidroklorida adalah anestesi lokal aminoasil dan merupakan anestesi lokal yang paling umum digunakan. Ada dua jenis bupivakain yang digunakan yaitu hiperbarik dan isobarik. Perbedaan kepadatan dari dua jenis obat ini diyakini mempengaruhi pola difusi obat tersebut dan dengan demikian menentukan efektivitas, hemodinamik, penyebaran blok, dan efek samping obat.Tujuan: Membandingkan efektivitas bupivakain hiperbarik dengan bupivakain isobarik pada pasien yang menjalani operasi abdomen bagian bawah.Metode: Penelitian ini menggunakan metode single blind randomized controlled trial dengan consecutive sampling. Ethical Clearance diperoleh dan pasien memberikan ketersediaan dalam penelitian dalam lembar informed consent. Sebanyak 48 pasien yang menjalani prosedur operasi elektif ASA I-II abdomen bagian bawah di RSUP Dr. Kariadi yang sesuai dengan kriteria inklusi. Dibagi menjadi 2 kelompok; kelompok I mendapatkan bupivakain hiperbarik 0.5% 15 mg dan kelompok II mendapatkan bupivakain isobarik 0.5% 15 mg. Posisi kedua pasien saat dilakukan spinal dalam posisi duduk. Tusukan dilakukan di L3-4. Setelah dilakukan anestesi spinal pasien diposisikan tidur terlentang dengan bantal. Dilakukan pencatatan status hemodinamik, pencatatan ketinggian blok menggunakan tes tusuk (pinprick), dan tes bromage, serta pencatatan efek samping pada menit ke 1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Keseluruhan data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney.Hasil: Onset dari bupivakain hiperbarik lebih cepat daripada bupivakain isobarik (2,00 ± 0.18 menit versus 5,13 ± 0,34 menit, p < 0,001). Durasi kelompok isobarik lebih panjang dibandingkan hiperbarik (180 + 22 menit versus 150 + 24 menit, p < 0.001). Ketinggian blok sensoris dan motorik tidak berbeda bermakna (p>0,05). Untuk ketinggian blok sensoris titik tertinggi adalah T5 pada kelompok I dan kelompok II dicapai pada menit ke 6. Untuk ketinggian blok motorik titik tertinggi adalah T5 pada kelompok I yang dicapai pada menit ke 6, sedangkan pada kelompok II dicapai pada menit ke 9. Efek samping berupa mual dan muntah lebih tinggi pada kelompok hiperbarik (p<0,05).Kesimpulan: Bupivakain isobarik tidak lebih efektif dibandingkan bupivakain hiperbarik pada pasien yang akan menjalani prosedur operasi perut bagian bawah.
Perbedaan Sedasi Midazolam dan Ketamin terhadap Base Excess Pasien dengan Ventilator Eka Adhiany; Heru Dwi Jatmiko; Uripno Budiono
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (479.44 KB) | DOI: 10.14710/jai.v6i1.6649

Abstract

Latar belakang: Agitasi dan kecemasan sering terjadi pada pasien-pasien Intensive Care Unit (ICU). Kejadian kecemasan berkisar di atas 70% dari pasien-pasien ICU). Ini membutuhkan pemberian obat sedasi dan analgesia. Obat sedasi yang dapat digunakan antara lain midazolam dan ketamin. Kedua obat ini memiliki perbedaan dalam efek ke pembuluh darah.Tujuan: Untuk menemukan perbedaan nilai base excess (BE) melalui analisa gas darah arteri pasien ICU yang menggunakan midazolam dibandingkan dengan ketamin sebagai sedasi.Metode: Suatu uji klinik eksperimental yang dilakukan secara acak tersamar ganda pada pasien yang menggunakan ventilator di unit rawat intensif. Pasien (n : 28) dibagi menjadi 2 kelompok, K1 yang mendapat sedasi ketamin dan K2 mendapat midazolam. Pasien diberikan sedasi selama 24 jam dengan dosis bervariasi dengan target kedalaman sedasi pasien pada Ramsay Score 4, kemudian diperiksa nilai analisis gas darah pada jam ke-0, 6, dan 24.Hasil: Hasil perbandingan sedasi midazolam dengan ketamin ini menunjukkan perbedaan bermakna pada nilai base excess yang menggunakan sedasi ketamin jam ke-0 dan jam ke-6 saja dengan nilai p=0,04 (p<0.05), sedangkan untuk jam ke-0 dan jam ke-24 didapatkan perbedaan yang tidak bermakna dimana p=0,55, dan untuk jam ke-6 dan jam ke-24 juga didapatkan perbedaan yang tidak bermakna dimana p=0,786.Simpulan: Tidak ada perbedaan yang bermakna pada hasil pemeriksaan base excess darah arteri pada pasien menggunakan ventilator dalam 24 jam yang diberikan midazolam dibandingkan dengan ketamin.
Pengaruh Pretreatment Magnesium Sulfat Dan Atrakurium Terhadap Perubahan Tekanan Intraokuler Akibat Suksinilkolin Imam Suyuti; IGN Panji; Mohamad Sofyan Harahap
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 1, No 2 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v1i2.6294

Abstract

Latar belakang: Suksinilkolin satu-satunya pelumpuh otot dengan onset cepat dan durasi kerja sangat singkat, tetapi mempunyai efek samping diantaranya menaikkan tekanan intraokuler. Prekurarisasi dengan pelumpuh otot non depolarisasi menyebabkan peningkatan dosis suksini lkolin. Magnesium bekerja secara kompetitif pada neuromuscular junction menduduki prejunctional site.Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment magnesium sulfat sama baiknya dengan pretreatment atracurium untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler akibat pem berian suksinilkolin.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis tahap II, dirancang sebagai double blind randomized controlled trial. Sampel 54 pasien, dibagi dalam 2 kelompok; kelompok I : diberikan magnesium sulfat 40 mg/kg diencerkan sampai 20 ml, i.v dimasukkan dalam 10 menit, 13 menit sebelum induksi, dilanjutkan NaCl 3 ml3 menit sebelum induksi. Kelompok II (kontrol) : mendapatkan NaCl 20 ml dimasukkan dalam l0 menit, dilanjutkan atracurium 0.05 mg/kg diencerkan sampai 3 ml, 3 menit sebelum induksi. Tekanan intraokuler diukur sebelum perlakuan, 2 menit setelah pemberian suksinilkolin dan segera setelah intubasi.Hasil: Tidak terjadi peningkatan tekanan intraokuler 2 menit setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok I maupun kelompok II, justru terjadi penurunan tekanan intaokuler pada kedua kelompok. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna, pada perubahan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada kelompok I maupun II.Simpulan: Tidak terjadi kenaikan tekanan intraokuler setelah pemberian suksinilkolin pada pasien yang mendapat pretreatment magnesium sulfat, maupun yang mendapat pretreatment atracurium. Tidak terdapat perbedaan yang bermaknapada perubahan tekanan intraokuler setelah pernberian magnesium sulfat maupun atracurium.
Jumlah Koloni Bakteri Pada Sediaan Propofol Diluar Kemasan Pada Jam Ke 0, 6, Dan 24 Di Kamar Operasi Sentral Rumah Sakit Saiful Anwar Malang  Zulfakhri Zulfakhri; Djudjuk Rahmad Basuki; Isngadi Isngadi
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 7, No 3 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (621.278 KB) | DOI: 10.14710/jai.v7i3.10808

Abstract

Latar belakang :  Propofol (2,6-diisopropylphenol) merupakan obat anestesi intravena yang efektif , onset cepat, durasi kerja pendek. Propofol dengan pelarut yang mengandung emulsi yang terdiri dari 10 % minyak kedelai, 2,25% gliserol dan 1,2 Fosfatid telur yang dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Pada praktek sehari-hari di Rumah Sakit syaiful Anwar (RSSA) dijumpai adanya emulsi propofol yang sudah dibuka dari kemasan (ampul) kemudian disimpan dalam spuit 10 cc dan dilakukan penyimpanan dalam lemari es dengan suhu yang diatur pada 4°C. Propofol tersebut kemudian digunakan kembali pada keesokan harinya atau lebih 24 jam dengan mengabaikan kemungkinan adanya pertumbuhan bakteri dengan alasan bahwa dengan dilakukan penyimpanan di lemari pendingin akan memperlambat pertumbuhan bakteri. Oleh karena itu penting diketahui apakah ada pertumbuhan kuman pada sediaan propofol sisa diluar kemasan pada jam ke 0, jam ke 6 dan jam ke 24.Tujuan : Untuk mengetahui apakah ada pertumbuhan bakteri pada propofol yang sudah dibuka dari ampul pada jam ke 0, jam ke 6 dan jam ke 24 di kamar operasi bedah sentral RSSA  setelah dilakukan pemeriksaan kultur mikrobiologiMetode :  Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kohort prospektif dengan jumlah sampel 90. Sampel terpilih diberi label no sampel, dicatat warnanya. Pada jam ke- 0 propofol dibuka dari kemasan diambil 2 cc propofol dimasukkan dalam spuit 3 cc dan dilakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pada Jam ke 6 diambil 2 cc propofol dimasukan dalam spuit 3cc diberi label dan nomor sampel, tanggal dan jam. Kemudian dilakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pada Jam ke 24 propofol sisa yang disimpan dilemari pendingin Depo Farmasi Kamar Operasi diambil 2 cc propofol dimasukan dalam spuit 3cc yang telah diberi label dan nomor sampel, tanggal dan jam. Kemudian dilakukan pemeriksaan mikrobiologiHasil :  Dari penelitian ini didapatkan jumlah rerata koloni bakteri pada sampel  jam ke 0 adalah 0,1667 cfu/ml,  pada sampel jam ke 6 adalah 3,6667 cfu/ml, dan pada sampel jam ke 24 adalah 321,8573 cfu/ml. Jumlah rerata total koloni bakteri adalah 108.5636 cfu/ml. Dari analisa statistik didapatkan jumlah koloni bakteri pada jam ke 0 berbeda bermakna jika dibandingkan pada jam ke 6 dengan nilai p < 0,05, sedangkan jumlah koloni bakteri pada jam ke 0 dibandingkan dengan jam ke 24 didapatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai P < 0,05. Jumlah koloni bakteri pada jam ke 6 berbeda bermakna jika dibandingkan pada jam ke 24 dengan P < 0,05Simpulan : Pertambahan jumlah koloni bakteri berkaitan erat dengan lamanya paparan propofol dengan udara luar. Semakin lama terbuka semakin banyak jumlah koloni bakteri. 
Pengaruh Simvastatin Terhadap Kapasitas Fagositosis Makrofag Pada Mencit Balb/C Yang Diberi Lipopolisakharida Sherliyanah Harahap; Heru Dwi Jatmiko; Mohamad Sofyan Harahap
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 4, No 2 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (760.276 KB) | DOI: 10.14710/jai.v4i2.6428

Abstract

Latar Belakang : Simvastatin merupakan grup obat yang disebut sebagai hydroxy metyl glutaryl (HMG Co) reductase inhibitors). Efek simvastatin terhadap TNF -alpha neutralizing antibody bahwa Statins (3-hydroxy-3-methylglutaryl) coenzyme reductase inhibitors memiliki efek pleiotropic actions, yang mampu memperbaiki survival penderita sepsis.Tujuan : Membuktikan efek pemberian simvastatin 0,03 mg, 0,06 mg dan 0,12 mg peroral pada mencit yang diberi LPS intraperitoneal terhadap penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal.Metode : Penelitian eksperimental desain the post test only controlgroup. Sampel penelitian 20 ekor mencit balb/c jantan. Mencit dibagi dalam 4 kelompok, yaitu kelompok Kontrol (tidak diberi simvastatin), kelompok Perlakuan 1,2,3 berturut-turut diberi simvastatin 0,03 mg; 0,06 mg; dan 0,12 mg peroral.Sebelumnya masing -masing kelompok disuntikkan lipopolisakarida 10 mg/kgBB intraperitoneal.Hasil : Rerata kapasitas fagositosis makrofag untuk masing-masing kelompok : Kontrol = 44,40+3.97; Perlakuan 1 = 37,80+2,86; Perlakuan 2 = 31,20+1,30; Perlakuan 3 = 23,00+4,30. Hasil uji statistik antar kelompok didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok K1 dengan K3 dan K4, antara K2 dengan K3 dan K4 (p<0,0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara K1 dan K2, serta K3 dan K4. (p>0,0,05).Kesimpulan : Pemberian simvastatin dosis 0,06 mg dan 0,12 mg peroral menunjukkan perbedaan bermakna pada penurunan kapasitas fagositosis makrofag intraperitoneal dibanding kontrol pada mencit yang diberi lipopolisakarida.
Perbedaan Pemberian Deksametason Antara Teknik Premedikasi dan Priming Terhadap Jumlah Neutrofil Pasien Bedah Jantung yang Menggunakan Mesin Boy Sumantomo; Widya Istanto Nurcahyo; Hari Hendriarto Satoto
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 9, No 2 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (623.204 KB) | DOI: 10.14710/jai.v9i2.19829

Abstract

Latar belakang: Bedah jantung terbuka merupakan salah satu jenis operasi dengan trauma yang cukup besar, dalam pelaksanaannya menggunakan mesin jantung paru. Penggunaan mesin jantung paru menyebabkan respon inflamasi yang besar dan ditandai dengan leukositosis (neutrophil). Salah satu cara untuk mengurangi produksi neutrophil ini dengan menggunakan dexamethason, ada beberapa teknik pemberian deksametason diantaranya cara premedikasi dan priming.Tujuan: Membandingkan  dexamethason 1 mg/kgBB sebagai premedikasi dan dexamethason 1 mg/kgBB saat priming terhadap jumlah neutrofil post CPB pada operasi jantung.Metode: Penelitian ini merupakan percobaan klinik secara acak yang mengikut sertakan 18 pasien bedah jantung ganti katup dengan general anestesi  dan menggunakan mesin jantung paru. Sampel dibagi 2, antara pemberian deksametason teknik premedikasi dan teknik priming. Kelompok premedikasi mendapatkan deksametason 1 mg/kgbb setelah induksi, kelompok priming mendapatkan deksametason 1 mg/kgbb pada mesin jantung paru. Dengan membandingkan jumlah neutrophil pada masing-masing teknik antara preoperasi dan postoperasi.Hasil: pada penelitian ini didapatkan penurunan produksi neutrophil batang untuk teknik premedikasi dengan (p = 0,048) dan terjadi peningkatan neutrophil batang pada teknik priming (p = 0,012). Namun pada pemeriksaan neutrophil segmen terjadi peningkatan yang tidak bermakna untuk teknik premedikasi (p = 0,086) dan peningkatan yang bermakna untuk neutrophil segmen untung teknik priming (p = 0,012).Simpulan: Pemberian dexamethasone 1 mg/kgbb dengan teknik premedikasi terbukti menurunkan jumlah neutrophil batang pada pemeriksaan paska operasi bila dibandingkan pemberian dengan teknik priming. Namun tidak terbukti pada jumlah neutrophil segmen.
Pengaruh Pretreatment Vitamin C 200 Miligram Terhadap Kadar Cortisol Serum Pada Induksi Etomidat Ratna Anggraeni; Hariyo Satoto; Widya Istanto Nurcahyo
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 3, No 1 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v3i1.6451

Abstract

Latar Belakang: Etomidat adalah salah satu agen anestesi yang berefek minimal terhadap kardiovaskular. Namun, etomidat mendepresi produksi kortisol. Salah satu agen yang dapat meminimalisir efek depresi tersebut adalah vitamin C.Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pretreatment vitamin C 200 mg pada operasi elektif dengan anestesi umum terhadap kadar kortisol serum.Metode: penelitian ini merupakan penelitian Randomized Contolled Trial dengan 30 subjek yang dibagi dalam dua kelompok sama besar (n=15), yaitu kelompok kontrol yang menerima etomidat 0,2 mg/kgBB dan kelompok perlakuan yang menerima etomidat dan vitamin C 200 mg iv preoperasi. Masing-masing kelompok tersebut selanjutnya diperiksa kadar kortisolnya pre anestesi, 2 jam pasca induksi, 8 jam pasca induksi. Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test dan Paired T Test digunakan untuk membandingkan kadar kortisol di masing-masing kelompok. Uji Mann Whitney dan Independent Sample T Test digunakan untuk membandingkan antar kelompok kontrol dan perlakuan.Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok kontrol, kadar kortisol preanestesi 244,15 dan 2 jam pasca induksi 185,52 + 35,88 berbeda bermakna (p=0,002). Begitu pula antara kadar 2 jam dengan 8 jam pasca induksi 349,81 + 121,28 (p=0,000). Sedangkan pada kelompok perlakuan, kadar kortisol antara pre anestesi 258,49 (175,45-369,09) dan 2 jam pasca induksi 202,14 + 45,3 tidak berbeda bermakna (p=0,256), begitu pula 2 jam pasca induksi dengan 8 jam pasca induksi 251,39 + 122,91 (p=0,691).Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin C 200 mg intra vena 30 menit pre operasi dapat menurunkan efek depresi kortisol oleh pemberian etomidat 0,2 mg/kgBB.

Page 4 of 29 | Total Record : 286


Filter by Year

2009 2023


Filter By Issues
All Issue Vol 15, No 2 (2023): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 15, No 1 (2023): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 3 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 2 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 14, No 1 (2022): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia (Issue in Progress) Vol 13, No 3 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 13, No 1 (2021): Jurnal Anestesiologi Indonesia Publication In-Press Vol 12, No 3 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 12, No 2 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 12, No 1 (2020): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 3 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 2 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 11, No 1 (2019): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 3 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 2 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 10, No 1 (2018): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 3 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 2 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 9, No 1 (2017): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 3 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 2 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 8, No 1 (2016): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 3 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 2 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 7, No 1 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 3 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 2 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 6, No 1 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 3 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 2 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 5, No 1 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 3 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 2 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 4, No 1 (2012): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 3 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 2 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 3, No 1 (2011): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 3 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 2 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 2, No 1 (2010): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 3 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 2 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia Vol 1, No 1 (2009): Jurnal Anestesiologi Indonesia More Issue