cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
Undang: Jurnal Hukum
Published by Universitas Jambi
ISSN : 25987941     EISSN : 25987933     DOI : -
Core Subject : Social,
Undang: Jurnal Hukum merupakan terbitan ilmiah berkala bidang ilmu hukum. Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Jambi sebagai media pembahasan hukum––yang dalam bahasa Melayu disebut Undang––dalam merespons dinamika dan perubahan sosial. Terbit pertama pada April 2018, Undang: Jurnal Hukum terbit dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Dalam setiap terbitannya, Undang: Jurnal Hukum memuat tujuh artikel hasil penelitian atau pengkajian hukum dan satu artikel ulasan tokoh & pemikiran hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 88 Documents
Eksistensi dan Konstruksi Yuridis Badan Usaha Milik Daerah Pasca Undang-Undang Pemerintahan Daerah Tahun 2014 Fauzi Syam; Elita Rahmi; Arsyad Arsyad
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (255.058 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.295-322

Abstract

This article discusses juridical implications about the regulation of state-owned enterprises (BUMD) after the enactment of the Law Number 23 Year 2014 about Regional Government (Regional Government Law 2014) and the application on regulation of BUMD in Jambi Province. Research methode in this study is normative juridical with law approach. Based on the results of the study are known, the enactment of Regional Government Law 2014 has implications for the existence and regulations of existing and future of BUMD, namely in terms of form and naming of BUMD; organ of BUMD; tenure of directors and councils; and intervention of DRPD (Regional People’s Representative Assembly) on BUMD operations. The result of the study also shows that not one regional government in Jambi Province that followed up on the mandate of the article 402 paragraph (1) Regional Government Law 2014 to adjust the regulation of BUMD, and that’s why it is potentially contradicting with Regional Government Law 2014 and central government policy. Abstrak Artikel ini membahas implikasi yuridis pengaturan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda 2014) dan penerapannya pada regulasi BUMD di lingkungan Provinsi Jambi. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Berdasarkan hasil kajian diketahui, berlakunya UU Pemda 2014 berimplikasi terhadap eksistensi dan regulasi BUMD baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk, yaitu dalam hal bentuk hukum dan penamaan BUMD; persyaratan pendirian dan kelayakan usaha BUMD; penyertaan modal daerah dan kepemilikan modal dalam BUMD; organ BUMD; masa jabatan Direksi dan Dewas/Deris; dan campur tangan DPRD dalam operasional BUMD. Hasil penelitian juga menunjukkan belum ada satu pun Pemda di lingkungan Provinsi Jambi yang menindaklanjuti amanat Pasal 402 ayat (1) UU Pemda 2014 untuk menyesuaikan regulasi BUMD, dan dengan demikian potensial bertentangan dengan UU Pemda 2014 dan kebijakan pemerintah pusat.
Kinerja Pengadilan dalam Lingkaran Kekuasaan Otoritarian Isharyanto Isharyanto
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (203.185 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.267-294

Abstract

This paper aims to describe socio-juridically the performance of courts in authoritarian circles of power. The court is increasingly demanded attention by academics of constitutional law, along with the expectation of a role in the presence of power. Courts, of course by involving judicial apparatus, especially judges, are controlled by the executive but are able to negotiate their functions to support the government. Courts can provide legitimacy both internally and externally as well as being an effective tool for maintaining power. On this side, every regime of power has an interest of the court. Therefore, the idealita of the court then also related with independence, which is not only for the rule of law, constitutionality and human rights, but also in relation to globalization, free and efficient economic activities. If the judges are independent, they are basically protected from undue influence from those who can damage their impartiality. With variations that are not the same, but working in the same circle of power, courts in Singapore and Pakistan confirm these matters. Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sosio yuridis kinerja pengadilan dalam lingkaran kekuasaan yang otoritarian. Pengadilan semakin dituntut perhatiannya oleh akademisi hukum tata negara, seiring harapan akan peran di hadapan kekuasaan. Pengadilan, tentu saja dengan melibatkan aparatur peradilan, terutama hakim, dikendalikan eksekutif akan tetapi mampu menempatkan negosiasi fungsi mereka untuk mendukung pemerintah. Pengadilan bisa memberikan legitimasi secara internal maupun eksternal sekaligus menjadi alat efektif untuk mempertahankan kekuasaan. Pada sisi ini, setiap rezim kekuasaan berkepentingan dengan pengadilan. Oleh sebab itu, idealita pengadilan kemudian juga berurusan dengan independensi, yang tidak hanya untuk supremasi hukum, konstitusionalitas, dan hak asasi manusia, tetapi juga dalam kaitannya dengan globalisasi, kegiatan ekonomi yang bebas, dan efisien. Jika hakim independen, mereka pada dasarnya dilindungi dari pengaruh yang tidak semestinya dari pihak-pihak yang dapat merusak ketidakberpihakan mereka. Dengan variasi yang tidak sama, namun bekerja dalam lingkaran kekuasaan yang sama, pengadilan di Singapura dan Pakistan memberikan konfirmasi atas hal-hal tersebut.
Politik Hukum Penyelesaian Konflik Pengelolaan Konservasi yang Humanis Danggur Konradus
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (224.215 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.219-243

Abstract

This article discusses the phenomenon of mutual claims between state law and customary law in resolving conflict management conservation. In the conservation areas are several laws which claim to have the right to control and manage the area, namely state law, customary law, company law and so on. The centralistic legal politic in the Conservation Law now separates humans from their nature and has not yet integrated the local wisdom of indigenous peoples, so that it is far from the conservation law that is pro-indigenous, pro-justice, pro-poverty, and pro-local wisdom. Therefore, the legislative approach is not enough to overcome the complexity of the problem of conservation areas, but rather requires a holistic and progressive approach as an alternative solution. This article builds argumentation that integration of local wisdom in the legal politics of conservation area management is very necessary to maintain and manage human biodiversity and ecosystem areas. Social capital in indigenous law communities such as deliberation, honesty, harmony, not discrimination, is an important capital in overcoming various problems in resolving conflict management conservation. Abstrak Artikel ini membahas fenomena saling klaim antara hukum negara dan hukum adat dalam penyelesaian konflik pengelolaan konservasi. Dalam kawasan konservasi sendiri terdapat beberapa hukum yang saling mengklaim memiliki hak menguasai dan mengelola kawasan tersebut, yaitu hukum negara, hukum adat, hukum perusahaan dan sebagainya. Politik hukum konservasi yang sentralistis dalam UU Konservasi saat ini telah memisahkan manusia dengan alamnya dan belum mengintegrasikan kearifan lokal masyarakat hukum adat, sehingga jauh dari hukum konservasi yang pro masyarakat hukum adat, pro keadilan, pro kemiskinan, dan pro kearifan lokal. Oleh karenanya, pendekatan perundang-undangan saja tidak cukup untuk mengatasi kompleksitas masalah kawasan konservasi, melainkan memerlukan pendekatan holistik dan progresif sebagai alternatif penyelesaian. Artikel ini membangun argumentasi, integrasi terhadap kearifan lokal dalam politik hukum pengelolaan kawasan konservasi sangat diperlukan untuk memelihara dan mengelola kawasan keanekaragaman hayati dan ekosistem yang humanis. Modal sosial pada masyarakat hukum adat seperti musyawarah, kejujuran, rukun, tidak diskriminasi, merupakan modal penting dalam mengatasi pelbagai problem dalam penyelesaian konflik pengelolaan konservasi.
Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusuma-atmadja: Mengarahkan Pembangunan atau Mengabdi pada Pembangunan? M. Zulfa Aulia
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.715 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.363-392

Abstract

This article discusses Hukum Pembangunan (the Law of Development), a legal thought from Mochtar Kusuma-atmadja. The concept of hukum pembangunaan was beckgrounded with the concern about the role of law that showed malaise in a developing society. In order for the law to have a contribution in development, the law is not sufficiently functioned to maintain the orderliness of people’s lives, a conservative function, but also must be empowered to direct change and development in order. Thus the law can be a tool of social engineering. To carry out such functions, hukum pembangunan encourages the need to legal guidance which includes legal reform in the legal field that is neutral in terms of culture and religion, and legal education directed at improving technical and professional capabilities. This article shows that hukum pembangunan is a legal thought that is practically urgent in the face of increasingly complex social changes and an ongoing development agenda, and therefore will be relevant at all times. However, the unclearly criteria about what changes or developments need to be supported by law, while the character of the legal product is determined by the ongoing political constellation, causes the projection of hukum pembangunan to be easily trapped in the wills of development or power, rather than merely directing development. Abstrak Artikel ini membahas hukum pembangunan, sebuah pemikiran hukum dari Mochtar Kusuma-atmadja. Konsep hukum pembangunan bermula dari keprihatinan Sang Tokoh terhadap peranan hukum yang menunjukkan kelesuan dalam masyarakat yang sedang membangun. Agar punya kontribusi dalam pembangunan, maka hukum tidak cukup difungsikan sebatas menjaga ketertiban kehidupan masyarakat, suatu fungsi yang konservatif, melainkan juga harus diberdayakan untuk mengarahkan perubahan dan pembangunan supaya berlangsung secara teratur dan tertib. Hukum dengan begitu dapat menjadi alat atau sarana dalam pembangunan. Untuk menjalankan fungsi demikian, hukum pembangunan mendorong perlu dilakukannya pembinaan hukum nasional yang meliputi antara lain pembaruan hukum pada bidang yang netral dari segi kebudayaan dan keagamaan, serta pendidikan hukum yang diarahkan pada peningkatan kemampuan teknis dan profesional. Artikel ini menunjukkan, hukum pembangunan merupakan pemikiran hukum yang secara praksis penting dalam menghadapi berbagai perubahan sosial yang semakin kompleks dan agenda pembangunan yang terus berlangsung, dan karenanya akan relevan dalam setiap masa. Namun demikian, ketidakjelasan kriteria perubahan atau pembangunan seperti apa yang perlu didukung dengan bersaranakan hukum, sementara di sisi lain karakter produk hukum itu dipengaruhi oleh konstelasi politik yang tengah berlangsung, menyebabkan proyeksi hukum pembangunan bisa dan mudah terjebak pada kehendak-kehendak pembangunan atau kekuasaan, dan bukan sekadar mengarahkan pembangunan.
Urgensi Perubahan Delik Biasa Menjadi Delik Aduan dan Relevansinya terhadap Perlindungan dan Penegakan Hak Cipta Hanafi Amrani
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (174.788 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.347-362

Abstract

This article discusses two main issues: first, what is the urgency of the change in nature of offences from ordinary offence to be complaint offence in the copyright law; second, how is the relevance of the change in the nature of the offense to protect and enforce copyright. The urgency of changes in offenses is usually an offense against complaints because copyright is an exclusive right that is personal and civil rights. This personal and civil right indicate the absolute right of the creator or the copyright holder to the results of their work, including the right to report or not to infringe their copyright. Therefore conceptually this personal and civilian nature emphasizes the alignment of mindset that the complaint offence is more appropriately applied to copyright infringement. Whereas the relevance of complaint offence for protection and enforcement of copyright can be seen from the significant role of the creator or copyright holder in the law enforcement process. The creator or copyright holder can play an active role in providing information and evidence of copyright infringement so that the law enforcement process becomes more effective and efficient. Abstrak Artikel ini membahas dua permasalahan pokok: pertama, apa urgensi perubahan delik biasa menjadi delik aduan dalam Undang-undang Hak Cipta; kedua, bagaimana relevansi perubahan sifat delik tersebut terhadap perlindungan dan penegakan hukum hak cipta. Urgensi perubahan delik biasa menjadi delik aduan adalah karena hak cipta merupakan hak eksklusif yang bersifat personal dan keperdataan. Sifat personal dan keperdataan ini mengindikasikan adanya hak mutlak dari pencipta atau pemegang hak cipta atas hasil karya ciptanya, termasuk hak untuk melaporkan atau tidak atas pelanggaran hak ciptanya. Oleh karena itu secara konseptual sifat personal dan keperdataan ini lebih mengedepankan keselarasan pola pikir bahwa delik aduan lebih tepat diterapkan terhadap pelanggaran hak cipta. Sedangkan relevansi delik aduan terhadap perlindungan dan penegakan hak cipta dapat dilihat dari peran yang signifikan dari pencipta atau pemegang hak cipta dalam proses penegakan hukum. Pencipta atau pemegang hak cipta dapat berperan aktif dalam memberikan keterangan dan bukti-bukti dari pelanggaran hak cipta tersebut sehingga proses penegakan hukum dapat berjalan lebih efektif dan efisien.
Pola Penguasaan Tanah Sawah Secara Gilir Ganti dalam Perspektif Hukum Agraria Isran Idris; Taufik Yahya; Windarto Windarto
Undang: Jurnal Hukum Vol 1 No 2 (2018)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.247 KB) | DOI: 10.22437/ujh.1.2.245-265

Abstract

Gilir ganti sawah system is model of authority and ownership of land base on adat law in district Kerinci, Jambi. The article analize outhority and ownership model of fild rice land with alternate manner in agrarian law perspective. This research has done by observation, interview, literature study. The result of research point out, sistem gilir ganti sawah is side effect of kinship and legacy/ inheritance system to differentiate between son and dauhtor. The wet rice fild land is done and takken by daughter, but the regulation by tengganai (brother from mother line). More and more heirees, make more and more duration of waiting. For the third level or more, sistem gilir ganti sawah to be ineffective, unproductive, and there is no law certenty and easy conflict. Base on agrarian law perspective, the authority and ownership make difficult to determine the owner, so immposible to register for secticate. But this model stil stand and has been stand up with the reason as be indication that they are one clan. Abstrak Sistem gilir ganti sawah merupakan pola penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan hukum adat di wilayah Kerinci, Jambi. Artikel ini membahas pola penguasaan dan pemilikan tanah sawah secara gilir ganti dalam perspektif hukum agraria. Penelitian ini dilakukan melalui pengamatan, wawancara, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan, sistem gilir ganti sawah dipengaruhi oleh sistem kekerabatan dan kewarisan yang membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Tanah sawah dikerjakan dan dinikmati oleh anak perempuan, sedangkan pengaturannya oleh tengganai (saudara laki-laki dari pihak ibu). Semakin banyak ahli waris perempuan, maka semakin lama masa tunggu. Pada tingkat lapisan ketiga atau lebih, sistem gilir ganti sawah menjadi tidak efektif, tidak produktif, tidak memiliki kepastian hukum, dan rawan akan konflik. Dari perspektif hukum agraria nasional, pola penguasaan tanah secara demikian menyebabkan sulit untuk menetapkan subjek hukum pemiliknya, sehingga tidak memungkinkan untuk didaftarkan guna mendapatkan sertifikat. Meski begitu, sistem ini masih tetap bertahan dan dipertahankan dengan alasan sebagai penanda satu keturunan keluarga.
Kontrak Berjangka Komoditas Emas Sebagai Instrumen Transaksi Derivatif dalam Kajian Hukum Ekonomi Syariah Surya Muhammad Gunarsa
Undang: Jurnal Hukum Vol 2 No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.85 KB) | DOI: 10.22437/ujh.2.1.95-117

Abstract

Gold futures contract are one form of business development and become a part of derivative instrument. Futures contract is one of derivative instrument which its value based on underlying asset’s. At the beginning, the futures contracts were traded with hedging motive, but now they are traded with speculative motive also to get more profit from price fluctuatuations. Indonesia is a country with muslims as a majority, analysis from a sharia point of view is needed in order to accomodate business advancement so that the Indonesian people can live all the joints of life based on Islamic Shari'a in this modern era. In the sharia concept the clarity of goods both in quality and quantity and delivery of goods becomes essential in a transaction, in derivative transactions this is not the main thing so that there are prohibited transaction elements, namely maysir and gharar, to accommodate those institutions authorized in Indonesia is related to halal or illegitimate transactions, namely the Majelis Ulama Indonesia issues a fatwa that provides a certain mechanism so that a derivative transaction becomes a transaction that allowed by Islamic sharia perspective. Abstrak Kontrak berjangka emas merupakan salah satu bentuk dari perkembangan dalam jual beli di dunia dan merupakan bagian dari instrumen derivatif. Instrumen derivatif merupakan nilai turunan dari underlying asset. Pada mulanya perdagangan berjangka digunakan untuk melakukan perlindungan nilai (hedge), namun seiring berjalannya waktu kontrak berjangka emas diperdagangkan dengan motif spekulatif guna mendapat keuntungan dari fluktuasi harga. Indonesia merupakan negara dengan mayoritas warga beragama Islam, dan karenanya perkembangan-perkembangan dalam persoalan kemasyarakatan termasuk jual beli perlu adanya analisis dari sudut padang syariah, guna mengakomodasi perubahan zaman dan masyarakat dapat menjalani segala sendi kehidupan berdasarkan syariat Islam. Dalam konsep syariah, kejelasan barang baik secara kualitas maupun kuantitas dan penyerahan barang menjadi hal yang esensial dalam suatu transaksi. Dalam transaksi derivatif, hal tersebut bukan menjadi hal yang utama sehingga di dalamnya terdapat unsur transaksi yang dilarang yaitu maysir dan gharar. Untuk mengakomodasi hal tersebut, institusi berwenang di Indonesia terkait halal atau haramnya suatu transaksi yaitu Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang memberikan mekanisme tertentu agar suatu transaksi derivatif menjadi suatu transaksi yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Tanggung Jawab Pribadi dalam Kasus Pungutan Liar yang Dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil Nurmalita Ayuningtyas Harahap
Undang: Jurnal Hukum Vol 2 No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (183.881 KB) | DOI: 10.22437/ujh.2.1.69-93

Abstract

This study analyzes about the responsibilities of civil servants (PNS) who does cases of illegal levies. The problem formulation is why do PNS who does illegal levies will be subject to personal responsibility not job responsibilities. This article concludes that violations of norms committed by PNS will incur legal consequences in the form of responsibility to the injured party. The norms that must be obeyed by civil servants in carrying out their duties are the norms of government (bestuursnorm) and norms of behavior (gedrasnorm). Accountability for violations of government norms will later be directed to government positions, with compensation imposed on agencies, with a touchstone using the principles of legality, principles of specialty, and general principles of good governance. While accountability for violations of the norms of behavior will be addressed to the relevant office holders or civil servants, with a touchstone using maladministration. Illegal levies are included in the category of maladministration, therefore in conducting maladministration which is a violation of the norms of behavior will cause legal consequences in the form of personal responsibility. Abstrak Artikel ini membahas tentang tanggung jawab pegawai negeri sipil (PNS) yang melakukan kasus pungutan liar. Permasalahan yang dibahas adalah mengapa PNS yang melakukan pungutan liar dikenakan tanggung jawab pribadi dan bukan tanggung jawab jabatan. Artikel ini menyimpulkan bahwa pelanggaran norma yang dilakukan oleh PNS akan menimbulkan konskuensi hukum berupa tanggung jawab kepada pihak yang dirugikan. Adapun norma yang yang harus dipatuhi pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugasnya adalah norma pemerintahan (bestuursnorm) dan norma perilaku (gedrasnorm). Pertanggungjawaban terhadap pelanggaran norma pemerintahan tersebut nantinya akan ditujukan kepada jabatan pemerintahan, dengan ganti rugi dibebankan kepada instansi, dengan batu uji menggunakan asas legalitas, asas spesialitas, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap pelanggaran norma perilaku akan ditujukan kepada pemangku jabatan atau PNS yang bersangkutan, dengan batu uji menggunakan maladministrasi. Pungutan liar termasuk dalam kategori perbuatan maladministrasi, oleh karena itu dalam melakukan maladministrasi yang merupakan pelanggaran terhadap norma perilaku akan menimbulkan konsekuensi hukum berupa tanggung jawab pribadi.
Notifikasi Aksi Korporasi Sebagai Instrumen Hukum Pencegah Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Hottua Manalu
Undang: Jurnal Hukum Vol 2 No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.341 KB) | DOI: 10.22437/ujh.2.1.33-67

Abstract

This article discusses about corporation action notification on the competition law perspective. Corporation action notification is a notification obligations by the business actor to the Business Competition Supervisory Commision about corporation action in the form of incorporation, fusion, or company share acquition that caused asset value or sales value is ecxceed specific value. This article concluded that notification is an important instrument to prevent monopolistic practices and unfair competition, because a corporation action has an influence towards business competition, that can increase market concentration and this can make a product price more higher and business actor’s market power become bigger so that can threatening small business actor. However, the notification nowadays applied in Indonesia is notification to the commission after the corporation action has been done, or as known as post-notification, actually is not effective to prevent monopolistic practices and unfair competition, because of the notification is delivered after the corporation action has been done, so that in case the Commission assess that the corporation action is causing monopolistic practices and unfair competition then the revocation is complicated. Therefore, this article is encouraging notification to be done before corporation action is started, as known as pra-notification, so monopolistic practices and unfair competition possibility can be detected earlier and can be prevented. Abstrak Artikel ini membahas notifikasi aksi korporasi dalam perspektif hukum persaingan usaha. Notifikasi aksi korporasi adalah kewajiban pemberitahuan oleh pelaku usaha kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha atas aksi korporasi baik dalam bentuk penggabungan, peleburan, maupun pengambilalihan saham perseroan yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu. Artikel ini menyimpulkan, notifikasi merupakan instrumen penting dalam mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dikarenakan aksi korporasi berpengaruh terhadap persaingan usaha, yaitu menyebabkan bertambahnya konsentrasi pasar yang dapat menyebabkan harga produk semakin tinggi dan kekuatan pasar pelaku usaha menjadi semakin besar sehingga dapat mengancam pebisnis kecil. Namun demikian, notifikasi yang saat ini berlaku di Indonesia, yaitu pemberitahuan kepada Komisi setelah aksi korporasi selesai dilakukan, atau yang dikenali dengan post-notifikasi, sesungguhnya tidak efektif mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dikarenakan notifikasi disampaikan setelah aksi korporasi selesai dilakukan, sehingga dalam hal Komisi menilai aksi korporasi menyebabkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat maka pembatalan jelas mengalami kerumitan. Oleh karenanya, artikel ini mendorong notifikasi dilakukan sebelum aksi korporasi dilakukan, yang disebut dengan pra-notifikasi, agar kemungkinan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diketahui sejak dini dan dapat dicegah.
Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Pengawasan Lembaga Baitul Maal wa Tamwil (BMT): Studi Kasus BMT Global Insani Tita Novitasari
Undang: Jurnal Hukum Vol 2 No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (197.801 KB) | DOI: 10.22437/ujh.2.1.119-145

Abstract

This article discusses the role and involvement of the Financial Services Authority (OJK) in overseeing the Baitul Maal wa Tamwil (BMT) institution, especially in relation to the protection of illegal BMT customers. After the legislation and enactment of Law Number 1 of 2013 about Microfinance Institutions (UULKM), the establishment, guidance, regulation, and supervision of BMTs have changed. BMT organizations that originally could have been in the form of cooperative, foundation, limited liability companie, and even non-governmental organization, now must be in the form of cooperative or limited liability companie. However, in terms of guidance, OJK still needs to coordinate with ministries that carry out cooperative and domestic affairs, and therefore LKM guidance are actually under three authorities: OJK, the Ministry of Cooperatives and SMEs, and the Ministry of Home Affairs. Whereas in terms of regulation and supervision, authority is absolutely in OJK. The validity of UULKM also requires BMT to obtain a business license from OJK, and if not, the status means illegal. Taking the BMT (illegal) Global Insani case as an example, this article shows the role of OJK in BMT supervision has been expanded, from the institutional to the consumer protection aspects. Consumer protection efforts that can be done by OJK are through the mechanism of complaint, investigation, reporting, and prosecution. Abstrak Artikel ini membahas peran dan keterlibatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mengawasi lembaga Baitul Maal wa Tamwil (BMT), terutama dikaitkan dengan perlindungan nasabah BMT ilegal. Pasca dibentuk dan diberlakukannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (UULKM), maka pendirian, pembinaan, pengaturan, dan pengawasan BMT menjadi berubah. Organisasi BMT yang semula dapat berupa koperasi, yayasan, perseroan terbatas, dan bahkan kelompok swadaya masyarakat, saat ini harus berbentuk koperasi atau perseroan terbatas. Namun demikian, dalam hal pembinaan, OJK masih perlu berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggerakan urusan koperasi dan dalam negeri, dan karenanya LKM sesungguhnya berada di bawah tiga otoritas, yaitu OJK, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan dalam hal pengaturan dan pengawasan, kewenangan secara absolut ada pada OJK yang. Keberlakuan UULKM juga mewajibkan BMT memperoleh izin usaha dari OJK, dan jika tidak, statusnya berarti ilegal. Dalam artikel ini ditunjukkan, dengan mengambil contoh BMT (ilegal) Global Insani, peran OJK dalam pengawasan BMT telah diperluas, dari aspek kelembagaan hingga aspek perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen yang dapat dilakukan OJK ialah melalui mekanisme pengaduan, penyelidikan, hingga pelaporan dan penuntutan.