cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota jambi,
Jambi
INDONESIA
Undang: Jurnal Hukum
Published by Universitas Jambi
ISSN : 25987941     EISSN : 25987933     DOI : -
Core Subject : Social,
Undang: Jurnal Hukum merupakan terbitan ilmiah berkala bidang ilmu hukum. Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Jambi sebagai media pembahasan hukum––yang dalam bahasa Melayu disebut Undang––dalam merespons dinamika dan perubahan sosial. Terbit pertama pada April 2018, Undang: Jurnal Hukum terbit dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan April dan Oktober. Dalam setiap terbitannya, Undang: Jurnal Hukum memuat tujuh artikel hasil penelitian atau pengkajian hukum dan satu artikel ulasan tokoh & pemikiran hukum.
Arjuna Subject : -
Articles 88 Documents
Melacak Keadilan dalam Regulasi Poligami: Kajian Filsafat Keadilan Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rawls Zakki Adlhiyati; Achmad Achmad
Undang: Jurnal Hukum Vol 2 No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (163.567 KB) | DOI: 10.22437/ujh.2.2.409-431

Abstract

Justice is a principle that should be existed in every part of human life. It should be taken as a basic principle in human relation, such as in business, political, or private matter even in marriage relationship. How marriage relationship maintained in justice based, is justice still be existed when husband do polygamy, both are the issues that will be analysed in this article through philosophical studies. Marriege Law stated that husband and wife have the obligation to respect and stay faithfull to each others. Based on Aristotle, Thomas Aquinas and John Rawls theory, husband and wife positions are the same and in balance. These three philosophers stated that justice must be based on the equality (equality on position, equality on the right and obligation etc). Nevertheless, injustice founded in Marriage Law, first, the marriage law only give the chance to polygamy for husband, and second, polygamy prerequarement only focused on women physical uncompetency. There should be a revision to the marriage law to give equality rights between husband and wife. Abstrak Keadilan adalah sebuah nilai yang diharapkan selalu ada dalam kehidupan manusia, mulai dari politik, bisnis, sampai hubungan perkawinan. Dalam perkawinan, nilai keadilan harus menjadi salah satu dasar hubungan lahir batin ini. Bagaimana keadilan dalam poligami, apakah UU Perkawinan telah adil mengatur poligami, merupakan permasalahan yang akan dianalisis dalam artikel ini melalui kacamata filsafat. Undang-undang perkawinan menyebutkan bahwa suami dan istri mempunyai kewajiban untuk saling menghormati dan saling setia. Posisi suami dan istri jika dianalisis berdasarkan teori keadilan yang diutarakan oleh Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rawls adalah sama dan seimbang. Ketiganya mendasarkan nilai keadilan sebagai sebuah bentuk persamaan hak dan kewajiban, persaman status, persaman kedudukan. Meskipun demikian ketidakadilan ditemukan dalam Undang-undang Perkawinan. Setidaknya ada dua hal terkait poligami yang menjadikan UU Perkawinan tidak adil. Pertama, UU hanya memberikan peluang poligami kepada suami, dan kedua, alasan poligami bermuatan gender karena hanya menitikberatkan ketidakmampuan atau cacat fisik istri. Agar adil maka seharusnya ada perubahan yang dilakukan terhadap Undang-undang Perkawinan, perlu ada kesetaraan antara suami dan istri.
Integrasi Pengujian Peraturan Perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi Meidiana Meidiana
Undang: Jurnal Hukum Vol 2 No 2 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (172.304 KB) | DOI: 10.22437/ujh.2.2.381-408

Abstract

This article discusses the testing of constitutional laws by the constitutional court. Testing legislation is a process for testing written rules that contain common binding legal norms, whether established by state institutions or authorized officials. This article concludes, the integration of important legislations to be objectified, is due to the fact that unintegrating system of legislations are causing confusion, causing institutional conflict between constitutional court and supreme court, and causing discredency between legislation regulations from the bottom to the top. This article will therefore require that the testing of legislation be perfomed by the constitutional court, with a record of the number of judges of the constitutional court to be added in order to bring about the development of laws to test for better legislation in the future. This integration effort demands a change in legal norms related to the authority of the Constitutional Court, both contained in the Constitution and the Judicial Power and the Constitutional Court Laws. Abstrak Artikel ini membahas tentang integrasi pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi. Pengujian peraturan perundang-undangan adalah suatu proses untuk menguji peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum baik yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. Artikel ini menyimpulkan, integrasi pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Konstitusi menjadi penting untuk direalisasikan dikarenakan sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang tidak terintegrasi menyebabkan kerancuan, menimbulkan konflik kelembagaan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta mengakibatkan ketidaksinkronan antara peraturan perundang-undangan dari yang paling bawah sampai dengan yang paling atas. Oleh karenanya artikel ini menghendaki agar pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar terhadap Undang-Undang Dasar dilakukan secara terintegrasi, dalam hal ini oleh Mahkamah Konstitusi, dengan catatan jumlah hakim Mahkamah Konstitusi perlu ditambah guna mewujudkan pembangunan hukum pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih baik di masa mendatang. Agar integrasi tersebut dimungkinkan, maka perlu dilakukan perubahan norma hukum terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi, baik yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Friedrich Carl von Savigny tentang Hukum: Hukum sebagai Manifestasi Jiwa Bangsa M. Zulfa Aulia
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (209.427 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.201-236

Abstract

Friedrich Carl von Savigny was a legal figure with high reputation. He was recognized as a figure and the founder of the school of historical jurisprudence. This article attempts to discuss what he meant by law, how his thoughts about law began, and how these thought might have urgency and relevant to the present context. This article shows, Savigny’s thought about law stems from his reflection on the development of law in civilized nations, that law grows naturally in society and is not deliberately made by certain (political) forces. Law is a part of social life that can be observed in the form of people’s behavior and consciousness, as well as language and manners. It and other social aspects are united which arises from and reflects the spirit of the people (volksgeist) as well. Savigny’s thoughts are urgent in a holistically placing law in society and building laws that have a continuity in the past, present, and future. Such thoughts become relevant in the current legal development of a country which tends to have a global-universal character, so that national law is reflected, harmonized, and colored by the spirit of the people. Abstrak Friedrich Carl von Savigny merupakan tokoh hukum dengan reputasi yang tinggi. Ia dikenali sebagai tokoh sekaligus pendiri aliran hukum sejarah (historical jurisprudence). Dalam artikel ini dibahas apa yang dimaksud olehnya sebagai hukum, bagaimanakah pemikirannya tentang hukum bermula, dan, dalam konteks sekarang, bagaimana urgensi dan relevansinya. Artikel ini menunjukkan, pemikiran Savigny tentang hukum bermula dari refleksinya tentang perkembangan hukum pada bangsa-bangsa yang beradab, bahwa hukum itu tumbuh secara alamiah di masyarakat dan tidak dibuat secara sengaja oleh kekuatan (politik) tertentu. Hukum merupakan bagian dari kehidupan sosial yang dapat dilihat dalam wujud perilaku dan kesadaran masyarakat, seperti halnya bahasa dan tata krama. Hukum beserta aspek sosial lainnya itu merupakan satu kesatuan, yang muncul dan sekaligus mencerminkan jiwa rakyat atau bangsa (volksgeist). Pemikiran Savigny ini penting dalam mendudukkan hukum secara holistik di masyarakat dan membangun hukum yang memiliki kesinambungan masa lalu, kini, dan mendatang. Pemikiran demikian menjadi relevan dalam pembangunan hukum suatu negara saat ini yang cenderung berkarakter global-universal, agar dalam hukum nasional tetap tercermin, selaras, dan punya warna jiwa bangsa.
Autentikasi Akad Pembiayaan pada Perbankan Syariah dalam Penggunaan Lafadz Basmallah Indah Parmitasari
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (186.237 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.85-105

Abstract

This article seeks to discuss the authentication of financing contracts in Islamic banking in the use of lafadz basmallah. The problem discussed is how to authenticate the financing contract deed in Islamic banking in the use of lafadz basmallah. Every financing activity in Islamic banking is made in a contract, to get certainty and strength of perfect proof, the bank wants the contract to be made in an authentic deed. An authentic deed is a deed made by or in the presence of an authorized official for that purpose is made according to the provisions of the law. Notary as the official in charge of making the deed is guided by Article 38 of the Notary Position Law. A deed must fulfill the provisions of Article 1868 of the Civil Code, which is made by and or before an authorized official, and made a public official who has the authority. The notary is authorized as long as the certificate, person, place and time of the deed are made. This article concludes that the financing contract deed in Islamic banking that contains lafadz basmallah at the beginning of the deed does not meet the requirements of Article 1868 of the Civil Code, because it violates the provisions of Article 38 of the Notary Position Law so that the status of the act is degraded into a deed under the hand. Abstrak Artikel ini membahas tentang autentikasi akad pembiayaan pada perbankan syariah dalam penggunaan lafadz basmallah. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana keautentikan akta akad pembiayaan pada perbankan syariah dalam penggunaan lafadz basmallah. Setiap kegiatan pembiayaan dalam perbankan syariah dibuat dalam suatu akad, guna mendapatkan kepastian dan kekuatan pembuktian yang kuat, bank menghendaki akad dibuat dalam bentuk akta autentik. Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu sesuai dengan ketentuan undang-undang. Notaris sebagai pejabat yang berwenang dalam membuat akta berpedoman pada Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris tentang bentuk akta. Suatu akta harus memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata, yaitu dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat yang berwenang, dibuat menurut ketentuan undang-undang. Notaris berwenang sepanjang mengenai aktanya, orangnya, tempat dan waktunya akta dibuat. Artikel ini menyimpulkan bahwa akta akad pembiayaan pada perbankan syariah yang memuat lafadz basmallah pada awal akta kedudukannya bukan lagi sebagai akta autentik tetapi terdegradasi menjadi akta di bawah tangan, karena syarat otentisitas Pasal 1868 KUH Perdata tidak terpenuhi, yaitu syarat formalitas sesuai Pasal 38 Undang-Undang Jabatan Notaris Perubahan.
Urgensi Perumusan Perbuatan Memperdagangkan Pengaruh sebagai Tindak Pidana Korupsi Imentari Siin Sembiring; Elly Sudarti; Andi Najemi
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (191.126 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.59-84

Abstract

This article discusses the act of trading in influence as a form of corruption as regulated in the United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) but has not been implemented into Indonesian criminal law even though it was ratified in 2006. Trading in influence is a form of trilateral relationship of corruption which involves at least three parties, namely an influential party, a party that has the authority, and an interest. This article concludes, the formulation of trading influence as a criminal act of corruption is urgent in three aspects. First, the regulation in national law is a form of transformation of UNCAC provisions that have been ratified. Second, several cases of corruption so far, as in the two cases discussed here, actually show a form of trading in influence, even though law enforcement is imposed with bribery. Third, efforts to impose actors of trading in influence with the bribery Article as so far, are actually limited to actors who are state administrators or civil servants; in the event that the actor is not part of the two, the subjective elements of bribery Article are not fulfilled. Therefore, in the future criminal law policy, it is necessary to accommodate the formulation of trading in influence as a criminal act of corruption, in this case offered through the revision of the Corruption Eradication Act. Abstrak Artikel ini membahas perbuatan memperdagangkan pengaruh sebagai salah satu bentuk korupsi sebagaimana diatur dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) namun belum diimplementasikan dalam hukum pidana Indonesia meski telah diratifikasi pada 2006. Memperdagangkan pengaruh sebagai bentuk trilateral relationship merupakan bentuk korupsi yang melibatkan sedikitnya tiga pihak, yaitu pihak yang berpengaruh, pihak yang memiliki kewenangan, serta pihak yang memiliki kepentingan. Artikel ini menyimpulkan, perumusan perbuatan memperdagangkan pengaruh sebagai tindak pidana korupsi urgen dalam tiga hal. Pertama, pengaturannya dalam hukum nasional merupakan bentuk dari transformasi ketentuan UNCAC yang sudah diratifikasi. Kedua, beberapa kasus korupsi selama ini, sebagaimana dalam dua kasus yang dibahas di sini, sebenarnya menunjukkan adanya bentuk memperdagangkan pengaruh, sekalipun pada akhirnya dijerat penegak hukum dengan suap. Ketiga, upaya menjerat pelaku memperdagangkan pengaruh dengan Pasal tentang suap sebagaimana yang selama ini dikenakan, sesungguhnya terbatas pada pelaku yang merupakan penyelenggara negara atau pegawai negeri; dalam hal pelaku bukan bagian dari keduanya maka unsur subjektif dari Pasal suap tidak terpenuhi. Karena itu, dalam kebijakan hukum pidana ke depan, perlu diakomodasi perumusan memperdagangkan pengaruh sebagai tindak pidana korupsi, dalam hal ini didorong melalui revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Relevansi Gagasan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Jalur Perseorangan terhadap Prinsip Negara Hukum dan Demokrasi Yuniar Riza Hakiki
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.39 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.139-171

Abstract

This article discusses the relevance of the for nominating the President and Vice President through the individual based on the principles of rule of law and democracy in Indonesia. Article 6A paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia restricts the nomination of the President and Vice President of the Republic of Indonesia in a way that it can only be proposedby political parties or a combination of political parties. In other words, it limits individual candidate. As a country that adheres to the principles of the rule of law and democracy, various channels of democracy as a means of actively participating in politics must naturally be open widely. Therefore, the recruitment system for the positions of President and Vice President needs to be redesigned in line with principles of rule of law and democracy in Indonesia. This article concludes that the idea of ​​the for nominating the President and Vice President through the individual channels is by the principles of the rule of law and democracy, which is at least proven by the four arguments based on of the rule of law principles and democracy. First, guaranteeing the constitutional rights of citizens in political field. Second, guaranteeingself-actualization of citizens in political life independently (without being mobilized). Third, guaranteeing political recruitment to fill positions holding the state openly. Fourth, guarantee that the constitutional-based government is accommodative and remains organized according to law. Abstrak Artikel ini membahas relevansi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur perseorangan atas dasar prinsip negara hukum dan demokrasi di Indonesia. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 membatasi pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yaitu hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Hal itu menutup kesempatan pencalonan dari jalur perseorangan. Sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum dan demokrasi, berbagai kanal demokrasi sebagai sarana berpartisipasi politik secara aktif dalam pemerintahan tentu harus terbuka lebar. Oleh karenanya, rekrutmen jabatan Presiden dan Wakil Presiden ini perlu didesain ulang agar lebih akomodatif dan selaras dengan prinsip negara hukum dan demokrasi Indonesia. Artikel ini menyimpulkan bahwa gagasan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur perseorangan berkesesuaian dengan prinsip negara hukum dan demokrasi, yang setidaknya dibuktikan dengan empat argumen yang merujuk prinsip negara hukum dan demokrasi. Pertama, menjamin hak konstitusional warga negara di bidang politik. Kedua, menjamin aktualisasi diri warga negara dalam kehidupan politik secara mandiri (tanpa digerakkan). Ketiga, menjamin rekrutmen politik untuk mengisi jabatan-jabatan penyelenggaran negara secara terbuka. Keempat, menjamin pemerintahan yang berdasarkan konstitusi secara akomodatif berdasarkan hukum.
Liberalisme dan Rasionalitas sebagai Basis Rule of Law: Perspektif Gerald Turkel Aditya Yuli Sulistyawan
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.836 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.173-200

Abstract

This paper is intended to discuss Gerald Turkel’s thoughts on liberal society, rationality, and rule of law, as well as the author’s analysis of the paradigms that underlie these thoughts. This article focuses on the scope of social change by analyzing how rule of law has made the change from classical liberalism and competitive capitalism to corporate liberalism and corporate capitalism in the United States. Through the study of literature, the author can conclude that there is a common thread between the relationship between classical liberalism, competitive capitalism and the rule of law ideology, in this case the rule of law is explained based on the typology of legal decision making put forward by Max Weber and his views on rationality and social action. Next, a philosophical study by the author paradigmatically against the thought of Turkel concluded that Turkel’s writings were still in the understanding of the positivism paradigm. However, this paradigmatic study is not the only one because through this writing, the reader is invited to slowly (but surely) enter the “world” paradigm of critical theory et. al. Therefore, among the paradigmatic ranges, Turkel actually rests on the post-positivism paradigm. Abstrak Artikel ini membahas pemikiran Gerald Turkel mengenai masyarakat liberal, rasionalitas, dan rule of law, serta paradigma yang memayungi pemikiran tersebut. Artikel ini difokuskan pada lingkup perubahan sosial dengan menganalisis bagaimana rule of law telah membuat perubahan dari liberalisme klasik dan kapitalisme kompetitif menuju liberalisme korporasi dan kapitalisme korporasi di Amerika Serikat. Melalui studi literatur, artikel ini menyimpulkan bahwa terdapat benang merah hubungan antara liberalisme klasik, kapitalisme kompetitif dan ideologi rule of law, dalam hal ini rule of law yang dijelaskan berdasarkan tipologi pengambilan keputusan hukum yang dikemukakan oleh Max Weber dan pandangannya tentang rasionalitas dan tindakan sosial. Telaah filsafati yang dilakukan secara paradigmatik terhadap pemikiran Turkel menyimpulkan bahwa tulisan Turkel masih berada dalam pemahaman paradigma positivisme. Namun demikian, telaah paradigmatik ini bukanlah satu-satunya, karena melalui tulisan tersebut pembaca diajak untuk secara perlahan-lahan (namun pasti) memasuki “dunia” paradigma critical theory. Oleh karena di antara rentang paradigmatik itu, Turkel sejatinya berpijak pada paradigma post-positivisme.
Optimalisasi Peran Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Khoirur Rizal Lutfi; Retno Anggoro Putri
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (195.734 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.33-57

Abstract

One of the unresolved legal issues in Indonesia is corruption. The problem of law enforcement is not yet optimal so that the assets resulting from criminal acts of corruption which are often in excess of national territory make it difficult to return. Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, abbreviated as MLA, which is expected to help law enforcement is not yet optimal. Indonesia, as a participant country of the United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), does not yet have a regulatory framework that comprehensively regulates the aspects recommended by the convention. This study aims to find out about efforts and mechanisms to optimize the role of MLA in the recovery of assets resulting from criminal acts of corruption in Indonesia, especially those abroad. This research is a normative juridical research conducted by library research and interviews with informants related to the legislation and comparison approach. This article concludes that optimizing the role of MLA requires several steps such as implementing MLA in a more detailed technical format, optimizing the role of law enforcement as the implementer and adopting the concept of Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB). Abstrak Salah satu persoalan hukum yang belum terselesaikan di Indonesia adalah korupsi. Masalah belum optimalnya penegakan hukum hingga aset hasil tindak pidana korupsi yang seringkali berada melampaui batas wilayah negara sehingga menyulitkan pengembalianya acapkali menjadi persoalan tersendiri. Pelaksanaan kerjasama Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutual Legal Assistance) disingkat MLA yang diharapkan membantu penegak hukum pun dirasa belum optimal. Sebagai negara peserta United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC), Indonesia belum memiliki kerangka regulasi yang mengatur secara komprehensif aspek-aspek yang direkomendasikan konvensi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang upaya dan mekanisme optimalisasi peran MLA dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Indonesia terutama yang berada di luar negeri. Artikel ini merupakan hasil penelitian yuridis normatif yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan wawancara terhadap narasumber terkait, dengan pendekatan perundang-undangan dan perbandingan. Artikel ini menyimpulkan bahwa untuk optimalisasi peran MLA diperlukan beberapa langkah seperti menerapkan MLA dalam format teknis yang lebih detail, optimalisasi peran penegak hukum sebagai pelaksananya, dan adopsi konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) sebagai muatan substansi MLA.
Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum Direksi dalam Pengurusan Perseroan Terbatas Raffles Raffles
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.841 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.107-137

Abstract

This article discusses the responsibilities of directors and their legal protection in managing a limited liability company. The responsibility of the directors in managing a limited liability company as regulated in the 2007 Company Law is related to the duties and authority to run the management of the company for the benefit of the company and in accordance with the aims and objectives of the company. To carry out the management of the company, the directors are authorized to carry out the management of the company in accordance with policies deemed appropriate, within the limits specified in the 2007 Company Law and/or articles of association. The responsibility of members of the directors for the company’s losses can be seen from the nature of the responsibility is personal and collective. The directors’ liability is personal if the loss suffered by the company is due to an error or negligence of the individual members of the board of directors. The responsibility of the directors is collective if the company’s losses are caused by an error or negligence in the board’s decision or action. Legal protection for directors in company management is provided if the management is based on good faith and prudence, which is recognized as the business judgment rule doctrine. Basically, directors are responsible for all actions and decisions they make, even personal accountability. However, directors can avoid personal liability if they can prove the basis and reasons and are based on good faith and caution. Abstrak Artikel ini membahas tanggung jawab dan perlindungan hukum direksi dalam pengurusan perseroan terbatas. Pertanggungjawaban direksi dalam pengurusan perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UUPT Tahun 2007 terkait dengan tugas dan wewenangnya menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Untuk menjalankan pengurusan perseroan, direksi berwenang menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UUPT Tahun 2007 dan/atau anggaran dasar. Pertanggungjawaban anggota direksi atas kerugian perseroan dilihat dari sifat pertanggungjawabannya bersifat pribadi dan kolektif. Pertanggungjawaban direksi bersifat pribadi apabila kerugian yang dialami perseroan disebabkan kesalahan atau kelalaian individu anggota direksi. Pertanggungjawaban direksi bersifat kolektif apabila kerugian perseroan diakibatkan adanya kesalahan atau kelalaian dalam keputusan atau tindakan dewan direksi. Perlindungan hukum terhadap direksi dalam pengurusan perusahaan diberikan jika pengurusan tersebut didasarkan pada itikad baik dan hati-hati, yang dikenali sebagai doktrin business judgement rule. Pada dasarnya direksi bertanggung jawab atas segala tindakan dan keputusan yang dibuatnya, bahkan pertanggungjawaban pribadi. Namun demikian, direksi dapat terhindar dari tuntutan pertanggungjawaban secara pribadi apabila dapat membuktikan dasar dan alasannya dan didasarkan pada itikad aik dan hati-hati.
Penimbunan Alat Pelindung Diri pada Masa Pandemi Covid-19: Kajian Hukum Pidana Bidang Perlindungan Konsumen Mohammad Faisol Soleh
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 1 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (221.988 KB) | DOI: 10.22437/ujh.3.1.1-31

Abstract

One of the serious problems related to consumer protection during the current pandemic is the hoarding of Personal Protective Equipment (PPE) by certain business actors, causing its availability to become scarce and the price to skyrocket. This article discusses how the issue of PPE hoarding is assessed from the criminal law in the field of consumer protection. In this study, it is shown that, first, criminal law instruments have an important role in consumer protection law, because of the nature of the strict sanctions and can eradicate consumer violations. Although criminal law instruments on consumer protection apply as a last resort (ultimum remedium), there are reasons to treat them as primary (primum remedium), namely the pandemic situation and the urgency of the PPE itself in the situation. Second, criminal law instruments in the field of consumer protection can be used to crack down on PPE hoarding activities through the Trade Law and Business Competition Law. Criminal law provisions in the Trade Law can be used by establishing PPE as important goods because there is a prohibition on storing important goods in a certain amount and time when goods are scarce. The provisions of criminal law in the Business Competition Law can also be used if this hoarding is part of price-fixing, market control, or marketing of goods which results in monopolistic practices or unfair business competition. Abstrak Salah satu persoalan serius terkait perlindungan konsumen pada masa pandemi saat ini adalah adanya penimbunan Alat Pelindung Diri (APD) oleh oknum pelaku usaha tertentu, sehingga menyebabkan ketersediaannya menjadi langka dan harganya pun melonjak mahal. Artikel ini membahas bagaimana persoalan penimbunan APD ini dikaji dari hukum pidana bidang perlindungan konsumen. Dalam kajian ini ditunjukkan, pertama, instrumen hukum pidana memiliki peranan penting dalam hukum perlindungan konsumen, karena sifat sanksinya yang tegas dan mampu memberantas pelanggaran konsumen. Meski instrumen hukum pidana pada perlindungan konsumen berlaku sebagai upaya terakhir (ultimum remedium), sesungguhnya terdapat alasan untuk memberlakukannya sebagai yang utama (primum remedium), yaitu situasi pandemi dan urgensi APD sendiri pada situasi tersebut. Kedua, instrumen hukum pidana bidang perlindungan konsumen dapat digunakan untuk menindak kegiatan penimbunan APD melalui UU Perdagangan dan UU Persaingan Usaha. Ketentuan hukum pidana dalam UU Perdagangan bisa digunakan dengan catatan harus menetapkan APD sebagai barang penting, sebab terdapat larangan menyimpan barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang. Ketentuan hukum pidana dalam UU Persaingan Usaha juga bisa digunakan apabila penimbunan ini merupakan bagian dari penetapan harga, penguasaan pasar, atau pemasaran barang yang mengakibatkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.