cover
Contact Name
Redaksi Jurnal Bina Hukum Lingkungan
Contact Email
redaksi.bhl@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
astrianee@gmail.com
Editorial Address
-
Location
,
INDONESIA
Bina Hukum Lingkungan
ISSN : 25412353     EISSN : 2541531X     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Bina Hukum Lingkungan adalah jurnal ilmiah yang terbit secara berkala setiap tahunnya pada bulan April dan Oktober yang di terbitkan oleh Perkumpulan Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI) Artikel yang dimuat pada jurnal Bina Hukum Lingkungan akan di publikasikan dalam bentuk cetak dan e-jurnal (online) dalam rangka menyebarluaskan ilmu pengetahuan tentang hukum lingkungan dalam negeri maupun luar negeri
Arjuna Subject : -
Articles 160 Documents
ASPEK HUKUM ADMINISTRASI KEPENDUDUDKAN DIHUBUNGKAN DENGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA ABSENTEE Mulyani Djakaria
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (217.974 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.15

Abstract

AbstrakSecara implisit, ketentuan Pasal 10 UU No. 5/1960 menetapkan larangan pemilikan tanah pertanian  secara absentee. Agar tanah pertanian hanya dapat dikerjakan secara aktif oleh pemiliknya, maka dibuatlah ketentuan untuk menghapuskan pengusaan tanah pertanian secara absentee dengan beberapa pihak yang dikecualikan dari ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif,data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dianalisis secara normatif kualitatif. Semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian melalui jual beli, tukar menukar, atau hibah yang mengakibatkan pemilikan baru tanah pertanian secara absentee  dilarang. Tanah-tanah pertanian yang terkena larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee akan dikuasai oleh pemerintah untuk selanjutnya dijadikan objek land reform (diredistribusikan) kepada petani yang memerlukan tanah dan kepada bekas pemilik tanah pertanian secara absentee diberikan ganti kerugian. Namun dalam praktik masih banyak  pemilikan tanah secara absentee oleh masyarakat /pihak di luar yang dikecualikan dari ketentuan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. Hal ini dapat terjadi dengan cara pemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ganda yang memungkinkan seseorang menyelundupi ketentuan tentang tanah absentee, walaupun dalam Pasal 63 ayat (6) UU Adminduk telah dinyatakan KTP-el berlaku secara nasional. Ketentuan mengenai tanah absentee  perlu dipertahankan dengan didukung pendaftaran tanah secara akurat, dan penyalahgunaan KTP bisa dihindari, disertai sanksi yang tegas.Kata Kunci: Tanah; tanah absentee; adminitrasi kependudukanAbstactImplicitly, the Law No. 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles has established a ban on absentee ownership of agricultural land. In order to ensure that the agricultural land can only be cultivated actively by the owner, then a provision to abolish the absentee ownership of land is made with several parties that are excluded from that provision. The method used in this research is descriptive analytic with normative juridical approach, the data collection which obtained from the literature and field research were analyzed using normative-qualitative methods. All forms of transfer of the right of ownership over agricultural land through purchase, exchange, or grant resulting in absentee ownership are banned. Those agricultural lands which are affected by the ban of absentee ownership will be taken by the government for later be redistributed to the farmers and as for the previous owner of those lands then the compensation will be given. However, the absentee ownership of land by those who aren’t excluded by the provision is still taking place. This can occur by means of dual identity card (KTP) ownership that enables one to elude from the absentee ownership of land provision, although it is stated in Art. 63 (6) of the Law No.23/2009 concerning Population Administration that e-KTP is applied nationally. The provision concerning the absentee ownesrship of land has to be maintained and sustained by the accurate land registration thus the misappropriation can be prevented and also it must be accompanied by strict punishment as well.Keywords: Land; absentee ownership of land; population administration.DOI: 10.24970/jbhl.v1n1.10
PENGELOLAAN SDA ERA UU NO.23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAH DAERAH Marhaeni Ria Siombo
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.859 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i1.51

Abstract

Perubahan sistem pemerintahan di Indonesia yang tadinya sentralistik menjadi desentralisasi, dengan adanya pemberian  kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat, tetapi tetap dalam bingkai NKRI. Hal ini disambut positif, yang kemudian diatur dalam UU No.22 Tahun 1999[1], sebagai pengganti UU No.5 tahun 1974 (yang dianggap sentralistik), disempurnakan lagi dengan UU No.32 Tahun 2004. Seiring dengan itu terjadi perubahan tata cara PEMILU, menjadi pemilihan secara langsung, termasuk pemilihan kepala daerah. Mulailah timbul banyak persoalan, termsuk penyalagunaan kewenangan oleh beberapa kepala daerah yang menyebabkan maraknya praktek korupsi yang dilakukan kepala daerah. Kelemahan tersebut memicu untuk disempurnakan sehingga berganti menjadi UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.  Terbitnya UU No.23 Tahun 2014, menimbulkan persoalan baru, dengan adanya macam-macam urusan pemerintahan, yang kemudian terbag-bagi lagi. Urusan pemerintahan yang tadinya menjadi kewenangan pemda kabupaten/kota menjadi berpindah ke pemda provinsi. Hal ini termasuk berdampak pada kewenangan yang berkaitan dengan pengelolaan SDA. Apalagi pengaturan pembagian  kewenangan antara provinsi dan kabupaten secara teknis, sebagai acuan belum diterbitkan. SDA yang melimpah di Indonesia,  pada umumnya berada dalam territorial pemda kabupaten/kota, sudah sebaiknya diberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengelola SDA yang berada diwilayahnya, untuk kesejahteraan masyarakat yang berada di wilayahnya. Apalagi fakta saat ini banyak daerah kabupaten kondisi perekonomiannya kurang baik padahal kaya akan SDA. Kesenjangan ekonomi antara daerah kabupaten dan pusat sangat menyolok. Pada dasarnya hal inilah menjadi salah satu pertimbangan pemberian otonomi daerah, yang kemudian pada UU No.23 Tahun 2014, terkesan ada pelemahan terhadap kewenangan yang sudah diberikan menurut undang-undang sebelumnya.[1] Undang-undang ini dikeluarkan setelah era reformasi.
PENEGAKAN HUKUM PIDANA LUMPUR LAPINDO MASIH JAUH DARI HARAPAN Nilma Suryani
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (222.632 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.7

Abstract

AbstrakTanggal 29 Mei 2016 yang akan datang genap 10 tahun kasus semburan Lumpur Lapindo yang disebabkan pengeboran gas alam oleh PT Lapindo Brantas di Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan pernyataan dari DPR bahwa semburan lumpur tersebut bukan kesalahan dari PT. Lapindo Brantas tapi karena pengaruh dari Gempa Yogyakarta yang terjadi pada tanggal 26 Mei 2006 dan putusan pengadilan perdata yang diajukan YLBHI dan WALHI kandas serta dihentikannya penyidikan oleh Kepolisian Jawa Timur sehingga PT. Lapindo Brantas tidak bisa dipidana. Hal ini sangat melukai hati rakyat Porong Sidoarjo yang menjadi korban dari semburan lumpur tersebut dan bahkan Aburizal Bakri sebagai pemilik PT. Lapindo Brantas dinyatakan sebagai orang terkaya di Asia Tenggara. Tidak dipidananya PT. Lapindo Brantas menggambarkan cerminan buruknya penegakan hukum pidana lingkungan di Indonesia. Sudah jelas 42 ahli menyatakan bahwa lumpur lapindo bukan bencana alam tapi murni kesalahan dari PT. Lapindo Brantas dalam melakukan pengeboran. Dan polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum dan hakim yang menjatuhkan putusan seharusnya menyidangkan perkara ini dan menghukum PT. Lapindo Brantas berdasarkan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) bahwa sanksi pidana bisa dijatuhkan kepada badan usaha. Dalam hukum pidana terhadap badan usaha dapat dijatuhkan pidana berupa denda atau tindakan administratif, atau penutupan sebagian atau seluruh perusahaan atau sesuai dengan asas pencemar membayar tapi tidak bisa dipidana penjara karena pengurus adalah kumpulan orang. Dengan ditegakannya hukum pidana bagi pelaku lingkungan hidup maka tujuan dari pemidanaan akan tercapai yaitu pelaku jera dan tidak mengulangi perbuatannya serta tidak dicontoh oleh orang lain.Kata Kunci: penegakan hukum; pidana; dan lumpur lapindo. AbstractMay 29th, 2016 will be a10th yearcommemoration of the Lapindo Leakage, which was a result of natural gas drilling by P Lapindo Brantas in Sidoarjo Residency. According to DPR, the leakage was an impact of Yogyakarta earthquake which was happened on May 26th, 2006 and civil law verdict proposed by YLBHI and WALHI was rejected therefore the investigation by East Java Police was stopped so that P Lapindo Brantas couldn’t be criminally prosecuted. However, this had hurt the people of Porong Sidiarjo as the victim, furthermore Abu Rizal Bakri as the owner of P Lapindo Brantas was named as the richest man in Southeast Asia. This case showed that environmental criminal law enforcement in Indonesia is unreliable. here were 42 experts that said that it wasn’t natural disaster but drilling mistake. Police as investigator, District Attorney as prosecutor and Judge who give verdict should put trial to this case and punish P Lapindo Brantas according to Article 116 of Law no. 32 of 2009 on the Environment Protection and Management, which says that criminal sanction could be apply/given to a business organization. According to criminal law, a business organization can be fined or other administrative means, or sealed partially or whole asset or pay based on contamination principles but couldn’t be hold in prison because the committee is group of people. It is hoped that by criminal law enforcement for environmental subject, the actor of the crime stopped the action and will not be imitated.Keywords: law enforcement; criminal; andlapindo leakage.DOI: 10.24970/jbhl.v1n1.6 
KEDUDUKAN HAK ULAYAT DALAM STATUS KAWASAN LINDUNG DI SUMATERA BARAT Rembrandt Buan
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 2 (2017): BINA HUKUM LINGKUNGAN
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.235 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i2.27

Abstract

ABSTRAKDalam hukum adat Minangkabau, ruang lingkup hak adat tidak dapat dipisahkan antara tanah, air, dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Bukan hal yang aneh, ketika isu tanah komunal menjadi sumber perselisihan dan penyumbang terbesar kasus pada sistem hukum di Sumatera Barat. Di sisi lain menurut tanah publik adalah undang-undang kontrol masyarakat adat bawaan yang benar, sedangkan sisi lain dengan segala bentuk teknologi pembuatan kebijakan dan kebijakan yang dimiliki lahan/lahan masyarakat yang dikategorikan sebagai Hutan Lindung. Saat ini keberadaan lahan hutan dikuasai oleh masyarakat adat dari generasi ke generasi. Masalahnya adalah bagaimana status hak adat masyarakat hutan yang dikategorikan sebagai kawasan lindung. Kawasan lindung sering dieksploitasi dalam skala besar untuk keuntungan cepat tanpa memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dapat disimpulkan bahwa warga masyarakat yang tidak menjadi warga  hukum adat pada umumnya tidak boleh turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan perekutuan. Kemudian, Pengelolaan kawasan lindung di Indonesia umumnya masih dalam konteks pengamanan hutan/kawasan lindung semata, sementara manajemen secara intensif belum berkembang, termasuk dalam hal pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan dan sharing manfaatnya.Kata kunci: Kepemilikan lahan, hak ulayat, kawasan lindung ABSTRACTIn Minangkabau adat law, the scope of customary rights can not be separated between the land, water, and natural resources contained therein. Not unusual, when the issue of communal land became the source of disputes and the largest contributor of cases to the legal system in West Sumatra. On the other hand, according to public lands are the laws of indigenous peoples' correct control, while the other side with all forms of policy-making technology and policies owned by community land/lands that are categorized as Protected Forest. Currently forest land is dominated by indigenous peoples from generation to generation. The problem is how the customary rights status of forest communities are categorized as protected areas. Protected areas are often exploited on a large scale for quick profits regardless of the principles of sustainable development. It can be concluded that citizens who do not become customary law residents in general should not share the land that is the territory of communion. Furthermore, protected area management in Indonesia is generally still in the context of protecting forests / protected areas, while intensive management has not yet developed, including in terms of involving local communities in the management and sharing of benefits.Keyword: Land tenure,  Ulayat rights, protected area 
PERATURAN KABUPATEN BANYUMAS YANG BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Rochati Rochati
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 2 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (216.265 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i2.54

Abstract

ABSTRAK Kabupaten Banyumas terletak di Propinsi Jawa Tengah, memiliki 27 Kecamatan, dari semua kecamatan terdiri dari 30 kelurahan dan 301 desa. Kelurahan-kelurahan dan desa-desa di Kabupaten Banyumas mempunyai budaya, adat-istiadat atau kearifan lokal masing-masing, sebagai identitas masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan.Permasalahan dalam penelitian ini adalah : Peraturan-peraturan Kabupaten Banyumas yang seperti apa, dapat meningkatkan  kesejahteraan  masyarakat.  Metode penelitian yang digunakan adalah empiris, spesifikasi bersifat deskriptif, pengumpulan data dengan wawancara, penyajian  uraian yang disusun secara sistimatis, dan  analisis data normatif kualitatif.Kabupaten Banyumas sebagian  besar sudah membuat peraturan daerah yang berbasis kearifan lokal untuk kesejahteraan masyarakat, namun  sebagian  kecil masih dijumpai  kebijakan   yang belum berbasis kearifan lokal, seperti di kawasan Gunung Slamet Kecamatan Baturaden. Kata kunci: Peraturan; Kearifan Lokal; Kesejahteraan.  ABSTRACTBanyumas Regency  in located  Java that has 27 districts concist of 30 political districts and 301 villges. The political districts and the villages have their own culture and custom as their local wisdom that shows their people’s identity.Problems: what kind Banyumas Regency’s regulation that can improve the people’s prosperity?.  Research methods is imperical, the characteristic is descriptive, data’s accumulation is is by interview, the presentation of the description arranged systematically, and the analysis is normative-qualitative.The kind of Banyumas Regency’s regulation that can improve their people’s prosperity is the one which is manufacturing process dig the values that lives in society as their local wisdom. Keywords: Regulation; Local Wisdom; Prosperity.
PEMBARUAN TEORI HUKUM PEMBANGUNAN KE DALAM PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG LINGKUNGAN HIDUP PASCA REFORMASI Wahyu Nugroho
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 2 (2017): BINA HUKUM LINGKUNGAN
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (313.228 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i2.23

Abstract

Abstrak Fungsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat dimulai sejak penyusunan undang-undang lingkungan hidup pertama kali pada tahun 1984, tahun 1997 dan tahun 2009. Dalam konteks legislasi, melalui proses penyusunan undang-undang lingkungan hidup oleh DPR dan pemerintah diperlukan pembaruan hukum yang berorientasi kepada pembaruan masyarakat pasca reformasi. Pembaruan masyarakat bertitik tolak pada perubahan sosial atau rekayasa sosial disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Pembaruan teori hukum pembangunan dalam konteks penyusunan legislasi di bidang lingkungan hidup sangat diperlukan, agar spirit yang dibawa teori hukum pembangunan relevan dan didukung oleh kekuasaan yang responsif pasca reformasi. Selain itu, juga melibatkan/partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan dan dokumen lingkungan hidup. Hal tersebut dalam rangka mengakomodir kepentingan masyarakat dan meminimalisir terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Filosofi aspek budaya hukum masyarakat adalah dalam rangka menghadirkan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam melakukan pembaruan teori hukum pembangunan, dibutuhkan optik dan pendekatan secara holistik-komprehensif dan interdisipliner oleh pembuat kebijakan.Kata kunci: pembaruan, hukum, pembangunan, undang-undang lingkungan hidup, masyarakat. ABSTRACTThe function of law as a means of renewal of society began drafting legislation. In the context of legislation through the process of drafting legislation in the environmental field by Parliament and the government needs a grand design law as a means of community renewal, to social change or social engineering of contemporary society. Reconstruction of the legal theory development in the context of legislation in the environmental field is necessary, so that the spirit which brought relevant legal theory development and supported by the power of the post-reform. In addition, also involves /community participation in the process of policy formulation and environmental documents. This is in order to accommodate the interests of society and minimize pollution or environmental damage. Philosophy aspects of legal culture society in order to bring the law as a means of community renewal. In reconstructing the legal theory of development, it takes an optical and a holistic approach-comprehensive and interdisciplinary by policymakers.Keyword: development law, environmental law, natural resources, society reform.
PEMANFAATAN RUANG PESISIR DAN LAUT YANG BERKEADILAN Resdianto Willem
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 2 (2018): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.894 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i2.44

Abstract

ABSTRAKKawasan pesisir dan laut adalah bagian dari perlindungan lingkungan hidup dan merupakan amanat dari konstitusi, sebagaimana yang diamanatkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Banyaknya pemanfaatan dan penyalahgunaan ruang pesisir dan laut diberbagai aktivitas yang terus berlangsung menimbulkan berbagai dampak negatif. Dampak-dampak utama saat ini antara lain berupa polusi, abrasi, erosi dan Lain-lain. Konflik sektoral merupakan persoalan yang harus dipecahkan bersama melalui manajemen kawasan pantai terpadu, dalam menunjang keberlanjutan pembangunan mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan berkeadian bagi seluruh lapisan masyarakat. Penelitian ini dilaksanakan dengan tipe penelitian hukum dengan melakukan kajian atau penelitian normatif dengan sifat penelitian preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya benturan kewenangan dan tumpang tindihnya peraturan yang mengatur tentang pengelolaan dan pemanfaatn ruang pesisir dan laut. Disimpulkan perlu adanya suatu perangkat hukum yang lebih riil dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam dan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dan mencegah tumpang tindihnya kewenangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya.Kata Kunci: Pemanfaatan; Pengelolaan; Pesisir; Penataan Ruang. ABSTRACTCoastal and marine areas are part of the protection of the environment and constitute the mandate of the constitution, as mandated in various existing legislation. The many uses and misuse of coastal and marine spaces in various ongoing activities generate negative impacts. The main current impacts are pollution, abrasion, erosion and others. Sectoral conflict is a problem that must be solved together through integrated coastal zone management, in supporting the sustainability of development leading to the improvement of people's welfare and cherishing for all levels of society. This research is carried out with the type of legal research by conducting studies or normative research with prescriptive research. The results show the occurrence of conflict of authority and overlapping regulations governing the management and utilization of coastal and marine space. It is concluded that there is a need for a more real legal instrument in the implementation of natural resource management and utilization of coastal and marine space and prevent overlapping of authority in the management and utilization of resources.Keywords: Utilization; Management; Coastal; Spatial Planning.  
KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA Ida Nurlinda
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.551 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.16

Abstract

AbstrakKegiatan pembangunan di Indonesia, telah membawa dampak buruk pada kuantitas dan kualitas SDA itu sendiri. Secara normatif, Indonesia telah memiliki UU-PPLH sudah lebih komprehensif mengatur kaidah-kaidah perlindungan dan pengelolaan lingkungan dibandingkan dengan aturan-aturan sebelumnya. Namun, lemahnya tataran implementasi peraturan perundangan di bidang lingkungan tersebut pada kenyataannya menimbulkan sejumlah konflik sosial dan/atau sengketa hukum. Hasil penelitian menunjukan pemerintah perlu mengoptimalkan instrumen-instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 UU-PPLH. Hal tersebut menjadi penting dalam upaya penegakan hukum sebagai tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah dalam mewujudkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan bagi kepentingan generasi yang akan datang.Kata Kunci: Kebijakan; Pengelolaan Sumber Daya Alam; Penegakan Hukum.AbstractDevelopment activity in Indonesian has bring adverse impacts on quantity and quality of Indonesian’s natural resources. Normatively, Indonesia has UU-PPLH that more comprehensively regulate norms of environmental protection and management than the previous environmental law. However, the lack of implementation of legislation in the field of the environment, lead to a number of social conflicts and/or legal disputes. The results showed the government need to optimize the instruments of prevention of pollution and/or environmental damage as stated in Article 14 of UU-PPLH. The optimalisation on law enforcement is needed to effort responsibility from central and local government in protecting environmnent for the next generation.Keywords: policy; natural resources management; law enforcement.DOI: 10.24970/jbhl.v1n1.1
GERAKAN SOSIAL PEMBERDAYAAN HUKUM DALAM PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP BERBASIS KEARIFAN LOKAL MELALUI METODE PATANJALA Mella Ismelina Farma Rahayu; Anthon F. Susanto; Liya Sukma Muliya
Bina Hukum Lingkungan Vol 2, No 1 (2017): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (215.104 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v2i1.48

Abstract

Lajunya kerusakan lingkungan hidup telah menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Perlu adanya upaya konkrit dan berkelanjutan dalam mencegah dan mengatasi kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Salah satu bentuk upaya itu, adalah adanya gerakan sosial masyarakat dalam pemberdayaan hukum di bidang pelestarian fungsi lingkungan hidup. Gerakan sosial ini merupakan agen perubah (agent of change) yang dapat membantu pemerintah dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup Konsep gerakan sosial berbasis kearifan Budaya Sunda (KBS) dengan metode Patanjala, menjadi satu alternatif dalam upaya pemberdayaan hukum. Metode Patanjala digunakan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, karena metode ini mengacu pada konsep kealamsemestaan (religius kosmik) sehingga aktivitas yang dilakukan sangat sesuai dengan hukum alamnya.Kata Kunci: Kearifan Lokal, Pemberdayaan Hukum, Metode Patanjala.
KEARIFAN LOKAL DALAM PELESTARIAN HUTAN MANGROVE MELALUI COMMUNITY DEVELOPMENT Purwowibowo Purwowibowo; Nur Dyah Gyanawati
Bina Hukum Lingkungan Vol 1, No 1 (2016): Bina Hukum Lingkungan
Publisher : Pembina Hukum Lingkungan Indonesia (PHLI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.514 KB) | DOI: 10.24970/bhl.v1i1.14

Abstract

AbstrakKajian kearifan lokal melalui pengembangan komunitas (comdev) untuk menjaga kelestarian lingkungan telah lama dilakukan. Namun, penelitian sejenis untuk perlindungan hutan mangrove jarang dilakukan. Aritikel ini memfokuskan pada pengembangan komunitas (comdev) berbasis kearifan lokal dengan proses bottom-up oleh masyarakat desa pesisir di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pengembangan komunitas secara bottom-up bertujuan untuk menjelaskan bahwa seluruh aktifitas yang digagas atau dilakukan, dikontrol oleh masyarakat setempat dengan pemimpin yang informal dan para anggotanya. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan tanpa melibatkan atau difasilitasi oleh pihak eksternal seperti LSM atau pemerintah. Melalui kearifan lokal yakni pengetahuan masyarakat, kebudayaan, sumberdaya, keterampilan dan proses-proses, serta pengembangan komunitas masyarakat lokal yang terus menerus dilakukan, sehingga pada akhirnya menghasilkan perlindungan hutan mangrove. Namun, kerusakan hutan magrove yang diakibatkan oleh perbuatan masyarakat lokal ataupun orang-orang yang berasal dari luar daerah tersebut sehingga kerusakan hutan mangrove tidak dapat dielakan lagi. Sejauh ini, keadaan tersebut dapat diatasi melalui regulasi yang memperhatikan kearifan lokal serta dengan menerapkan prinsip win-win solution terhadap komunitas terkait. Perlindungan hutan mangrove di daerah garis pantai dapat menjadi sabuk hijau dan media untuk berbagai jenis dari pemulihan sumberdaya alam. Ketersediaan sumberdaya alam dapat menunjang kesejahteraan masyrakat da-lam bentuk keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam.Kata Kunci: Kearifan Lokal; Hutan Mangrove; Pengembangan Komunitas. AbstractStudy of local wisdom through Community Development (Comdev) to maintain environmental sustainability has long been undertaken. However, research of similar kind for mangrove forest conservation is rarely carried out. his article focuses on localwis-dom-based Comdev with bottom-up process conducted by coastal village community in Rembang regency, Central Java. Bottom-up Comdev is meant to clarify that theentire activities were merely initiated, conducted and controlled by the local community with the informal leader and members. Thus, the activities have been carried out without the involvement or facilitation of external parties like NGO or government. Through local wisdom namely local background knowledge, local culture, local resources, local skills and local process, the ongoing Comdev has long been conducted and mangrove forest conservation eventually became a reality. Nevertheless, mangrove forest destruction caused by local people or outsiders inevitably takes place. Yet, this circumstance can be overcome through regulation issued with local wisdom through ‘win-win solution’ with related community. Mangrove forest conservation in shoreline region can be the greenbelt and media for various types of natural resources recovery. The natural resource availability can empower human welfare in the form of regular employment and income.Keywords: Local Wisdom; Mangrove forest; Community Development.

Page 2 of 16 | Total Record : 160