cover
Contact Name
Ilham
Contact Email
Ilham.fishaholic@gmail.com
Phone
+6221-64700928
Journal Mail Official
jra.puslitbangkan@gmail.com
Editorial Address
Gedung Balibang KP II, Lantai 2 Jl. Pasir Putih II, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
Location
Kab. jembrana,
Bali
INDONESIA
Jurnal Riset Akuakultur
ISSN : 19076754     EISSN : 25026534     DOI : http://doi.org/10.15578/JRA
Core Subject : Agriculture, Social,
Jurnal Riset Akuakultur as source of information in the form of the results of research and scientific review (review) in the field of various aquaculture disciplines include genetics and reproduction, biotechnology, nutrition and feed, fish health and the environment, and land resources in aquaculture
Arjuna Subject : Umum - Umum
Articles 703 Documents
PENYISIHAN LIMBAH NITROGEN DARI SISTEM AKUAKULTUR MULTITROFIK TERPADU MENGGUNAKAN TANAMAN SAYUR SEBAGAI KONVERTER FOTOAUTOTROF Sumoharjo Sumoharjo; Asfie Maidie; Qoriah Saleha; Erwiantono Erwiantono; Erwin N. Fahlefi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 8, No 3 (2013): (Desember 2013)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (663.327 KB) | DOI: 10.15578/jra.8.3.2013.393-401

Abstract

Tiga spesies tanaman sayur, kangkung darat (Ipomoea reptana), sawi (Brassica juncea), dan kemangi (Ocimum basilicum) dibandingkan guna mengonversi ammonium dan nitrat nitrogen dari sistem akuakultur. Tanaman tersebut ditanam secara hidroponik menggunakan teknik rakit (rafting technique) dengan tata letak rancangan acak kelompok lengkap (RAKL). Hasil percobaan menunjukkan bahwa tingkat konversi nitrogen oleh ketiga jenis tanaman berbeda secara nyata dengan tingkat retensi nitrogen tertinggi pada tanaman kangkung sebesar 0,73±0,28 g; diikuti oleh kemangi (0,30±0,17 g); dan terakhir oleh sawi (0,03±0,07 g). Secara keseluruhan ketiga tanaman mampu menyisihkan limbah nitrogen sebesar 6,70% dari total produksi TAN dari sisa metabolisme ikan yang dibudidayakan.
EVALUASI KESESUAIAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN PESISIR KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT Hasnawi Hasnawi; Akhmad Mustafa; Mudian Paena
Jurnal Riset Akuakultur Vol 6, No 1 (2011): (April 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (431.017 KB) | DOI: 10.15578/jra.6.1.2011.157-167

Abstract

Perairan pesisir Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat merupakan perairan yang potensial untuk budidaya laut. Namun demikian belum ada data dan informasi kesesuaian lahan untuk budidaya laut termasuk budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) di perairan tersebut. Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang bertujuan untuk menentukan kesesuaian lahan di perairan pesisir Kabupaten Mamuju untuk budidaya ikan dalam KJA yang diharapkan juga dapat menjadi acuan dalam penentuan tata ruang wilayah pesisir. Metode survai diaplikasi pada wilayah pesisir Kabupaten Mamuju, mulai dari perbatasan Kabupaten Majene di bagian selatan sampai perbatasan Kabupaten Mamuju Utara di utara. Kualitas air perairan yang diukur adalah: pH, salinitas, kecepatan arus, arah arus, kecerahan, kedalaman, nitrat, fosfat, dan besi. Data lainnya diperoleh dari hasil ekstrak citra ALOS AVNIR-2 akuisisi 28 Juli 2009. Analisis spasial dalam Sistem Informasi Geografis digunakan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk budidaya ikan dalam KJA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi yang sesuai untuk budidaya ikan dalam KJA di Kabupaten Mamuju tersebar di Pulau Karampuang, Perairan Kalukku, Pulau Bakengkeng, Perairan Papalang, Pulau Kambunong, dan Tanjung Dapurang. Untuk pengembangan kegiatan budidaya ikan dalam KJA yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, hanya sekitar 10% dari potensi perairan pesisir yang secara efektif dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya ikan dalam KJA di perairan Kabupaten Mamuju yaitu 698,18 ha yang terdiri atas sangat sesuai seluas 133,18 ha; cukup sesuai 512,41 ha dan kurang sesuai 52,59 ha
PEMATANGAN GONAD INDUK ABALON Haliotis squamata MELALUI PENGELOLAAN PAKAN Ibnu Rusdi; Riani Rahmawati; Bambang Susanto; I Nyoman Adiasmara
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (162.547 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.3.2010.383-391

Abstract

Abalon merupakan hewan yang bersifat herbivora di alam memakan berbagai jenis makroalga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh berbagai makroalga sebagai pakan terhadap perkembangan gonad abalon Haliotis squamata. Dalam penelitian ini diterapkan 4 perlakuan pemberian pakan yaitu: (A) Gracilaria sp., (B) Ulva sp., (C) Sargassum sp., (D) Kombinasi Gracilaria sp. + Ulva sp. + Sargassum sp. (rasio 1:1:1). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap masing-masing dengan 3 ulangan. Induk-induk abalon dipelihara dalam 12 buah kontainer plastik berlubang ukuran 0,58 m x 0,39 m x 0,31 m dan ditempatkan dalam sebuah bak semen ukuran 3 m x 2 m x 1 m. Setiap kontainer berisi abalon sebanyak 10 ekor dengan ukuran awal rata-rata panjang cangkang dan bobot masing-masing 58,9±1,37 mm dan 36,1±4,06 g. Pakan diberikan dengan dosis 15%-20% dari bobot biomassa setiap 2 hari sekali. Pergantian air menggunakan sistem sirkulasi dengan debit 5-6 L/menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan bobot mutlak dan laju pertumbuhan bobot harian berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan. Tingkat kematangan gonad (TKG) induk abalon pada hari ke-70 diperoleh TKG-III tertinggi dihasilkan pada perlakuan kombinasi Gracilaria + Ulva sp. + Sargassum sp. (P<0,05). Perlakuan pakan kombinasi Gracilaria sp. + Ulva sp. dan Sargassum sp. terlihat lebih sesuai dalam memacu pematangan gonad induk abalon H. squamata. Abalone is a herbivorous animal which consumes various kinds of macroalgae in the wild. The aim of the study was to study the effects of various kinds of macroalgae on gonadal maturation of abalone, Haliotis squamata. The experiment applied four kinds of macroalgae i.e.: (A) Gracilaria sp.; (B) Ulva sp.; (C) Sargassum sp.; and (D) Combination of Gracilaria sp. + Ulva sp. + Sargassum sp. (ratio 1:1:1) as food for abalone broodstock. The experiment was arranged in complete random design with three replications. One cemented tank of 3 m x 2 m x 1 m in size was used for the observation. Twelve plastic containers of 0,58 m x 0,39 m x 0,31 m in size were placed in the tank and stocked with 10 abalones per container with the average size of shell length and body weight were 58.9±1.37 mm and 36.1±4.06 g, respectively. For each treatment, macroalgae was given daily with the dosage between 15% and 20% from the total of body weight. Water exchange was done using flow-through system with rate of exchange of 5-6 L/minute. The result of the study showed that the average of absolute growth and daily growth rate of abalones were significantly different (P<0.05) among treatments. The observation of gonadal development of abalone broodstocks on day-70 revealed that the latest stage III of gonadal maturation was achieved by the broodstock fed with combination treatment of Gracilaria sp. + Ulva sp. + Sargassum sp. (P<0.05). Combination of macroalgae from this treatment was clearly  able to stimulate gonadal maturation of H. squamata broodstock.
BUDIDAYA UDANG VANAME POLA INTENSIF DENGAN SISTEM BIOFLOK DI TAMBAK Gunarto Gunarto; Hidayat Suryanto Suwoyo; Bunga Rante Tampangallo
Jurnal Riset Akuakultur Vol 7, No 3 (2012): (Desember 2012)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (168.044 KB) | DOI: 10.15578/jra.7.3.2012.393-405

Abstract

Budidaya udang vaname intensif sistem bioflok merupakan satu di antara beberapa upaya untuk efisiensi biaya produksi, karena bioflok dapat dimanfaatkan sebagai subsitusi pakan bagi udang vaname yang dibudidayakan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan sumber C-karbohidrat (molase) sebagai upaya penumbuhan bioflok pada budidaya udang vaname pola intensif di tambak terutama efeknya pada pertumbuhan, sintasan dan produksi udang. Dua petak tambak masing-masing ukuran 3.520 m2 dan 3.946 m2 ditebari benur vaname dengan padat tebar 75 ekor/m2. Satu petak sebagai tambak kontrol tanpa penambahan sumber Ckarbohidrat (tambak A) dan satu petak tambak lainnya setelah satu bulan pemeliharaan maka sumber C karbohidrat (molase) mulai ditebarkan ke air tambak (tambak B) tujuannya untuk meningkatkan CN ratio menjadi >10:1 sehingga diharapkan bioflok mudah tumbuh. Pakan udang diberikan setelah penebaran dengan dosis 100% dari total biomassa udang pada dua minggu pertama dan setiap dua minggu berikutnya jumlah pakan yang diberikan menurun hingga mencapai dosis 2,5% dari total biomassa udang setelah udang mencapai masa pemeliharaan bulan keempat. Pada petak yang ditumbuhkan bioflok dosis pakan yang diberikan ke udang dikurangi hingga mencapai 10%-20% dari porsi yang seharusnya diberikan. Sintasan, produksi, dan nilai konversi pakan dihitung setelah udang dipanen. Kualitas air (salinitas, pH, dan oksigen terlarut)di-monitor setiap hari. Total Suspended Solid (TSS), Volatil Suspended Solid (VSS), dan volume bioflok di-monitor setelah terbentuk di air tambak. Total haemosit dan prophenol oksidase udang dihitung pada udang sampel dilakukan menjelang udang dipanen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di tambak B yang ditambahkan sumber C-karbohidrat (ditumbuhkan biofloknya) diperoleh nilai konversi pakan udang lebih rendah daripada yang diperoleh di tambak A. Sintasan dan produksi udang di tambak B lebih tinggi daripada sintasan dan produksi udang di tambak A (kontrol). Total haemosit dan prophenol oksidase lebih tinggi pada udang yang hidup di tambak B yang ditumbuhkan floknya daripada yang diperoleh di tambak A (kontrol). 
PRODUKSI MASSAL BENIH IKAN HIAS BOTIA (Chromobotia macracanthus) MELALUI PENDEKATAN PADAT TEBAR DAN KETINGGIAN AIR MEDIA PEMELIHARAAN Agus Priyadi; Asep Permana; Nurhidayat Nurhidayat
Jurnal Riset Akuakultur Vol 8, No 1 (2013): (April 2013)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.069 KB) | DOI: 10.15578/jra.8.1.2013.65-75

Abstract

Ikan botia (Chromobotia macracanthus) merupakan ikan hias asli dari perairan Sumatera dan Kalimantan yang memiliki potensi besar sebagai komoditas ekspor karena bentuk yang unik dan mempunyai warna yang indah. Permasalahan utama sampai saat ini adalah masih rendahnya sintasan larva hingga benih pada tahap pendederan (umur dua bulan). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui respons tingkat padat tebar larva (5, 10, dan 15 ekor/L) pada dua tingkat ketinggian air media pemeliharaan (16 dan 32 cm) dengan empat ulangan. Wadah pemeliharaan berupa akuarium ukuran 80 cm x 40 cm x 40 cm dengan sistem resirkulasi. Selama pemeliharaan, larva diberi pakan berupa nauplii Artemia di bulan pertama, sedangkan di bulan kedua diberi pakan nauplii Artemia dan bloodworm (cacing darah/larva Chironomus sp.) beku, serta diberikan secara sekenyangnya (ad satiation). Parameter yang diamati meliputi sintasan, pertumbuhan (pertambahan panjang total dan bobot mutlak), dan data kualitas air. Data yang diperoleh akan diolah dan dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS versi 17.0. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa padat tebar dan ketinggian air media pemeliharaan larva hingga benih sampai umur 2 bulan berpengaruh nyata terhadap sintasan, akan tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan panjang total dan bobot mutlak. Perlakuan dengan padat tebar 15 ekor/L dan ketinggian air media pemeliharaan 16 cm dapat direkomendasikan untuk pemeliharaan larva hingga benih sampai ukuran 0,5 cm.
EVALUASI PEMANFAATAN PAKAN DENGAN DOSIS TEPUNG JAGUNG HASIL FERMENTASI YANG BERBEDA UNTUK PERTUMBUHAN BENIH IKAN MAS (Cyprinus carpio) Reza Samsudin; Ningrum Suhenda; Irma Melati; Aditiya Nugraha
Jurnal Riset Akuakultur Vol 6, No 2 (2011): (Agustus 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (106.883 KB) | DOI: 10.15578/jra.6.2.2011.281-289

Abstract

Penggunaan bahan baku lokal yaitu jagung diharapkan dapat menekan harga pakan. Penelitian ini dilakukan di Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor dengan tujuan untuk mengetahui jenis inokulum yang tepat dalam proses fermentasi tepung jagung dan memperoleh dosis tepung jagung hasil fermentasi yang dapat dimanfaatkan dalam formulasi pakan ikan mas. Tiga jenis kapang yang digunakan diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, PAU, IPB. Proses fermentasi dilakukan selama empat hari dengan dosis 9 mL per 100 g tepung jagung (kepadatan kapang 107) dan diinkubasi pada suhu ruang (30oC). Pada uji coba pakan bobot rata-rata benih ikan mas yang dipergunakan yaitu 9,01±0,01 g/ekor dan dipelihara dalam akuarium (60 cm x 50 cm x 40 cm) dengan padat penebaran 15 ekor/akuarium. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Sebagai perlakuan yaitu pakan buatan yang mengandung tepung jagung fermentasi dengan dosis berbeda: 0%, 5%, 10%,15%, dan 20%. Dari hasil penelitian diperoleh data kadar protein dan kadar lemak jagung yang difermentasi R. oligosporus meningkatmasing-masing dari 9,49% menjadi 17,68% (meningkat 86,3%) dan dari 3,95% menjadi 6,04% (naik 52,91%). Hasil uji coba pada ikan mas menunjukkan bahwa pakan yang mengandung jagung fermentasi (pakan perlakuan) memberikan laju pertumbuhan spesifik, rasio efisiensi protein, retensi lemak, dan konversi pakan yang berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan. Retensi protein untuk semua perlakuan tidak berbeda nyata (P>0,05). Laju pertumbuhan tertinggi (1,96%), konversi pakan terbaik (2,38), dan retensi lemak terendah (terbaik) yaitu 42,98%. diperoleh pada pakan yang mengandung jagung fermentasi 20%.
BUDI DAYA TERPADU Cherax quadricarinatus DAN C. albertisi DENGAN PADI DALAM KOLAM TANAH Taufik Ahmad; Lilis Sofiarsih; Sutrisno Sutrisno
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.134 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.2.2007.157-165

Abstract

Produktivitas usaha budi daya Cherax spp. belum diketahui secara pasti apalagi bila dikaitkan dengan isu bahwa cherax dapat memakan benih padi. Produksi benih cherax telah dapat dilakukan di hatcheri namun masih diarahkan terutama pada usaha memproduksi udang hias, padahal cherax di beberapa negara lain telah lama diproduksi sebagai udang konsumsi dan termasuk dalam kelompok crayfish dalam perdagangan hasil perikanan dunia. Rancang bangun wadah untuk mengakomodir sifat biologi, terutama kemampuan merayap keluar wadah, kanibalisme, dan kebiasaan makan tanaman air seperti padi, dicoba diterapkan pada pembesaran cherax secara terpadu. Benih cherax umur 45 hari ditebar pada padat tebar 15 ekor/m2 kedalam bak berukuran 1 m x 1 m x 0,5 m  berpematang dan berdasar tanah. Perlakuan yang diuji spesies cherax dan penanaman padi sebagai naungan dalam kolam. Pakan diberikan sebanyak 3% bobot biomassa dalam bentuk pakan udang windu komersial. Kedalaman air dalam bak dipertahankan 10—20 cm pada pelataran dan sekitar 30—40 cm pada caren atau kobakan. Sampling dilakukan setiap 30 hari untuk mengamati pertumbuhan yang dicerminkan oleh pertambahan panjang total dan karapas serta bobot rataan individu. Pertumbuhan padi, jumlah anakan, dan bulir gabah per malai, dalam petak tempat pemeliharaan cherax yang tidak berbeda (P>0,05) dari dalam petak tanpa cherax membuktikan bahwa cherax bukan pemakan padi. Selain itu, laju bertumbuh cherax dalam petak padi campur tanaman air juga tidak berbeda (P>0,05) dari dalam petak padi. Baik C. quadricarinatus maupun C. albertisi dapat mencapai bobot 20 g selama 90 hari pemeliharaan dalam kolam tanah. Kedua spesies cherax yang diuji merupakan pembuat lobang di pematang, kedalaman lubang berkisar 20—80 cm dan dapat menimbulkan kebocoran. Budi daya C. quadricarinatus dan C. albertisi dapat dikembangkan sebagai sumber penghasilan baru tanpa kekhawatiran dapat mengganggu ketahanan pangan.Cherax spp. in Indonesia is not so well known compare to other crustaceans such as penaeids shrimp, the main aquaculture products. Since the 1990’s, the production of cherax post larvae has been intended to supply the hobbyists of ornamental crustaceans.  No data available of how large is the production of cherax in Indonesia, either for food or ornament. To provide evidence that cherax is not a padi eater, an experiment was carried out in an integrated culture with padi in 1 m x 1 m x 0.5 m earthen ponds. The cherax stocked into the ponds are C. quadricarinatus and C. albertisi, at 15 PL-45/m2 of each different pond. The water depth in each pond is maintained at 30—40 cm on the perimeter ditch. The feed, grower penaeids shrimp feed, is given at 3% biomass weight when necessary. The cherax is sampled every 30 days for total and carapace length as well as individual weight. Number and weight of grain produced and numbers of paddy seedling are the variable observed to monitor padi growth. The number of grains and seedling in cherax ponds which is not significantly different (P>0.05) from those in ponds without cherax indicating that cherax is not padi eater. Either C. quadricarinatus or C. albertisi achieved maximum individual weight of 20 g in 90 days rearing period. Both of the cherax are dyke hole maker, but tend to causing seepage. The depth of the hole ranges from 20—80 cm, just enough for the cherax to hide just after moulting. Obviously, cherax culture could be developed as a new source of income for the farmers and would not cherax is not padi eater. Either C. quadricarinatus or C. albertisi achieved maximum individual weight of 20 g in 90 days rearing period. Both of the cherax are dyke hole maker, but tend to causing seepage. The depth of the hole ranges from 20—80 cm, just enough for the cherax to hide just after moulting. Obviously, cherax culture could be developed as a new source of income for the farmers and would not threaten the production rice, the Indonesian staple food.
PERBAIKAN MUTU GENETIK IKAN MAS RAJADANU MELALUI SELEKSI Deni Radona; Sidih Asih; Jojo Subagja; Rudhy Gustiano
Jurnal Riset Akuakultur Vol 11, No 1 (2016): (Maret 2016)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (162.308 KB) | DOI: 10.15578/jra.11.1.2016.15-21

Abstract

Ikan mas rajadanu mempunyai karakter cepat tumbuh dan tahan penyakit. Selective breeding merupakan salah satu upaya dalam peningkatan mutu induk dan benih. Penelitian ini bertujuan untuk melihat respons pertumbuhan dan nilai heritabilitas pada ikan mas rajadanu (F-3) yang berpotensi tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan generasi sebelumnya (F-2). Pembentukan ikan mas rajadanu F-3 dilakukan dengan metode hierarki (satu jantan membuahi empat betina). Pengujian respons seleksi dilakukan terhadap benih hasil pemijahan induk ikan mas rajadanu F-2 yang terseleksi. Terbentuk sebanyak 25 famili dan dipelihara secara terpisah selama 160 hari pada kolam beton ukuran 1,5 m x 1 m dengan ketinggian air 60 cm. Kolam digunakan sebanyak 25 buah. Respons seleksi dihitung dengan melihat nilai rata-rata pertumbuhan F-3 dibandingkan dengan F-2. Hasil penelitian menunjukan performa ikan mas rajadanu F-3 memiliki nilai respons seleksi (14,20 g); nilai heritabilitas (0,60); pertambahan bobot (41,63 ± 10,51 g); dan pertambahan panjang (9,86 ± 1,43 cm).Rajadanu carp strain have character of fast growing and disease resistant. Selective breeding is one of an attempts can be appllied to improve the broodstock and seed quality genetically. This research was aims to see response of growth and heritability value of F-3 on carp rajadanu that potentially grow faster compared with previous generation (F-2). The F-3 carp rajadanu was designated with hierarchy method (one males fertilize four female). The F-3 was derived from F-2 and formed 25 families. Those families were maintained for 160 days on pond with size of 1.5 m x 1 m and water depth of 60 cm. The response selection was calculated by choosing the best individuals of each based on ADG (averange daily growth). The research result show that the values of response selection was 14.20 g, heritability value of 0.60, weight, and length gain were 41.63 g and 9.86 cm, respectively.
PEMBERIAN EKSTRAK ENZIM KASAR DARI CAIRAN RUMEN DOMBA PADA TEPUNG BUNGKIL KEDELAI LOKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN NILA Titin Kurniasih; Indira Fitriliyani; Zafril Imran Azwar
Jurnal Riset Akuakultur Vol 7, No 2 (2012): (Agustus 2012)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (104.738 KB) | DOI: 10.15578/jra.7.2.2012.247-256

Abstract

Kendala utama yang dihadapi dalam upaya pencarian bahan baku lokal sumber protein alternatif untuk mendapatkan pakan yang ekonomis dan efisien antara lain kualitas bahannya yang tidak sebaik tepung ikan dan tepung bungkil kedelai impor. Enzim protease, amylase, dan selulase bermanfaat untuk meningkatkan kecernaan bahan baku yang mengandung protein kompleks, karbohidrat, dan serat yang tinggi. Cairan rumen ternak domba telah dideteksi banyak mengandung enzim yang dapat membantu meningkatkan kecernaan bahan baku nabati. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber enzim alamiah yang murah dan tersedia cukup banyak di Indonesia, yaitu cairan rumen domba, untuk menghidrolisis bahan baku tepung bungkil kedelai lokal (TBKL). Penelitian ini terdiri atas dua tahap yaitu in vitro dan in vivo. Penelitian in vitro bertujuan mengevaluasi kadar produk hidrolisis yang dihasilkan setelah TBKL diinkubasi dengan ekstrak enzim kasar dari cairan rumen domba (EEK CRD) dengan dosis 0, 200, 400, 600, dan 800 mL/kg TBKL, dan hasilnya adalah bahwa kadar total gula dan protein terlarut pada TBKL terhidrolisis meningkat apabila konsentrasi EEK CRD bertambah. Penelitian in vivo bertujuan menguji pemakaian TBKL yang telah dihidrolisis dengan dosis yang terpilih (dosis 800 mL EEK CRD/kg TBKL) dalam formulasi pakan ikan nila dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Ikan uji adalah nila berukuran rata-rata 2,48 ± 0,0183 g per ekor, dan dipelihara di 15 akuarium berukuran 50 cm x 60 cm x 50 cm yang diisi masing-masing 10 ekor selama 40 hari percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan TBKL terhidrolisis dalam formulasi pakan menghasilkan peningkatan signifikan (P<0,05) pada parameter efisiensi pakan dibandingkan pakan kontrolnya, tetapi tidak signifikan (P>0,05) untuk parameter laju pertumbuhan, konsumsi pakan, retensi protein, dan retensi lemak. Tidak ada perbedaan signifikan (P>0,05) untuk tingkat sintasan di antara kelima perlakuan. EEK CRD dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan melalui predigestion terhadap nutrien protein kompleks dan karbohidrat dalam suatu bahan.
PEMELIHARAAN INDUK IKAN TUNA SIRIP KUNING, Thunnus albacares DALAM BAK TERKONTROL Jhon Harianto Hutapea; Gusti Ngurah Permana; Ananto Setiadi
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 1 (2010): (April 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1430.663 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.1.2010.79-90

Abstract

Intensifikasi penangkapan ikan tuna baik yang langsung dipasarkan maupun dibesarkan dalam usaha budidaya, berpengaruh negatif terhadap kelestarian populasi ikan ini di alam. Dengan demikian upaya perbenihan secara buatan perlu dilakukan untuk mengurangi tekanan terhadap populasi alam. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol telah merintis perbenihan ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) sejak tahun 2003 bekerjasama dengan Overseas Fishery Cooperation Foundation (OFCF) Jepang. Induk ikan tuna telah berhasil dibesarkan dan dipijahkan dalam bak beton bervolume 1.500 m3 secara terkontrol, dengan sistem pergantian air semi tertutup. Pakan yang diberikan berupa ikan layang dan cumi-cumi sekitar 2,5% biomassa per hari. Pemijahan pertama terjadi pada bulan Oktober tahun 2004, ukuran induk diperkirakan lebih dari 9,138 kg atau panjang cagak lebih dari 82 cm dengan perkiraan umur sekitar 2 tahun. Puncak pemijahan terjadi pada tahun 2005 dan 2006 dengan frekuensi pemijahan masing-masing lebih dari 100 kali. Pemeliharaan induk ikan tuna dengan kepadatan 0,66 kg/m3 belum dapat dikatakan sebagai kepadatan maksimum dan peningkatan kematian cenderung akibat ruang gerak yang semakin sempit seiring dengan pertumbuhan induk. Namun demikian kendala yang ditemukan dalam pemeliharaan induk adalah kematian akibat menabrak dinding bak sedangkan kendala dalam pemeliharaan larva adalah serangan endoparasit pada telur

Page 2 of 71 | Total Record : 703


Filter by Year

2006 2022


Filter By Issues
All Issue Vol 17, No 4 (2022): (Desember 2022) Vol 17, No 3 (2022): (September) 2022 Vol 17, No 2 (2022): (Juni) 2022 Vol 17, No 1 (2022): (Maret, 2022) Vol 16, No 4 (2021): (Desember, 2021) Vol 16, No 3 (2021): (September, 2021) Vol 16, No 2 (2021): (Juni, 2021) Vol 16, No 1 (2021): (Maret, 2021) Vol 15, No 4 (2020): (Desember, 2020) Vol 15, No 3 (2020): (September, 2020) Vol 15, No 2 (2020): (Juni, 2020) Vol 15, No 1 (2020): (Maret, 2020) Vol 14, No 4 (2019): (Desember, 2019) Vol 14, No 3 (2019): (September, 2019) Vol 14, No 2 (2019): (Juni, 2019) Vol 14, No 1 (2019): (Maret, 2019) Vol 13, No 4 (2018): (Desember 2018) Vol 13, No 3 (2018): (September 2018) Vol 13, No 2 (2018): (Juni, 2018) Vol 13, No 1 (2018): (Maret 2018) Vol 12, No 3 (2017): (September 2017) Vol 12, No 4 (2017): (Desember 2017) Vol 12, No 2 (2017): (Juni 2017) Vol 12, No 1 (2017): (Maret 2017) Vol 11, No 3 (2016): (September 2016) Vol 11, No 4 (2016): (Desember 2016) Vol 11, No 2 (2016): (Juni 2016) Vol 11, No 1 (2016): (Maret 2016) Vol 8, No 3 (2013): (Desember 2013) Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010) Vol 5, No 2 (2010): (Agustus 2010) Vol 5, No 1 (2010): (April 2010) Vol 2, No 2 (2007): (Agustus 2007) Vol 2, No 1 (2007): (April 2007) Vol 1, No 1 (2006): (April 2006) Vol 10, No 4 (2015): (Desember 2015) Vol 10, No 3 (2015): (September 2015) Vol 10, No 2 (2015): (Juni 2015) Vol 10, No 1 (2015): (Maret 2015) Vol 9, No 3 (2014): (Desember 2014) Vol 9, No 2 (2014): (Agustus 2014) Vol 9, No 1 (2014): (April 2014) Vol 8, No 2 (2013): (Agustus 2013) Vol 8, No 1 (2013): (April 2013) Vol 7, No 3 (2012): (Desember 2012) Vol 7, No 2 (2012): (Agustus 2012) Vol 7, No 1 (2012): (April 2012) Vol 6, No 3 (2011): (Desember 2011) Vol 6, No 2 (2011): (Agustus 2011) Vol 6, No 1 (2011): (April 2011) Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009) Vol 4, No 2 (2009): (Agustus 2009) Vol 4, No 1 (2009): (April 2009) Vol 3, No 3 (2008): (Desember 2008) Vol 3, No 2 (2008): (Agustus 2008) Vol 3, No 1 (2008): (April 2008) Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007) Vol 1, No 3 (2006): (Desember 2006) Vol 1, No 2 (2006): (Agustus 2006) More Issue